Selesai menceritakan isi hatiku, aku merasa jauh lebih lega. Perlahan, tubuhku mulai rileks dalam pelukan Jo. Dengan kepalaku bersandar di dadanya, aku menarik napas panjang, mencium aroma hangat tubuhnya, dan untuk pertama kalinya aku merasa berada di tempat yang tepat. Ia hanya tersenyum kecil ketika melihatku semakin tenang. Ia mengusap tengkukku pelan, seolah memastikan aku benar-benar aman bersamanya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya beberapa saat kemudian, suaranya lembut.
Aku mendongak menatapnya. Wajahku terasa lebih tenang, meski hatiku masih mudah terguncang.
“Baik, jauh lebih baik,” jawabku. Suaraku sudah lebih ringan, meski masih sedikit bergetar.
Aku kembali menyandarkan kepala di dadanya, tidak ingin kehilangan rasa nyaman itu.
Jo menguap kecil dan memelukku sedikit lebih erat.
“Kamu capek, kan? Tidur yuk. Aku juga sudah ngantuk dan lumayan lelah,” katanya pelan.
Aku mengangguk, dan perlahan mataku tertutup. Tanpa sadar, aku tertidur hampir tiga jam.
Saat terbangun, kamar terasa lebih terang. Aku mengerjap beberapa kali lalu melirik ke arah Jo yang sudah bangun lebih dulu, duduk bersandar sambil memainkan ponselku.
“Jam berapa sekarang, Jo?” tanyaku dengan suara serak.
“Jam dua siang,” jawabnya tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar.
Aku mengangkat kepala sedikit.
“Terus kamu lagi ngapain?”
“Main i********:” katanya santai sambil tetap menggulir layar.
“Oh, main i********:?” tanyaku, sedikit penasaran.
Jo mengangguk perlahan. Ia terlihat santai duduk di atas tempat tidur, ponselku masih di tangannya.
“Eh, aku nemu sesuatu di timeline,” katanya tiba-tiba.
“Mau lihat?”
Karena penasaran, aku bangun dari posisi berbaring dan duduk di sebelahnya.
“Boleh, sini lihat dong,” balasku.
Jo tertawa kecil melihat reaksiku, lalu memutar ponselnya agar layarnya menghadapku. Ia membuka profil seseorang di i********:—aku langsung mengenali fotonya.
“Itu Dias, kan?” tanyaku pelan.
Jo mengangguk.
“Iya. Aku… suka sama dia. Dia… ya, kamu tau lah, kelihatannya seksi,” ucapnya jujur.
Mendengar itu, aku refleks menoleh dengan seketika. Jujur, aku tidak menyangka ia akan mengatakan hal itu. Jo hanya tersenyum tipis, seperti sedang menunggu reaksiku.
“Aku mau minta bantuan kamu,” lanjutnya.
“Kayak waktu Centia bantu aku buat dapetin kamu kemarin.”
Aku terdiam beberapa detik, mencoba memproses permintaannya. Jo masih menatap layar ponsel, tapi suara dan gesturnya serius.
“Aku mau kamu bantu aku dapetin Dias.”
Aku terdiam, masih belum yakin dengan permintaannya.
“Jo… tapi dia sudah punya pacar. Itu salah,” kataku perlahan.
Jo sama sekali tidak terlihat terganggu. Ia masih menatap foto Dias, wajahnya jauh lebih tegas dari sebelumnya.
“Rara,” katanya serius, “aku gak peduli kalau itu salah atau benar. Aku cuma mau dia jadi punya aku juga.”
Aku menarik napas dalam. Aku tahu Jo bukan tipe yang mudah menyerah ketika sudah menetapkan tujuan. Tapi aku tetap merasa tidak nyaman jika harus membantunya melakukan sesuatu yang menurutku salah.
“Jo... kamu yakin kamu mau begini?” tanyaku lagi.
Jo menoleh padaku. Tatapannya tegas, seperti seseorang yang sudah mantap dengan keputusannya. Aku tahu, kalau Jo sudah berada di titik itu, hampir tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.
“Iya, aku yakin,” jawabnya tegas.
Aku hanya bisa diam. Aku tahu betapa keras kepalanya Jo, terutama ketika ia benar-benar menginginkan sesuatu. Tapi tetap saja, aku tidak ingin ikut terlibat dalam sesuatu yang menurutku salah.
“Tapi... dia sudah ada pacar...” kataku lagi, berharap Jo sadar.
“Terserah,” balasnya santai, meski nada suaranya tetap tegas.
“Aku gak peduli tentang pacar dia sekarang. Yang penting dia nanti bakal jadi punya aku. Kayak kamu.”
Aku menatap Jo lama, mencoba membaca wajahnya. Ada sesuatu di matanya—lebih dalam dari sekadar gelisah. Perlahan aku mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya.
“Jo... kamu pasti punya alasan untuk bilang gini,” bisikku pelan.
“Tapi aku harus tahu—ini karena kamu benar-benar suka dia? Atau cuma karena... dia kelihatan menggoda?”
Jo menoleh padaku. Ekspresinya tegas, tapi ada ketegangan halus di matanya—seperti ia menahan sesuatu.
“Aku gak suka dia dalam arti perasaan,” katanya akhirnya, nada suaranya datar tapi yakin.
“Aku cuma... tertarik sama dia. Dia kelihatan terlalu menggoda buat dilewatin.”
Jo menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di pangkuan, berusaha keras menjaga diri tetap tenang. Tapi aku tahu, kalau sudah begini, Jo tidak akan mundur.
“Rara,” ucapnya, suaranya turun menjadi lebih berat.
“Aku gak mau kamu nasehatin aku dalam urusan kayak gini lagi.”
Ia berdiri perlahan, lalu meletakkan ponselnya agak keras di samping tempat tidur.
“Apa yang aku butuh sekarang cuma bantuanmu... bukan ceramah.”
Aku terdiam. Kata-katanya membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu ini bukan hal yang benar, dan aku sendiri tidak yakin bagaimana harus membantu. Tapi—aku juga pernah berjanji pada Jo. Janji bahwa aku akan membantu apa pun yang ia minta, selama aku bisa. Dan sekarang… janji itu menahanku di tempat.
“Jadi… kamu mau aku bantu,” kataku pelan.
Jo menatapku, dan tatapannya cukup untuk membuat perutku menegang.
“Iya. Kamu udah janji, kan? Bakal nurutin semua permintaanku?”
Aku menunduk sebentar. Tidak ada jalan keluar selain menepati janji itu.
“Jo…” aku mengangkat wajahku lagi.
“Tapi… gimana caranya? Maksudnya, kamu mau aku bantu dengan cara apa?”
Jo diam sebentar, lalu senyum tipis muncul—bukan senyum yang membuatku nyaman.
“Mungkin," jawabnya pelan, "kayak cara Centia kemarin bantu aku… buat dapetin kamu.”
Dadaku langsung berdebar. Cara Centia? Aku masih ingat betul bagaimana Centia memasukkan dirinya ke tengah-tengah kami, memancing, mengatur situasi, dan membuatku tanpa sadar mendekat ke Jo.
Dan kalau Jo ingin aku melakukan hal yang sama pada Dias… Aku tiba-tiba tidak yakin apakah aku siap.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Aku tahu Jo tidak akan menerima penolakan, tapi aku masih belum yakin dengan permintaan anehnya. Aku duduk di sebelahnya di atas ranjang, cukup dekat untuk merasakan ketegangan yang ia bawa sejak tadi.
Saat aku masih memproses semuanya, Jo tiba-tiba bergerak lebih dekat. Ia memutar tubuhnya menghadapku, siku bertumpu pada kasur di belakangku, membuat jarak di antara kami menyempit dengan begitu cepat. Tatapannya mengarah langsung ke mataku, seolah ingin memastikan aku tidak menghindar.
“Kamu mau bantu aku, kan, Rara?” katanya. Suaranya terdengar lebih tenang, tapi tetap berat.
Aku tidak menjauh, tapi posisi ini membuatku merasa terkurung tanpa benar-benar disentuh. Jo memang selalu bisa menjadi sangat persuasif ketika ia menginginkan sesuatu. Aku mencoba memalingkan pandanganku, tapi ia ikut mendekat, membuat perhatianku hanya tertarik padanya.
“Jo,” panggilku pelan, mencoba tetap terdengar tenang, “ini ide yang buruk.”
Ekspresinya tidak berubah. Pandangannya bahkan lebih tegas daripada sebelumnya. Aku berusaha membaca sesuatu dalam matanya—keraguan, rasa bersalah, apa saja—tapi yang kutemukan hanya tekad.
“Jo... please...”
Aku mencoba sekali lagi. Aku menggeser tubuhku sedikit, mencoba menciptakan jarak, tapi Jo justru mengikuti gerakanku dan mendekatkan wajahnya lebih jauh. Sekarang kami hanya terpisah beberapa inci. Napasnya terasa hangat, membuatku bingung harus melakukan apa. Aku tahu betul Jo tidak akan mundur.
Ia tetap tidak menjawab. Ia hanya mendekat lagi sampai jarak wajah kami hanya tinggal beberapa sentimeter. Aku bisa melihat dengan jelas setiap detail—gerak alisnya, dan ekspresi serius yang tidak pernah ia lepaskan. Tapi tetap saja, ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatapku—seolah menunggu sesuatu dariku.
Aku merasakan jantungku semakin cepat. Aku tidak bisa menjauh, bahkan sulit mengalihkan pandanganku dari mata Jo. Rasanya seperti aku sudah terseret terlalu jauh ke dalam situasi ini, dan sekarang aku hanya menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Jo mengubah posisi tubuhnya. Kedua tangannya kini berada di sisi pinggangku, menjaga agar aku tetap dekat dengannya, tapi tidak sampai membuatku benar-benar terperangkap. Ia menarikku sedikit lebih dekat, membuat jaraknya semakin kecil. Kehangatan tangannya, cara ia menahan diriku dengan tegas namun tidak memaksa, membuat ketegangan ini semakin nyata. Hingga hanya suara napas kami yang terdengar.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku ingin menjauh, tapi tubuhku tidak bergerak. Aku ingin menolak, tapi aku merasa sudah terlalu dalam terlibat dalam keinginan Jo. Seluruh tubuhku terasa waspada—bukan karena sesuatu yang eksplisit, tetapi karena tekanan emosional yang begitu kuat. Aku bahkan tidak yakin apakah yang kurasakan ini adalah takut, cemas, atau campuran dari banyak hal lainnya.
Aku kembali menatap Jo, berharap ia akhirnya berbicara—alasan, penjelasan, apa pun. Tapi ia tetap diam. Hanya matanya yang mengunci mataku, penuh tekad yang membuatku sulit bernapas. Dan pada akhirnya… aku menyerah pada kenyataan yang tak bisa kuhindari.
“Jo…” bisikku, suaraku hampir tidak terdengar.
“Kalau ini benar-benar yang kamu mau… aku akan bantu kamu dapetin Dias.”
Kata-kata itu keluar begitu saja, seperti terlepas dari dadaku tanpa sempat kupikirkan dua kali. Bukan karena aku setuju dengan idenya, tapi karena aku tahu Jo tidak akan mundur, dan aku pernah berjanji akan ada untuknya apa pun situasinya. Meskipun aku sendiri belum tahu seperti apa bentuk bantuannya nanti.
Jo tidak langsung bereaksi. Ia hanya diam menatapku, seperti ingin memastikan apakah aku benar-benar jujur. Aku tidak bisa menghindar dari tatapan itu, jadi aku terdiam dalam genggamannya.
“Benar, Ra? Kamu serius?” akhirnya ia bertanya, suaranya lebih lembut tetapi tetap tegas.
Aku menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi tidak ada jalan untuk mundur. Pelan, aku mengangguk tanpa membuka mata.
“Iya, Jo,” gumamku.
“Aku serius.”
Tangan Jo bergerak mengurut bahu dan lenganku perlahan, seolah mencoba menenangkan ketegangan di tubuhku. Aku belum berani membuka mata, tapi aku tahu ia sudah sangat dekat—napasnya terasa di pipiku.
“Terima kasih, ya Ra,” katanya pelan.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku masih ragu dengan pilihanku, dan kata-kata Jo membuat dadaku terasa semakin berat.
“Jo…” bisikku, suaraku sedikit bergetar.
“Kamu harus janji… kalau ini benar-benar cuma karena kamu tertarik sama dia.”
Akhirnya aku membuka mata dan menatap wajahnya, mencari sedikit saja tanda keraguan di balik tatapan Jo.
“Kamu akan berhenti kalau sudah dapat yang kamu mau?” tanyaku pelan, tapi jelas.
Jo terdiam sebentar. Ekspresinya tetap sulit dibaca, lalu ia mengangguk pelan.
“Iya,” jawabnya datar.
“Ini cuma soal mendapatkan apa yang aku mau.”
Aku seharusnya merasa lega, tapi justru ada rasa lain yang muncul—sesuatu yang menusuk pelan di dadaku. Entah kenapa, membayangkan Jo benar-benar dengan Dias membuat perutku terasa aneh. Sedikit… cemburu.
Aku menunduk, mencoba menata napas.
“Jo… kamu nggak bakal ninggalin aku, kan?” tanyaku pelan, hampir tidak berani mendengarkan jawabannya.
“Aku tahu kamu tertarik sama dia, tapi… aku nggak mau kamu gantiin aku dengan dia.”
Untuk sesaat Jo hanya menatapku, dan aku merasa telanjang di bawah tatapan itu—semua rasa takutku seolah bisa ia baca begitu jelas. Lalu Jo menghela napas pelan, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
“Rara, kamu nggak ke mana-mana,” katanya tegas tapi bukan dengan cara yang mendominasi.
“Kamu tetap punyaku. Kamu tetap bagian dari aku. Dias itu urusan lain.”
Aku menatapnya, masih ragu.
“Tapi kamu janji?”
Jo mengangguk pelan namun pasti.
“Aku janji. Kamu dan Centia nggak akan digantiin siapa pun.”
Aku merasakan ketegangan di tubuhku sedikit berkurang setelah Jo mengatakan itu. Meskipun aku tidak sepenuhnya setuju dengan rencananya, aku sudah terlanjur terlibat. Sekarang aku hanya bisa berharap aku tidak akan menyesalinya. Dengan kepala sedikit lebih tenang, aku menarik napas panjang sebelum bertanya,
“Terus gimana caranya aku bantu kamu dapetin Dias?”
Jo melepas tangannya dari bahuku, tapi tetap berdiri sangat dekat—cukup dekat hingga aku masih bisa merasakan hangat tubuhnya. Ia menundukkan sedikit kepala, membuat suaranya terdengar rendah dan jelas.
“Aku punya ide,” katanya pelan.
Aku mencoba rileks, meski tetap berhati-hati. Jo tersenyum tipis, seolah ini sudah ia pikirkan sejak lama.
“Aku pernah lihat story i********: kamu,” ujarnya sambil memastikan aku memperhatikan.
“Kamu kan pernah gym bareng sama Dias.”
Aku mengernyit.
“Terus? Kamu mau aku ajak dia gym lagi? Atau…?”
Jo memotong cepat tapi tetap tenang.
“Enggak. Kamu ajak dia gym kayak biasa… lalu kamu bilang kamu mulai nggak enak badan di tengah latihan.”
Aku terdiam sejenak, lalu perlahan mulai menangkap maksudnya.
“Terus… kalau aku bilang nggak enak badan… aku bisa minta dia anterin aku pulang?” tanyaku setengah yakin.
Aku menambahkan, supaya rencananya terdengar masuk akal,
“Tapi aku nggak sendirian sekarang. Mama masih di rumah. Cuma… minggu depan atau awal bulan depan Mama mungkin nyusul Papa yang lagi dinas di Jakarta. Biasanya Mama ngabarin dulu. Jadi kalau pas Mama lagi pergi, dan aku bilang takut drop sendirian… itu baru masuk akal.”
Jo mengangguk kecil, tampak puas dengan penjelasanku.
“Nah, itu, kamu memang cerdas,” katanya.
“Begitu dia nganterin kamu, tinggal bikin suasananya nyaman. Ngobrol. Biar dia lihat kamu agak rapuh… itu biasanya bikin orang lebih kebuka.”
Aku menarik napas pelan sebelum bertanya,
“Lalu seperti apa?”
“Mulai dari situ aja,” jawabnya.
“Bikin dia nyaman sama kamu. Obrolan ringan, dan natural. Sisanya biar aku yang urus.”
Aku terdiam sebentar, mencoba mencerna rencana Jo dengan hati-hati. Meskipun aku belum sepenuhnya setuju, aku tidak bisa menyangkal bahwa idenya masuk akal. Aku menghela napas lalu mengangguk pelan.
“Baik. Aku akan mencoba. Tapi kamu janji, ya? Ini hanya sampai kamu mendapat apa yang kamu mau.”
Jo tersenyum. Aku tahu dia bukan tipe yang mudah berubah pikiran, tapi kali ini ia terlihat benar-benar serius.
“Tenang saja, aku janji,” katanya tegas.
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan,
“Dan setelah itu, kamu juga janji sesuatu.”
Jo terlihat lebih tegas sekarang, dan dari tatapannya aku tahu ia ingin memastikan aku mendengarkan setiap katanya. Aku terdiam, berharap aku tidak akan menyesali apa pun yang akan ia minta.
“Janji kamu nggak akan memberitahu siapa-siapa tentang ini,” ujarnya dengan nada tegas.
Aku sempat diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aku sadar aku sudah terlanjur terlibat.
Ia sempat terdiam sebelum berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan.
“Dan satu lagi.”
Aku menarik napas panjang, merasa ada sesuatu lagi yang akan ia tuntut. Aku menunggu, mencoba bersiap.
Jo terlihat semakin percaya diri, seolah yakin aku tidak akan menolak. Ia mendekat—sekadar menyentuhkan bibirnya secara singkat. Gestur itu lebih seperti tanda penegasan daripada sesuatu yang romantis.
Setelah itu, ia melanjutkan,
“Janji kamu bakal nurut kemauanku dalam hal apa pun selama aku berhubungan dengan Dias.”
Aku terdiam lagi, menyadari bahwa ia hanya mengharapkan satu jawaban dariku. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri.
“Aku janji.”
Setelah kata-kata itu keluar dari mulutku, ada rasa aneh yang langsung muncul di d**a—campuran antara lega dan takut. Lega karena akhirnya tuntutan Jo terjawab, tapi takut karena aku sadar baru saja menyerahkan kendali sepenuhnya padanya. Rasanya seperti melangkah ke sesuatu yang tidak bisa kutarik kembali.
Setelah mengatakan itu, aku menarik napas perlahan dan memberanikan diri bertanya,
“Jo… setelah aku ajak Dias ngobrol, kamu mau ngapain? Maksudku… langkah kamu selanjutnya apa?”
Jo tidak langsung menjawab, tapi senyum muncul di wajahnya—senyum yang membuatku semakin waspada.
“Kamu kasih dia makanan atau minuman,” jawabnya tenang.
“Aku yang siapin semuanya. Kamu tinggal kasih ke dia pas lagi ngobrol.”
Aku menatap Jo dengan hati-hati.
“Makanan sama minuman apa?”
Jo hanya mengangkat bahu sedikit, ekspresinya santai seolah semuanya sudah ia rencanakan jauh sebelumnya.
“Nanti aku kasih. Kamu cuma perlu pastiin dia nerima itu dari kamu.”
Aku menarik napas panjang. Rasanya makin jelas kalau rencana ini tidak sesederhana yang dia bilang. Meski aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang ia susun, aku tetap tidak bisa menolak. Bukan hanya karena aku sudah janji, tapi juga karena aku takut Jo menjauh kalau aku menolak.
Dan pada akhirnya, aku mengangguk pelan. Aku akan melakukan rencana Jo. Bukan karena aku benar-benar paham tujuannya, tapi karena aku ingin Jo senang—dan aku tidak ingin kehilangan dirinya.
Akhirnya aku berkata, pelan tapi mantap,
“Oke… aku bakal ngelakuin rencanamu, Jo. Aku lakuin ini karena aku mau kamu senang.”
Jo tersenyum—senyum yang kali ini terasa lebih hangat.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Aku janji kamu bakal terus sama aku. Kamu nggak akan sendirian.”
Saat Jo menjawabnya, aku merasakan campuran rasa takut dan lega sekaligus. Ada bagian dari diriku yang masih ragu tentang rencana ini, tapi ada bagian lain yang merasa nyaman dengan perhatian dan janji yang Jo berikan. Bahkan kalau semua itu datang dengan tuntutan. Aku sadar bahwa mulai saat ini, semuanya akan benar-benar dimulai, dan aku harus siap menjalankan peranku demi membuatnya tetap berada di sisiku.