Bagian 2

1598 Words
Nisa mengerjapkan matanya saat ada benda lembab yang menyentuh bibirnya, dia terkesiap, saat ingin berontak tangannya dicengkram dengan erat oleh laki-laki itu. Nisa menangis terisak, dia berusaha untuk melepaskan diri. Tubuhnya dia gerakkan, berharap dengan itu laki-laki ini bisa menyerah dan melepaskan dirinya. "Hai sayang, kamu sudah bangun? Sungguh aku sudah menantimu sejak tadi," ucap Arvan. Nisa yakin, laki-laki ini sedang dalam pengaruh alkohol. Nisa menangis terisak. Tubuhnya sudah semakin lemas. Dia mendorong d**a bidang laki-laki sekuat tenaga, namun tidak bisa. Tubuhnya tidak bisa melawan kekuatan Arvan. "Jangan! Jangan sentuh saya!" Bentak Nisa. "Diam!" Nisa menatap nanar Arvan yang saat ini berada diatasnya, dia menggeleng tidak setuju atas apa yang akan laki-laki itu lakukan. "Lepaskan saya!" Mendengar bentakan dari wanita yang berada di bawahnya membuat amarahnya tersulut. Dia mencengkeram leher Nisa, membuat Nisa kesulitan untuk bernafas. Wajah Nisa memerah, matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Hingga akhirnya sesuatu hal yang ditakutkan oleh uminya terjadi. dia tidak bisa menjaga dirinya dengan baik. Dia sudah hina, disentuh dengan tidak ada belas kasihan oleh laki-laki yang saat ini tertidur disampingnya. kejadian yang menyebabkan kehidupannya sengsara akan dimulai. Nisa merutuki dirinya sendiri, seharunya dia tidak pergi dari rumah, seharusnya dia tidak menolong laki-laki ini. Semuanya sudah sia-sia, menyesal rasanya percuma. Waktu tidak bisa diputar lagi. Hidupnya sudah hancur. *** Nisa terbangun dari tidurnya, tubuhnya lelah, lemas dan kepalanya pusing. Dia menatap seseorang yang saat ini tengah duduk disampingnya, sedang merapikan dasi dengan santai. Nisa terisak, teringat apa yang telah terjadi tadi malam. Rasa bersalah merayap dihatinya, kala mengingat umi dan abi. Betapa kecewanya mereka jika mengetahui anaknya sudah dijamah laki-laki yang bukan suaminya. "Kenapa kamu melakukan ini kepada saya? Saya salah apa? Kenapa harus saya!" Isakan Nisa membuat Arvan menoleh, menatap gadis cantik yang saat ini sedang menangis. Arvan hanya diam memperhatikan setiap air mata yang meleleh dari mata cantik itu. Mata indah yang mampu membuat dirinya terpesona. Nisa mendudukkan tubuhnya yang lemas dengan susah payah, setelah terduduk dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos dan menatap seseorang yang saat ini juga menatapnya. Laki-laki yang sudah mengenakan pakaian kantor tersebut menatap Nisa dengan dingin. Dia mendekatkan diri dan merangkum wajah cantik Nisa kemudian tanpa ragu dia mencium dalam Nisa. Nisa memberontak, dia memukul tubuh laki-laki itu, namun tetap saja tidak ada respons apapun. Nisa menangis tersedu-sedu, dia terus memukul d**a laki-laki itu agar melepaskan ciumannya, tetapi usahanya sia-sia, laki-laki itu tetap mencium Nisa. Setelah selesai, Nisa menatap murka Arvan yang ada di depannya. Dia menampar wajah Arvan. Mengapa laki-laki itu tidak merasa bersalah sedikitpun, setelah kemarin merenggut sesuatu yang sangat dia jaga. Hidupnya hancur karena laki-laki tidak punya perasaan ini. Setelah ini dia yakin hidupnya tidak akan tenang. Dia benci laki-laki ini, dia benci. "b******n! b******k! Kamu sudah memperkosaku! Kamu b******k! Nisa hanya berniat menolong, tetapi kenapa harus seperti ini! Kenapa!" Teriak Nisa kalut, Nisa memukuli tubuh laki-laki dengan brutal, laki-laki tampan itu hanya diam, menatap gadis cantik yang saat ini meluapkan emosi terhadap dirinya. Dia menarik nafas dalam, sedikit menjauh dari gadis cantik itu setelah gadis itu lemas karena kemarahannya. Nisa menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut, menangisi hidupnya yang hancur. Laki-laki tampan itu memegang pipinya yang terasa panas. Dia tersenyum sinis, "gadis murahan!" Entah apa yang merasuki pikirannya, sehingga kata-kata itu meluncur halus dari bibirnya, padahal dia sendiri tahu, siapa yang pertama kali menyentuh gadis itu. Nisa Mendongak, matanya sudah bengkak karena menangis sedari kemarin. "Murahan? Kamu gila? Kamu gak sadar siapa yang pertama kali menyentuh Nisa. b******k!" Teriaknya marah. Hati serta fisiknya sangat sakit, mengapa laki-laki bertubuh tinggi itu tega berkata seperti demikian padahal Arvan Tahu, siapa yang mengoyak dirinya tadi malam. Arvan menghela nafas dalam, diam tetap diam menatap Nisa, tidak menjawab perkataan Nisa. Dia menatap Nisa yang menyembunyikan wajah diantara lutut. Entah apa yang dia pikirkan. Pikirannya kacau, apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan, dia sadar akan hal itu, dia memilih mengambil ponselnya dan segera pergi ke kantor. Arvan diam di ambang pintu, dia menatap dingin perempuan yang sudah dia hancurkan hidupnya tersebut. Dia menghela nafas, niat hati ingin pergi ke kantor secepatnya, dia berbelok ke kanan menuju dapur. Dia mencari sereal yang sering dia makan, dia menuangkan sereal tersebut kedalam mangkok dan menuangkan s**u untuk perempuan yang ada di kamarnya, mengingat kejadian semalam, membuat dia menghela nafas. Mengapa dia bisa melakukan hal bodoh seperti ini. Ada rasa bersalah dalam hatinya, ketika mendengar jeritan dan tangisan gadis yang saat ini sedang berada di kamarnya. Namun entah kenapa dia tidak bisa menghentikan kegiatannya, dia sudah dikuasai amarah, nafsu dan beban pikirannya pun juga berat saat ini. Setelah lima menit, dia segera beranjak menuju ke kamar. Posisi gadis itu masih sama, terduduk dengan lutut tertekuk serta wajah yang dia tenggelamkan di lutut. "Makanlah, aku akan pergi. Jangan kemana-mana," ucapnya datar dengan menaruh makanan tersebut diatas meja. Tidak ada jawaban, hanya isak tangis yang terdengar di kamar yang menjadi saksi bisu di mana sang gadis telah kehilangan kehormatannya. Dia menatap jam yang ada didinding, sudah pukul sepuluh siang, dia harus segera pergi, ada urusan kantor yang harus dia selesaikan sekarang. Hari ini dia ada meeting sebenarnya, namun karena ada Nisa di sini, dia tidak menghadiri meeting tersebut, dan menyerahkannya kepada sekretarisnya. "Setelah makan, segeralah mandi, agar tubuhmu kembali segar. Pakai saja pakaian yang ada di lemari." Nisa tidak menjawab, dia hanya terisak menangisi apa yang sudah terjadi kepada dirinya. Dia merutuki dirinya sendiri, seharusnya dia tidak menolong laki-laki b******n ini, seharusnya dia membiarkan laki-laki itu tergeletak di sana. Seharusnya, seharusnya dan seharusnya. Semuanya hanya seharusnya, waktu tidak bisa di putar kembali, dia merutuki kebodohan atau kebaikannya ini, niat hati ingin menolong, kehidupannya hancur berkeping-keping, tidak ada sisa, yang ada hanya rasa jijik dalam hatinya, saat tahu sudah ada laki-laki yang tidak halal untuk dirinya, dengan tega merenggut sesuatu yang sangat dia Jaga. *** Satu jam sudah Nisa duduk dengan posisi seperti itu. Hanya isak tangis yang menemani kesunyian dalam ruangan terkutuk ini. Dia menyesal telah membantu laki-laki pemilik kamar ini, sungguh, dia menyesal. Nisa mendongakkan kepalanya, matanya benar-benar bengkak, wajahnya tak kalah menyedihkan, bengkak dan merah. Dia menghapus air matanya, dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya yang polos, dia meraih handuk putih yang tergeletak di ranjang, matanya menggenang lagi, saat melihat baju yang dia kenakan kemarin teronggok dilantai, baju dan celana itu terkoyak membuat air matanya lagi-lagi mengalir mengingat tubuhnya telah di jamah laki-laki yang bukan suaminya. Dia menarik nafas dalam, dia harus segera pergi dari sini, sungguh berada di kamar ini mengingatkan dirinya tentang kekasaran laki-laki itu, dia sudah meronta sekuat tenaga, lagi-lagi dia adalah perempuan, tenaganya tidak sebanding dengan laki-laki, lebih parahnya laki-laki itu mabuk. Nisa mencoba untuk turun dari ranjang, namun baru bergeser sedikit, tubuh bagian bawahnya sangat sakit. Dia merintih kesakitan, dia berusaha menahan rasa sakit Itu untuk segera bergegas ke kamar mandi. Dia harus segera pergi dari sini. Dia harus kembali kepada umi dan abi untuk minta maaf atas kesalahannya. Sebelum Arvan pulang, dia harus segera pergi. Dia tidak ingin disini. Dia takut laki-laki itu akan berbuat jahat lagi kepadanya. Nisa masuk kedalam kamar mandi, dia menatap bayangannya di cermin. lagi-lagi, hanya air mata yang keluar melihat tubuhnya yang banyak bercak berwarna merah. Nisa menarik nafas dalam, menghapus air mata dan segera mandi. *** Selesai mandi dengan diiringi isak tangis yang tidak bisa berhenti, dia keluar dari kamar mandi. Lagi-lagi air matanya mengalir deras membuat dadanya sesak. Dengan hati yang hancur berkeping-keping, dia berjalan menuju lemari, dia tidak mungkin pulang dengan memakai baju yang sudah robek. Dia menatap isi dalam lemari tersebut, hanya ada kemeja, celana bahan, celana training, serta bokser milik laki-laki b******n itu. Dengan tangan bergetar, dia mengambil kemeja hitam, kemeja itu sangat besar digunakan Nisa, hingga menutupi paha Nisa, kemudian mengambil celana training yang juga kebesaran untuknya. Setelah selesai dia keluar dari kamar yang menjadi saksi bisu di mana dia kehilangan kehormatannya. Dengan tatapan kosong, dia berjalan menuju ke arah pintu. Tubuhnya luruh di lantai saat tahu jika pintu bisa terbuka hanya dengan sidik jari seseorang. Dia menangis lagi, sungguh dia tidak sanggup jika harus di sini. Dia tidak sanggup. "Umi, abi, Tolong Nisa. Tolong Nisa, abi. Nisa takut." Nisa menangis tersedu-sedu. Dia menangis kencang, hanya itu sekarang yang bisa dia lakukan. Beberapa menit kemudian, Nisa bangkit dari duduknya, dia berjalan menuju sofa yang ada diruang tamu. Tubuhnya dia dudukkan disana. Memikirkan cara bagaimana dia biasa keluar dari apartemen ini. lagi-lagi dia merutuki kebodohannya sendiri, ponselnya ketinggalan di rumah. matannya mengedar, senyumannya mengembang saat melihat ada telepon rumah disana. Dengan semangat dia mendekati telepon itu. Mencoba mengingat nomor telepon rumahnya. Namun, berkali-kali dia tekan, telepon itu tidak bisa digunakan. Matanya mengedar, dengan kasar dia membanting telepon itu, kabel telepon itu sengaja diputus seseorang, yang tidak lain pelakunya adalah Arvan. Nisa menarik nafas dalam, dia mengedarkan pandangannya, ada satu ruangan disana. Kakinya berjalan, menuju ruangan yang tidak lain adalah ruang kerja pemilik apartemen ini. Nisa menuju ruangan tersebut, melihat ukuran kayu yang berada dimeja tersebut. Arvan Adhitama, nama laki-laki yang telah merusak hidupnya. Nisa akan mengingat nama laki-laki itu, dalam hatinya rasa benci itu ada ketika mengingat kejadian kemarin malam. Kekasaran laki-laki itu membuat dirinya takut, takut kejadian yang sama akan terulang lagi. Karena tidak menemukan sesuatu yang dapat dia gunakan untuk keluar, Nisa keluar dari ruang kerja tersebut. Mendekati pintu lagi berharap pintu itu terbuka dengan sendirinya. Hal yang sangat mustahil memang, tapi Nisa berharap seperti itu. Nisa Berusaha memutar handle pintu, menggedor pintu itu dari dalam dan berteriak berharap ada orang yang akan membantunya. Namun, nihil. Setengah jam dia melakukan hal itu, tidak ada seorang pun yang mendengar teriakannya. Tubuhnya luruh kelantai, lagi-lagi dia merutuki kebaikan hatinya untuk menolong seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD