Chapter 2 - Kejujuran

2034 Words
Hari itu, makan malam berlangsung dengan keheningan. Tampak bahwa Reina tidak ingin menatap Nadhifa. Dia sendiri juga makan dengan diam, seseakali ia melirik pasangan di depannya tetapi mereka juga melakukan hal yang sama. Tadi, Nadhifa ingin makan di kamar seperti biasa tetapi Azam menjemput dan mengajaknya makan bersama di meja makan. Rasa lapar Nadhifa seketia menguap, rasanya nasi yang dia telan hanya bisa masuk sampai tenggorokan. Nadhifa terpaksa menelannya dengan bantuan air. Itu dia lakukan agar makanannya habis dan selama tidka di perhatikan oleh Reina dan Azzam. “Jangan buru-buru, Nadi. Nanti kamu keselek, ada yang mau kerjain?” tanya Azzam ketika melihat Nadhifa berusaha makan dengan terburu-buru. Nadhifa melebarkan matanya terkejut, “Eh, Nadi kebelet Mas.” Dia merasa ingin menenggelamkan diri karena berbohong. Azzam langsung berdiri dan membawa Nadhifa ke dalam kamar, wajah Nadhifa memerah karena malu. Ini pertama kali Azzam membantunya di kamar mandi. Selama ini, para asisten rumah tangga atau Reina yang melakukannya. Nadhifa menahan lengan Azzam ketika akan mengunci pintu kamar mandi. “Mas tunggu di luar aja.” Ucapnya gugup. Azzam menggeleng, “Kenapa? Nanti kamu jatuh, Mas tungguin di dalam aja. Mau mas bantuin buka celananya?” Nadhifa mengangguk patah-patah, kedua kalinya yang masih lemah membuatnya belum bisa berjalan apa lagi menggerakkannya. Kemana-mana dia harus memakai kursi roda dan urusan di dalam kamar mandi pun harus di bantu. Azzam memindahkan tubuh Nadhifa untuk duduk di atas kloset duduk. “Mas…” Nadhifa memegang leher Azzam ketika suaminya itu mengangkatnya pelan sebelum membantunya menarik celana. Azza menaikkan kedua alisnya, “Kenapa? Dari tadi panggil Mas terus.” Nadhifa menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Azzam, “Malu.” “Ngapain malu sama Mas sendiri. Nah, biar kamu nggak malu, Mas hadap ke pintu aja.” Ucap Azzam lalu berbalik. Jantung Nadhifa berdetak kencang, wajahnya sangat merah menahan malu. Bahkan walaupun Azzam menghadap ke arah pintu, pria itu masih bisa mendengar apa yang dia lakukan. Beruntung kali ini dia sedikit berbohong agar terlepas dari suasana di meja makan tadi. “Mas, sudah.” Ucap Nadhifa gugup. Sebenarnya, jika saja bisa Nadhifa ingin beraktifitas sendiri. Bayangkan saja, setiap ke kamar mandi dia harus memeluk erat leher Azzam dan membiarkan suaminya itu membantunya agar tidak terjatuh. “Cuma kayak gini, ngapain malu sama Mas sendiri.” ucap Azzam lalu membantu Nadhifa duduk kembali di kursi roda. Nadhifa hanya bisa mengigit bibirnya, apalagi ketika dia lagi-lagi di bantu Azzam untuk berbaring di tempat tidur. “Kamu istirahat ya.” Azzam mencium puncak kepala Nadhifa lalu mematikan lampu kamar. “Mas! Lampunya jangan di matikan!” ucap Nadhifa panik lalu kehilangan kesadaran. .... Azzam membeku, dia lupa kalau Nadhifa tidak suka dengan gelap. Di tambah rasa trauma kecelakaan membuat istrinya itu langsung panik. Azzam langsung kembali menyalakan lampu dan menemukan Nadhifa tidak sadarkan diri. “Nadi? Nadi? Bangun, Nad.” Ucap Azzam sembari mengguncang-guncangkan tubuh Nadhifa.  Azzam panik saat Nadhifa sama sekali tidak merespon, dia langsung keluar dan mengambil ponsel yang dia tinggalkan di meja makan. Reina langsung panik melihat Azzam yang pucat. “Ada apa, Mas?” tanya Reina ikut panik. Azzam menoleh ketika dia kembali lagi ke kamar Nadhifa, “Nadi pingsan.” “Eh, jangan-jangan Mas matiin lampunya?” Azzam mengangguk dan langsung di tatap mengerikan oleh Reina. Pasangan suami istri itu langsung berlari ke kamar Nadhifa. Mereka menemukan hidung Nadhifa berdarah ketika masuk. “Aduh, Mas. Masa bisa lupa, kan Nadi takut sama gelap. Aku tahu Mas cuma anggap Nadi sebagai adik. Tapi, nggak gini juga.” Ucap Reina khawatir. Azzam hanya berdiri di ujung tempat tidur, dia mengetatkan rahangnya. Setelah kejadian tadi sore, dia sedikit berdebat dengan Reina dan itulah yang memicu mereka tidak saling bicara di meja makan. Azzam mengaku di depan Reina jika tadi sore itu hanya kesalahan dan dia melakukannya karena rindu melihat Nadhifa tertawa. Azzam tidak memiliki perasaan lebih kepada Nadhifa dan hanya menganggapnya sebagai adik sendiri. Seperti dulu. Beruntung Nadhifa sadarkan diri setengah jam kemudian. Mereka membiarkan Nadhifa beristirahat dan Azzam mengajak Reina masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Besok adalah hari penting untuk mereka. Azzam akan menemani Reina ke dokter kandungan, mereka sedang menjalani proses untuk mendapatkan buah hati setelah menunda selama tiga tahun. Azzam menarik Reina ke dalam pelukannya, “Semoga besok kita dapat kabar baik sayang.” Reina mengangguk lalu tersenyum dan membalas pelukan Azzam, rasa bahagianya semakin membuncah karena dia sudah telat halangan selama dua bulan. Azzam mencium puncak kepala Reina lalu sama-sama tertidur karena tidak sabar untuk mendapatkan kabar bahagia besok Maaf, Nadi. Mas berbohong sama kamu. … Pagi-pagi sekali, setelah melihat Nadhifa berangkat ke rumah sakit untuk terapi. Azzam dan Reina bersiap untuk pergi ke rumah sakit lain, mereka saling tersenyum dan berangkat dengan suasana hati yang bagus. Mereka juga sudah membuat janji dengan dokter kenalan keluarga yang sudah sangat di percaya oleh calon ibu yang akan mengandung. Azzam tidak pernah berhenti tersenyum dan bahkan selalu menggandeng tangan Reina dengan erat. “Selamat pagi Pak Azzam sama Ibu Reina. Silahkan masuk, sudah ditungu dokter Sisil.” Ucap seorang perawat. Azzam dan Reina langsung masuk ke dalam dengan bergandengan tangan. Semua orang melihat mereka seperti pasangan harmonis yang saling mencintai. Azzam memang mencintai Reina dengan seluruh hatinya, setidaknya sampai hari ini. Azzam menemari Reina konsultasi dan pemeriksaan. Semua pertanyaan dokter dia jawab dengan jujur dan saat tiba di proses pemeriksaan, dokter itu terkejut ketika sedang melakukan USG. “Ada apa Dok?” tanya Reina yang melihat kerutan di kening dokter Sisil. Dokter Sisil tidak menjawab, dia mencoba menatap layar yang menampilkan hasil USG dengan teliti lalu setelah menemukan jawabannya dia menghela napas pelan. “Apa sebelumnya ibu Reina pernah periksa dengan testpack?” tanya dokter Sisil. Reina menggeleng pelan, “Tidak pernah dok karena saya takut hasilnya berbeda.” “Sudah pernah periksa sebelum hari ini?” Reina mengeleng untuk kedua kalinya, “Ini kali pertama saya dok.” “Sepertinya ibu Reina terkena efek samping menggunakan pil KB atau penunda kehamilan. Mohon maaf, mungkin saya harus mengatakan sesuatu yang membuat kalian sedih. Tapi, di dalam rahim ibu Reina tidak ada janin.” Ucap dokter Sisil dengan rasa sesal. Azzam dan Reina langsung terkejut bukan main, “Bagaimana bisa Dok? Saya telat dua bulan?” “Sebaiknya ibu membersihkan diri dulu baru kita bicara di depan. Biar lebih tenang.” Ucap Dokter Sisil lembut. Azzam lemas, dia pikir hari bahagia itu akan datang tetapi ternyata tidak. Reina tidak mengandung dan itu berarti selama satu bulan terakhir dia berharap pada sesuatu yang tidak ada. Azzam duduk ketika Reina datang, dokter Sisil menatap mereka dengan senyum lembut. “Bukan berarti perkataan saya tadi akan membuat ibu Reina itu tidak hamil. Tetapi, karena ini pemeriksaan pertama kalian saya sarankan untuk memulai program kehamilan karena dari yang saya lihat rahimnya sangat bagus.” Azzam lega, “Bagaimana caranya dok?” Dokter Sisil menjelaskan program kehamilan yang akan mereka jalankan. Reina harus makan makanan yang bergizi untuk mendukung program ini akan berhasil. Dokter juga menyarankan Azzam menjaga pola makan dan tidak terlalu banyak pikiran. “Nah, saya akan memberikan resep vitamin untuk di konsumsi selama program. Dua minggu lagi silahkan kembali periksa ya. Kita lihat perkembangannya.” Azzam dan Reina mengangguk, mereka kembali bersemangat. Setelah itu mereka menebus obat dan memutuskan untuk menghabiskan waktu bedua. Azzam mengajak Reina ke pantai untuk besenang-senang agar istrinya itu melupakan kesedihannya. Azzam lupa jika dia tidak hanya harus membahagiakan Reina tetapi juga Nadhifa yang sedang berjuang agar sembuh. … Nadhifa mengusap keringat di keningnya, tangannya gemetar karena memegang tumpuan ketika berusaha berjalan. Sudah dua jam dia melakukan terapi dan sedikit demi sedikit memiliki kemajuan. Nadhifa sudah bisa berdiri selama beberapa detik dan dia semakin semangat untuk melakukan terapi. “Sekarang kita sudahi sampai di sini ya. Kemajuan kamu pesat banget. Mungkin dua minggu kedepan sudah bisa berdiri lama atau bisa berjalan beberapa langkah.” Nadhifa tersenyum, dia menatap dokter dengan semangat membara. “Terimakasih Dok.” “Tidak Nak, ini hasil semangat kamu dan bisa sampai ke tahap ini dengan waktu yang sangat cepat. Nah, sekarang kamu ganti baju dulu ya. Nanti saya kasih resep baru lagi.” “Baik Dok.” Nadhifa merasa benar-benar beruntung ketika bertemu dengan dokter Ratih. Dia merupakan dokter senior yang sudah merawat pasien sepertinya selama bertahun-tahun. Nadhifa menunggu resep obat dengan tenang ketika dia mendengar pembicaraan perawat yang tidak jauh dari tempatnya duduk. “Eh, lihat perempuan berhijab itu nggak? Yang pakai baju biru.” Nadhifa melihat dirinya dan dari semua orang yang menunggu hanya dia yang memakai pakaian berwarna biru. “Iyah, kenapa?” “Tau suaminya kan? Tadi, aku ketemu suami sama istri pertamanya di rumah sakit lain. Di ruang tunggu dokter kandungan, kayaknya istri pertamanya sedang hamil.” “Beneran? Wah, kasian. Dia terapi hanya di temani pembantu sama supir. Ya, nasib istri kedua ya? Pasti ditelantarkan. Lagian, kalau dilihat suami sama istri pertamanya itu saling sayang. Kalau aku sih, mending gugat cerai aja, nikah tapi nggak di sayang cuma jadi beban.” Nadhifa menundukkan kepalanya, senyumnya langsung lenyap. Dia bertanya-tanya apakah perkataan perawat itu benar? Jadi, Azzam berbohong kepadanya jika sedang menemani Reina ke acara keluarga? “Ah, semoga saja Azzam berkata jujur.” Gumam Nadhifa lalu kembali berpikir positif. Setengah jam kemudian dia pulang ke rumah Azzam, dia di bantu oleh asisten rumah tangganya yang sangat pendiam dan tidak berkomentar apapun. Walaupun sesekali Nadhifa mendapati asisten rumah tangga itu menatap simpati ke arahnya. Nadhifa beristirahat di kamarnya, Azzam dan Reina belum pulang dan melewatkan makan siang serta makan malam. Dia makan hanya di temani oleh asisten rumah tangga yang setiap jadwal makan selalu mengatarkan nampan berisi makanan untuknya. “Mbak, bisa bantu saya duduk di kursi? Lagi mau duduk-duduk di balkon.” Ucap Nadhifa. Asisten rumah tangga itu langsung membantu Nadhifa tanpa membantah lalu mendorong kursi roda Nadhifa ke arah balkon. “Terimakasih, kamu bisa beristirahat. Nanti akan saya panggil lagi.”  “Baik Nyonya.” Setelah mendengar pintu tertutup, Nadhifa menatap langit malam tetapi tidak ada bintang di sana. Dia hanya melihat kilat menyambar-nyambar dari jauh pertanda akan hujan. Lima belas duduk di balkon, rasanya sangat menyegarkan apalagi ketika di terpa angin sepoi-sepoi. Nadhifa membuka matanya ketika mendengar suara mobil dan pagar dibuka. Dia melihat Azzam dan Reina pulang, mereka turun dari mobil dengan Azzam membukakan pintu untuk Reina. Nadhifa memandangi mereka sampai dia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Di sana, Azzam sedang memeluk Reina dan menghimpitnya di mobil lalu berciuman mesra. Lampu teras menyinari mereka dengan sangat jelas hingga walaupun berpaling, Nadhifa masih bisa melihatnya dari ujung mata. Rasa sakit langsung menyerang hatinya. Nadhifa memukul dadanya sesak, dia tidak boleh memiliki perasaan ini, Nadhifa tidak pantas untuk cemburu apalagi iri karena dia tidak sebanding dengan Reina yang sangat di cintai oleh Azzam. Nadhifa akhirnya bernapas lega ketika Azzam dan Reina masuk ke dalam rumah. Dia tidak sadar sudah menahan napas sejak tadi. Perlahan, air matanya kembali turun diiringi dengan air hujan yang jatuh ke bumi. Nadhifa melihat ponselnya, seharusnya dia memanggil asisten rumah tangga untuk membantunya masuk ke dalam kamar tetapi tidak. Dia membiarkan tubuhnya di terpa hujan deras. “Ah, kenapa rasanya sangat sesak? Kenapa hujan membuat perasaanku semakin sakit?” gumam Nadhifa tergugu. Ponselnya meluncur jatuh ke lantai karena tangannya basah. Nadhifa masih tidak bergerak dari balkon ketika hujan semakin deras. Dia membiarkan dirinya kehujanan. “Ayah Ibu… kenapa kalian tega meninggalkanku? Kenapa kalian tega membuatku berada di situasi ini? Ayah… aku takut kalau perasaanku semakin kuat. Aku takut, jika kepura-puraanku akan hancur.” Tangis Nadhifa semakin kencang. Dadanya seperti di sayat apalagi ketika adegan Azzam mencium mesra Reina terus berulang di kepalanya seperti kaset rusak. “Ayah…aku takut kalau hatiku akan menyerah.” Nadhifa masih ingin mengutarakan apa yang dia khawatirkan di tengah hujan. Nadhifa mengusap wajahnya yang basah dengan air mata yang bercampur dengan air hujan. Dia tidak sadar jika ada seseorang yang masuk ke kamarnya dan hanya berdiri di depan pintu karena ingin mendengar kata-kata Nadhifa yang berikutnya. “Ayah… aku takut dia akan tahu. Kalau aku mencintainya sejak lama.” Ucapnya terisak. Satu detik kemudian, kilat dan guntur datang hampir bersamaan. Tetapi, bukan itu yang membuat orang yang memasuki kamar Nadhifa terkejut, tetapi perkataan Nadifa yang membuatnya syok. Bagaimana bisa? …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD