PELAJARAN PERTAMA

1312 Words
Perempuan gendut di depannya sedang berbicara tentang tata krama dan tata bahasa. Ah, memuakkan dan membosankan. Bilven mendesah dan memandangi rumpun-rumpun mawar di luar jendela. Mawar-mawar itu sedang berbunga dan semilir angin mengantar aromanya memasuki ruangan tempat Bilven belajar. “Miss, apa sudah waktunya istirahat?” tanya Bilven sambil mengangkat tangan. Kali ini dia bersikap lebih sopan. Miss Camelia, perempuan gendut yang saat ini sedang mengajarnya mengancam akan menambah jam belajar jika Bilven terus-menerus bersikap tidak sopan dan berbicara dengan bahasa yang tidak tepat. Awalnya Bilven menolak. Namun setelah dia merasakan bahwa jam tidak bertambah maju dan hari seolah berhenti berjalan, Bilven menyerah dan mulai berusaha bersikap sopan dan berkata yang baik. “Sudah tiga kali Anda bertanya seperti itu, Sayang. Jawabannya tetap sama. Tidak ada istirahat sampai jam makan siang.” Ah ..., Bilven meletakkan dagunya di atas meja. “Saya lelah, Miss. Saya tidak pernah belajar seperti ini.” Kepalanya terkulai dan dia tidak peduli dengan buku-buku di atas kepalanya yang berjatuhan ke lantai. Buku-buku yang sedari tadi dijaganya agar tidak jatuh dari kepala. Miss Camelia memandang kasihan pada Bilven. Tidak seharusnya dia bersikap terlalu keras pada gadis ini. Bilven tidak datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya sendirian mendidik Bilven dan tidak ada sentuhan lembut yang seharusnya diberikan seorang Ibu. Wajar saja jika Bilven sedikit liar dan tidak punya tata krama. Namun dia gadis yang cerdas. Dia mau belajar dan pasti akan menjadi seorang Nyonya yang berkelas. “Baiklah. Anda boleh beristirahat karena telah bersikap baik. Lima menit saja, tidak lebih. Setelah itu Anda harus kembali ke dalam ruangan ini.” “Sungguh?” seru Bilven sambil berdiri tegak dan memandang Miss Camelia tak percaya. Miss Camelia mengangguk. “Terima kasih, Miss,” kata Bilven sambil mencium pipi Miss Camelia yang terkejut karena tidak menyangka diperlakukan sedemikian hangat oleh Bilven. Belum hilang rasa terkejutnya, dia dikejutkan lagi oleh tingkah Bilven yang memanjat jendela dan melompat keluar. Dia berlarian di rumput dengan gaun panjangnya. Bebas dan bahagia. Dengan tawa kerasnya yang bisa membangunkan orang mati. “BILVENNNNN!!!” Miss Camelia mengurut d**a, kepercayaan dirinya mendadak luntur. Dia tidak yakin bisa mengubah gadis liar itu menjadi seorang Nyonya yang berkelas. Dia mendadak lupa jika harus memanggil Bilven dengan sebutan NONA. *** Bilven membaringkan tubuhnya di atas kasur. Benar-benar hari yang luar biasa. Hari pertama yang panjang dan melelahkan. Setelah kehadiran Tuan Muda di ruang makan tadi pagi, Bilven berharap dia bisa bertemu lagi dengannya di jam makan siang. Ternyata tidak. Tadi siang dia makan sendirian, begitu juga malamnya. Meskipun dia sudah pura-pura merajuk dan berharap Tuan Muda akan datang dan membujuk dengan suara lembutnya, namun Tuan Muda tidak datang. Dan dia harus makan karena perutnya lapar sekali. Seharian ini kerjanya hanya belajar dan belajar. Guru-guru di sekolahnya sudah cukup membosankan, tapi yang di sini jauh sangat-sangat membosankan. Yang dipelajari juga hal-hal yang menurutnya tidak penting. Menurut Miss Camelia, semua yang dipelajari adalah bekal bagi Bilven untuk menjadi seorang istri. Pelajaran tata krama, tata bahasa, bahkan tadi Bilven sempat belajar merajut. “Ketika nanti Anda memiliki seorang putra, Anda harus merajut kaos kaki dan topinya sendiri. Sudah menjadi tradisi seorang Nyonya di rumah ini,” kata Miss Iris, guru merajut dan minum teh di sore hari. Bilven tidak percaya jika minum teh saja ada tata caranya. Dan harus tahu cangkir-cangkir seperti apa yang harus digunakan. “Ada banyak cara minum teh di dunia. Namun keluarga ini punya caranya sendiri. Anda harus pandai menyeduh teh camomile karena itu kesukaan tuan muda. Jangan lupa pergunakan cangkir yang tepat. Karena material yang tepat akan menahan panas yang pas sehingga diperoleh teh dengan aroma yang kuat dan rasa teh yang segar.” Ah, rumit! Minum teh saja harus memperhatikan jenis cangkir segala. Dan Bilven harus menghapalnya di luar kepala. Tidak boleh membuat catatan. Benar-benar keluarga yang aneh. Untuk apa seluruh pelajaran ini? Apa keluarga ini tidak terbuka pada perkembangan zaman? Setelah masuk ke sini Bilven seperti sedang melintasi dimensi dan mundur puluhan tahun ke belakang. Tidak ada TV, wifi, dan ponsel. Ya, ponselnya disita ketika dia datang kemarin. Bilven menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemarin dia memutuskan bertahan karena dia penasaran dengan apa yang terjadi di rumah ini. Dan juga rumor bahwa bukan hanya dia gadis yang dipinang keluarga ini. Namun jika ini keluarga besar, ke mana sisa keluarga lainnya selain Tuan Muda? Jika istri Tuan Muda bukan hanya dia, ke mana mereka semua? Memang Bilven pernah mendengar desas-desus di desa jika ada gadis tertentu yang dipinang oleh Tuan Muda rumah besar. Namun setiap kali masuk ke rumah itu, gadis tersebut tidak pernah pulang ke keluarganya lagi. Ke mana mereka semua? Dentang jam sembilan kali membuyarkan lamunan Bilven. Dia menguap. Besok saja dia putuskan langkah selanjutnya. Apa akan bertahan atau mencari jalan untuk kabur dari rumah ini. Bilven pun terlelap sebelum hitungan ketiga berakhir. Tidurnya sungguh nyenyak dan mimpinya indah. Tentang Tuan Mudanya yang tampan. Yang membuka topengnya dan membawanya berjalan menyusuri taman mawar. Tuan Mudanya beraroma mawar. Bajunya beraroma mawar, telapak tangannya seharum mawar, bahkan aroma napasnya juga sewangi aroma mawar. Apa Tuan Muda makan mawar? Bilven merasakan napas hangat Tuan Muda di pipinya, dia juga merasakan jemari Tuan Muda menyisiri rambutnya. Rasanya mimpinya seperti nyata. Bahkan dia bisa mendengar detak jantung Tuan Muda yang cepat sekali. Apa Tuan Muda gugup berada di dekatnya? Bilven tersenyum membayangkannya. Tunggu! Suara itu ..., detak jantung. Suara detak jantung itu bukan mimpi. Itu ..., itu sungguh-sungguh. Bilven membuka matanya dengan cepat. “Kenapa kamu selalu ketiduran setiap aku datang? Apa kedatanganku terlalu larut?” tanyanya lembut. Suara yang dirindukan Bilven. Lembut seperti awan, membelai seperti angin. “Kenapa kamu tidak menemuiku ketika makan siang. Dan juga makan malam?” Bilven pura-pura merajuk. Dia sendiri heran kenapa dia bersikap seperti itu. “Karena aku sibuk, Sayang. Kamu pikir aku pengangguran yang kerjanya hanya mondar-mandir di dalam rumah?” tanyanya sambil sedikit tergelak. Lagi-lagi jemarinya menyisiri rambut Bilven. “Aku bosan!” “Dan kenapa kamu bosan? Apa pelajaran-pelajaran itu tidak membuatmu cukup sibuk?” “Aku tidak tahu namamu!” Bilven tidak menjawab pertanyaan Tuan Muda. “Kamu boleh memanggilku siapa saja.” “Aku juga tidak tahu wajahmu. Jika kamu suamiku, kenapa tidak membuka topeng itu? Apa yang kamu takutkan? Kamu memaksaku untuk menjadi istrimu, apa itu tidak cukup untuk memaksaku menerimamu apa adanya?” Sosok yang tadinya manis itu berubah menjadi dingin. Sorot matanya tak ramah. “Sudah cukup untuk malam ini. Sampai jumpa besok malam,” katanya sambil bergegas bangun dari posisi berbaringnya di sisi Bilven. “Tidak! Jangan pergi!” Bilven buru-buru melingkarkan tangannya di pinggang Tuan Muda. “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan memaksamu membuka topeng, tapi kumohon jangan tinggalkan aku sendiri. Jangan malam ini, jangan malam besok. Jangan tiap malam. Kumohon. Kumohon ...” Bilven sesenggukan. Entah mengapa rasanya begitu berat jika harus ditinggalkan Tuan Mudanya. “Bilven ....” Tuan Muda berusaha melepaskan pegangan Bilven di pinggangnya. “Jangan pergi,” rengek Bilven lagi. “Bilven ..., aku harus apa jika kamu bersikap seperti ini? Kamu membuat pertahananku runtuh,” ujarnya sedih. Tuan Muda membalikkan badan dan membaringkan Bilven di kasur. Dia menopang tubuhnya dengan kedua tangan dan mensejajarkan diri dengan tubuh Bilven. Mata sendunya menatap Bilven. “Jangan salahkan aku akan apa yang terjadi malam ini, ya. Kamu sungguh membuatku terpikat. Sejak dulu, sekarang, dan selamanya.” Tuan Muda membungkukkan tubuhnya dan mulai mengecup bibir Bilven lembut. Kali ini dia tidak berhenti sampai di situ. Tangannya mulai menyingkap rok Bilven dan membelai perlahan kulitnya. Erangan nikmat mulai keluar dari mulut Bilven. Dia tidak peduli jika yang seharusnya terjadi, terjadi malam ini. Dia istri Tuan Muda, kan? Jadi dia sepenuhnya milik Tuan Muda. Bilven merasakan bibir Tuan Muda sudah menyasar lehernya dan terus turun hingga ke d**a. Tangan Tuan Muda tak henti bergerilya di kulitnya. Yang harus terjadi biarlah terjadi. Dia tak ingin malam ini berakhir begitu saja. Meski besok dia harus pergi atau tak pernah kembali ke rumah ini, dia tidak akan menyesal. Dia sudah menjadi milik Tuan Muda seutuhnya. Mengapa segalanya terasa begitu mudah? Penyerahan diri ini. Rasa nyaman ini. Mengapa rasanya Tuan Muda tidak asing baginya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD