HARI PERTAMA

1267 Words
“Selamat pagi Nona Muda,” sapa seorang perempuan yang mungkin sebaya dengannya. Dia berpakaian sama seperti perempuan yang kemarin menyuruhnya mandi. “Si-siapa kamu?” tanya Bilven sambil mengerjapkan mata. Pelayan muda tadi membuka tirai yang membuat mata Bilven silau. “Saya pelayan Nona hari ini. Apa Nona mau mandi dengan air hangat atau air dingin? Air hangat lebih baik untuk memulihkan tenaga setelah malam tadi,” katanya sambil tersenyum ditahan. Bilven ingat kejadian tadi malam. Dan dia terlalu lelah berpikir hingga ketiduran setelah kenyang melahap sandwich dan s**u yang berada di kereta makanan. “Tidak terjadi apa-apa tadi malam. Tuanmu meninggalkanku terlalu cepat,” sahut Bilven asal. Sepertinya orang-orang di rumah ini lebih tahu hubungan dia dan Tuan Muda ketimbang dirinya sendiri. “Oh. Itu tidak mungkin. Maksud Nona, Tuan Muda gagal lagi?” Lagi? “Maksudmu? Apa ada seseorang yang lain?” Dia ingat perkataan pelayang yang kemarin. Dia adalah pengantin Tuan Muda yang paling cantik. Berarti ada pengantin yang lain. Astaga, Bilven baru saja berumur tujuh belas tahun, tiba-tiba menjadi istri ke sekian seorang tuan yang wajahnya ditutup topeng. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di hidup Bilven. Apa mungkin ini seperti lelucon yang sedang dimainkan teman-temannya untuk merayakan ulang tahunnya kemarin? “I-itu. Maaf saya kelepasan. Maaf, Nona. Tolong jangan katakan ini pada siapapun. Saya tidak ingin dipecat. Astaga, kenapa mulut ini selalu menyulitkan dan tidak bisa menjaga perkataan, sih?” katanya menyesal sambil memukuli mulutnya sendiri. Bilven berdiri dan memegangi kedua tangan pelayan itu, dia menghentikan usaha pelayan itu untuk menyakiti diri sendiri. “Hentikan. Cukup! Aku tidak akan bilang sama siapa-siapa. Jangan pukuli mulut kamu kayak gitu!” Bilven memegang tangan pelayan kuat-kuat. “Nona sungguh berjanji tidak akan mengadukan saya?” “Kalau kamu janji nggak akan nyakitin diri kayak tadi, aku janji nggak akan ngaduin kamu.” “Baiklah saya janji. Nona juga harus janji,” katanya menatap tajam Bilven meminta kepastian darinya. Bilven mengangguk dan melepaskan pegangannya pada tangan pelayan itu. “Sekarang, apa kamu mau cerita apa yang terjadi di rumah ini? Ayolah, kamu sudah terlanjur bercerita. Tidak ada salahnya ditambah lagi, toh resikonya sama. Kalau tidak mau cerita aku bakal ngadu sama kepala pelayan.” Pelayan muda di hadapan Bilven mengumpat kecil, dia telah dijebak oleh Bilven dan dia tidak punya pilihan. Hidup keluarganya bergantung pada pekerjaannya di rumah besar ini. Jika sampai dia di pecat, ibunya yang tua dan sakit-sakitan tidak bisa makan dan berobat sementara adik-adiknya bisa putus sekolah. Dia memandangi Bilven yang sedang tersenyum licik padanya. “Bagaimana? Kamu mau cerita sesuatu?” “Apa yang ingin Nona ketahui? Satu pertanyaan untuk setiap pertemuan kita. Saya tidak bisa bercerita banyak, saya takut Nona,” ujarnya memelas. Bilven memandang iba padanya. “Baiklah satu pertanyaan sehari sudah cukup.” “Mari kita ke kamar mandi. Saya akan menggosok punggung Nona dan Nona bisa memberi saya pertanyaannya.” Pelayan itu mempersilakan Bilven pergi ke kamar mandi. Bilven menuruti perintahnya walau dia sedikit tak nyaman karena harus mandi di hadapan seseorang. *** Selesai mandi, Bilven dipakaikan baju yang cantik. Lagi-lagi gaun dan kali ini berenda dengan manik-manik bergantungan di ujung gaun. Rasanya terlalu berlebihan untuk gaun seindah ini jika dipakai di dalam rumah. Bilven juga dipakaikan sepatu yang hak-nya cukup membuat keningnya sakit. “Apa tidak ada yang lebih santai? Sepatu ini membuatku tidak bisa bergerak.” “Memangnya Nona mau ke mana? Sepatu ini membantu Nona berjalan lebih anggun. Nona sekarang istri Tuan Muda, harus selalu terlihat cantik dan elegan.” Huh! Omong kosong apa itu, sungut Bilven. Cantik dan elegan. Di desa kecil seperti ini memangnya mau pamer ke mana dengan dandanan norak begini? “Nah, Nona sudah cantik sekarang. Mari saya antar Nona ke ruang makan.” Pelayan itu membuka jalan untuk Bilven dan mempersilakannya keluar kamar. “Aku nggak dikurung, nih? Udah boleh keluar kamar?” “Nona bukan tawanan. Maafkan kejadian kemarin. Kami takut jika Nona mencoba melarikan diri sebelum bertemu Tuan Muda. Makanya kepala pelayan memutuskan mengunci Nona di dalam kamar sampai Tuan Muda menemui Nona.” Ah, Tuan Muda. Suaminya. Apa dia akan bertemu dengannya di ruang makan? Teringat pada laki-laki yang menciumnya semalam membuat pipinya memerah. “Nona yakin tidak terjadi apa-apa semalam? Pipi Nona bersemu merah. Apa teringat sesuatu yang indah?” Pelayan ini memang tidak bisa menjaga mulutnya, keluh Bilven. Dia tidak boleh tahu jika semalam telah terjadi sesuatu. “Ti-tidak. Tentu saja tidak. Aku masih perawan kalau kamu mau tahu,” ucap Bilven kasar. “Ah, sayang sekali. Padahal penghuni rumah ini benar-benar berharap kalau Nona adalah wanita yang tepat.” “Kamu selalu mengeluarkan kata-kata yang membuatku ingin bertanya. Ayok cepat antar aku ke meja makan sebelum aku memaksamu menjawab semua pertanyaanku!” perintah Bilven. Dia sungguh diliputi penasaran dengan segala keanehan di rumah ini. Namun dia sudah terlanjur berjanji hanya mengajukan satu pertanyaan setiap kali mereka bertemu. Dan Bilven diajarkan Papa untuk menepati janji. Ah, Papa .... Sedang apa dia sekarang? Bilven rindu Papa. *** Ruang makan di rumah ini ukurannya sebesar rumah Bilven. Ujung kedua meja cukup jauh, jika tidak berteriak mustahil bisa mendengar pembicaraan lawan bicara di ujung satunya. Makanan hanya disajikan untuk satu orang saja di salah satu ujung. “Sendirian? Ke mana penghuni rumah yang lain? Kukira aku bakal makan dengan seseorang. Di mana Tuan Muda?” “Tuan tidak pernah makan di ruang makan,” sahut kepala pelayan. Seorang lelaki beruban yang mengingatkannya pada Alfred pelayan Bruce Wayne. Dia membuka penutup hidangan di depan meja dan aroma butter menyembur memasuki indera penciuman Bilven. Membuat rasa penasarannya seketika meruap dan berganti rasa lapar. “Silakan dinikmati, Nona. Jangan ragu untuk meminta jika Nona memerlukan sesuatu.” Astaga, di sini benar-benar formal sekali. Tata bahasanya benar-benar terjaga. Setahu Bilven tidak ada kerajaan atau keturunan raja yang tinggal di daerah sini. Pemilik rumah besar ini dulunya tuan tanah yang kaya raya dan tanahnya pun berhektar-hektar. Karena sangat murah hati, dia mengizinkan warga mengolah tanahnya tanpa dipungut uang sewa. Namun sewaktu-waktu tuan tanah itu meminta tanahnya kembali, warga harus memberikannya. Warga tidak begitu saja menerima kebaikan tuan tanah. Setiap panen, mereka menyisihkan sedikit hasil kebun, ladang, atau sawah untuk diberikan kepada tuan tanah. Meskipun tuan tanah menolah, warga memaksa memberi. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun. Atau ratusan. Tidak ada yang bisa memastikan kapan pertama kali desa ini berdiri. Sebuah desa di lereng gunung, dengan tanah yang subur dan mata air yang memancar tiada henti. “Aku tidak biasa makan sendirian. Rasanya aneh ketika makan bukannya ditemani malahan ditonton,” keluh Bilven ketika dia menyadari kalau Alfred KW itu berdiri tidak jauh di belakangnya. Seolah siap sedia jika Bilven tiba-tiba butuh sesuatu. “Maaf, Nona. Sudah seperti ini peraturannya.” “Aku nggak biasa makan sambil ditonton!” “Maaf, Nona saya tidak menonton, saya hanya ....” “Ya, sudah, aku nggak mau makan kalau gitu.” Bilven meletakkan sendok dan garpunya. “Jangan, Nona. Nona harus sarapan. Nona tidak boleh sakit.” “Kalau begitu temani aku makan.” “Maaf, Nona saya tidak bisa.” “Aku nggak lapar.” Bilven berdiri dan mengempaskan serbet di pangkuannya. “Nona, jangan mempersulit keadaan. Tuan Muda bisa marah kalau tahu Nona tidak makan.” “Hah! Dia peduli sama aku? Kalau peduli panggil dia, suruh dia temani aku makan!” kata Bilven setengah berteriak. Sepertinya dia cukup frustasi dengan keadaan yang sangat berbeda dengan kebiasaannya. “Nona, tolong kembali ke kursi Nona.” Kepala pelayan berusaha memaksa Bilven untuk duduk kembali, namun Bilven memberontak dan hendak keluar dari ruang makan. “Ada apa? Kudengar istriku menolak sarapan? Apa menunya tidak sesuai dengan seleranya?” Sebuah suara lembut mengejutkan Bilven. Entah kapan sosok itu masuk ke ruang makan dan berdiri di hadapannya dan kepala pelayan. Bilven memandang sosok anggun di hadapannya. Tinggi, tegap, rambut hitamnya sedikit panjang hingga menyentuh kerah kemeja putihnya. Jika topeng itu terbuka, Bilven yakin akan ada wajah tampan di baliknya. Dan suara lembutnya, entah kenapa Bilven begitu berdebar mendengar suaranya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD