Mengunci Kamar

1208 Words
Saat ini Cahaya, Aryo, Diva, dan Prita sedang makan malam. Orang tua dan anak itu makan dengan serius, tetapi tidak dengan Cahaya. Matanya sejak tadi melirik ke arah Diva beberapa kali. Hatinya bertanya-tanya dengan perubahan sikap istri dari Omnya itu. Sejak ia tiba di sini hingga membantu mengerjakan pekerjaan rumah siang tadi , Diva terlihat sangat enggan padanya. Bahkan, cara bicaranya juga terdengar acuh dan ketus. Saat membantu menyiapkan makan malam pun, Diva beberapa kali tidak menjawab pertanyaan Cahaya dan berlalu begitu saja. “Apa Tante Diva gak suka aku tinggal di sini, ya?” pikir Cahaya. “Aya gak suka makanannya?” tanya Aryo yang sudah sejak awal makan memperhatikan anak mendiang sahabatnya itu. Cahaya langsung mengalihkan wajahnya, menatap Aryo. “E—enggak, Om,” jawab Cahaya gugup karena langsung mendapat tatapan sinis dari Diva begitu Aryo bertanya. “Aya gak enak badan?” tanya Aryo lagi. “Enggak, Om, Aya baik-baik aja,” elak Cahaya sambil mengaduk-aduk makanannya. “Kok, Kayak gak semangat gitu makannya? Aya gak suka, ya, sama makanannya?” Aya langsung menggeleng cepat. “Enggak, Om, Aya suka, kok. Makanannya enak.” “Kalo gak suka makanan di rumah ini, beli sendiri sana di luar!" ucap Diva, ketus. Aryo dan Prita saling tatap karena ucapan ketus Diva, padahal keduanya berharap Diva tidak menunjukkan ketidaksetujuannya dengan kehadiran Cahaya di depan orangnya. “Aya suka, kok, Tante,” balas Cahaya dengan senyum canggungnya. Setelah itu keempatnya kembali fokus pada makanan masing-masing sampai selesai dan Cahaya langsung membantu Prita membereskan piring kotor yang ada di meja makan untuk segera dicuci. Kemudian, Cahaya mengambil nampan lalu meletakkan beberapa piring dan mangkuk berisi nasi beserta lauk-pauknya. “Ini buat siapa, Kak?” tanya Prita yang baru selesai minum. “Buat Kak Bintang. Tadi sebelum aku makan, dia ke kamarku suruh bawain makan ke kamarnya selesai aku makan.” “Manja banget, tuh, orang. Biasa juga turun sendiri ke sini,” omel Prita dengan wajah sebal sambil melihat ke sisi kanan, arah kamar Bintang. “Gak, apa-apa, Prita. Aku seneng dia mau minta tolong sama aku.” “Itu bukan minta tolong, Kak, tapi nyuruh. Biar aku bilangin Ayah, Kak Bintang manfaatin Kak Aya.” Prita langsung melangkah menuju ruang tamu di mana Aryo berada. Cahaya langsung menaruh nampan untuk mencegah langkah Prita dengan menarik lengannya. “Prita, jangan! Nanti Bintang marahnya sama aku. Aku gak keberatan disuruh-suruh sama dia.” “Nanti dia jadi kebiasaan, Kak!” “Gak apa-apa, siapa tahu dari sering suruh-suruh ini, dia jadi baik sama aku.” Prita berpikir sejenak dan sangat tahu sikap ketus dan galak kakaknya pada Cahaya sejak dulu. “Biarin aja, ya?” tanya Cahaya. Prita menarik nafas panjang mencoba memaklumi sikap ketus kakaknya. “Tapi kalo Kak Bintang nyuruhnya keterlaluan, Kak Aya harus bisa nolak!” “Iya, aku pasti tolak.” Setelah itu Prita menuju kamarnya dan Cahaya kembali mengambil nampan lalu menuju kamar Bintang sambil memperhatikan Aryo yang sedang menonton televisi, agar tidak melihat dirinya berjalan karena takut akan dicegah dan Bintang akan marah padanya. “Kak Bintang!” panggil Cahaya begitu tiba di depan kamar karena ia tidak bisa mengetuk pintu dengan tangannya. Bintang langsung membuka pintu dan menatap Cahaya dari atas sampai ke bawah. “Jangan panggil gue Bintang!” “Maaf, Kak, Aya lupa.” “Kenapa lama banget?” tanya Bintang, ketus. “Aya cuci piring sama bersih-bersih meja bantu Prita dulu.” “Ya udah, masuk!” perintah Bintang sambil membuka pintu lebih lebar. Cahaya langsung melangkah menuju meja samping tempat tidur untuk menaruh nampan yang ia bawa lalu langsung keluar kamar. Saat membuka pintu, Cahaya mengerutkan keningnya karena pintu tidak bisa dibuka. Ia kembali menoleh, menatap Bintang yang sibuk dengan laptopnya. “Kak Bi kunci pintunya?” “Hmm,” sahut Bintang tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop. “Kenapa pintunya dikunci, Kak?” “Lo pasti liat kamar gue berantakan, ‘kan?” Cahaya langsung mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar Bintang. Ia ingat betul tadi pagi kamarnya tidak sekacau ini. “Kak Bi mau suruh aku beresin kamar ini?” “Lo pikir buat apa gue ngunciin lo di kamar?” Cahaya menghela nafas panjang. Menurutnya, jika hanya menyuruh untuk sekedar beres-beres, Bintang bisa bicara langsung tanpa harus mengunci pintu kamar yang terkesan mereka akan melakukan sesuatu di dalam. Cahaya langsung melangkah menuju rak sepatu, tempat yang paling berantakan lalu menyusun kembali ke tempatnya. Kemudian merapikan pakaian yang berserakan di tempat tidur, sofa, dan dekat jendela. “Baju-baju ini bersih apa kotor, Kak Bi?” tanya Cahaya sambil menunjukkan beberapa baju di genggamannya. Bintang melirik sesaat lalu menutup laptopnya dan beranjak dari tempat tidur untuk segera makan di meja samping tempat tidurnya. “Itu sebagian udah ada yang gue pake, sebagian lagi baru gue coba sebentar. Lo gantung aja semuanya di belakang pintu.” Cahaya langsung melangkah sesuai perintah Bintang dan menggantung baju yang masih tercium aroma parfum dan bau tubuh Si Pemilik baju. Selama Bintang makan, Cahaya membereskan dan membersihkan kamar Bintang juga menaruh beberapa barang pada tempatnya. Sesekali Cahaya bertanya tentang tata letak barang dan Bintang menjawab dengan mulut berisi makanan. Hingga Bintang selesai makan, Cahaya masih menyapu lantai kamar dan balkon. “Bisu, abis ini langsung ke kamar mandi!” perintah Bintang sambil beranjak dari kursi ke tempat tidur. “Buat apa, Kak?” “Ya dibersihin, lah!” “Besok pagi aja, ya, Kak. Aya cape mau istirahat di kamar,” tolak Cahaya. Penolakan Cahaya membuat Bintang melayangkan tatapan sinis padanya. “Lo berani nolak perintah gue?” “Bu—bukan nolak, Kak. Aya cuma nunda aja. Besok pagi abis sarapan, Aya pasti langsung ke sini.” “Gue maunya sekarang!” balas Bintang tegas. Cahaya menghela nafas berat kesekian kalinya karena tidak berani menolak lagi. Sebenarnya bukan rasa lelah yang membuatnya menolak perintah Bintang, tapi ia takut kejadian beberapa tahu lalu saat di kampungnya terulang. Di mana hanya ia dan Bintang yang ada rumah. “Semoga Kak Bintang bener-bener cuma mau aku bersihin kamar mandi aja, gak niat macem-macem kayak dulu,” batin Cahaya. Setelah selesai menyapu, Cahaya langsung melangkah ke kamar mandi dan begitu melihat kamar mandi yang terlihat sangat bersih dan rapi, ia bingung apa yang akan dilakukan dengan kamar mandi yang sudah bersih. “Aku harus apa di kamar mandi sebersih ini?” gumam Cahaya. Merasa tidak ada yang ingin dilakukan, Cahaya membalikkan badan untuk mengatakan pada Bintang. Namun, belum sempat tubuhnya berbalik sempurna, sebuah tubuh kekar mendorong hingga ia masuk ke kamar mandi bersama tubuh kekar itu. Cahaya membelalakkan mata dan nafasnya tiba-tiba menderu begitu ia berhadapan dengan Bintang dalam ruangan tiga kali empat meter. Seketika ingatannya kembali pada kejadian di mana Bintang masuk ke kamarnya secara tiba-tiba dan langsung mengunci pintu. “Kak Bi mau apa? Kenapa dorong Aya?” tanya Cahaya dengan wajah ketakutan. “Ay, tenang, jangan takut. Aku gak akan mecem-macem,” ucap Bintang lembut, bahkan merubah panggilannya. Tapi ucapan lembut Bintang justru membuatnya semakin takut karena ucapannya sama persis dengan ucapan waktu itu. Saat kedua tangan Bintang bergerak untuk memeluk, Cahaya langsung berteriak memanggil Aryo. “Ommmm!” Bintang dengan cepat membekap mulut Cahaya agar suaranya tidak keluar dari kamar mandi. “Aya, tenang. Aku janji gak bakal macem-macem,” ujar Bintang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD