"Maaf gue lama," Ucap Jingga setelah membereskan perdebatannya dengan Devan, dan berniat kembali ketempat dimana Senja dan Bintang berada. Meskipun sedikit kecewa, karena Senja tidak mencegah ataupun mencarinya.
"Loh, Bintang kemana?" Tambahnya sembari mengedarkan pandangan, mencari gadis yang entah sejak kapan sudah mengalihkan perhatian Senja.
"Udah pulang." Jawab Senja singkat, makanan yang ada dimejanya masih utuh semua, seperti saat dia berniat untuk pergi keluar. Sedangkan Senja? Laki-laki itu hanya sibuk memainkan game COC-nya diponsel.
"Terus kenapa lo masih ada disini? Makanannya juga masih banyak." Ucap Jingga sembari duduk diseberang Senja. Fokus laki-laki itu pun tidak terganggu sama sekali dengan kedatangannya.
"Nunggu lo." Jawaban yang singkat, namun membuat perasaanya campur aduk. Apa ini sebuah perhatian? Sebagai seorang teman juga kah?
"Uh gue terharu,"
Jingga berusaha mengalihkan perasaannya yang semakin tak tau diri, tidak sekali laki-laki itu bersikap layaknya lebih dari teman, tapi Jingga pun harus sadar bahwa mereka tetap ada dizona teman yang tidak bisa diganggu gugat.
"Makanannya sampai dingin gini." Gadis itu melahap satu-persatu makanannya.
"Ini gara-gara lo." Mata Senja mengintimidasi, dia tidak lagi sibuk dengan ponselnya.
"Kok gue? Apa salah gue? Gue kan diusir, sebenernya balik kesini pun gue malu." Jawab gadis itu tenang, sedikit menyindir.
"Kayak gak tau kebiasaan gue aja." Kini Senja yang lebih tidak terima.
"Kan sekarang beda, udah ada Bintang." Jawab Jingga. Ngilu sekali hatinya tiap berbicara kedekatan Senja dengan Bintang. Tapi tidak, Jingga tidak boleh menyalahkan Bintang yang hadir dikehidupan Senja.
"Oh ya? Bukannya didepan ada Devan? Dan lo jadi lupa untuk masuk lagi?"
Ini lebih mengintimidasi, bukan menyindir.
"Eh lo tau didepan ada Devan? Jadi sebenernya lo udah nyamperin gue? Tapi kenapa lo nggak misahin gue dari tuh cowok badboy abal-abal, gue muak banget liat tingkahnya yang sok, tapi udah babak belur 99 kali karna gue." Protes Jingga.
"Bukannya lo seneng ketemu dia?"
Jingga mengernyitkan alisnya, kenapa Senja sejak tadi berbicara seperti itu? Devan? Senang bertemu dengan laki-laki itu? Ayolah, seharusnya Senja tau musuh bebuyutan gadis itu adalah Devan.
"Kenapa lo bisa bilang gitu?"
"Bukannya lo punya perasaan ke dia?"
Jingga semakin bingung. Sejak kapan Senja baper? Mau siapapun laki-laki yang pernah dekat dengan Jingga, dia tidak perduli untuk mengganggu waktu mereka. Tapi sekarang?
"Lo cemburu ya?" Celetuk Jingga. Dia hanya menggoda, tapi perubahan mimik wajah Senja membuatnya ingin tertawa.
"Nggak salah?"
"Kok gitu?"
"Lo yang cemburu gue dengan Bintang kan?" Celetuk Senja balik.
"HAHAHA." Jingga melahap lagi makanan yang ada didepannya.
"Bahas apa sih ini? Makan aja kuy."
***
"Ren, kamu masih disini?" Ucap Bintang, ketika dia menemukan laki-laki yang masih dipertahankannya hingga sekarang, meski terlalu sulit untuk diungkap ke publik.
"Ya." Jawab laki-laki itu singkat, dengan memegangi sudut bibirnya yang membiru.
"Ren, kamu kenapa?"
Bintang mendekat, perasaan khawatir lagi-lagi menghantuinya setiap melihat pacarnya itu babak belur. Sebenarnya Bintang selalu meminta Ren agar berhenti berkelahi, dengan siapapun itu. Tapi, emosi Ren lah yang tidak bisa mencegah. Laki-laki itu tidak bisa mengontrol emosinya, bahkan dengan Bintang sekalipun.
"Stop." Satu tangannya lagi terangkat keudara, sebagai isyarat agar gadis didepannya tidak menyentuh wajahnya.
Mata gadis itu pun nanar saat mendapat penolakan dari laki-laki yang seharusnya bersikap baik padanya.
"Aku ingin mengobati lukamu," Ren tidak bergeming, tangannya masih terangkat keudara untuk menolak Bintang.
"Aku mohon." Ucapnya lagi, membuat Ren melemah dan membiarkan Bintang mendekat untuk menyentuh wajahnya, mengecek seberapa parah kah lukanya.
"Lagi-lagi kamu berkelahi, apa kamu tidak mendengarku? Lihat, siapa yang mendapat akibatnya? Kamu sendiri kan? Kamu jadi terluka seperti ini." Bintang menuntun Ren untuk ikut dengannya ke kursi yang ada ditaman, dekat mereka.
"Aku mengkhawatirkanmu, mengertilah." Ren baru menoleh kearah Bintang, setelah terduduk dan mendengar ungkapan dari gadis yang masih menjalin hubungan diam-diamnya.
"Terimakasih." Ucap Ren singkat. Matanya sedikit meneduhkan. Membuat Bintang teringat lagi bagaimana sewaktu dulu, masa-masa dimana Ren begitu memperhatikannya, dengan segala keteduhan yang ditampakkannya.
"Meski setiap hari aku bertemu denganmu, tapi aku masih merasa rindu. Karena yang bertemu denganku sekarang, bukanlah seseorang yang memperdulikanku lagi." Ucap Bintang menohok hati Ren.
"Aku tidak minta apa-apa darimu Ren, karna memang kita belum bisa menyelesaikan apa yang menjadi masalah diantara kita sekarang. Tapi kumohon, bersikaplah seperti dulu, aku sedih melihatmu seperti sekarang." Buliran air terjatuh meski segera ditahan dengan jari telunjuknya.
"Maaf." Ucap Ren masih singkat. Bintang mengeluarkan tisu ditasnya dan mulai membersihkan luka yang tidak terlalu serius. Tangannya mulai terhenti ketika dipegang oleh Ren.
"Seharusnya aku tidak membuatmu sedih. Maaf." Senyumpun mengembang dengan simetris dibibir gadis itu.
"Aku tidak apa-apa, asalkan perasaanmu tidak pernah berubah untukku." Ucap Bintang yang terlihat begitu bahagia. Ren yang dulu telah datang lagi.
Ren pun tersenyum juga, tapi bukan karena rasa bahagia Bintang, tapi karena seseorang yang sekarang dilihatnya dari kejauhan, seseorang yang entah mulai kapan merubah perasaannya.
"Apa yang dilakukannya disini." Ucap Ren dalam hatinya.
"Oh ya Ren, ada teh poci, kamu disini ya aku mau beli. Dan minta sedikit es batunya, untuk kompres lukamu." Ucap Bintang yang dijawab dengan anggukan oleh Ren.
Gadis itu pun melangkah, menjauh dari Ren dengan wajah berserinya. Dia berharap laki-laki itu tidak berubah lagi.
"Pak, teh pocinya 2 ya." Pesan Bintang saat sudah sampai ditempat penjualnya.
"Oke Neng, ditunggu sebentar ya." Ucap penjual itu yang masih muda.
"Duduk dulu, biar nggak pegel Neng. Kasian nanti keringetan loh." Bintang tersenyum sangsi. Sedikit bergidik ngeri melihat penjual itu mengedipkan mata kearahnya.
"Jangan genit deh Bang Su'ud," Sahut seseorang dari balik tubuh Bintang.
"Eh Neng Jingga, tenang aku untukmu kok. Nggak bakal lari ke yang lain." Ucap penjual yang diketahui bernama Su'ud itu.
"Tapi, itu tadi godain cewek lain." Ucap Jingga mensejajarkan tubuhnya disamping Bintang dengan bibir memanyun. Gadis itu melemparkan pandangan ngeri kearah Jingga.
"Jingga, kamu dengannya?"
Apalagi kalau bukan salah paham? Siapapun yang jadi Bintang pasti berpikiran sama.
"Hahahaha." Keduanya tertawa lepas.
"Becanda Bintang, dia Bang Su'ud, penjual teh poci langgananku yang tergila-gila dengan artis india bernama Katrina Kaif. Paling suka godain cewek cantik yang beli tehnya." Ucap Jingga.
"Pembeli cewek manapun nggak bakal godain balik setiap abang goda, eh tapi Neng Jingga lah satu-satunya cewek yang godain balik abang. Waras tidak?" Balas Bang Su'ud. Membuat Bintang ikut terkekeh. Gadis itu suka melihat Jingga yang apa adanya, dia melakukan apapun sesuka hatinya.
"Tolong ajak dia menuju jalan kebaikan Neng." Ucapnya lagi pada Bintang.
"Apa? Jadi menurutmu aku tidak baik Bang?" Ucap Jingga berlebihan.
"Lihat. Abang bahkan pengen muntah." Ucap Su'ud lagi mendengar ucapan Jingga. Sedangkan Bintang semakin terkekeh melihat aksi temannya itu menggoda penjual teh poci.
"Ini teh pocinya 2 Neng, lain kali ajak Neng Jingga bertobat."
"Mmm, aku bisa beli es batunya sedikit Bang?" Tanya Bintang sebelum membayar.
"Abang kasih aja Neng, bentaran ya abang masukin plastik." Ucap penjual itu dan menyodorkannya kearah Bintang yang juga membayar teh pocinya.
"Es batu buat apa?" Tanya Jingga.
"Mengobati luka, Jingga." Jawab Bintang.
"Kamu terluka? Mana? Biar aku bantu obatin." Ucap Jingga.
"Bukan aku, tapi pacarku." Jawaban Bintang menyeruak kesadaran Jingga. Pacar? Sekarang, Jingga ingin mendengar penjelasannya.
"Sudah dulu ya, aku buru-buru." Ucap Bintang langsung pergi.
"Eh bentar,"
Liujarihim, qoldat tu zohiru ma fihim...
Jingga berhenti bicara, ketika ponselnya berbunyi,
Artis terkenal call
"Akh, Senja lagi." Gerutu Jingga.
"Ha.."
"Halo, woy lo dimana? Gue nyari lo!"
"Ish bisa dikecilin dikit nggak volumenya? Udah gue bilang kan, gue mau beli teh poci."
"Tapi ini lama banget. Gue nungguin lo nih!"
"Yaelah sabar bisa nggak?"
"Udah deh sini cepet, jangan ladenin penjual teh poci yang kegenitan itu."
"Ah elah lo posesif banget sih Bang-sat." Ucap Jingga yang tanpa diketahuinya membuat Senja semakin memerah wajahnya.
"Pokoknya gue gak mau tau, 5 menit gak sampek sini gue tinggal." Dan telpon itu pun terdengar ditutup oleh Senja yang ada diseberang.
"Bang, teh poci 2 sekarang. Cepet. Ini gawat." Ucap Jingga. Alarm bahaya berdering. Senja beneran sedang marah.
"Oke Neng, bentar ditunggu dulu ya,"
"Bang lestarikan banyak bekerja daripada bicara. Ini gawat."