1

1018 Words
Angkasa memarkirkan mobilnya secara asal pada halaman rumah, dia melirik sebentar ke arah mobil Honda Civic silver yang terparkir di samping motor sport milik Langit-adik semata wayangnya. Merasa sudah tidak sanggup berpikir yang berat, dia memutuskan turun dari mobil tanpa membawa koper bawaannya ikut serta. Angkasa melangkahkan kaki panjangnya lebar-lebar menuju pintu rumah. Tangannya sudah bersiap untuk mengetuk pintu, tapi pintu sudah terbuka lebar lebih dahulu. Seorang Ibu setengah baya dengan rambut diikat cepol, memakai daster batik berwarna cokelat kemerahan keluar. "Ih! Mas Angkasa! Kenapa berdiri di situ? Ngagetin Bi Jum aja! Kalau jantung Bi Jum copot, Mas Angkasa mau tanggung jawab?" Untuk kedua kalinya Angkasa harus melupakan niatnya protes pada Bi Jum, karena si Ibu berhasil mendahului. "Jadi, ini salah saya? Salah Mami Papi saya? Salah Langit?" tanya Angkasa dengan suara marah dibuat-buat. "Loh, kok Mas Angkasa bawa-bawa Ibu, Bapak dan Mas Langit? Kan mereka nggak di tempat kejadian perkara." Angkasa menggusap alis hitam pekatnya dengan jari, menghela napas, karena dirinya terlalu lelah untuk berdebat dengan Bi Jum. "Iya... iya... Bi Jum benar, saya salah. Maafin Angkasa ya, Bi Jum. Untung jantungnya nggak copot, kalau copot Bi Jum tinggal nama." Mendengar ucapan Angkasa membuat Bi Jum refleks memukulkan tangannya pada lengan kekar Angkasa, tidak puas dengan pukulan, Bi jum juga mendaratkan sebuah cubitan kecil pada pinggang Angkasa. "Mas Angkasa kalau ngomong suka ngawur!" runtuk Bi Jum. Angkasa tersenyum, merangkul Bi Jum, lalu memindah tangankan kunci mobilnya pada tangan Bi Jum. "Apa ini maksudnya?" "Idih, si Bi Jum pura-pura nggak tahu." Angkasa tersenyum semakin lebar pada Bi Jum, mengedipkan satu matanya sebagai kode. "Capek... habis bawa pesawat gede sekali..." Angkasa merubah nada suaranya bagai anak kecil baru saja melakukan lari marathon. Bi Jum tak kuasa untuk tidak tersenyum, memukul b****g Angkasa karena terlalu gemas dengan tingkah laku salah satu anak asuhnya itu. "Idih, si Bi Jum genit mukul b****g sekseh aku. Nanti dimarahin sama pacar aku loh, Bi!" Angkasa mengusap bokongnya dengan tatapan seperti sakit hati dengan tindakan Bi Jum, alih-alih merasa khawatir kalau Angkasa marah. Bi Jum justru tertawa semakin keras, dan sengaja memukul b****g Angkasa untuk kedua kalinya. "Genit?!" Bi Jum tersenyum miring. "Si Bibi tuh udah lihat semua onderdil Mas Angkasa, dari jaman masih seukuran ini dan belum sunat." Bi Jum mengangkat jari kelingkingnya di depan wajah Angkasa. "Sampai seuku--" "Ah! Ah! Skip! Skip! Pembahasannya nggak kece, bawa-bawa ukuran." Angkasa menghentikan Bi Jum lalu memberi tanda untuk Bi Jum melihat ke arah mobil civic silver. "Papi beli mobil baru?" Bi Jum menggeleng keras. "Bukan, mobil itu punya anu... hmmm... apa yah namanya, si Bibi lupa." Angkasa mengerutkan keningnya, memperhatikan raut wajah lucu yang dihasilkan Bi Jum saat berusaha mengingat apa yang ingin dia katakan. Bi Jum merupakan pengurus rumah terlama yang dimiliki oleh orang tuanya, jadi Angkasa tidak pernah sungkan untuk bercanda dengan Bi Jum. "Aduh, apa ya... itu loh, Mas..." "Apa Bi? Saya bantuin ingat yah, yang punya bernafas... berbentuk manusia... punya rambut... punya wajah..." Angkasa sengaja meledek Bi Jum seperti orang sedang mengikuti sebuah kuis di televisi. Bi Jum melirik penuh peringatan ke arah Angkasa, pria dengan wajah kebule-bulean itu mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah. "Ampun, Bi." "TUTOR! Nah, itu tutor. Tutor baru Mas Langit, kata Ibu buat bantu Mas Langit biar siap lahir batin ikut ujian akhir SMA." Angkasa membentuk huruf vokal O, seraya memperhatikan semangat Bi Jum saat berhasil mengingat si pemilik mobil civic. "Wanita loh, Mas." "Oh ya? Cantik nggak? Sekseh nggak? Hot nggak? Bohay nggak?" Bi Jum kembali melihat Angkasa penuh peringatan dan lagi Angkasa mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum geli dengan reaksi Bi Jum. "Tapi, kok saya baru tahu ya si Langit dibantu tutor?" "Kan tutornya baru masuk sehari setelah Mas Angkasa terbang, maka-nya Mas. Jangan kebanyakan main di udara, sekali-kali banyakin main di darat." "Cari uang, Bi. Modal kawin..." "Emang kawin pake modal?" "Pake dong, Bi. Nyewa hotelnya kan pake uang, traktir makan, belum lagi..." Belum selesai Angkasa menyelesaikan jawab nyelenehnya tentang kawin, Bi Jum sudah lebih dahulu melenggang menuju mobil Angkasa untuk mengambil koper yang biasa dibawa Angkasa saat melakukan tugas sebagai pilot. Angkasa tertawa geli, padahal tadi Bi Jum yang melemparkan umpan tentang kawin. Giliran dia sudah memakan umpan itu, si Bi Jum kabur. Angkasa masuk ke dalam rumah tanpa beban, satu-satunya yang dia pikirkan saat ini adalah ranjangnya yang nyaman dan empuk. Sebelum menuju ke kamar, Angkasa memutuskan untuk ke dapur, mengambil minuman kaleng. Tak berapa lama, dia mendengar suara Langit bersahutan dengan suara wanita. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Angkasa berlari cepat sambil menegak minuman kaleng yang dia ambil di kulkas. Angkasa terlalu kaget melihat sosok wanita yang ada di samping Langit, bahkan tanpa sadar dia telah menyemburkan seluruh isi minuman di mulutnya ke baju yang dipakai oleh si tutor. "Mas!!! Aduh! Lo kenapa sih? Sori ya, Mbak... Aduh, mau pinjem baju Mami aja? Kayaknya ukuran baju Mbak sama deh kayak Mami." Langit heboh berusaha membersihkan wajah Mbak tutornya tanpa terkesan kurang ajar, sementara Angkasa masih dalam kondisi syok berat. Mbak tutor menggeleng pelan dan sopan. "Nggak usah, Langit. Saya bawa baju di mobil." Si Mbak tutor memberikan senyum pada Angkasa, membuat pria dengan seragam pilot semakin mematung. "Oh gitu ya..." Langit pasrah sambil memendam perasaan tidak enak hati karena ulah Angkasa. Si Mbak tutor berjalan cepat mendahului Langit, baru saja dia bersiap untuk menggapai pintu masuk rumah. Sebuah genggaman tangan yang cukup erat menghentikan si Mbak, siapa lagi pelakunya kalau bukan Angkasa. "Kamu..." Angkasa bingung harus mengatakan seperti apa kalimat yang ada dipikirannya, terutama ada Langit yang sigap mengawasinya. "Kamu, nggak ingat siapa saya?" Si Mbak tutor mulai tidak nyaman dengan tingkah Angkasa, dia berusaha melepaskan cengkraman tangan Angkasa. Tapi Angkasa sengaja mempererat cengkramannya. Angkasa melengos, dia tidak percaya wanita di depannya masih memasang tampang bloon. Oke, wanita ini memang bepernampilan lebih sopan dan rapi daripada malam itu. Bahkan wajah eksotisnya tidak memakai pulasan make up, dia juga memakai kacamata dengan bingkai hitam sangat tebal. Tapi, Angkasa mengenali wanita ini. Si Mbak tutor ini adalah wanita satu malamnya yang menghilang dua minggu lalu, wanita yang mengganggu tidurnya selama dua minggu. "Bali, Inmonia Club, martini, kamar hotel..," kata Angkasa putus asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD