Chapter 1 - Cemburu

1493 Words
Nadhifa turun dari mobil dengan di gendong oleh Azzam, mereka baru saja sampai di rumah setelah pergi ke KUA untuk mengurus berkas-berkas pernikahan. Sekarang semua surat-surat itu telah selesai dan mereka telah resmi menikah secara agama dan hukum. Nadhifa duduk di kursi roda menunggu Azzam untuk membawanya masuk. Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita cantik berbalut pakaian merah muda dengan senyuman merekah menyambut kepulangan mereka. “Nadi, kamu nggak pusing kan?” tanya Reina. Nadhifa tersenyum, “Iya kak, alhamdulillah nggak pusing. Mungkin karena perginya sebentar.” Reina tidak menanggapi Nadhifa, dia menyalami tangan suaminya Azzam lalu mencium pipinya lembut. Nadhifa hanya bisa menundukkan pandangan ketika melihat adegan manis itu. Setelah menit-menit itu, Azzam langsung mencubit pipi Reina sayang. Semuanya di saksikan langsung oleh Nadhifa, dia hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah lain karena tidak sanggup melihatnya. Seorang asisten rumah tangga langsung membawa Nadhifa masuk ke kamarnya dan memapahnya untuk beristirahat di tempat tidur. Asisten rumah tanga itu melihat Nadhifa dengan pandangan kasihan lalu keluar dari kamar. Begitulah kehidupan Nadhifa setelah satu minggu di bawa ke rumah Azzam dan Reina, pasangan suami istri yang begitu saling mencintai satu sama lain dan tidak segan untuk memperlihatkan kasih sayang mereka di depan keluarga. Nadhifa selalu mengagumi mereka dulu, bahkan ingin membina kehidupan berumah tangga seperti pasangan itu tetapi takdir berkata lain. Dia harus menjadi wanita kedua di rumah ini, di pernikahan calon kakak iparnya sendiri. Tragedi kecelakaan itu merenggut kedua orangtua dan calon suaminya. Dalam semalam keluarganya di jemput oleh Tuhan dan dia ditinggalkan seorang diri di dunia. Bahkan terjebak di dalam rumah tangga orang lain. Suara ketukan pintu memecah lamunannya, “Dek, kamu tidur?” “Nggak kak, lagi buka jilbab.” jawab Nadhifa. Nadhifa sudah hapal suara Reina, wanita itu kemudian masuk dengan membawakannya nampan penuh dengan makanan. Reina menarik kursi lalu duduk di dekat Nadhifa. “Sini kakak bantuin.” Ucap Reina ramah. Nadhifa melihat wanita itu mengambilkan baju gamis di dalam lemari lalu membantunya mengganti pakaian. Dia sudah mengenal Reina sangat lama, bahkan dia jugalah yang menjaganya di rumah sakit setelah siuman. Reina membantunya tanpa rasa marah ataupun kesal kerena dia telah membuat mereka harus membagi suami. “Kamu harus banyak makan, Nad. Supaya cepat sembuh, pasti nggak lama lagi kamu bisa jalan lagi.” ucap Reina sembari memijit kaki Nadhifa. Nadhifa memegang lembut lengan Reina, “Jangan di pijit kak, nanti aku malah tidur. Udah mau dzuhur.” Reina mengangguk, “Ya sudah, kamu makan dulu ya. Kakak mau ke dapur, buatin Mas Azzam kopi. Kepalanya sakit katanya.” “Iya kak.” Nadhifa akhirnya bisa menghela napas lega setelah kepergian Reina. Dia merasakan Reina sangat baik dan merasa sangat menyesal karena ayahnya malah menikahkannya dengan Azzam. Andai saja ayahnya tidak melakukan apa-apa. Walaupun dia akan sebatang kara, Nadhifa lebih rela hidup sendiri dari pada menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain. … Nadhifa kembali di jemput salahs atu asisten rumah tangga untuk shalat duhur. Mereka selalu shalat berjamaah bersama, Nadhifa merasa sangat merepotkan karena dia masih duduk di kursi roda. “Semoga kamu cepat sembuh, dek.” Ucap Azzam setelah dia mencium tangannya. Mereka dalam perjalanan menujukamar Nadhifa, kebetulan kali ini Azzam yang mengantarnya. Dia menjadi lebih gugup ketika bersama dengan Azzam padahal mereka bukan orang asing. Nadhifa mengangguk, “Iya, Mas. Nadi harus lebih giat ikut terapi biar cepat sembuh.” “Oh, iya. Mas baru ingat, kalau besok nggak bisa ngantar kamu ke rumah sakit. Di rumah orangtua Rei ada acara keluarga, jadi Mas harus temenin Rei. Nggak enak kalau Mas nggak datang. Kamu pergi sama sopir lagi, nggak apa-apa kan?” tanya Azzam. “Tapi, Mas minggu kemarin sudah janji mau temani Nadi terapi.” Ucap Nadhifa dengan wajah tertunduk. Azzam terdiam, bibirnya menipis. “Maaf ya, acaranya juga dadakan. Mas janji minggu depan pasti antar kamu ke rumah sakit. Kita pergi sama-sama.” Nadhifa mengangguk dalam diam, sebulir air mata jatuh di sudut matanya. Azzam langsung menghapus air mata itu, dia mengusap pipi Nadhifa lembut lalu mencium puncak kepalanya. “Maafin Mas, ya dek. Mas juga masih belajar menerima kamu sebagai istri Mas. Semoga kedepannya lebih baik lagi, kalau ada yang salah atau yang mengganjal di hati kamu, silahkan beritahu Mas.” Ucap Azzam lalu mencubit ujung hidung Nadhifa. Nadhifa berkaca-kaca, dia sudah hafal kata-kata itu. Azzam sering mengucapkannya ketika mereka sedang kumpul keluarga, mereka memang sangat dekat tetapi dulu hanya sebatas hubungan kakak dan adik. Tidak lebih dan tidak kurang karena Nadhifa juga tidak punya perasaan apa-apa kepada Azzam. “Mas, kenapa dulu mas nggak nolak waktu ayah minta menikahi Nadi?” tanyanya dengan air mata menetes. Azzam terdiam, pria itu menangkup wajah Nadhifa lalu menghapus air matanya dengan sangat lembut. “Mas sudah anggap ayah kamu sebagai ayah sendiri, Nad. Mas nggak bisa menolak.” “Tapi, bagaimana dengan kak Rei, Mas? Pasti dia menolak, bukan?” tanya Nadhifa dengan isak tangis. Azzam mengusap rambut Nadhifa, “Reina juga menerimanya, Nad. Dia yang malah mendukung Mas untuk menikahi kamu.” “Tapi, kenapa Mas? Andai kalian menolak, pasti ayah juga tidak akan memaksa. Aku bisa berjuang sendiri.” jawab Nadhifa. Azzam menggeram rendah. Dia tidak bisa membayangkan Nadhifa, adik kecilnya itu berjuang hidup sendiri. Azzam tidak pernah menginginkan hal itu dan memutuskan untuk tidak membiarkan Nadhifa hidup menderita karena kehilangan keluarga. Azzam memang peduli kepada Nadhifa, mereka kenal sejak kecil bahkan biasa bermain bersama sampai menikahpun hubungan mereka berdua masih sangat akrab, tetapi setelah mereka menikah entah kenapa perasaan Azzam mengatakan selalu ingin menjauh dari Nadhifa. “Sshh… kamu jangan mikirin yang aneh-aneh, Nad. Sekarang, semuanya nggak bisa di batalkan, termasuk pernikahan kita. Itu keputusan yang Mas ambil sendiri.” jawab Azzam tegas. Nadhifa menatap kedua mata Azzam, wajah pria itu terdapat gurat-gurat khawatir dan matanya pun sedikit menghitam. Sangat jelas jika Azzam sedang banyak pikiran dan mungkin saja pria itu memikirkan tentang dirinya. Ini pertama kalinya mereka membicarakan hal itu setelah Nadhifa pendam selama hampir dua bulan. Mereka tidak pernah membahasnya dan bahkan beraktivitas seolah tidak terjadi apa-apa di kehidupan mereka. “Mas bisa mencerai…” kan aku. Kata-kata itu tidak akan pernah lengkap karena tiba-tiba Azzam mencium pipinya dan membua Nadhifa terkejut. “Mas ngapain?” “Cium kamu, supaya berhenti ngomong yang aneh-aneh. Jangan pernah berpikir tentang berpisah Nadi. Mas sampai mati tidak akan mau melakukannya.” Ucap Azzam. Azzam mengangkat Nadhifa lalu membantunya untuk duduk di tempat tidur. “Badan kamu kenapa semakin ringan, Nad? Kamu nggak nafsu makan? Atau bosan?” Nadhifa menggeleng, “Siapa bilang aku ringan, Mas. Beratku masih lima puluh enam minggu kemarin.” “Itu ringan, Nad. Dulu kamu sempat enam puluh kan?” tanya Azzam sembari menyipitkan mata. Nadhifa tersenyum, dia mengenali Azzam yang ini. Azzam yang sellau menjahili dan bersikap ramah kepadanya sebagai kakak. “Ck, itu pas lagi stres ya. Jadi, ngemil terus. Lagian, dulu Mas nggak pernah gendong Nadi.” “Siapa bilang? Pernah pas kita ke puncak. Ah, Mas kena hukuman karena kalah jadi harus gendong kamu yang lagi tembem banget. Pinggang Mas sampai mau patah.” Ucap Azzam lalu terkekeh. Nadhifa mendelik, “Ih, nyebelin. Mas dulu yang masih kayak kerupuk jadi nggak bisa gendong Nadi!” Azzam langsung menggelitik Nadhifa, dia gemas karena perempuan itu menjulurkan lidahnya. Hal yang termasuk terlarang di antara mereka karena sebuah kesepakatan kecil yang terjadi saat mereka masih remaja. “Nakal ya kamu, Mas masa di kasih begitu.” Ucap Azzam semakin menggelitiki pinggang Nadhifa. Nadhifa mencekal lengan Azzam, berusaha melepaskan tangan suaminya itu dari pingganggnya. Mereka tertawa bersama, tawa pertama setelah serentetan kejadian yang mengubah hidup mereka. “Ah, Mas. Geli!” ucap Nadhifa sembari tertawa. Azzam ikut naik ke tempat tidur dan menindih Nadhifa di bawahnya agar lebih leluasa menggelitikinya. Nadhifa berusaha melawan sekuat tenaga, Azzam tahu jika Nadhifa tidak bisa menggerakkan kakinya, dia memposisikan dirinya di tempat yang aman agar Nadhifa tidak kembali terluka. Mereka berdua tertawa, Nadhifa membalas gelitikan Azzam sama cepatnya dan membuat mereka saling menyerang silih berganti. Kamar itu di penuhi suara tawa yang melegakan hati, suasana hangat yang terasa sangat langka. “Nadi, kamu lihat Mas Azzam…nggak? Eh, Astagfirullah, maaf…” Reina yang baru saja membuka pintu kamar terkejut dan langsung menutupnya kembali. Azzam menoleh dan langsung bangkit dari tempat tidur, dia mengambil langkah lebar dan mengejar Reina. Tiba-tiba rasa sesak langsung menyerang hati Nadhifa ketika mendengar pintu kamarnya tertutup kencang karena Azzam terburu-buru menutupnya. “Apa dosaku sampai aku harus menjadi duri di pernikahan mereka berdua. Ya Allah… apa yang harus aku lakukan?” ucap Nadhifa tergugu. Suara tawa dan rasa hangat di kamar itu tiba-tiba terasa dingin. Hati Nadhifa langsung terasa kosong kembali diiringi rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Rasa sesak sampai tenggorokannya tercekat. Buliran bening air mata kembali menetes dan jatuh di pipinya. Belum sampai satu menit yang lalu bahkan dia masih tertawa tetapi semuanya menghilang dalam sekejap dia mengedipkan mata. Nadhifa juga ingin bahagia, tapi apakah dia sanggup bahagia dengan menjadi istri kedua? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD