Chapter 4 - Hamil?

2375 Words
Azzam membawa Nadhifa keluar setelah shalat ashar, mereka berkumpul di ruang tamu. Terlihat jika Reina terus emnatap Azzam dengan wajah tersenyum membuatnya penasaran. “Ada apa Rei?” tanyanya langsung. Reina tersenyum lebar lalu memberikan sebuah kotak kecil kepada Azzam. Dia menerimanya dengan wajah penasaran, Azzam membukanya dengan jantung berdebar dan ketika dia melihat isinya, Azzam langsung memeluk Reina. “Alhamdulillah sayang. Akhirnya kamu hamil, ini beneran kan?” tanya Azzam. Reina mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca melihat raut bahagia Azzam. “Iya Mas, Rei sudah periksa sepuluh kali. Tapi, kita harus periksa juga supaya hasilnya pasti.” Azzam mengangguk, dia kembali memeluk erat Reina. “Iya, besok kita langsung ke rumah sakit.” Nadhifa melihat adegan itu dengan terharu, dia merasa lega karena usaha mereka berhasil. Tetapi, di sisi lain hatinya terasa sakit. Dia mengalihkan tatapannya dan memilih untuk menonton tv. Nadhifa menggigit bibirnya, ingatan saat Azzam menciumnya terus muncul dikepalanya. Sore itu dia lalui dengan perasaan kacau, Nadhifa bahkan sama sekali tidak di ajak bicara selama dia berada di sana. Dia memilih untuk kembali ke kamar, Nadhifa kembali mengunci pintunya dan berusaha tidak mendengarkan percakapan Azzam dan Reina. Entah kenapa, ada dari kata-kata Reina yang berusaha menyindirnya. Nadhifa berharap itu hanya perasaannya karena kejadian tadi siang. Dia memiliki firasat berlebihan karena sikap Reina yang terasa aneh kepadanya padahal selama ini Reina selalu bersikap sangat baik kepadanya. ‘Apa karena dia hamil?’ tanya Nadhifa dalam hati. Nadhifa menghela napas pelan, dia duduk di kursi biasa lalu membuka laptop untuk mengerjakan disertasinya yang sempat tertunda karena kecelakaan yang dia alami. Nadhifa sudah menempun jenjang pendidikan hingga tingkat yang tertinggi, sekarang dia sedang menuju gelar S3 yang tidak lama lagi akan dia dapatkan. Waktunya tinggal satu setengah bulan lagi dan saat itu dia bisa berjalan seperti dulu. “Ah, mungkin setelah itu aku akan pindah dari rumah ini.” ucap Nadhifa kepada dirinya sendiri. Dia memang berencana pindah setelah bisa berjalan. Biarkan saja statusnya masih sebagai istri Azzam tetapi dia ingin pisah rumah karena ingin melanjutkan cita-citanya sebagai dosen. Nadhifa bediam di kamar, dia bahkan di antarkan makan malam ke kamarnya. “Nyonya, makan malam dulu.” Ucap seorang asisten rumah tangga kepadanya. Nadhifa berbalik lalu meregangkan tubuhnya yang kaku. “Makasih, mbak. Mas Azzam sama Kak Reina kemana?” “Oh itu, mereka sepertinya pergi ke rumah orangtua Nyonya Reina.” Nadhifa mengangguk pelan, dia tadi mendengar suara mobil meninggalkan rumah dan dia sudah menduga jika mereka yang pergi. “Mbak, makan sama-sama yuk. Nggak enak kalau makan sendiri.” “Eh, jangan nyonya. Biar saja makan sama yang lain.” “Yuk, ke dapur bareng-bareng.” Ucap Nadhifa lalu berdiri. Asisten rumah tangga itu melebarkan mata lalu bergerak mundur karena terkejut. “Ya Allah, nyonya. Alhamdulillah, ternyata sudah bisa jalan.” “Sssttt… jangan bilang Azzam sama kak Reina dulu ya. Iya, saya sudah bisa jalan tapi masih lambat. Yuk, ke dapur.” Ajak Nadhifa. Ini pertama kalinya dia berjalan di rumah ini dan tanggapan yang dia terima tidak pernah sama sekali terduga. Empat orang asisten rumah tangga dan dua orang sopir lain yang sedang makan malam sama terkejutnya. Nadhifa merasa bahagia bisa makan bersama, walaupun mereka makan di belakang dapur. Suasananya sangat hangat karena Nadhifa mengenal mereka semua selama tiga bulan berada di rumah ini. “Wah, nyonya cantik banget ternyata kalau bisa jalan. Anggun.” Puji salah satu asisten rumah tangga kepadanya. Nadhifa tersenyum malu, “Jadi, kalau saya dikursi roda nggak cantik gitu?” “Eh, bukan gitu nyonya…” Semua orang tertawa pelan begitu juga Nadhifa, “Iya, saya bercanda. Oh iya, kalau lagi nggak ada orang kalian boleh panggil saya Nadi. Nggak nyaman di panggil nyonya, saya kayak ada di sinetron ikan terbang.” Mereka semua lagi-lagi tertawa, mengerti kata ikan terbang yang di maksud Nadhifa. “Tapi…” Nadhifa berdecak lalu menggeleng tegas, “Harus. Lagipula, saya akan pergi dari rumah ini.” “Eh, kenapa mau pergi Neng?” tanya seorang sopir yang selalu mengatar Nadhifa ke rumah sakit. “Iya, Pak. Saya mau ambil S3 yang tertunda karena kecelakaan, terus mungkin sewa apartemen atau beli rumah baru.” Jawab Nadhifa sedikit ragu. “Kenapa mau pindah? Apa karena kejadian yang tadi siang?” Nadhifa tidak menjawab dan hanya menghela napas, kejadian itu juga sedikit banyak mengganjal di hatinya. Dia merasa Reina tidak sebaik yang dia pikir selama ini tetapi semua sikap istri pertama Azzam itu selalu baik kepadanya. Hatinya gelisah. Akhirnya kejadian tadi siang itu terungkap di antara para asisten rumah tangga. Mereka langsung berbicara dengan semangat. “Neng Nadi, dulu memang sikap Nyonya Reina itu agak aneh. Apalagi pas tuan Azzam pergi keluar kota. Kami di suruh libur katanya untuk istirahat, tapi Pak Suryo balik ke sini pas malam dan dia liat banyak orang di sini sama laki-laki juga. Mereka kayak pesta gitu.” Ucap seorang asisten rumah tangga dengan bersemangat. “Eh, iya pas itu untung lagi hujan deras jadi nggak ada yang liat. Mereka juga kayaknya lagi senang-senang. Jadi, nggak terlalu merhatiin saya masuk rumah.” Ucap pak Suryo. Pembicaraan itu berlanjut sampai terdengar suara mobil datang. “Eh, Neng…kursi rodanya!” Salah satu asisten rumah tangga segera berlari dengan terburu-buru ke kamar Nadhifa untuk mengambil kursi roda lalu dengan cepat dia duduk di sana sebelum Azzam dan Reina masuk ke dalam rumah. Makan malam mereka telah selesai sebelum mereka pulang. Nadhifa dengan cepat kembali ke kamar, dia menahan senyum ketika asisten rumah tangga itu akan keluar lalu mengacungkan dua jempolnya. “Terimakasih.” “Sama-sama, harus siap siaga.” Ucapnya sebelum menutup pintu. Nadhifa masih tersenyum, entah kenapa kejadian barusan sangat lucu untuknya. Nadhifa membeku ketika terdengar suara Azzam tepat di depan pintunya. Suaminya itu seperti ingin masuk ke dalam. “Apa Nadi sudah tidur?” tanya Azzam. “Iya tuan, barusan Nyonya Nadi tidur.” Nadhifa mengira Azzam akan pergi tetapi terdengar suara kenop pintu yang di putar, dia langsung memejamkan mata dan pura-pura sudah tertidur. Nadhifa mati-matian membuat tubuhnya serileks mungkin. Dia hampir tersentak ketika Azzam mengelus rambutnya. “Maafkan Mas, Nadi. Lupa kalau kamu sekarang juga berstatus sebagai istri Mas.” “Mas lupa bilang kalau mau pergi ke rumah kedua orangtua Reina tanpa pamit.” Azzam masih mengelus rambut Nadhifa pelan. Rasa penyesalan menggerogoti hati Azzam ketika dia sampai di rumah kedua orangtua Reina tanpa sekalipun mengingat jika Nadhifa menyaksikan semua kejadian tadi. Dia terlalu bahagia sampai melupakan Nadhifa. Sekarang pun dia pualng bukan untuk menemui istrinya itu tetapi untuk mengambil barang yang ketinggalan, test pack milik Reina. Dia pulang untuk membawa benda itu untuk ditunjukkan kepada kedua orangtua Reina. Azzam menggela napas pelan, “Nadi...Mas sama sekali nggak menyesal sudah mencium kamu tadi. Itu bukan kesalahan dan murni keinginan Mas. Semoga kamu tidak salah paham.” Azzam mencium puncak kepala Nadhifa sebelum pergi. Nadhifa terdiam cukup lama dan tidak membuka mata bahkan ketika dia mendengar suara mobil menjauh dari rumah. Air mata mengalir dan jatuh di atas bantal, dia terisak pelan. Nadhifa menangis bukan karena ucapan Azzam tetapi dia merasa salah. Keberadaannya di rumah ini merupakan kesalahan. Nadhifa ingin marah tetapi dia tidak tahu harus marah kepada siapa. Dia tidak berhak marah kepada ayahnya yang hanya memikirkan kebahagiaannya. … Mulai hari itu, satu rumah dihebohkan dengan acara selamatan untuk kehamilan Reina. Nadhifa yang ingin memberi surprise kepada keluarganya pun tidak jadi karena semua orang sangat bahagia mendengar kabar kehamilan Reina. Nadhifa yang memang dekat dengan keluarga Azzam pun di anggap sebagai anak sendiri. Dia hanya melihat semua orang sibuk mempersiapkan acara. Rumah di hias sedemikian rupa untuk menyambut calon buah hati pertama Azzam dan Reina. “Kak, mau kemana?” Nadhifa menoleh ketika ada yang menyapanya, itu adalah Arini adik Azzam. “Mau masuk, kayaknya semua orang sibuk. Takut gangguin mereka.” jawabnya lembut. “Ya udah, Arini bantuin ya. Mau kabur juga, capek di suruh-suruh.” Ucapnya lalu dengan cepat mendorong kursi roda milik Nadhifa masuk ke kamar. Airin langsung berbaring di atas tempat tidur setelah melepa hijab. “Ah, akhirnya bisa baring. Capek banget.” “Kamu memang dari tadi di suruh apa sampai capek kayak gitu?” tanya Nadhifa ramah. Airin membuka mata, “Di dapur Kak, urusin bumbu makanan. Kalau nggak di suruh cuci piring. Mbak Rei mah enak, duduk di sofa kayak paduka ratu.” Nadhifa terkekeh, “Kalau kakak malah lebih parah, duduk nggak ngapa-ngapain cuma bantu liat” “Eh, kalau mbak Nadi mah nggak usah ngapa-ngapain.” Ucap Airin. Nadhifa menggeleng pelan, “Huss… nggak boleh begitu Rin. Dia kan kakak ipar kamu.” “Yah, memang sih. Tapi, Airin dari dulu nggak pernah suka kalau Bang Azzam sama Mbak Reina, dia itu bukan perempuan bener kak. Airin pernah liat dia masuk club malam sama laki-laki lain sebelum nikah, pergaulannya nggak bagus.” “Hah?” “Iya, Airin pernah kasih tau Bang Azzam tapi dia nggak percaya dan malah kira aku salah liat. Greget banget, Abang sudah cinta mati sama Mbak Rei.” Ucap Airin dengan wajah kesal. Nadhifa menepuk pelan kaki Airis, “Sudah, walaupun benar itu termasuk aib Dek. Jangan dibicarain lagi.” Airin mau tidak mau menuruti permintaan Nadhifa, dia menjadikan Nadhifa sebagai panutannya sejak kecil baik dari tata bicaranya, pakaian serta sikapnya. Nadhifa sangat sempurna di mata Airin, dan tidak ada yang bisa mengalahkannya. “Kapan kakak sembuh? Mau jalan-jalan bareng lagi.” tanya Airin. Nadhifa tersenyum cerah, “Siapa bilang kalau kakak masih sakit?” Airin bangun terlonjak dari tempat tidur, dia langsung memeluk Nadhifa ketika melihatnya berdiri. “Pelan-pelan…” “Eh, maaf kak. Aku terlalu senang, sejak kapan kakak bisa jalan sama berdiri? Kenapa nggak kasih tau ayah sama ibu?” tanyanya dengan tatapan terkejut. Nadhifa kembali duduk di atas kursi roda, “Sebentar lagi. Kakak juga berencana pindah untuk nerusin S3, mungkin nggak lama lagi pasti kasih tahu mereka.” “Harus kak, astaga! Jangan-jangan karena acara ini kakak nggak jadi bilang?” tanya Airin. “Bukan kok, ini kan kabar bahagia dek. Nggak boleh gitu ih, lagipula kan itu juga calon keponakan kamu.” ucap Nadhifa sembari menaikkan kedua alisnya. Airin tiba-tiba duduk di pinggir tempat tidur, “Kak, kakak belum di apa-apain sama Abang?” “Hah? Di apa-apain gimana?” tanya Nadhifa bingung. Airin menggaruk kepalanya gemas, “Ya, kayak mbak Rei yang hamil. Sudah nggak?” “Astagfirullah, aku kira apa. Sampai sekarang belum.” Jawab Nadhifa setelah berpikir cukup lama. “Yah, Abang nggak jantan nih. Padahal mbak Nadi lebih cantik dari pada Mbak Rei. Ih!” ucap Airin sebal. Ketika mreka asyik berbicara, terdengar suara ketukan pintu. “Airin? Kamu di dalam?” Nadhifa menoleh, “Iya, Bun. Masuk aja.” “Astaga kamu di cariin dari tadi. Bunda kira kamu pulang, ternyata sama kakak kamu di dalam kamar.” ucap seorang wanita paruh baya. “Capek, mau istirahat bentar di sini.” Ucap Airin berpura-pura lemas. Nadhifa hanya terkekeh pelan melihatnya. “Iya, Bun biarin Airin di sini dulu ya biar Nadia da teman bicara.” “Ya sudah, tapi nanti satu jam lagi keluar ya buat makan malam.” ucap Ayu, ibu Airin sekaligus ibu mertuanya. “Siap, bunda.” Jawab mereka bersamaan. … Nadhifa dan Airin keluar dua jam kemudian ketika makan malam hampir di mulai. Ketika mereka hampir sampai di meja makan, Reina langsung menutup hidungnya. “Huek…” Mereka sekeluarga langsung kaget karena Reina terlihat mual. “Aduh, Nad. Kamu bau.” Nadhifa langsung mencium tubuhnya tetapi tidak mencium bau apapun dari sana. Airin yang mendorong kursi roda Nadhifa langsung melotot dan dia tahu jika Nadhifa baru saja berganti baju dan tidak memakai farfum apapun. “Hidung kakak kali yang koslet. Bau apa? perasaan mbak Nadi nggak pakai apa-apa.” ucap Airin membela. “Huek…tapi bau. Dari tadi kumpul di sini nggak ada yang ganggu sama sekali. Pas kalian datang, langsung mual.” Ucap Reina sembari menutup mulut dan hidungnya. “Rin, bawa Nadi pergi. Atau antar Nadi ke kamar.” ucap Azzam dengan suara yang sedikit keras. Amarah Airin langsung mendidih, bagaimana bisa Abang yang selama ini sangat sopan dan baik meneriakinya seperti itu. “Abang keterlaluan, hidung istrinya aja tuh yang koslet.” “Airin!” Nadhifa juga terkejut dengan amarah Azzam yang tidak terkontrol. “Azzam jangan bentak adek kamu!” “Diam, kamu yang bikin istriku mual. Kembali ke kamar!” “Azzam!” Terdengar suara bariton yang menggelegar, “Jaga sikap kamu Azzam. Astagfirullah, jangan buat Ayah menyesal karena menikahkan kamu dengan anak sahabat ayah! Dia tidak pantas dibentak hanya karena masalah sepele seperti ini!” Tiba-tiba Reina terisak, dia menangis lalu memeluk Azzam erat. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu.” “Sshhh…tenanglah. Mungkin itu pengaruh hormon kamu.” ucap Azzam menenangkan Reina. Setelah itu, suasana ruang makan terasa canggung apalagi terdengar suara isakan Reina yang membuat mereka terdiam. “Ayah, mengertilah kalau Reina sedang mengandung anak kami. Dia sedang sangat sensitif.” Azzam memeluk Reina semakin erat. “Sebaiknya kalian kembali ke kamar.” Airin sangat kesal, dia bahkan ingin melemparkan gelas kepada kakaknya. Dia membawa Nadhifa dengan hati membara. “Abang kenapa sih? Seumur-umur dia nggak pernah teriak kayak gitu.” “Mungkin lagi capek, Rin. Sudah, nggak apa-apa kok.” Ucap Nadhifa pelan. Airin mendengkus, “Dia sengaja kak, watak mbak Reina aslinya memang kayak gitu.” Nadhifa menggeleng, “Dia yang sudah merawat kakak saat baru siuman sampai sekarang, dek. Kak Reina orang baik.” “Lihat saja kak, semua itu cuma topeng. Dia pura-pura baik hanya jika ada mas Azzam atau di depan keluarga.” Ucap Airin yakin. Suara ketukan pintu tiba-tiba mengagetkan mereka, belum lagi ketika Azzam menerobos masuk bahkan ketika mereka belum menyuruhnya untuk masuk ke dalam. “Rin, bisa abang bicara sama Nadi berdua?” tanya Azzam. Airin menatap Azzam tajam, “Aku keluar, tapi aku ada di depan pintu. Kalau Abang ngapa-ngapain mbak Nadi, aku teriak kasih tau ayah.” Azzam mengangguk, dia merasa sangat bersalah setelah apa yang dia lakukan tadi. Rasa penyesalan itu datang sangat cepat sebelum dia menyadarinya. Azzam menunggu sampai Airin keluar dan menutup pintu. Nadhifa menatap Azzam, dia menatap pria itu tepat di kedua matanya. “Mas, kita berpisah aja ya?” ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD