2

1352 Words
Angkasa masih tak percaya si Mbak tutor bertahan dengan wajah polos, bahkan beberapa kali si Mbak tutor melirik ke arah Langit. Seakan meminta bantuan untuk menyingkirkan Angkasa dari hadapannya, ya, bahkan si Mbak tutor bertingkah bagaikan dia digenggam oleh tangan penuh borok dengan bau menyengat. Bukan hanya itu, Angkasa menangkap basah si Mbak mengernyit, menggigit bibir bawahnya kencang. Bibir... Mara Angkasa sempat terfokus ke sana lalu cepat-cepat Angkasa menggeleng kecil, berusaha mengembalikan fokusnya. Angkasa merasakan pundaknya direngkuh dari belakang. "Mas, jangan kayak gini ah! Gue masih butuh bantuan Mbak Bellva buat bantuin gue lulus," kata Langit terdengar memohon. Bellva... nama yang menarik, batik Angkasa. Angkasa melirik ke arah adiknya itu, lalu kembali melirik ke arah Mbak tutor bernama Bellva. Angkasa menghela napas putus asa, melepaskan cengkraman tangannya dari Bellva, dan tindakan Bellva selanjutnya membuat Angkasa semakin merasa terganggu. Bayangkan saja, wanita itu buru-buru memeluk tangannya sendiri, mengusap-usap, tidak berhenti sampai di situ... Bellva mengambil tisue basah dan mengelap kulit tangannya yang tadi dicegkram oleh Angkasa. Angkasa membuka dua kancing dari seragam pilotnya, berkacak pinggang, lalu kembali menatap ke Bellva dengan kesal. Apa-apaan nih cewek?! Dia pikir tangan gue sumber kuman, dia nggak tahu berapa wanita mohon-mohon minta disentuh tangan gue, runtuk Angkasa dalam hati. "Kamu itu kena amnesia disosiatif atau memang nggak ingat dengan apa yang terjadi dengan kita?" tanya Angkasa, diikuti pandangan bingung dari Langit. Langit merapatkan tubuhnya pada Angkasa, menyenggol tulang rusuk Angkasa, memberi peringatan untuk Angkasa berhenti bertingkah menyebalkan. Langit mulai merasa otak kakak laki-lakinya sedang tidak beres, karena terlalu banyak melakukan cinta satu malam. "Mas, jangan malu-maluin doang. Masa tutor gue, lo samain kayak mainan 1000 tiga yang lo temuin di club-club." Belum sempat Langit menghentikan Angkasa dan membiarkan Bellva menjawab, Angkasa sudah berjalan mendekati Bellva, menghilangkan jarak di antara keduanya. Bellva menahan napas, belum pernah dia diperlakukan seperti ini oleh pria seperti Angkasa. Ya, pria dengan ketampanan layaknya dewa-dewa Yunani. Bellva berusaha berjalan mundur, tapi Angkasa telah melakukan sesuatu yang berhasil membuat Bellva kehilangan kesabaran. Angkasa menyingkirkan kacamata dari wajahnya, tanpa mengatakan satu kalimat pun. Seperti mengucapkan kata permisi, setelah melepaskan kacamata. Angkasa mematung, kilasan kejadian saat wajah Bellva mengerang dalam kenikmatan membuat jantung Angkasa berdegup kencang. Demi spongebob dan kerang ajaibnya! Angkasa ingin menggendong Bellva ke kamarnya, menciumi setian inci wajah Bellva, mengulang kembali aktivitas mengairahkan mereka malam itu. Terlintas dalam benak Angkasa untuk menyicipi bibir Bellva sekarang juga, dia sudah putus asa berusaha mengingatkan Bellva dengan ucapan. Rasanya akan lebih mudah mengingatkan Bellva dengan tindakan. Bellva menatap horor ke arah Angkasa, cepat-cepat merebut kacamata dari tangan Angkasa lalu memakai benda itu tanpa berniat menyembunyikan kejengkelan yang diakibatkan oleh ulah Angkasa. "Kamu..." Bellva menghela napas kasar. "Saya itu nggak bisa lihat tanpa kacamata dan saya nggak kenal ka..." "Nggak mungkin!" sanggah Angkasa. Pria itu merengkuh pundak Bellva, memaksa Bellva untuk mau menatapnya. "Kita tuh pernah ketemu di Bali!" Angkasa tetap pada pemikirannya, dia sudah benar-benar lupa pada rasa lelah yang dia rasakan sejak pesawatnya landing di bandara Soekarno Hatta. Angkasa melepaskan pundak Bellva, meraih tangan wanita itu dan meletakkan kedua tangan Bellva di atas dadanya yang berotot. Bellva membuka mulutnya lebar-lebar, dia benar-benar terkejut merasakan bisep seorang pria dengan tangannya sendiri. "Ka-kamu..," Bellva tergagap. "Saya akan ingatkan kamu, malam itu kamu selalu meraba d**a saya seperti ini." Angkasa menggoyangkan tangannya di atas d**a, membentuk sebuah lingkaran. "Dan kamu selalu bilang; gosh! d**a kamu sungguh pas untuk disentuh." Bellva tidak kuasa menyembunyikan wajah jijiknya saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Angkasa, dia benar-benar mengutuk hari ini, hari di mana dia bertemu dengan pria yang tidak dia kenal. Dan sialnya, si pria bertingkah aneh dan merancau kalimat-kalimat aneh. Tampan sih, badannya juga oke, tapi sayang otaknya geser! "Kamu masih belum ingat?" Angkasa mengeluarkan pertanyaan lagi. Bellva tidak tahu harus menjawab apa, dia melirik ke Langit, saat dia mengembalikan pandangannya lurus. Wajah Angkasa sudah berada tepat di depan wajahnya, memajukan bibirnya sedikit bersiap untuk meraup bibir Bellva. Bellva panik, tanpa pikir panjang Bellva melayangkan tendangan pada tulang kering dari kaki kiri Angkasa. Dan suara teriakan terdengar nyaring, bukan hanya dari Angkasa tapi juga dari Langit. Langit tidak merasakan tendangan, dia hanya sedikit ngilu melihat Angkasa meringis kesakitan. "KAMU..." Angkasa menggeram dengan nada tinggi. Melihat Angkasa bersiap untuk menghampiri Bellva lagi, Langit cepat-cepat berdiri di depan Bellva, menjulurkan kedua tangannya ke depan untuk menghentikan Angkasa. "STOP! Adohhh, Mas! Lo kan baru pulan terbang, kok udah mabuk saja sih," keluh Langit, seraya menoleh ke arah Bellva. Memastikan tutor yang dia dapatkan susah payah dalam kondisi baik, walaupun pada kenyataannya Bellva jauh dari kata baik. "Gue tuh cuman..." "ARTEMIS!!!" Bellva bersuara dengan nyaring. Dia menegakkan tubuh, mengangkat wajahnya, mencoba untuk menatap Angkasa tanpa perasaan was-was. Angkasa menaikkan satu alisnya, mendorong tubuh Langit agar menyingkir dari hadapan Bellva. "What?!" Angkasa memasang raut wajah tidak percaya. "Artemis, kalau kamu bertemu dengan wanita yang mirip saya. Dia bukan saya, dia Artemis." "Jadi kamu ada dua?"  Bellva menelan ludah susah payah, lalu mengangguk pelan. "Kalau begitu saya mau ketemu sama Artemis." "Nggak bisa!" Bellva tidak mampu untuk mengontrol nada suaranya agar tetap tenang. "Why?" Angkasa kembali melangkah mendekati Bellva. Langit mengacak-acak rambutnya frustrasi, tidak percaya harus menghadapi kegilaan kakaknya di saat dia sedang pusing menghadapi ujian kelulusan yang ada di depan mata. "Mas..." Langit meraih lengan Angkasa, meminta untuk Angkasa berhenti mendekati Bellva. Tapi, Angkasa menghempaskan tangan Bellva begitu saja. Alih-alih berhenti Angkasa semakin maju ke arah Bellva, tidak peduli kalau Bellva juga berjalan mundur setiap kali melihat dia maju. "Jawab! Kenapa saya tidak bisa bertemu dengan wanita Artemis?" Bellva menundukkan wajahnya. "Dia hanya suka keluar saat malam hari, di-dia... dia tidak suka berkegiatan saat siang hari." Angkasa tertawa lalu menggelengkan kepalanya. "Kamu pikir saya percaya dengan omong kosong ini? Dia tidak suka siang hari? Terus dia kerja kapan? Dia sejenis vampire yang takut cahaya?" Angkasa tertawa dibuat-buat. Bellva menghela napas kasar. Keras kepala, keluh Bellva dalam hati. Dia merapikan letak kacamatanya, mengibaskan bajunya yang lengket akibat semburan dari Angkasa. Bellva kembali melirik ke Langit, apa lagi alasannya kalau bukan untuk meminta bantuan Langit. Dia ingin segera terbebas dari situasi aneh yang diciptakan oleh kakak laki-laki muridnya ini, dia sudah terlalu pusing dengan setumpuk materi yang harus diajarkan. Tidak ada lagi tempat untuk memikirkan keanehan dari pria berseragam pilot, lagipula dari awal yang dicari pria ini bukan dirinya. Kalau si pria tidak percaya, itu bukan salah dia. "Saya harus pulang, masih ada satu murid yang harus saya ajar," kata Bellva hati-hati. Dia bergerak gelisah, karena Angkasa masih menatapnya. Dan tatapan Angkasa, sungguh terlihat bagaikan pria m***m sedang menelanjangi wanita incarannya. "Iya, Mbak. Pulang aja." Langit memberi izin dengan tangan sibuk mencengkram lengan Angkasa. Bellva tersenyum sebagai tanda berpamitan. Dan dunia Angkasa mendadak berhenti untuk persekian detik, dia kembali mengingat senyum wanita satu malamnya yang kata Bellva bernama Artemis. Angkasa memperhatikan Bellva memutar tubuhnya menghadap pintu, merasa Bellva akan segera hilang dari pandangannya. Angkasa buru-buru melepaskan diri dari cengkraman Langit, dan meraih siku Bellva. Tentu saja hal itu membuat Bellva nyaris berteriak, karena terkejut. Parahnya, Angkasa tidak berhenti di situ. Dia mengambil tas hitam yang dibawa Bellva, membuka, dan mengaduk-aduk isi tas tanpa permisi. Bellva semakin terkejut dengan tingkah Angkasa, dia melengos dan menggeleng tidak percaya. Ternyata pria dengan wajah tampan memiliki nilai 0 dalam kesopanan. Tidak berapa lama, Angkasa mengembalikan tas hitam itu ke dalam tangan Bellva. "Saya tadi pinjam ponsel kamu untuk missed call ke nomor saya, saya perlu tahu nomor kamu. Jadi, kalau saya butuh ketemu Artemis. Saya akan menghubungi kamu..." Belum sembuh keterkejutan Bellva, dia kembali menerima keterkejutan. Karena setelah melakukan semua yang tidak wajar, Angkasa melenggang menjauhi tempatnya bediri. "Saya simpan nomor saya dengan nama Angkasa." Angkasa berhenti berjalan, menoleh ke arah Bellva. "Ingat, nama saya Angkasa." Dia mengedipkan mata ke arah Bellva, membuat Bellva semakin melongo. "Nice to know you, Bellva." Langit menggeleng kepala, meraup wajahnya, lalu memandang Bellva penuh penyesalan.  "Maaf ya, Mbak. Kakak saja emang agak geser otaknya, kebanyakan kawin," kata Langit tak enak hati. Bellva hanya mampu tersenyum lalu benar-benar pamit dari rumah Langit, dia hanya berdoa semoga pria bernama Angkasa itu tidak akan pernuh muncul lagi saat dia mengajar Langit. Walaupun kemungkinan doa dia terkabul hanya 0.1%.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD