Chapter 3 - Ciuman pertama

1782 Words
Suara guntur kembali menggelegar dan saat itu lahs orang yang berada di belakang Nadhifa itu memutuskan keluar dari kamar. Tidak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga masuk dan terkejut melihat keadaan Nadhifa. “Astaga, nyonya. Untung tadi Nyonya Rei suruh saya masuk.” Ucap asisten rumah tangga itu panik. Nadhifa tidak mengatakan apapun ketika dia di bawa ke kamar mandi untuk mandi. Dia diam dan terus menangis, Nadhifa berterimakasih akrena asisten rumah tangganya itu tidak bertanya apapun dan terus bekerja sampai dia di baringkan di atas tempat tidur. Nadhifa sedikit mengigil, padahal dia memakai pakaian tebal dan selimut. Dia juga melepas hijabnya ketika tidur, rambutnya yang setengah kering terurai di atas bantal. … Setelah menutup pintu kamar, asisten rumah tangga itu langsung di panggil oleh Reina yang masih berada di ruang keluarga. Dia sedang menikmati siaran tv sembari memainkan ponsel. “Nadhifa kenapa, mbak?” tanya Reina. Asisten rumah tangga itu menunduk, “Nyonya Nadi tadi kehujanan di balkon. Saya pikir sudah masuk sendiri, ternyata masih diluar.” “Ck, kenapa dia main hujan-hujan? Kan masih bisa gerakin kursi rodanya masuk. Makin ngerepotin aja, untung saya suruh kamu masuk.” Ucap Reina sembari fokus menatap ponselnya. Tiba-tiba Azzam bergabung bersama mereka. “Kenapa, mbak?” “Itu, Nyonya Nadi tadi nangis juga. Baru berhenti setelah baring di tempat tidur. Kayaknya lagi banyak pikiran.” Ucap Asisten rumah tangga itu. Azzam menatap pintu kamar Nadhifa khawatir tetapi dia menahan dirinya untuk masuk ke sana agar tidak mengganggu istirahatnya. Sementara Reina masih serius memainkan ponsel. “Terimakasih, mbak. Silahkan istirahat.” Ucap Azzam yang langsung di angguki oleh asisten rumah tangganya itu. Azzam langsung duduk di samping Reina sembari merangkul istrinya itu. “Lihat apa sih? Dari tadi serius banget?” “Ah, aku lagi liat-liat makanan khusus untuk program hamil. Besok beli yuk di pasar.” Ajak Reina bersemangat. Azzam mengangguk, “Mau pergi jam berapa?” “Pagi-pagi aja, sekalian sarapan di luar. Sudah laa kita nggak keluar pagi-pagi kan?” tanya Reina. Azzam mengangguk, mereka menonton siaran tv sampai Reina ketiduran. Azzam langsung sigap mematikan tv lalu mengangkat tubuh Reina masuk ke dalam kamar mereka lalu tidur bersama. … Azzam dan Reina benar-benar keluar pagi untuk berbelanja. Mereka tiba di pasar dengan bersemangat, Azzam melihat Reina yang lebih dahulu berjalan di depannya. Reina memakai celana jenas ketat dan baju shifon berwarna hijau muda. Rambut hitamnya terurai indah, baginya itu sangat cantik dan Azzam menyukainya. Walaupun begitu, Azzam sebenarnya lebih menyukai cara berpakaian Nadhifa yang memakai gamis serta hijab yang menutupi separuh tubuhnya. Dia sudah pernah membicarakannya ini dengan Reina, jauh sebelum dia menikahi Nadhifa tetapi pembahasan itu hanya membuat mereka bertengkar dan Azzam tidak pernah mengungkitnya lagi sampai sekarang. Terkadang, dia tidak dapat menyentuh sisi kehidupan Reina yang lain. Istrinya itu memiliki dunia sendiri yang tidak pernah bisa dia tembus. Walaupun begitu, Azzam tiak memaksa selama mereka hidup dengan harmonis maka itu tidak menjadi masalah untuknya. Mereka pulang dengan membawa berbagai macam sayuran. Azzam membantu Reina membawa sayuran itu masuk ke dalam rumah. Terlihat jika Reina serius ingin mengandung. “Wah, sayurnya banyak sekali kak. Mau bikin acara?” tanya Nadhifa ketika melihat mereka masuk. Reina menoleh lalu tersenyum cerah, “Nggak kok, ini aku sama Mas lagi mau program buat bayi. Doain ya supaya cepat jadi.” Nadhifa meresponnya dengan keterkejutan yang alami bahkan dia ikut senang. “Wah, akhirnya… kalau ayah sama ibu dengar ini pasti mereka senang. Inikan yang ditunggu-tunggu sama mereka.” Reina mengangguk, “Sssttt… jangan dikasih tahu dulu. Biar jadi kejutan kalau sudah jadi baru bilang.” Nadhifa setuju, “Iya kak. Wah asyik, Nadi nanti boleh gendong bayinya ya. Pokoknya urutan pertama yang boleh gendong.” Azzam hanya menggelengkan kepalanya melihat interaksi mereka berdua. Sementara Reina sibuk mengatur sayuran untuk di cuci lalu di masukkan ke dalam kulkas. Saat itu juga, senyuman Reina redup dan bahkan hanya tersenyum tipis. Mulai hari itu, dua bulan penuh mereka terus makan sayuran dan daging bergizi. Nadhifa yang tidak ikut program pun harus ikut makan makanan yang sama. Sekarang dia juga sudah bisa berjalan, perkembangannya begitu pesat karena keinginan kuatnya untuk sembuh. “Dua minggu ke depan kayaknya kamu sudah bisa lepas kursi roda. Walaupun nggak ada cedera lain, usahakan jangan terlalu banyak bergerak dulu.” Nadhifa mendengar perkataan dokter dengan baik, dia kembali mendapat resep vitamin untuk di konsumsi selama satu bulan kedepan. Dia langsung pulang di antar sopir. Selama dua bulan, janji Azzam untuk mengantarnya terapi tidak pernah terpenuhi. Pria itu sibuk bersama Reina walaupun setiap seminggu sekali tiap bulan Azzam akan pergi untuk urusan pekerjaan. “Assalamualaikum, kak. Nadi pulang.” ucap Nadhifa ketika masuk ke dalam rumah sembari di dorong oleh seorang asisten rumah tangga. Reina terlihat di ruang keluarga, dia tidak menjawab salam Nadhifa dan serius melihat ponsel. “Kak?” “Oh, kamu sudah pulang. Sini nonton sama kakak.” Ucap Reina sembari tersenyum. Nadhifa mau saja, dia duduk tidak jauh dari Reina menggunakan kursi roda. Nadhifa belum memberitahu Azzam dan Reina jika dia sudah bisa berjalan dan dalam tahap pemulihan terakhir, dia ingin menjadikan itu kejutan untuk mereka. “Nyonya, saya ijin ke kamar mandi dulu ya sebentar. Nanti balik ke sini lagi.” “Iya, mbak.” Jawab Nadhifa sembari tersenyum. Reina menoleh kepada Nadhifa, “Nad, boleh bikinin kakak teh nggak?” “Eh, tapi mbaknya lagi ke kamar mandi.” Jawab Nadhifa. Reina menggeleng, “Mau coba buatan kamu. Boleh ya? Perut kakak lagi keram, jadi nggak bisa banyak gerak.” Nadhifa mengigit bibirnya, dia menimbang-nimbang lalu menganggukkan kepala. Nadhifa akhirnya memutar roda kursinya menuju dapur lalu mengambil panci untuk memanaskan air. Walaupun tidak pernah menyentuh peralatan dapur, Nadhifa hafal letak semua barang-barang. Dia mendapatkan teh kesukaan Reina dengan cepat dan tinggal menunggu air mendidih. Nadhifa tahu jika kompor lebih tinggi dari dadanya ketika duduk. Dia berusaha untuk mengangkat gagang panci kecil tempat air panas tetapi tiba-tiba tenaganya hilang dan membuat panci itu oleng. “Ahhhhhh!” Seketika terdengar suara panci terjatuh dan membuat asisten rumah tanga yang baru saja ingin masuk ke dapur segera berlari dan menemukan jika Nadhifa tersiram air panas. “Astaga, nyonya nggak apa-apa?” Tiba-tiba Reina datang, “Ya ampun, Nad. Hati-hati dong, ah untung gelasku nggak pecah.” Nadhifa hanya diam dia mengibas-ngibaskan punggung tangan dan kakinya yang terasa meyengat. “Aduh, mending suruh mbak aja yang buatin. Mbak, buatin saya teh ya.” Ucap Reina. “Sebentar nyonya.” Reina mendelik, “Sekarang, the itu harus di minum tepat waktu.” Asisten rumah tanga itu menghela napas lalu mengangguk, dia menatap Nadhifa dengan tatapan bersalah. Nadhifa akhirnya memundurkan kursi rodanya ke sudut dapur lalu mengoleskan sendiri salep luka di area yang terkena tumpahan air panas. “Nad, maaf ya. Hormon kakak kayaknya lagi aneh, maaf karena minta kamu ke dapur. Sekarang kamu istirahat, nanti makan malam sama-sama.” Ucap Reina menyesal. Nadhifa tersenyum, “Iya, kak. Nggak apa-apa, tadi Nadi yang ceroboh.” Akhirnya, dia memutar kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Nadhifa mengunci pintu setelah dia berada di dalam lalu berdiri perlahan dengan menggunakan tumpuan dinding. Nadhifa berdiri di depan kaca. Dia melihat pantulan tubuhnya dari atas hingga ke bawah. Wajahnya bulat dengan hidung mancung dan bibir kemerahan alami. Wajahnya sangat cantik dengan proporsi tubuh yang ideal jika saja gamisnya itu tidak membuat tubuhnya seperti tidak berbentuk. Nadhifa perlahan membuka hijab lalu gamisnya dan tampaklah rambutnya yang hitam bergelombang dengan panjang sepinggang.  Dia mengganti pakaiannya dengan baju tidur tipis lalu beristirahat. Nadhifa tertidur sampai sore dan ketika bangun, Nadhifa seperti mendengar suara Azzam. Tetapi bukannya suaminya itu pergi untuk urusan pekerjaan? Kenapa bisa ada di rumah? Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. “Nadi?” Nadhifa terkejut lalu berdiri lalu mengambil gamis biasa yang tergantung di belakang pintu lalu mengambil jilbab panjang secepatnya lalu duduk di atas kursi roda. “Iya, Mas. Sebentar.” Nadhifa memutar kunci lalu membuka pintu. “Eh, tumben kamarnya di kunci?” Nadhifa mengangguk, “Iya, Mas. Tadi ganti baju mau shalat ashar.” Tiba-tiba Azzam tersenyum geli menatapnya, dia melangkah lebih dalam ke kamar Nadhifa lalu menutup pintu lalu berlutut di depan Nadhifa. “Hijab kamu terbalik.” Nadhifa syok ketika Azzam langsung menarik jilbabnya turun lalu mermperbaikinya. Azzam langsung terkesima melihat Nadhifa, dia berusaha memasangkan hijab itu kembali. “Kenapa kamu tetap pakai hijab kalau di rumah? Kan sopir nggak nginap di sini?” tanya Azzam. Nadhifa menggeleng, “Sudah kebiasaan Mas. Nyaman kayak gini.” “Rambut kamu cantik. Ini pertama kalinya Mas liat rambut kamu terurai kayak gini.” Ucap Azzam sembari mengelus rambut Nadhifa. Seketika tercium wangi shampo ketika dia mengusap rambut Nadhifa membuat Azzam refleks mencium puncak kepala istrinya itu lembut. “Mas kenapa pulang cepat?” tanya Nadhifa karna mengghilangkan kegugupannya. Azzam mengambil jarak beberapa senti dari wajah Nadhifa, “Tiba-tiba kliennya ada urusan mendadak, istrinya melahirkan jadi batal.” Nadhifa hanya ber’ah’ pelan lalu suasana kamar itu berubah hening. Azzam awalnya berniat untuk mengajak Nadhifa makan roti yang di bawa dari Bandung tetapi dia melupakannya setelah melihat wajah Nadhifa tanpa hijab. Azzam seolah-olah terhipnotis dengan kecantikan istrinya itu. Dia mengelus pipi Nadhifa lalu mengecupnya ringan membuat pipi itu semakin merona. “Mas!” Azzam tidak berhenti di situ, tangannya yang tadi mengusap kepala Nadhifa turun untuk mengelus bibir bawah istrinya. Nadhifa membeku ketika benda kenyal menyentuh bibirnya. Nadhifa menahan napasnya ketika bibir mereka menyatu dan dia berusaha memberontak ketika bibir Azzam bergerak lebih dalam. “Ssshhh…kita sudah halal Nad.” Ucap Azzam serak. Nadhifa tidak tahu harus merespon apa ketika Azzam mengambil jarak lalu mengusap bibirnya yang basah. “Sekali lagi, boleh ya?” Ketika Nadhifa memberikan persetujuan, Azzam tidak ragu-ragu lagi. “Mas?! Ngapain di dalam? Kok lama banget?” teriak Reina dari luar sembari mengetuk pintu. Nadhifa dan Azzam terkejut, dia berdiri dengan terburu-buru dan tidak sengaja menyenggol botol-botol obat Nadhifa. Pintu kamar itu langsung terbuka dan memperlihatkan wajah Reina yang penasaran. “Ngapain tunduk di bawah Mas?” “Eh, ini lagi nyari botol obat Nadi. Tadi, Mas nggak sengaja nyenggol jadi masuk ke bawah ranjang.” Ucap Azzam. Dia menggapai-gapai obat itu dan berhasil meraihnya. “Nah, ketemu.” Dari luar, Reina terlihat tersenyum lega. “Ya sudah, ajak Nadi keluar ya. Makan kue sama-sama.” Azzam mengangguk, dia menghela napas lega setelah Reina kembali menutup pintu. Nadhifa aman karena dia buru-buru meraih hijab dan memakainya dengan perlahan ketika Reina masuk. “Nad, maafin Mas. Tadi…tidak sengaja.” Ucap Azzam patah-patah. Nadifha hanya menggelengkan kepalanya dan tidak menjawab apa-apa. ‘Tidak ada yang salah, Azzam berhak melakukannya karena kita memiliki hubungan suami istri yang sah.’ Gumam Nadhifa dalam hati. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD