Sikap Ketus Tuan Rumah

1095 Words
“Mmmm!” Cahaya mencoba bersuara di balik tangan Bintang. Cahaya tidak percaya kata-kata Bintang dan semakin panik saat satu tangan Bintang merangkul pinggangnya. Ia dengan sekuat tenaga menggigit telapak tangan Bintang agar menjauh dari mulutnya. Bintang tetap tidak menurunkan tangannya dan lebih memilih memejamkan mata sekuat mungkin, menahan rasa sakit dari gigitan Cahaya yang terasa sampai ke dalam daging. Lama-kelamaan, Cahaya tidak tega melihat Bintang kesakitan tanpa suara. Ia perlahan mengendurkan gigitannya dan berhenti berteriak. “Udah bisa percaya sama aku?” tanya Bintang saat Cahaya melepaskan gigitannya. Cahaya tidak menjawab dengan kata-kata, tapi ekspresi wajahnya terus menunjukkan ketakutan. Bintang berusaha meyakinkan Cahaya dengan menurunkan tangannya yang terasa perih untuk menangkup wajah Cahaya. Ia tidak peduli jika pipi Cahaya terkena darahnya. “Ay, percaya sama aku, aku gak ada niat macem-macem. Aku cuma mau peluk kamu.” “Jangan, Kak. Kak Bi pasti mau ngulang kejadian waktu Kak Bi masuk ke kamar Aya, ‘Kan?” Bintang tersenyum mengingat kejadian beberapa tahun silam, di mana ia salah menunjukkan niat baiknya. “Gak, Ay. Aku bener-bener cuma mau peluk kamu. Aku sengaja suruh kamu ke kamar mandi supaya suara kamu gak keluar dari kamarku. Karena aku tahu kamu pasti teriak kayak waktu itu.” “Kak Bi, Aya mau keluar aja,” pinta Cahaya, lirih. Bintang tidak memperdulikan permintaan Cahaya meskipun ekspresinya semakin ketakutan. Ia langsung menarik kepala Cahaya ke dadanya dan menahan kuat-kuat. “Aku cuma mau peluk kamu kayak gini. Seminggu ini pasti kamu gak ada tempat buat nangis, ‘kan? Kamu butuh pelukan seseorang buat keluarin kesedihan kamu, biar kamu gak nangis sendirian kayak tadi pagi.” Ketegangan Cahaya mulai berkurang dan berganti rasa heran begitu mendengar ucapan lembut Bintang. “Peluk aku, Ay, biar kamu bisa nangis sepuasnya, tapi jangan kenceng-kenceng nanti didenger Ayah sama Bunda.” “Kak Bi serius?” tanya Cahaya tanpa mendongakkan kepalanya. “Kamu masih gak percaya sama aku?” Cahaya tidak menjawab, tetapi ia menggerakkan tangannya, membalas pelukan Bintang. Bintang mulai mengusap kepala Cahaya dengan lembut dan menyandarkan dagunya di puncak kepala Cahaya. “Aku tau, kalo di rumah kamu pasti nangis di pelukan Tante Nisa sama Eyang. Sekarang mereka udah gak ada, aku mau kamu nangis di pelukan aku. Pelukan aku bisa nenangin kamu, gak beda jauh dari pelukan mereka,” tawar Bintang. Cahaya langsung menangis saat Bintang mengingatkan pelukan ternyaman yang kini sudah tidak bisa ia rasakan lagi. Ia benar-benar melepas semua kesedihan yang ada di dalam hatinya. Meskipun beberapa hari lalu ia juga meluapkan tangisannya di dalam pelukan Aryo. Kehilangan tiga orang yang dicintai sekaligus, membuat ia tidak puas menangis berapa kali pun. “Kenapa mereka tinggalin Aya sendirian, Kak? Aya pengen sama mereka terus. Aya gak mau mereka pergi. Aya gak mau sendirian.” Bintang mengeratkan pelukannya saat Cahaya mulai mengeluarkan keluh-kesahnya. Ia ingin Cahaya merasa nyaman dalam dekapannya. “Seandainya Aya ikut sama mereka. Seandainya Aya gak mentingin peliharaan Bapak, Aya pasti bakalan ikut mereka pergi dan Aya gak akan sendirian kayak sekarang, Kak,” sesal Cahaya dengan tangis yang semakin kencang. “Ssssttt ... Ay, kamu gak boleh ngomong, gitu. Semua udah takdir mereka dan takdir kamu. Semua udah berjalan gimana mestinya.” “Harusnya takdir Aya sama mereka terus.” “Kamu harus ikhlasin mereka, ya, Ay.” “Gak Bisa, Kak. Aya gak mau sendirian.” “Kamu gak sendirian, Ay,” hibur Bintang lagi. Cahaya semakin meluapkan tangisnya setelah yakin kali ini Bintang tulus padanya. Ketulusan yang pertama kali ia rasakan dari seorang Bintang yang selalu ketus. “Nangis sepuas kamu, Ay, tapi jangan kenceng-kenceng, ya!” Cahaya mengangguk dalam dekapan Bintang dan mengeluarkan semua kesedihannya dengan tangis yang tertahan. Bahkan banyaknya air mata yang keluar membuat baju bintang basah. ••••• Pagi ini Cahaya bangun pukul setengah lima pagi, waktu biasa ia membuka mata setiap harinya. Ia langsung membersihkan diri dan kamarnya setelah itu keluar dari kamar untuk merapikan seluruh ruangan rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya sampai menikah nanti. Saat berjalan ke ruang tamu, Cahaya bertemu Diva yang juga baru saja bangun dan ingin ke dapur. “Pagi, Tante,” sapa Cahaya diiringi dengan senyum ramahnya. Namun, seolah Cahaya tidak tampak wujudnya di mata Diva. Jangan membalas sapaannya, melirik pun tidak dan terus melangkah menuju dapur. Cahaya hanya bisa menghela nafas, mencoba untuk memaklumi bahwa dirinya hanya menumpang di rumah orang yang tidak memiliki ikatan darah dengannya dan harus terima bagaimana pun sikap tuan rumah. Setelah itu Cahaya melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu untuk bersih-bersih. Satu jam kemudian Cahaya merasa pekerjaan di ruang tamu dan halaman depan sudah selesai. Ia segera menuju ke dapur untuk membantu Diva membuat dan menyiapkan sarapan. “Tante masak apa? Boleh Aya bantu?” tanya Cahaya di belakang Diva. Tanpa menoleh lagi dan dengan nada ketus Diva menjawab, “Gak usah!” Mendengar jawaban ketus Diva, Cahaya bingung apa yang akan ia lakukan dan tidak enak hati jika tetap berada di dapur tanpa melakukan apa pun. Yang ada ia akan terkesan hanya menonton. Cahaya berinisiatif untuk ke lantai dua rumah, membersihkan semua ruangan. Meskipun ia tahu di lantai dua tidak terlalu berantakan dan kotor. “Apa sebelum bawa aku tinggal di sini, Om Aryo gak minta persetujuan dulu sama Tante Diva, jadi Tante Diva marahnya sama aku?” ujar Cahaya saat menyapu lantai. Selama membereskan ruangan, Cahaya lebih banyak melamun memikirkan sikap Tantenya. Baru satu hari tinggal di sini, tapi ia sudah merasa tidak enak hati karena sikap ketusnya itu. Bagaimana ia akan menghadapi hari-hari ke depan. Saat asyik melamun, Cahaya mendengar pintu kamar Bintang terbuka. Ia langsung mengalihkan tatapannya untuk menyapa Bintang yang tadi malam mau bersikap baik padanya. “Pagi, Kak,” sapa Cahaya. Setali tiga uang dengan ibunya, Bintang juga tidak membalas sapaan Cahaya dan tidak melirik sedikit pun. Ia langsung berjalan menuruni puluhan anak tangga sambil terus memperhatikan telapak tangannya. Cahaya mendengus sambil tersenyum kecut melihat Bintang kembali pada sikap judesnya. Padahal, hingga detik-detik terakhir kepergiannya dari kamar semalam, Bintang masih bersikap baik dan lembut. “Aku pikir semalem dia udah nerima aku tinggal di sini, tapi sekarang dia balik lagi ke sifat sombongnya. Apa semalem dia kerasukan malaikat sampe gak sadar udah baik sama aku. Dasar lelaki aneh!” gerutunya. Cahaya kembali menarik nafas panjang mencoba memaklumi sifat dari tuan rumah tempat ia menumpang. “Ibu, Eyang, apa Aya bisa tinggal lama di rumah ini kalo sikap pemilik rumah jelas-jelas nunjukin rasa gak suka mereka. Terus kalo gak tinggal di rumah ini, Aya mau tinggal di mana lagi? Aya gak punya siapa-siapa selain Om Aryo,” keluh Cahaya dengan mata berkaca-kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD