Aku sadar bahwa aku sudah melangkah lebih jauh daripada sebelumnya, dan aku benar-benar tidak tahu ke mana semua ini akan membawaku. Namun aku sudah berkomitmen—entah karena janji yang pernah kubuat, atau karena perasaan yang semakin lama justru semakin menguat. Yang kupikirkan hanya satu: semoga apa pun yang terjadi nanti benar-benar bisa membuat kami semakin dekat.
Aku menatap Jo, mencari sesuatu di matanya—pengertian, keyakinan, atau sekadar tanda bahwa ia merasakan hal yang sama. Seolah langsung memahami kegundahanku, Jo mendekat tanpa ragu. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipiku perlahan. Usapannya lembut, penuh perhatian.
Gerakan kecil itu menyadarkanku bahwa aku tidak menjalani semua ini sendirian. Ia benar-benar ada untukku. Dalam intensitas yang menegangkan sekalipun, sentuhan itu terasa seperti cara Jo mengatakan bahwa apa pun langkahku selanjutnya, ia akan selalu ada di sana bersamaku.
“Rara...” panggilnya pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya, hampir seperti bisikan.
“Kamu lucu banget pas bingung kayak gini,” ucap Jo sambil tertawa pelan dan mengusap pipiku.
Aku tahu dia hanya ingin mencairkan suasana. Meski masih tegang, aku tidak bisa menahan senyum kecil.
“Bagus kalau kamu tahu kalau aku ini lucu,” balasku, mencoba terlihat lebih santai.
Jo kemudian mendekat, menarik duduknya hingga kini kami berhadapan dari jarak yang jauh lebih dekat. Napas hangatnya terasa di wajahku, membuat dadaku berdebar lebih cepat dari yang ingin kuakui.
Ia lalu tersenyum—kali ini lebih dalam, seperti ia benar-benar sadar efeknya padaku. Jarak kami semakin dekat sampai aku bisa merasakan hangat napasnya menyentuh wajahku.
“Kamu tuh... selalu bikin aku gak bisa fokus,” ucap Jo pelan, matanya masih terpaku pada bibirku.
Aku bisa merasakan wajahku makin panas setiap kali Jo memujiku. Entah kenapa, ketika dia bilang aku membuatnya tidak fokus, ada sesuatu di dadaku yang ikut berubah. Rasanya bukan cuma percaya diri karena dipuji seseorang yang penting—lebih dari itu. Suara Jo seperti benar-benar menyentuh sisi terdalam hatiku.
Jemarinya menyentuh daguku, mengangkat wajahku sedikit hingga aku harus menatapnya langsung.
“Karena... kamu terlalu menggoda.”
Dadaku langsung terasa hangat, mungkin malah sudah memerah. Jo memang selalu punya cara untuk membuatku merasa spesial, tapi kali ini sensasinya jauh lebih kuat. Aku bisa merasakan ketegangan halus di tubuhnya, seperti dia berusaha menahan diri agar tetap tenang.
“Itu yang bikin kamu spesial,” katanya lagi, tetap membelai wajahku lembut.
“Kamu selalu berhasil bikin aku jadi terangsang.”
Aku terkejut ketika Jo mengangkat tubuhku dengan mudah dan menempatkanku di pangkuannya. Situasinya terasa berbahaya, tetapi entah kenapa tetap menarik. Dadaku berdebar keras, dan napasku sedikit tidak teratur ketika kakinya bergeser masuk di antara pahaku—seolah sengaja membuat jarak kami semakin dekat.
“Jo...” panggilku pelan.
Suaraku terdengar lebih serak dari biasanya. Tanpa kusadari, tanganku mencengkeram lengan bajunya.
Ia tertawa singkat. Senyum nakal yang selalu membuatku tidak berdaya itu muncul lagi.
“Kenapa? Kamu nggak enggak suka posisi gini?” godanya sambil memindahkan satu tangannya ke pinggangku dengan gerakan yang jelas ia maksudkan untuk mempersempit ruang di antara kami.
Ia kembali menurunkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku.
“Sini,” bisiknya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Ia menarik tubuhku perlahan hingga d**a kami saling bersentuhan. Tubuh telanjangku langsung merasakan kehangatan kulitnya. Lalu Jo melingkarkan lengannya di pinggangku, menarikku lebih erat.
Jantungku berdetak semakin cepat ketika jemarinya bergerak di sepanjang punggungku tanpa halangan. Sensasinya menyebar cepat, membuat seluruh tubuhku bereaksi meski aku berusaha mempertahankan kendali.
Jo menundukkan wajahnya ke leherku, menghirup napas dalam seolah ingin mengenali aroma tubuhku. Hal itu membuatku semakin gelisah. Bibirnya kemudian menyentuh leherku dengan sentuhan ringan.
Tubuhku melemas ketika Jo mencium leherku. Kehangatan kulit bibirnya membuat pikiranku berantakan. Tangannya bergerak perlahan ke samping, turun ke bahu, menyusuri kulitku dengan ritme teratur. Ia berhenti di pundakku, lalu menggigitnya pelan—cukup untuk membuatku menahan suara yang nyaris saja keluar.
Ia melepaskan gigitannya sebentar sebelum kembali bergerak di sepanjang leherku dengan sentuhan ringan, seolah ingin membuatku kehilangan fokus. Ia kemudian naik ke telingaku, menghisap dan menekannya dengan lembut sebelum mengecupnya singkat. Jo tampak sangat memahami efek perbuatannya padaku… dan ia jelas menikmati melihatku berada dalam posisi seperti ini, begitu mudah dipengaruhi olehnya.
Jo menundukkan wajahnya hingga jarak di antara kami menjadi sangat dekat. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya, kuat dan intens, membuat detak jantungku meningkat jauh lebih cepat dari biasanya.
“Rara...” bisiknya.
Suaranya terdengar lebih rendah dan berat dibanding sebelumnya. Tatapannya jelas menunjukkan keinginan, ia menurunkan bibirnya lalu menyentuh bibirku. Ciuman pertamanya ringan, sekadar menyatukan bibir kami. Namun setelah beberapa saat, Jo memperdalam ciumannya, membuat gerakannya menjadi lebih tegas.
Aku berusaha menjaga napasku tetap stabil agar tidak terdengar terlalu jelas, tetapi Jo seolah menyadari hal itu. Ia kembali memperdalam ciuman itu hingga lidah kami bersentuhan dalam ciuman yang lebih intens.
Kami terus berciuman dengan intensitas yang cukup tinggi. Tubuhku mulai melemah, membuatku harus berpegangan pada bahunya agar tetap stabil. Jo kemudian menarikku lebih dekat; tangan yang sebelumnya berada di pinggangku bergerak turun ke punggung, menahan tubuhku sepenuhnya dalam dekapannya.
Ciumannya semakin dalam, cukup kuat hingga membuat bibirku terasa basah. Aku berusaha menahan respons suaraku, tetapi dorongan itu semakin sulit dikendalikan seiring kedekatan di antara kami.
Jo lalu melepaskan ciumannya hanya agar aku bisa menarik napas, tetapi pelukannya tetap erat. Ia menatapku singkat sebelum wajahnya turun ke leherku. Ia mengecup kulitku dengan lembut, seolah menyusuri setiap bagian yang dapat dijangkaunya. Sentuhan bibirnya hangat dan membuatku semakin sulit mempertahankan kendali diri. Untuk beberapa saat, ia menjelajahi leherku dengan sentuhan yang tenang namun tetap tegas.
Jo kemudian mengangkat wajahnya perlahan. Sorot matanya menunjukkan dorongan yang jelas, dan napasnya yang berat menyentuh kulitku ketika ia menatapku dari atas ke bawah. Tangannya bergerak menyusuri sisi tubuhku dengan hati-hati sebelum akhirnya berhenti tepat di payudaraku.
Ia terus menatapku tanpa mengatakan apa pun, seolah sedang menimbang langkah berikutnya. Dari caranya melihatku, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, sehingga aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Jo kemudian menundukkan wajahnya dan menyentuhkan bibirnya pada payudaraku— tidak secara langsung pada area sensitif, tetapi cukup dekat untuk membuatku sulit bernapas.
Sensasi itu membuat seluruh kulitku bergetar. Bibir Jo terasa hangat dan lembut saat ia naik pelan-pelan sampai ke puncak payudaraku. Ketika akhirnya ia menyentuh titik itu dengan ujung lidahnya—sekadar singgungan kecil—reaksiku langsung memuncak.
“Jo—!!!”
Suaraku pecah lebih keras dari yang kusangka ketika tangannya meremas payudaraku dengan kuat, sementara mulutnya tetap bekerja dengan ritme yang membuatku kehilangan fokus sepenuhnya. Tubuhku melengkung tanpa bisa kutahan, seolah reflek alami yang tidak mampu kulawan.
“Bagus,” bisiknya, suaranya terdengar serak karena napasnya yang mulai berat.
“Reaksimu... selalu bikin penisku makin keras.”
Jarinya terus bergerak dan mengeksplorasi dengan mahir—tidak terburu-buru tapi juga tidak memberi waktu untukku memikirkan apapun selain sensasi panas itu. Setiap gerakannya mengirimkan sensasi hangat yang memusat di satu titik, tanpa menyentuh area yang benar-benar sensitif.
“Kamu mau lebih?” tanyanya sambil menjilat ujung putingku perlahan sebelum menariknya ke mulutnya lagi.
Jo tahu jawabannya bisa ia baca dari reaksiku, tetapi ia seolah tetap menginginkan pengakuan langsung dariku. Napas yang keluar dari mulutku benar-benar tidak stabil saat tubuhku berusaha mengikuti ritme sentuhannya.
“Ya! Please, masukin,” pintaku dengan nada dan wajah yang memelas.
Jo menarik mulutnya dari payudaraku dengan senyum puas. Tatapannya begitu kuat dan penuh nafsu, seperti sedang mempertimbangkan langkah berikutnya dengan sungguh-sungguh. Bibirnya terbuka hanya untuk menyuarakan satu pertanyaan yang pendek, namun jelas sarat isyarat.
“Masukin apa… di mana?” tanyanya dengan nada rendah.
Suasana di ruangan terasa semakin menegangkan. Aku merasakan pipiku memanas, dan tanpa sanggup menjelaskan secara verbal, aku hanya mengangkat tanganku perlahan lalu memberi isyarat ke arah vaginaku.
Jo tersenyum lebih lebar, jelas memahami isyaratku dan terlihat terpana oleh jawabanku. Kedua tangannya mencengkeram payudaraku sedikit lebih kuat—menunjukkan dominasinya dalam situasi ini.
“Good girl,” katanya dengan nada rendah.
Mata kami saling bertemu, dan rasanya seluruh ruangan mengecil hingga hanya menyisakan kami berdua. Napasku masih tidak teratur, sementara ia memandangku dengan intensitas yang sulit kujelaskan.
“You're mine,” bisiknya.
Kali ini ucapannya terdengar lebih jelas, seolah ia ingin memastikan aku mendengarnya tanpa ragu.
Aku tahu ia sedang menahan banyak hal di balik tatapannya. Ia selalu bisa membaca keinginanku tanpa aku perlu mengatakannya. Ketika aku menatap balik ke matanya lebih lama dari biasanya, ada komunikasi diam yang mengalir—sesuatu yang membuatku tak sanggup berpaling.
Akhirnya, dengan suara hampir seperti bisikan yang hanya bisa kudengar karena kedekatan kami, ia berkata:
“Mau coba masukin sendiri?”
Aku sempat terkejut, bukan karena tidak memahami maksudnya, tetapi karena ia mencoba memberiku kendali dengan cara yang tidak biasa. Ada makna yang lebih dalam di balik pertanyaannya—seolah ia ingin melihat bagaimana aku merespons bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara keberanian dan kepercayaan.
Dan aku… memang menginginkannya. Aku mengangguk, memberi jawaban tanpa kata.
Ia lalu mencondongkan tubuhnya, memberi ciuman singkat di bibirku—cukup untuk menenangkan degup jantungku sekaligus menegaskan kedekatan kami. Setelah itu, ia duduk tegak, memberi ruang dan kesempatan bagiku untuk bergerak sesuai isyarat yang baru saja ia berikan.
Aku merasakan ketegangan saat aku bergerak, meletakkan tanganku di atas lengan Jo. Sementara tangannya masih berada di kedua payudaraku, mengeratkan genggaman seolah ia ingin memastikan aku tidak kehilangan kendali, namun tetap memberi ruang bagiku untuk mengambil langkah berikutnya.
Aku menggenggam salah satu tangannya dengan hati-hati, menuntunnya turun. Sentuhan Jo menyusuri pinggangku pelan, lalu bergerak ke bagian dalam pahaku. Saat kulitku tersentuh, aku refleks menahan napas.
Ia melirikku sebentar, seolah memastikan ia melihat jelas bagaimana tubuhku bereaksi ketika tangannya turun. Aku tahu ia memang ingin melihat itu, dan aku tak bisa menyembunyikan apa pun. Jemariku otomatis mengencang di lengannya setiap kali ia menyentuhku, membuat detak jantungku makin cepat.
Ketegangan di tubuhku makin terasa setiap gerakannya mendekati vaginaku. Ada keinginan kuat yang membuatku hanya bisa menunggu, berharap ia tahu apa yang kubutuhkan tanpa harus kukatakan.
Saat tangannya menyentuh vaginaku, seluruh tubuhku menegang. Ia memang belum menyentuh tempat yang benar-benar kupikirkan, tapi cukup dekat untuk membuatku terdiam dan kehilangan kendali atas napasku. Ketika ia menatapku dengan pandangan intens itu, tubuhku hampir goyah.
“Jo…”
Suaraku pecah, terdengar seperti bisikan yang memohon tanpa berani mengatakan lebih.
Tanpa menjawab, ia menggeser jarinya sedikit. Gerakannya pelan dan terukur, sampai ujung jarinya menyentuh titik paling sensitif di vaginaku—tidak langsung, masih tersamar, tapi cukup untuk membuatku tersentak. Tubuhku dipenuhi sensasi hangat yang menyebar cepat, dan tanganku mencengkeram lengannya.
Jo mengamati reaksiku dengan tatapan penuh kepuasan, menikmati setiap kegelisahan yang ia timbulkan.
“Kamu… reaktif banget,” gumam Jo pelan.
Suaranya serak dan puas ketika dua jarinya menekan area luar vaginaku. Sensasi itu membuat getaran naik dari perut hingga dadaku; tubuhku sudah siap menerima apa pun, tapi pikiranku masih terhuyung antara rasa malu dan keinginan yang menyesakkan. Kemudian tanpa peringatan apapun ia memasukkan dua jari itu— masuk lebih dalam, lebih terarah—perlahan, terukur, dan membuatku merasakan setiap detik gerakannya.
Jo mengeluarkan suara rendah—campuran tawa dan desahan puas—begitu melihat betapa cepat tubuhku bereaksi pada sentuhannya.
“Jadi kamu bisa sampai begini… cuma karena aku sentuh sedikit?” godanya, suaranya dekat di telingaku.
Tekanan jarinya makin terarah, bergerak lebih dalam namun tetap terkendali. Sentuhannya tidak lagi sekadar menjelajah; ada intensitas yang membuat seluruh tubuhku menegang, seolah setiap inci sarafku menyala saat ia terus memberikan dorongan halus namun berulang.
“Aku mau dengar suaramu,” bisiknya lembut, sambil menjilat pelan bagian bawah telingaku.
“Biar aku tahu… seberapa keras kamu nahan semuanya.”
Tangan satunya naik ke dadaku, menggenggam payudaraku dengan tekanan yang membuatku terisak pendek. Ia menarik ringan putingku, mengatur tempo yang membuatku tidak bisa menahan gelombang sensasi yang datang bersamaan dengan gerakan tangannya yang keluar masuk tanpa ampun di vaginaku.
Jo menarik napas dalam-dalam, matanya tidak lepas dari wajahku yang mulai kehilangan kendali.
“Tahan,” bisiknya, suaranya serak dan terarah.
Cengkeramannya di payudaraku mengencang—cukup membuatku mendesah pendek karena rasa sakit manis yang memaksa tubuhku semakin melekat padanya.
Dengan gerakan tiba-tiba, ia memutar dua jarinya di dalam sambil menekan titik sensitif di dinding vaginaku. Sensasinya begitu dalam dan tiba-tiba hingga membuat punggungku melengkung tanpa bisa kuhentikan. Mulutku terbuka, tapi tidak ada suara keluar selain napas pendek yang terdengar kacau.
“Bagus,” godanya dengan nada puas, seolah menikmati betapa mudahnya ia menemukan titik terlemahku.
Ia terus menggulirkan tekanan dengan ritme cepat namun tetap terkontrol—bukan asal-asalan, tetapi seperti sengaja menguji batas setiap respons tubuhku. Ketika salah satu tangannya turun lagi ke antara pahaku yang sudah bergetar… Jo berhenti sejenak hanya untuk melihat ekspresi wajahku. Ia menyeringai, jelas tahu betapa kuat posisinya saat ini. Jo mendekatkan wajahnya sampai bibirnya hanya beberapa sentimeter dari telingaku.
“Masih tahan?” tanyanya, seperti ingin mendengar jawabanku meski ia pasti tahu aku tidak punya kendali lagi.
Aku hanya mengangguk. Aku bahkan tidak yakin bisa bicara; tubuhku terlalu sensitif oleh setiap sentuhannya.
Jo tahu aku sudah berada di batas. Tapi seperti biasa, ia suka membuatku menunggu—hanya agar pada akhirnya akulah satu-satunya yang kehilangan kendali. Tatapannya menahan wajahku, memperhatikan setiap ekspresiku yang sudah tegang dan sulit fokus, seolah ia menikmati cara reaksiku semakin sulit disembunyikan.
Jo menarik napas perlahan, matanya menggelap saat ia memperhatikan ekspresi wajahku yang semakin sulit kukendalikan. Senyum nakalnya melebar—ia tahu betul betapa rapuh aku sekarang.
“Tahu nggak...” bisiknya sambil menekan dua jarinya lebih dalam, ritmenya makin tak beraturan dan brutal.
“Dari sini aja aku bisa lihat… kamu udah mulai kayak p*****r nakal.”
Jo tiba-tiba menghentikan gerakannya sama sekali, membuatku terengah dan kehilangan pijakan seolah sesuatu yang menahanku ditarik begitu saja. Tubuhku refleks maju untuk meminta lebih, tapi ia hanya tersenyum. Tangan besarnya mencengkeram pahaku, menghentikanku agar tidak bergerak tanpa izinnya.
“p*****r nakal yang mengemis untuk dipuaskan,” ucapnya pelan.
Nada suaranya seperti ancaman yang dibungkus godaan. Ia mengusap bibir vaginaku dengan ujung jarinya, seolah sengaja mengukur betapa rapuhnya aku di hadapannya.
“Lihat nih… vaginamu sudah banjir, sedikit lagi pasti muncrat.”
Nafasnya terdengar stabil; namun sebaliknya, nafasku berantakan. Tangannya menyambar belakang leherku, mencengkeram lembut tapi kuat, membuatku tak bisa menoleh ke arah lain selain dia.
“Mau o*****e lagi?” bisiknya, suaranya rendah namun mengintimidasi.
Pertanyaannya belum sempat selesai ketika tangannya menepuk pinggulku dengan keras—bukan menyakitkan, tapi cukup membuatku terkejut dan kembali menahan napas.
“…silahkan masukin dan gerak sendiri.” lanjutnya dengan nada yang jelas menunjukkan kalau ia sudah tahu jawaban sebenarnya, bahwa aku memang benar-benar mendambakan sensasi itu lagi.
Jemarinya menyentuh ujung klitorisku dengan sentuhan canggung yang sengaja dibuat terlalu ringan untuk kepuasan sebenarnya. Aku menggigit bibir tanpa bisa menahan desahan saat tangannya bergerak lebih dalam.
“Lihat,” bisik Jo sambil memperlihatkan dua jarinya yang sudah berkilau karena cairanku sendiri.
“Vaginamu sendiri nggak bisa bohong…”
Aku hanya bisa menatapnya dalam-dalam. Ia tampak puas dengan sikapku. Tangan besarnya bergerak naik ke rambutku dan menariknya perlahan, membuatku harus mendongak hingga wajahku tepat di depan wajahnya.
Jo menurunkan wajahnya sampai bibir kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Napas hangatnya menyentuh kulitku, membuat detak jantungku semakin cepat. Ia menatapku sebelum akhirnya tersenyum dan berbisik,
“Lagipula… aku suka lihat kamu kayak gini.”
Aku tahu Jo suka ketika aku berada dalam keadaan seperti ini—sedikit kehilangan kendali, dan fokusku hanya ada padanya. Ia masih tetap terlihat dominan walaupun ia berada di bawahku, aku tahu ada sesuatu yang lebih lembut di balik itu; bagian dirinya yang hanya ingin melihat sisi rentan dan manisku yang memang hanya kutunjukkan padanya.
Jo menghela napas, matanya gelap dan penuh penuh nafsu saat ia menatapku dengan tatapan yang bercampur antara tantangan dan kepuasan yang membuatku sulit beranjak. Ia tetap duduk di depanku, dengan kakinya terbuka lebar, penisnya tegak dan berkilau karena cairan yang sudah mulai menetes dari ujungnya.
“Nih,” katanya sambil mencengkeram pangkal pahaku, cukup kuat untuk membuatku tidak bisa mengelak.
“Masukin sendiri.”
Suaranya serak namun tetap tegas, seolah memberi perintah yang ia tahu akan langsung meresap ke dalam tubuhku. Satu tangannya bergeser ke bagian dalam pahaku, jarinya menyapu kulit sensitif di sana sebelum bibirnya menempel sebentar di bibirku—ringan, namun intens seperti tanda kepemilikan.
Aku menarik napas gemetar. Tanganku sendiri terangkat, menyentuh p***s Jo, mencoba untuk menyelipkan sedikit demi sedikit ke vaginaku yang sudah sangat basah hingga masuk seluruhnya.
Jo menatapku dengan sorot mata yang semakin gelap, pupilnya membesar seolah ia sedang menahan sesuatu yang hampir meledak. Napasnya bergetar—seakan kedekatan tubuhku membuatnya sulit menjaga kendali.
“Dasar…” bisiknya serak sambil mencengkeram pinggulku lebih kuat.
“Kamu memang cocok jadi p*****r nakal.”
Tanpa sadar tubuh Jo terangkat, mengikuti setiap gerakan halusku saat aku mulai pelan-pelan naik turun. Kami saling menahan napas; setiap geseran tubuh membuat ketegangan di antara kami memanas.
“Pelan-pelan dulu,” gerutunya—meskipun tangannya justru menarik pinggulku lebih dekat, membuat gerakanku tak stabil dan jauh lebih dalam dari yang kusangka.
Jo menarik napas tajam saat aku mulai bergerak. Tangannya mencengkeram pahaku kuat—tidak menyakitkan, tapi jelas membuatku tidak bisa ke mana-mana. Gerakan kecil itu membuat tubuhku otomatis menegang, seolah ia sengaja memastikan aku merasakan setiap perubahan posisi kami.
Tangannya turun ke paha dalam, menekan perlahan seperti sedang membimbing ritme tubuhku tanpa benar-benar memegangku.
“Nih… lihat cara kamu harus gerak.”
Aku membelalakkan mata ketika ia membuatku bergerak mengikuti ritme yang ia mau—tidak terlalu cepat, tidak terlalu pelan—dan sensasinya cukup kuat sampai keringat dingin mulai mengalir dari pelipisku.
Jo menghela napas dalam, matanya menggelap saat menatapku yang mulai kehilangan kendali. Ada sesuatu dalam tatapannya—campuran tantangan dan kepuasan—seolah ia sengaja menahan diri hanya untuk melihat sampai mana aku berani mendorong batas.
“Lebih dalam,” desisnya, suara serak namun penuh kuasa.
Tangannya mencengkeram pahaku, kuat tapi tetap terukur, membuatku terasa benar-benar berada dalam genggamannya. Aku mencoba mengikuti ritme yang ia minta—bergerak perlahan, naik dan turun seirama dorongan halus tubuh Jo. Tapi ia tidak sabar.
Dengan gerakan cepat, Jo menyambar pinggangku dan menarikku turun ke arahnya—membuat tubuh kami bertaut begitu dekat hingga aku terengah.
“A-Ah! J-Jo!” seruku tanpa sengaja saat kedekatan itu menghantam rasa dan pikiranku bersamaan.
Ia hanya tersenyum kecil, senyum yang entah bagaimana dingin dan hangat sekaligus.
“Kenapa?” godanya pelan.
“Ada masalah?”
Ia menahanku tetap dekat, tidak memberi kesempatan untuk menjauh. Nafasnya berat di leherku, sementara tubuhku bereaksi tanpa bisa kuhentikan. Tangannya naik ke payudaraku lalu meremas lembut namun tegas.
“Dasar…” bisiknya ketika wajahku memerah dan mataku berkaca-kaca.
“…kamu benar-benar cocok jadi p*****r. p*****r pribadiku.”
Jo berbicara dengan suara serak—kata itu keluar dari mulutnya seperti ejekan, tapi aku tahu maksudnya lebih dari sekadar itu. Tatapannya menusuk dalam, seolah ia bisa melihat sisi rentan yang hanya muncul ketika aku berada di hadapannya. Dan yang membuatku makin kehilangan kendali adalah… ia jelas menikmati itu.
Aku menatapnya lama, mencoba menstabilkan napas yang sudah berantakan sejak tadi. Baru setelah beberapa detik aku bisa mengumpulkan cukup keberanian untuk membalas.
“…aku memang pelacurmu, Jo.”
Jo menghela napas, matanya menyala ketika mendengar pengakuanku. Tangannya langsung mencengkeram pinggangku lebih kuat—seolah memastikan aku tidak bisa menarik kembali kata-kataku barusan.
“Yeah… you are,” bisiknya serak, suara itu penuh penguasaan yang membuat tubuhku semakin tegang.
Tubuhku terpaku di hadapannya—dengan cermin sebagai saksi—dan untuk sesaat aku melihat diriku sendiri dengan jelas: rapuh, tunduk, tapi… hidup. Dan semakin ia menahanku seperti itu—semakin aku menyadari sesuatu yang menakutkan tapi terasa benar: setiap detik bersamanya membuatku seperti terlahir kembali… menjadi perempuan yang lebih liar dari yang pernah aku bayangkan.