Harus bertemu, itu artinya harus kenal.
Bintang tidak tau jika pertemuan tak sengajanya dengan Senja dan kebohongan yang membuat laki-laki itu harus terlibat dengan masalahnya, berujung pada pertemanan hingga sekarang. Apalagi dengan Jingga, sahabat Senja yang sangat mengasyikan.
Senja lah yang sudah menyelamatkan Bintang, mengenai Mamanya juga dirinya. Bintang pada akhirnya harus terus melibatkan laki-laki itu.
"Ren, tolong denger aku." Bintang kembali menemui laki-laki yang ada dihadapannya sekarang, mencoba menghindari Bintang namun sayangnya dia tidak akan bisa melakukan itu.
"Apa lagi? Lo nggak ada habisnya ganggu gue ya!" Sentak laki-laki bernama Ren itu.
"Ren, aku cuman mau ngomong sama kamu. Kamu bisa sebentar disini untuk sekedar denger yang aku bicarakan." Bintang masih bersikeras agar Ren mau mendengarkannya.
"Gue sibuk!"
"Sibuk? Belakangan ini kamu selalu sibuk, dulu kalo aku minta waktu kamu sebentar saja, kamu bisa."
Protesnya, tidak perduli dengan Ren yang semakin murka padanya.
"Itu dulu, sekarang nggak! Jangan minta waktuku, kalo kamu sendiri nggak bisa yakinin semua orang bahwa kita punya hubungan. Apalagi pada Mamamu."
Ren membuka suaranya setelah sekian lama harus menyimpannya. Bagaimanapun juga pacaran diam-diam dengan Bintang itu tidak benar, dia tau itu. Ren juga tau bahwa Bintang tidak akan seberani itu mengakui kesemua orang, apalagi Mamanya. Tapi gadis itu terus mencoba mempertahankan hubungannya, begitupun dengan Ren yang selalu menghargainya.
Kini laki-laki itu terasa lelah dengan sikap Bintang.
"Aku nggak bisa melakukan itu." Bintang tertunduk.
Ren tertawa sinis.
"Sudah gue duga. Untuk apa jalanin semua ini kalo lo sendiri nggak bisa bebas." Ucapan Ren sontak membuat Bintang mendongak. Kedua tangannya segera meraih jemari Ren yang sejak tadi sudah mengepal, membuat kuku-kukunya memutih.
"Kita masih perlu waktu, Ren. Aku menyayangimu. Aku akan bilang pada Mama, tapi nanti, kalo kamu datang kerumah, dengan keberanian dirimu. Diamku ini tergantung kamu. Aku nggak pengen koar-koar tentang hubungan ini, sedangkan kamu sendiri belum pernah kerumah untuk menemui Mamaku. Kalo kamu benar-benar serius, maka datanglah kerumah. Kita bicara sama Mama kalo kita punya ikatan yang akan membawa kita pada pernikahan. Kamu mau kan?"
Kini kesalahan berbalik. Ren lah yang mulai tersudut. Bintang hanya meminta Ren datang kerumahnya untuk menemui Mamanya, maka dia tidak akan lagi menyembunyikan hubungan itu dari dunia.
"Gue nggak bisa. Menurut gue, laki-laki yang sudah berani bertemu dengan orang tua seorang perempuan, maka dia harus menempatkan dirinya pada status mapan, baik dari sandang, pangan, dan papan. Gue belum bisa seperti itu. Gue masih kuliah, biaya hidup gue juga dari orang tua. Mana mungkin gue berani kerumah lo untuk bertemu dengan Mama lo."
"Mapan bukan hal segalanya dalam hubungan. Yang penting kamu mau menemui Mamaku, yakinkan bahwa kelak kamu bisa mapan. Seenggaknya kamu bilang ke Mama, bahwa aku sudah milikmu." Elak Bintang yang masih terus berusaha untuk membujuk Ren.
"Nggak. Gue gak akan melakukan itu." Ren melepas genggaman tangan Bintang.
"Gue masih belum siap."
Mata Bintang berkaca-kaca. Cukup sering dia membujuk Ren, tapi tetap saja menolaknya.
"Kalo kamu begini terus, gimana bisa kita jujur ke semua orang kalo pacaran?"
"Itu terserah lo."
Jawaban Ren menghantarkan energi panas yang harus membuat airmata Bintang mengalir. Tidak sampai disitu, sikap Ren yang langsung meninggalkannya semakin membuatnya kecewa. Kecewa, pada sikap laki-laki yang begitu disayanginya.
"Bintang, lo ngapain disini?"
Suara itu muncul dibalik tubuhnya. Suara lembut yang sangat dihafal oleh Bintang.
Gadis itu segera menghapus airmatanya yang ada dipipi. Dia tidak mau menyisakan tangis, yang membuat Jingga curiga dan akhirnya, membuatnya tidak kuasa untuk bercerita yang sebenarnya.
"Eh, Jingga.. Nggak lagi apa-apa, mampir beli minum aja." Suaranya masih serak.
Jingga duduk disampingnya dengan wajah yang penuh heran.
"Lo habis nangis ya?" Tebak Jingga.
"Nangis? Haha, ya nggak lah. Ngapain juga aku nangis disini." Elak Bintang.
"Ya terkadang seseorang butuh sendirian untuk menangis, meluapkan segala keluhnya. Mungkin, lo salah satunya?"
Pernyataan Jingga dibenarkan oleh Bintang. Namun gadis itu tidak bisa sejujur itu pada Jingga, meski dia tau Jingga adalah sosok teman yang baik, teman yang dapat dipercaya.
Bintang tertawa miris.
"Haha, kata siapa aku sendirian? Liat, disini banyak pengunjung lain."
Bintang menunjuk semua orang yang duduk dimeja samping kanan kirinya.
"Bukan itu maksud gue, tapi lo itu..."
"Oh ya, Senja pasti ada disini?"
Bintang mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun gadis itu tidak tau jika pertanyaannya membuat hati Jingga yang ada disampingnya terasa nyeri.
"Mmm, iya." Jawab Jingga. Entah apa yang dirasakannya, namun melihat kedekatan Senja dan Bintang membuatnya harus berkali-kali membuang nafas dengan keras. Dadanya terasa sesak, seperti dihimpit sesuatu yang berat dan besar. Namun naasnya dia tidak pernah tau, apa yang sebenarnya sedang dia rasakan.
"Dimana dia sekarang? Biasanya ngintilin kamu terus." Tanya Bintang dengan bersemangat.
"Masih ada diluar, tadi nggak sengaja ketemu sama temen basketnya." Jawab Jingga seadanya.
"Eh hai, pasti kalian lagi ngomongin gue?" Suara itu seketika muncul dari permukaan, ketika baru saja sedang dalam perbincangan dua gadis itu.
"Ah PD lo!"
"Apasih Jin, gue nggak tanya lo. Gue tanya Bintang," Senja mengalihkan pandangannya kearah Bintang.
"Iya kan Bintang?"
Senyum Bintang pun mengembang dengan cepatnya. Padahal tadi baru saja dia terluka karena Ren, tapi sekarang dengan mudah diobati oleh Senja. Sudah seperti namanya, laki-laki itu begitu menghangatkan.
"Yaudah. Gue nggak dianggep nih!"
Sentak Jingga. Sudah hal yang biasa, dia selalu menampakkan sikap itu jika Senja mulai mengabaikannya. Dan Senja begitu menyukainya, jika sahabatnya sudah mulai kesal karenanya.
"Nggak." Jawab Senja bercanda.
"Yaudah gue pergi." Ucap Jingga mengancam.
"Yaudah pergi sana."
Senja hanya bercanda. Jingga sudah kebal dengan becandaan Senja seperti itu.
Namun kali ini, entah sifat ke-cewek-an darimana yang baru nempel, Jingga begitu sensitif, sampai akhirnya membawanya berdiri dan melangkah keluar.
"Dia ngambek, Senja." Ucap Bintang.
"Kamu bikin dia marah, cepat samperin untuk minta maaf." Tambahnya.
"Halah, dia sering gitu. Bentar lagi juga balik. Gayanya pake ngambek, padahal dia sendiri yang minta gratisan dari gue." Jawab Senja dengan santai. Dia pun melambaikan tangan untuk memanggil pelayan.
***
Diluar. Tepatnya dimana Jingga berada. Gadis itu menunggu agar Senja mengejarnya dan meminta maaf. Dia ingin dianggap ada oleh laki-laki itu, seperti yang dilakukannya pada Bintang, gadis yang baru dikenalnya seminggu yang lalu. Gadis itu bahkan sudah mengalahkannya tentang perhatian Senja, gadis itu juga sudah mengalahkannya tentang kelembutan Senja. Sekarang seakan Bintang lah yang pantas mengerti semuanya tentang Senja, daripada dirinya, sahabatnya yang bertahun-tahun. Sahabat? Ya, seharusnya Jingga tau bahwa status itu tidak akan pernah berubah. Sedangkan antara Bintang dan Senja, mereka hanya teman, yang sewaktu-waktu akan mudah berubah.
Jingga mengusap wajahnya yang tiba-tiba lesu. Nggak seharusnya dia punya pemikiran bahwa Bintang adalah gadis baru yang telah mengalahkannya.
"Ngapain lo disini? Kayak tukang asongan aje."
Suara itu spontan membuat Jingga mendongak. Dan sudah menemukan laki-laki bernama Devan. Berandalan, yang sangat dia benci. Karena sikapnya yang terus mencampuri urusan Jingga, mencari mangsa didepan Jingga, melakukan hal bodoh didepan Jingga, membuat Jingga sangat muak dengan laki-laki itu.
"Cangcimen-cangcimennya bang. Hahaha, cocok lo jadi gituan." Tambahnya, yang membuat Jingga langsung murka.
Meski tubuhnya yang kecil, dia tidak pernah kalah dengan laki-laki. Ekstra bela dirinya membuatnya dengan mudah mengalahkan laki-laki yang mulai macam-macam dengannya.
Karena kekesalannya pada Devan, Jingga pun meluncurkan tonjokan dipipi laki-laki itu.
Tapi sudah seperti makanan sehari-harinya, Devan begitu lincah mengelak, dengan menahan kepalan tangan Jingga.
"Lo selalu berenti diangka 99. Angka yang buat gue babak belur. Gue nggak akan buat lo genap 100 kali mukulin gue." Bisik Devan, sedangkan Jingga matanya menyalak-nyalak mendengar ucapan Devan yang sombong.
Laki-laki itu membawa tangan Jingga turun kebawah. Dan langkahnya maju satu langkah untuk lebih dekat dengan Jingga.
"Gue berharap sama Tuhan, untuk nggak lagi ciptain makhluk jadi-jadian kayak lo. Seperti nama lo, Jin." Tambahnya.
"Denger,"
Tak kalah mengintimidasinya, Jingga berbicara dengan gigi yang bergemerutuk. Meski tanpa sadae tangannya masih dalam genggaman Devan.
"Gue bahkan berdoa sama Allah, untuk menghapus manusia kayak lo dibumi ini. Dan lagi, jangan pernah menyebut gue Jin! Kalo lo masih berani melakukan itu, nggak hanya 100 kali, 1000 kali pun gue bisa bikin lo babak belur." Jingga melepaskan genggaman tangannya ketika sadar.
***
Bintang masih sibuk bercerita tentang sahabatnya yang sedang ada di Jerman, tidak peduli dengan Senja yang mulai gusar. Laki-laki itu tiba-tiba khawatir dengan Jingga yang tidak juga kembali.
"Mmm, Bintang sebentar. Gue keluar dulu, Jingga nggak ada balik, gue jadi khawatir." Senja pun segera berdiri dan melangkahkan kakinya menuju luar.
"Kenapa semuanya pergi saat aku membutuhkan." Bintang mengalihkan pandangannya kearah Senja yang berjalan gontai, dia terus menatap punggung laki-laki itu, berharap Senja menoleh kearahnya. Namun dia salah, Senja masih meneruskan langkahnya tanpa berhenti.
Sedangkan Senja terus berjalan, sampai pada ambang pintu masuk. Disana dia menemukan pemandangan yang tidak bisa dikendalikan oleh akalnya. Dia melihat sahabatnya, Jingga berpegangan dengan Devan, dan jarak mereka pun begitu dekat. Senja tertegun lama, mempeehatikan apa yang akan terjadi selamjutnya, namun sesuatu dalam hati menariknya agar tak terus mengawasi mereka.
"Jadi bener, Jingga suka sama Devan."