Part 1

1876 Words
Faiqa menatap sepupunya yang masih saja terduduk di tempatnya padahal ibu gadis itu sudah beberapa kali memanggil namanya. “Loe udah harus prepare sekarang, Ra. Nyokap loe udah manggil.” Faiqa mengetuk-ngetuk meja dengan kesal. Hanira masih saja duduk tak bergeming. “Hanira Levent! Loe gak akan kalah hanya karena patah hati kan?” tanya Faiqa pada sepupunya saking kesalnya. Ia tahu bahwa adik sepupunya—yang tiga tahun lebih tua darinya itu—baru saja patah hati karena mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabat baiknya sendiri. Tapi tetap saja itu tidak lebih penting daripada ibunya sendiri. Saat ini, Aunty Nadira sedang menunggu Hanira karena gadis itu harus melakukan fashion show. Dan menjadi sangat penting karena ini adalah fashion show terakhir yang akan dilakukan tante Faiqa sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun. Hanira masih memaku di tempatnya. Membuat Faiqa kesal sendiri dan akhirnya menyerah. Faiqa memilih meninggalkan kamar sepupunya dan bersiap menghadapi tantenya. “Gimana?” tanya wanita pertengahan lima puluh tahun itu dengan cemas. Faiqa menggelengkan kepalanya dengan wajah lesu. “Gimana sekarang Aunty?” tanya Faiqa sedih. Nadira tampak menggelengkan kepala. Wajah cantiknya kini juga turut menunjukkan kesedihan. “Aunty gak masalah kalau dia gak mau jalan di atas catwalk. Yang Aunty takut dia malah terus-terusan kayak gini.” Ucapnya dengan khawatir. Faiqa bisa mengerti kekhawatiran tantenya. Hanira adalah sosok gadis yang ceria. Tidak ada hari tanpa gadis itu tertawa dan bicara. Namun sejak kemarin, kelakuan sepupunya itu berubah. Dia menjadi pendiam dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kamar. Menolak untuk makan dan menolak untuk berbicara dengan siapapun. Gadis itu menjadikan ‘lelah’ sebagai alasan. Tapi bukan itu fakta yang mereka ketahui sesudahnya. Hanira, baru saja dikhianati sang tunangan. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu tiga bulan ke depan itu diketahui sedang b******u bersama seorang wanita di hotel yang sialnya adalah teman baik Hanira sendiri. Dan lebih sialnya lagi—atau lebih memalukan tepatnya—pria itu memilih hotel keluarga Levent sebagai tempat berselingkuh. Dan akhirnya, salah satu karyawan yang mengenal Hanira memberikan informasi ini pada Hanira. Dan saat itu juga, Hanira meminta Faiqa untuk menemaninya ke hotel untuk memergoki kekasihnya. Pria itu jelas terkejut dan tak bisa berkata-kata. Mengemis pada Hanira saat itu juga supaya tidak melaporkan kejadian ini pada ayahnya—Ayah Hanira lebih tepatnya. Betapa memalukan. Saat itu juga Hanira mengatakan pada pria itu bahwa hubungan mereka berakhir. Namun sepertinya, itu merupakan awal mula kesedihan sepupunya. Hanira tidak banyak berkata-kata selama perjalanan pulang mereka ke kediaman orangtuanya. Gadis itu memilih memandang keluar jendela dan membiarkan Faiqa menyetir mobil kesayangannya. Faiqa pun tak banyak berkata. Ia sadar bahwa itu bukan saat yang tepat baginya untuk meluapkan kekesalan dan kemarahannya terhadap mantan tunangan sepupunya itu. Hanira jauh lebih berhak untuk mengeluarkan semua kata-kata kotor dalam kepalanya terhadap mantan tunangannya itu. tapi sayangnya, sepupunya itu memilih untuk diam daripada mengeluarkan semuanya. Sepupunya itu tampak mencoba untuk menahan diri. Mereka sampai di kediaman orangtua Hanira. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa dan keluar dari dalam mobil sebelum Faiqa memarkirkannya dengan benar. Sepupunya itu bahkan melangkah dengan sangat cepat—hampir berlari—masuk ke dalam rumah dan mengabaikan sapaan dari pelayannya. Faiqa hanya bisa menggelengkan kepala seraya berjalan masuk menuju rumah mengikuti sepupunya. Ia melihat sorot cemas dari tantenya dan hanya memberikan ringisan. “Bukan berita baik.” Jawabnya lirih. Wanita paruh baya itu hanya bisa memandang sang putri dengan tatapan cemas. Tidak terdengar bantingan pintu di ruang yang sepi itu, tidak seperti yang terjadi dalam drama-drama roman yang lebay. Faiqa menarik napas panjang. Entah bagaimana dia sendiri saat ini merasakan kesesakan yang pastinya Hanira rasakan. Meskipun ia tahu bahwa yang ia rasakan belum seberapa dibandingkan dengan yang Hanira rasakan. Dan malam sudah berganti menjadi pagi. Sepupunya itu menolak untuk sarapan bersama keluarganya. Dan saat Faiqa naik ke atas untuk membangunkannya, pintu kamar sepupunya itu terkunci. Faiqa menahan diri. Sengaja memberikan waktu pada sepupunya itu untuk bersedih. Dan saat ia mencoba untuk mendekati sepupunya dua jam kemudian. Pintu kamar sepupunya itu masih terkunci. Namun Faiqa tak menyerah kali ini. Dia menggedor pintu kamar Hanira sampai akhirnya gadis itu menyatakan kekalahannya dan mengijinkannya masuk. Lagi. Faiqa tidak melihat aksi berlebihan seperti yang sering ia lihat dalam drama dimana sosok wanita yang patah hati menghancurkan berbagai macam benda yang ada di dekatnya demi melampiaskan kemarahan. Kamar Hanira nyaris bersih. Hanya tempat tidurnya yang terlihat berantakan dan Faiqa bisa melihat jejak airmata yang membasahi bantal. Sepupunya itu memilih untuk menangis dalam diam sebagai luapan kesedihan. Faiqa tahu bahwa dia harusnya memberi Hanira waktu untuk berkabung. Namun sayang, ini bukan waktu yang tepat. Karena ibu Hanira membutuhkan Hanira dalam acara fashion show terakhirnya. Hanira kini menatap tantenya. Wanita itu masih terlihat sedih dengan keadaan putrinya. Faiqa tahu bahwa hal ini mengundang kegalauan bagi wanita paruh baya itu. Satu sisi ia memiliki tanggung jawab dengan kariernya dan orang-orang yang bergantung padanya. Di sisi lain ia tahu bahwa kini putrinya membutuhkannya. “Hanira perlu waktu, Aunty. Semuanya akan baik-baik saja. Aunty pergi saja sekarang. Anak-anak akan lebih bingung jika Aunty tidak ada disana. Iqa akan coba bujuk Hanira untuk pergi ke sana nanti siang.” Janji Faiqa. “Tapi untuk jaga-jaga, Aunty sepertinya harus mencari model cadangan.” Ucapnya yang dijawab anggukkan wanita paruh baya itu. Sayangnya, beberapa jam kemudian kabar buruk kembali Faiqa dengar. Hanira memang bersedia pergi dengannya ke acara fashion show ibunya. namun wajah gadis itu tidak memungkinkannya untuk ikut menjadi model dalam peragaan busana. Dan tantenya—sayangnya—tidak bisa menemukan model lain untuk acara ini. “Kamu mau bantu Aunty kan, Iqa?” tanya wanita itu dengan tatapan penuh harap. Tentu saja Faiqa tidak bisa menolak permintaan itu. Selain ukuran tubuhnya dan Hanira sama, ia juga tidak bisa membiarkan tantenya lebih bersedih lagi. Maka dari itu, ia menganggukkan kepala dan membiarkan tubuhnya digiring ke salah satu meja rias dan siap untuk dirias sesuai dengan tema fashion show kali ini. Beberapa jam kemudian, Faiqa menjadi sosok terakhir yang menyerahkan bunga pada Nadira. Diiringi riuh tepuk tangan dari pengunjung. Tanpa Faiqa tahu, sepasang mata sejak awal tak mengalihkan pandangan darinya. ****** Tiziano Salvatore bukanlah pecinta keramaian. Namun rekan bisnisnya kali ini adalah sosok pria yang menggilai para wanita cantik. Dia meminta Tiziano untuk bertemu di sebuah acara fashion show yang diadakan di Istanbul. Pria tua Bangka itu juga berseloroh bahwa setelah acara mereka bisa mendapatkan salah satu model sebagai teman ranjang selama Tiziano bisa memberikan apa yang mereka mau. Uang. Itu jelas bukan masalah bagi seorang Tiziano Salvatore. Di usianya yang ke dua puluh delapan tahun dia sudah masuk ke dalam jajaran pengusaha muda Italia. Namanya tidak bisa dianggap remeh di dunia bisnis. Selain dia menjadi pewaris satu-satunya kerajaan bisnis Salvatore. Usaha yang dirintisnya sendiri tak kalah besarnya dari usaha sang ayah. Masalahnya disini adalah, apakah para wanita penjual diri itu akan bersedia merahasiakan apa yang mereka lakukan di balik pintu. Mengingat dirinya bukanlah pria kebanyakan. Dia seorang pria yang memiliki kelainan. Mau tak mau ia harus mengakui itu. Meskipun tidak banyak orang yang tahu. Hanya orang-orang tertentu. Dan selama ini, orang-orang ‘tertentu’ itu bisa menutup mulutnya karena Tiziano memiliki cara untuk membungkam mulut mereka. Namun tetap, Tiziano harus berhati-hati. Ia tidak bisa begitu saja menjadikan seorang wanita pemuas nafsunya tanpa ia tahu kelemahan wanita itu. ia harus berjaga-jaga. Menjaga dirinya dari segala kemungkinan terburuk di masa depan. Dia tidak mau nama baiknya tercoreng dan berefek pada usahanya hanya karena kelainan yang dimilikinya. Tiziano keluar dari mobilnya, memberikan kuncinya pada petugas valet dan berjalan memasuki gedung bersama dengan asistennya. Peragaan busana yang berlangsung di Fişekhane di distrik Zeytinburnu Istanbul. Tiziano melihat beberapa tokoh penting hadir disana. Kebanyakan dari kalangan artis yang wajahnya sering ia lihat berkeliaran di televisi atau poster dan majalah. Meskipun ia bukan warga Negara Turki, tapi Turki adalah salah satu Negara yang sering ia kunjungi dalam perjalanan bisnisnya. “Apa dia sudah ada disini?” tanyanya pada sang asisten yang berdiri di sampingnya. Pria yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Tiziano itu memandang berkeliling, mencari sosok yang mereka kenal “Kelihatannya dia belum ada disini, atau mungkin dia sudah berada di dalam?” tanya pria itu dengan tak yakin. Tiziano mengerutkan dahinya, melirik pria di sampingnya dengan tatapan tak suka. Asistennya itu tampak menunjukkan senyum canggung, sebelah tangannya terulur ke depan seolah meminta Tiziano untuk bergerak maju. Tiziano mengikuti saja arahan pria itu dan berjalan melewati orang-orang dan masuk ke bagian dalam gedung dimana peragaan busana berlangsung. Masih ada cukup waktu sebelum pagelaran dimulai. Asistennya mengarahkan Tiziano ke tempat duduknya yang seharusnya. Dimana ia diposisikan untuk duduk di samping pengusaha yang tengah dicarinya. Seorang pria berusia enam puluh tahun yang selalunya mencari para daun muda. Tiziano menyapa pria itu dengan anggukkan ringan sebelum kemudian duduk di sampingnya. Jelas ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk membicarakan bisnis. Karena itu, dia lebih memilih untuk menikmati musik yang mulai mengalun dan mendengarkan sambutan dari pembawa acara yang sekaligus akan menjadi komentator selama acara itu berlangsung. Musik mulai dimainkan. Beberapa wanita cantik dengan pakaian indah mulai berjalan di atas catwalk. Tampilan merka cukuplah sopan. Yang Tiziano dengar, si perancang busana bukanlah warga Negara Turki. Melainkan seorang wanita berkebangsaan Indonesia yang memiliki darah Filiphina-Amerika. Mantan model terkenal pada jamannya yang kemudian dinikahi pengusaha Turki bermarga Levent. Yang Tiziano tahu merupakan salah satu pengusaha terkaya di Turki namun banyak mengakarkan bisnisnya di Indonesia. Mereka merajai bisnis kontruksi, hotel dan resort, restoran dan juga fashion. Dan belakangan ini, Tiziano juga mendengar kalau generasi kedua mereka sukses melebarkan usaha di bidang entertainment. Yang Tiziano dengar pula adalah, sosok-sosok generasi pertama Levent itu sudah diajak untuk bekerja di parlemen Turki demi kemajuan Turki sendiri. Namun tampaknya para pria Levent ini tidak tertarik dengan politik dan memilih untuk menjadi pengusaha saja. Sementara sebagian pria serakah lain di luar sana tentunya tidak akan menolak tawaran seperti itu. Karena politik sama dengan kekuasaan dan kekuasaan sama dengan kekayaan. Tiziano tak banyak berkata-kata. Ia hanya memperhatikan penampilan yang terlihat di dalamnya. tidak ada satu pun wanita yang menggugah minatnya. Tidak ada satupun dari para wanita cantik yang berlenggak-lenggok itu membuatnya b*******h. Tiziano mengangkat sudut mulutnya dengan sikap mengejek. Sulit memang untuk memenuhi kepuasannya, bahkan dalam urusan tempat tidur. tapi sulit bukan berarti tidak ada, bukan? Dan ia menemukannya, sosok cantik berbalut pakaian indah yang menjadi ikon peragaan busana itu. Sosok yang berjalan di posisi terakhir dengan gaun terindah yang pernah Tiziano pernah lihat. Gadis itu berjalan mengikuti iringan musik yang lambat. Berjalan dengan begitu percaya diri dan menunjukkan senyum yang terlihat memikat. “Jangan macam-macam dengan yang satu ini, bung.” Bisikan itu terdengar dari si pengusaha yang Tiziano temui. Tiziano melirik ke arahnya dan mengangkat sebelah alisnya. “Dia bukan orang yang bisa kau beli dengan uang karena dia sudah memiliki semua itu.” lanjut pria paruh baya itu. “Dia putri si Levent. Dan kau tidak akan bisa mendapatkannya dengan mudah.” Lanjut pria itu lagi. “Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.” Gumam Tiziano lebih kepada dirinya sendiri. Ia terus menatap gadis itu. Semakin terpikat kala melihat gadis itu tersenyum manis saat menyerahkan buket bunga besar di tangannya pada sang ibu yang merupakan si perancang busana. “Apapun yang terjadi, dia harus bisa ada di atas tempat tidurku.” Gumamnya lagi dengan senyum jahat di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD