Rasa yang Telah Lama Kucari

2812 Words
Uap hangat masih memenuhi ruangan ketika Jo berdiri dan mematikan shower. Tetesan air terakhir turun di kulitku, seperti menandai akhir satu momen dan awal yang baru. Aku masih duduk di lantai kamar mandi, bersandar pada dinding yang dingin, kontras dengan tubuhku yang masih panas. Jo tidak langsung bicara. Ia hanya berdiri sangat dekat—cukup dekat sampai aku bisa merasakan sisa hangat tubuhnya meski uap sudah mulai hilang. Ketika ia menoleh, tatapannya tenang tapi tegas, membuatku otomatis menunduk. Lalu tangannya turun dan meraih tanganku. “Ayo,” katanya pelan. Aku mendongak sedikit. “Ke mana…?” “Kita berendam sambil ngobrol,” jawabnya sambil mengarahkan dagunya ke bak mandi yang beruap lembut. Ia menarikku berdiri dan menuntunku perlahan. Langkahku goyah, bukan karena lantai licin, tapi karena jantungku terasa terlalu cepat. Jo tetap memegang tanganku sampai kami berdiri di tepi bak mandi. Airnya bergerak pelan, memantulkan cahaya redup kamar mandi. “Pelan-pelan aja,” ucapnya sambil membantuku naik. Suaranya rendah dan lembut, tapi cukup tegas sampai aku mengikutinya tanpa banyak berpikir. Aku masuk duluan, merasakan hangat air menyelimuti tubuhku. Beberapa detik kemudian, Jo ikut masuk dan duduk di belakangku. Air sedikit bergoyang ketika tubuhnya masuk, membuatku menarik napas sedikit lebih cepat. Jo menarik tubuhku untuk mendekat, cukup dekat sampai punggungku hampir menyentuh dadanya. Ia lalu perlahan memelukku dari belakang, kedua lengannya melingkari bahuku dengan cara yang menenangkan. Pelukannya tidak terlalu kuat, tapi cukup erat untuk membuatku merasa disandarkan dengan aman. “Kamu kelihatannya masih tegang,” katanya pelan, suaranya terasa dekat di belakang leherku. “Tenang aja. Aku di sini.” Aku mengangguk kecil, tidak yakin suaraku akan stabil kalau bicara. “Rara...” Ia memanggil namaku seperti sedang memastikan sesuatu. “Aku bisa lihat kamu masih nahan banyak hal.” Aku menarik napas pelan. “Aku… cuma belum sepenuhnya rileks, Jo.” Ia mengangguk, lalu sedikit bersandar, membuat jarak kami makin kecil. “Kamu selalu bilang begitu, padahal tubuhmu bilang yang beda.” Aku menoleh sedikit, pipiku terasa panas. “Bilang apa Jo?” Jo tertawa kecil—suara rendah yang entah kenapa membuatku makin gelisah. “Tadi waktu aku nyuruh kamu,” katanya sambil menatapku, “kamu langsung nurut. Bahkan tanpa tanya.” Aku menggigit bibir, merasa terlalu mudah terbaca olehnya. “Itu… bukan maksudku, aku cuma—” “Ssst,” ia mengangkat satu tangan. Tidak menyentuhku, tapi cukup dekat sampai aku bisa merasakan gerakannya. “Aku cuma mau kamu jujur sama satu hal,” lanjutnya, suaranya lembut tapi tetap memimpin percakapan. “Kenapa kamu langsung bilang ‘iya’ tadi? Hm?” Pertanyaan itu terasa menekan, tapi dengan cara yang membuatku ingin menjawab. “Karena…” ucapku, “…karena kamu bikin aku merasa aman. Dan… aku suka kalau kamu yang ngarahin.” Jo menatapku cukup lama sampai terasa seperti ruangan mengecil. Akhirnya ia bicara lagi, lebih pelan tapi lebih tegas, “Good. Itu yang aku mau denger.” Suaranya membuat air terasa lebih hangat dari sebelumnya. “Aku mau kamu tetap jujur seperti itu,” katanya. “Kalau kamu tegang, bilang. Kalau kamu nyaman, bilang. Kalau kamu mau aku mimpin… kamu bilang.” Aku menunduk lagi, kali ini karena lega. “Aku mau… kamu yang memimpin. Tapi… pelan.” “Pelan, tapi tetap aku yang pegang kendali?” tanyanya. Aku mengangguk kecil, malu. “Iya.” Jo tersenyum tipis—bukan senyum manis, tapi senyum yang jelas puas dengan jawabanku. “Good girl,” katanya lirih. Kata-kata itu turun seperti sentuhan halus yang tidak perlu benar-benar menyentuh. Dan anehnya… membuat tubuhku akhirnya mulai rileks. Ia bergeser sedikit, mendekat secukupnya, lalu berkata pelan, “Sekarang, rileks. Ikutin ritme napasmu dulu. Aku di sini. Kamu aman.” Aku menghela napas panjang, membiarkan diriku tenggelam lebih dalam ke air. Jo tidak langsung bicara lagi. Ia memberi waktu—waktu yang justru membuat udara di antara kami bergetar lebih jelas. Air hangat menyelimuti tubuhku, tapi keberadaannya yang begitu dekat membuatku merasa seakan ada lapisan kehangatan lain yang menempel di kulit. “Aku bisa lihat kamu mulai tenang,” katanya akhirnya, nada suaranya terdengar seperti bisikan yang tidak benar-benar ditujukan untuk telingaku, tapi untuk sesuatu yang lebih dalam. Aku mengangguk pelan, napasku sudah lebih stabil. “Iya… sedikit.” “Bukan sedikit,”balas Jo berbisik. Ia menatapku lama, matanya menyempit, seakan menilai detail kecil yang bahkan aku sendiri tidak sadar. “Badanmu udah nurut. Kamu cuma belum ngeh.” Aku menggigit bibir lagi—refleks yang tidak kumaksudkan. “Jo… kamu ngomong gitu bikin aku—” “Bikin kamu apa?” potongnya pelan, tidak memaksa, tapi menghadapkanku pada jawabanku sendiri. Aku menarik napas, meremas sedikit tepi bak, mencari kata-kata yang pas. “Bikin aku merasa… kepegang. Kayak… kamu tahu harus bilang apa ke aku.” Ia tersenyum samar, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat dadaku melunak. “Ya,” katanya, “karena aku ngamatin kamu. Dari tadi. Cara kamu napas, cara kamu nunduk, bahkan cara kamu jawab ‘iya’—semuanya jelas banget.” Jantungku berdenyut lebih cepat kembali. Jo memiringkan kepalanya sedikit, menurunkan suaranya sampai jadi lebih dalam. “Rara, kamu sadar nggak… tiap kali aku ngomong sedikit lebih tegas, kamu langsung nurut?” Aku menelan ludah. “Aku… iya. Refleks.” “Reflek yang manis,” gumamnya. Ia menggerakkan tangan di permukaan air—tidak menyentuhku, hanya membiarkan riak-riak kecil mendekat ke arahku. Sepele, tapi terasa seperti sentuhan yang ditahan. “Lihat aku sebentar,” katanya. Aku menoleh perlahan. Dan begitu tatapan kami bertemu, sesuatu di dadaku langsung meluruh lagi. Jo tidak menatapku dengan keras; bukan itu. Ia menatapku seperti seseorang yang memegang kendali dengan sangat sadar… dan memilih untuk lembut dengannya. “Good,” katanya saat aku menahan tatapan itu. “Aku mau kamu tetap kayak gitu. Nggak perlu pura-pura kuat. Nggak perlu nutupin apa-apa.” Aku mengangguk kecil, nyaris berbisik, “Aku nggak mau nutupin apa pun kalau sama kamu.” Jo mendekat, jarak kami kini hanya sejengkal, tapi ia masih menjaga satu hal: ia tidak menyentuh duluan. Memberi ruang… tapi ruang yang sudah jelas ia kontrol. “Kalau begitu,” kata Jo pelan, “aku minta satu hal.” Dan sesaat setelahnya, suaranya turun menjadi nada yang membuat seluruh kulitku merinding ringan. “Tetap gitu, Rara. Aku di sini. Kamu aman. Kamu ngikutin aku… dan aku bakal pastiin kamu tetap nyaman.” Aku tak sanggup bilang apa pun selain, “Iya… Jo.” Dan ia tersenyum, puas. Senyum yang membuat seluruh tubuhku terasa ringan, sekaligus lebih sadar padanya. Jo menarik napas perlahan sebelum bicara, memberi jeda seolah sedang memilih kata-katanya dengan sengaja. Dalam ruang sekecil ini, setiap helaan napasnya terasa seperti bagian dari diriku juga. “Rara,” katanya, suaranya rendah, stabil. “Aku suka lihat kamu kayak gini.” Aku menunduk, bukan karena malu, lebih karena aku merasa sesuatu yang hangat mengalir dari kalimat itu. “Kayak gimana?” “Tenang. Jujur.” Ia menatapku langsung tanpa ragu. “Dan ngasih aku tempat untuk bimbing kamu.” Nada itu menghampiriku pelan, namun cukup untuk membuat bahuku merosot santai tanpa kusadari. Aku mengalihkan pandangan ke permukaan air, tapi Jo tidak membiarkanku bersembunyi lama. “Lihat aku.” Meski lembut, ucapannya mengandung struktur yang tak bisa ditawar. Aku menurut, mengangkat wajah perlahan hingga mata kami bertemu. Dalam tatapannya, ada sesuatu yang menegaskan bahwa kendali bukan sekadar sikap—melainkan pilihan sadar yang ia pegang agar aku tetap merasa aman. “Bagus,” ujarnya. “Tetap seperti itu.” Aku bisa merasakan tubuhku merespons, bukan karena tekanan, melainkan karena sebuah keyakinan. “Aku percaya sama kamu,” ucapku, suaraku nyaris tenggelam oleh riak air. Jo mengangguk kecil, seakan sudah lebih dulu mengetahui jawabanku namun tetap menghargai kerentananku. “Itu sebabnya aku hati-hati,” katanya. “Kepercayaanmu bukan sesuatu yang ringan, Rara. Dan aku tidak akan mempermainkannya.” Kalimatnya turun perlahan, terasa lebih berat karena kesungguhan yang menyelimutinya. Seperti bukan hanya ada ketegasan di sana, tapi juga kesabaran—jenis yang tidak menuntut, tapi mengarahkan dengan mantap. Aku menarik napas dalam, meresapi rasa hangat yang merembes dari kata-katanya. “Kamu selalu hati-hati. Itu yang bikin aku nyaman.” Sudut bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum lebar, melainkan ekspresi kecil yang penuh kepastian. “Aku perhatiin kamu,” ucapnya. “Cara kamu diam. Cara kamu nunduk. Cara kamu nurut tanpa diminta ulang. Semuanya aku lihat.” Ucapan itu membuat dadaku menghangat dengan cara yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu dalam bagaimana Jo mengenaliku—bukan sekadar memahami, tapi memperhatikan—yang membuatku merasa hadir sepenuhnya. “Rara,” lanjutnya, suaranya merendah, “aku mau kamu tetap jujur sama aku. Kalau kamu tegang, bilang. Kalau nyaman, bilang. Dan kalau kamu mau aku yang memimpin… kamu tinggal ngomong.” Aku mengangguk pelan, menatapnya lebih dalam. “Aku mau. Tapi pelan-pelan ya Jo.” Ia mengangguk, seakan itulah jawaban yang ia tunggu. “Pelan, tapi tetap aku yang pimpin?” “Iya,” jawabku nyaris berbisik. Senyumnya kembali muncul—tipis, terukur, tapi memancarkan kepuasan yang hangat. “Good girl,” katanya. Kalimat itu lembut, membuat seluruh tubuhku terasa lebih rileks daripada air hangat yang membungkusku. “Sekarang dengarkan aku,” ucapnya perlahan. “Aku akan memandu kamu. Tenang, lembut, dan tetap aman.” Aku mengangguk pelan, napasku merata mengikuti ritme yang ia tetapkan. “Okee, mulai dari sini… kamu ikut aku.” katanya. Nada suaranya membuat suasana di antara kami terasa hangat. Dari cara ia menatap, aku bisa melihat bahwa kendali yang ia ambil bukan karena ingin memimpin, tapi karena ia benar-benar merasa bertanggung jawab. Dan saat aku mengangguk, mengikuti ritme yang ia bangun, aku merasakan sesuatu mengalir pelan di dadaku—rasa aman yang kukenal, namun malam ini terasa lebih kuat, lebih nyata. Seolah Jo tidak hanya memimpin langkahku… tetapi juga memegang ruang di sekelilingku, membuatnya menjadi tempat yang cukup luas untuk semua kelembutanku, sekaligus cukup kokoh untuk semua sisi diriku yang paling rapuh. Air di bak mulai kehilangan kehangatannya, namun Jo belum beranjak. Ia menatapku, seolah mengevaluasi apakah waktunya sudah tepat. Kemudian, dengan gerakan yang tenang dan penuh perhitungan, ia berbicara. “Rara,” katanya pelan, “kita keluar ya. Udara di sini mulai dingin, aku nggak mau kamu nanti jadi sakit.” Nada itu sederhana, tapi tetap mengandung struktur yang membuatku otomatis mengangguk. “Iya,” jawabku, suaraku lebih runtut dari sebelumnya. Jo berdiri lebih dulu. Cahaya remang memantul di garis bahunya, menciptakan siluet yang membuatnya tampak lebih mantap—tidak keras, tidak menuntut, hanya seseorang yang tahu apa yang ia lakukan. Ia mengambil dua handuk dari gantungan, lalu kembali menoleh ke arahku. “Pelan,” katanya, menawarkan tangan tanpa memaksa. “Aku bantu.” Aku meraih tangannya. Sentuhannya tidak memimpin dengan keras—lebih seperti memberi jalan, memastikan aku bisa berdiri dengan stabil di lantai yang licin. Saat aku akhirnya berdiri di hadapannya, Jo menarik napas kecil, seolah memastikan aku baik-baik saja. “Dingin?” tanyanya. “Sedikit.” Tanpa berkata apa pun lagi, ia merentangkan handuk dan membungkuskannya mengitari bahuku. Gerakannya sama sekali tidak tergesa; ia mengepaskan ujung handuk ke tubuhku dengan ketelitian yang biasanya hanya kupikirkan ada pada seseorang yang sedang merawat barang yang sangat berarti. Jo menatapku lama. Tatapan itu bukan tatapan menguasai… melainkan tatapan seseorang yang bertanggung jawab atas ketenanganku. “Good,” gumamnya setelah menilai ekspresi dan bahuku yang mulai rileks. “Ikut aku.” Ia berjalan lebih dahulu ke arah pintu kamar mandi. Dan seperti sebelumnya, tubuhku bergerak bahkan sebelum pikiranku sepenuhnya memproses langkah itu. Bukan karena terpaksa—melainkan karena sesuatu dalam dirinya mengundang kepercayaan yang sulit dijelaskan. Begitu kami keluar dari kamar mandi, udara kamar terasa jauh lebih hangat dibandingkan kamar mandi yang mulai mendingin. Lampu yang redup memantulkan cahaya lembut ke dinding, menciptakan suasana yang menenangkan. Setelah memastikan aku kering, Jo berdiri tegak di hadapanku, lalu melepas handukku. “Rara,” katanya pelan, “sini.” Nada itu lembut, namun cukup membuatku menghentikan langkah dan mengikuti arahanya tanpa keraguan. Ia mengangkat selimut dengan satu gerakan perlahan, lalu menepuk sisi tempat tidur di sebelahnya—bukan perintah keras, tetapi undangan yang jelas memiliki struktur dalam diamnya. “Berbaring, di sampingku,” ujarnya. Aku mematuhi. Selimut hangat menyentuh kulitku lebih dulu sebelum kasur menyambut tubuhku. Begitu aku berada di posisiku, Jo ikut naik ke tempat tidur. Gerakannya mantap, tidak terburu-buru, seolah memastikan setiap gerakan tidak menimbulkan ketegangan apa pun. Tanpa berkata apa-apa, ia meraihku dengan perlahan, menggeser tubuhku mendekat sampai jarak kami hilang sama sekali. Lengannya melingkari bahuku, menarikku masuk ke dalam dekapan yang terasa stabil—kokoh tapi lembut, seperti ruang yang memang sudah disiapkan untukku. “Biar kamu benar-benar tenang,” katanya rendah di dekat telingaku. Aku meresap ke dalam pelukannya, merasakan d**a Jo naik turun dengan ritme yang jauh lebih teratur. Kehangatan tubuhnya menyelimuti punggungku, menyatu dengan sisa kehangatan air yang masih menempel. “Apa kamu nyaman?” tanyanya, bukan sekadar sopan, tapi sungguh memastikan. Aku mengangguk kecil, pipiku bersandar di dadanya. “Banget.” Jo mempererat dekapannya sedikit—cukup untuk membuatku merasa dijaga, namun tidak sampai membatasi ruang bernapas. Sentuhan itu membawa ketenangan yang sulit dijelaskan; bukan hanya kedekatan fisik, tapi rasa aman yang menyusup perlahan ke dalam pikiranku. “Bagus,” katanya, napasnya terasa hangat di rambutku. “Karena aku mau kamu istirahat dulu… dalam dekapanku” Aku tersenyum kecil tanpa melihat ke arahnya. Ada sesuatu tentang caranya berbicara—tenang, yakin, dan terukur—yang membuat tubuhku merasa seolah akhirnya menemukan tempat untuk melepas semuanya. Jo memiringkan sedikit posisi lengannya, memelukku lebih mantap. “Aku di sini,” gumamnya. “Kamu cukup ikut ritme napasku.” Aku menarik napas perlahan, mencoba menyamakan ritme itu. Dan ketika akhirnya berhasil, ketegangan terakhir dalam tubuhku meluruh begitu saja. Dalam pelukan Jo, dunia menyempit menjadi ruang kecil yang hangat dan aman. Bukan hanya dekat, tapi terarah—dekat yang membuatku merasa dipeluk bukan karena kebetulan, tapi karena ia memilih untuk memelukku. Dan aku memilih untuk tenggelam dalam dekapan itu. Dalam keheningan kamar yang remang, napas Jo adalah ritme pertama yang bisa kutangkap dengan jelas. Pelukannya stabil, hangat, dan terasa seperti sesuatu yang sudah kukenal jauh sebelum aku mencoba mengingat sejak kapan aku mempercayainya sedalam ini. Awalnya aku diam. Bukan karena tidak mau bicara, tapi karena ada sesuatu yang sudah lama kutahan, menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Jo sepertinya memahami hal itu. Ia tidak memaksaku bicara atau terburu-buru. Ia hanya memelukku, seakan memberi izin tanpa kata-kata. Pelukannya sedikit mengencang, bukan menarikku, hanya memastikan aku tahu ia ada di sana. “Rara,” bisiknya lembut, “kamu boleh cerita apa pun kali ini. Aku bakal dengerin.” Kata-katanya terasa pelan dan menenangkan, membuka bagian dalam diriku yang selama ini kutahan. “Aku… ternyata capek kalau sendirian,” akhirnya aku berkata. Suaraku pelan dan goyah. “Aku ternyata suka nurut… karena saat aku nurut, aku ngerasa nggak harus ngontrol semuanya.” Jo tetap diam, tapi napasnya berubah sedikit. Bukan terkejut, hanya lebih fokus mendengarkan. “Aku ngerti,” katanya pelan, hangat. “Terusin.” Aku menarik napas panjang. “Kadang aku berusaha terlalu kuat. Sampai aku lupa ada bagian dari diriku yang cuma pengen… istirahat sebentar. Pengen ada yang jagain.” Ucapanku keluar tersendat. “Dan… aku takut kalau bilang itu ke orang—takut dibilang manja. Atau lemah.” Jo menggeser ibu jarinya perlahan di sepanjang lenganku. Gerakannya tenang, memberikan rasa aman. “Rara,” ucapnya, “ngerasa capek itu bukan lemah. Dan pengen dijagain itu bukan manja.” Aku memejamkan mata, membiarkan kalimatnya menyentuh bagian diriku yang biasanya kutahan. “Aku bukan cuma mau jagain kamu,” lanjutnya. “Aku mau kamu ngerasa layak dijagain.” Dadaku terasa penuh oleh emosi yang selama ini kupendam. “Jo… kamu bikin semuanya terasa lebih ringan.” “Karena kamu izinkan aku pegang sebagian bebannya,” jawabnya, suaranya turun menjadi lembut. “Dan itu bukan tanda kamu kehilangan kendali—itu tanda kamu percaya.” Aku menelan ludah, suaraku hampir pecah. “Aku memang percaya… sama kamu.” Jo menundukkan kepalanya sedikit saat ia berkata dengan nada yang lebih dalam namun menenangkan, “Good. Percaya itu cukup. Kamu nggak perlu lebih dari itu hari ini.” Ia menarikku sedikit lebih dekat. Tubuhku bersandar sepenuhnya padanya—bukan karena dorongan apa pun, tapi karena aku merasa aman. Tidak ada paksaan, hanya kehadiran yang tegas dan menenangkan. “Aku di sini,” kata Jo, suaranya stabil. “Kamu boleh rapuh. Kamu boleh lelah. Kamu boleh jujur tentang apapun. Dan aku akan tetap ada.” Aku memejamkan mata lebih erat, membiarkan air mata hangat jatuh perlahan. Bukan karena sakit, tapi karena untuk pertama kalinya aku merasa aman untuk melepaskan semuanya. “Terima kasih…” bisikku. “Untuk nggak pergi.” Jo memelukku lebih erat, seolah meyakinkan bagian-bagian diriku yang masih ragu. “Aku nggak akan ke mana-mana, Rara,” gumamnya. “Bahkan kalau kamu jatuh… aku yang bakal nangkep kamu.” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku membiarkan diriku benar-benar tenang dalam pelukan seseorang. Dan di situ aku sadar, inilah rasa yang telah lama kucari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD