•Part 1•

712 Words
Joshua POV ========== Namaku Joshua Putra Hadinata. Tadi dini hari aku sudah mengubur mayat ketiga anggota keluargaku di belakang rumah. Sekarang aku sedang duduk santai sambil mengupas kulit apel. Sudah lama aku tidak menikmati pagi hari yang cerah di samping jendela kamar seperti ini. Kapan ya terakhir pikiranku tentram begini? Mungkin ini pertama kalinya, hidup tenang.. impian kecilku hanya hidup tenang... Tapi sialnya, ketentramanku tadi sedikit diganggu oleh kehadiran pacarku, Joselin. Dia ini sukanya menggangguku saja. Padahal aku sering mengikatnya kalau terlalu masuk ke dalam privasi hidupku. Seperti sekarang. Kulihat dia di pojokan kamarku dengan kaki tangan terikat sepeti biasa kalau sedang dihukum. Kemeja dan jeans yang dia pakai kotor berlumpur karena kami tadi sempat kejar-kejaran penuh cinta. Seperti biasa. Selalu saja begini. Dia pikir bisa lari lebih cepat dariku. Sebenarnya aku tidak suka melihatnya memberikanku tatapan jahat. Aku'kan tidak jahat. Kalau aku jahat, dia sudah jadi kuburan keempat di belakang. Aku sendiri juga bingung kenapa aku punya pacar. Bahkan aku tidak suka perempuan, bukan berarti aku suka laki-laki. Aku tidak suka apapun di dunia ini. Tapi main pacar-pacaran ini kulakukan berkat saran saudara kembarku, Jimmy. Dia bilang, selain untuk terapi hormon, punya pacar dari mantan musuh itu menyenangkan. What a bullshit... "Lepaskan aku, Shua!!" Bentak Selin membuyarkan lamunanku yang indah ini. "Salah sendiri nyari informasi tentangku, sudah kubilang, kalau nyari bukti bahwa aku ini pembunuh, nanti kuhukum lagi," ucapku tersenyum kecil padanya. Ia terus membentakku, "Kamu membunuh Ayahmu!" "Diam saja kalau tidak tahu apa-apa!" Bentakku sambil menggedor meja karena kesal. Saking kerasnya, apel-apel jadi keluar keranjang dan berjatuhan ke lantai. "Tidak ada alasan membunuh seseorang!" Aku tertawa mendengarnya. Makin lama gadis ini rasanya makin menggerogoti otakku. Dia terlalu normal, aku akan membuatnya sengsara dulu agar sadar bahwa dunia ini bukan dunia Barbie. Kudekati dia, lalu kuelus rambut panjangnya. Aku memberikan penjelasan singkat, "Selin sayang, dia itu hanya ayah tiriku. Sudahlah, dia tidak berguna, mati juga tidak ada pengaruhnya. Malahan bagus, aku ini sedang mengurangi populasi orang b*****t di dunia ini," kuberikan dia senyuman manis sembari memintanya, "coba puji aku.." Dia seolah ingin meludahiku, "Dasar gila." "Terima kasih," jawabku sambil mencium keningnya, "begitu dong. Sering-sering memujiku." "Lepaskan aku, Dasar Bodoh! Lepaskan!!" "Kamu belum minta maaf, cepat minta maaf, terus kamu boleh keluyuran lagi seperti kucing." "Aku akan melaporkanmu ke polisi!" Aku tertawa terbahak-bahak, "Silakan saja, kita'kan pacar, sama-sama terjun, sama-sama jatuh nanti." Dia melotot padaku, "Kamu.." "Aduh, kita ini pasangan baru, biar kuingat, hmm... baru seminggu'kan ya? Jadi jangan membentak, melotot, memakiku terus menerus dong," pintaku tersenyum, "mau minta maaf sekarang atau ku.. kuapain ya.." Raut wajah gadisku semakin muak padaku. Dia benar-benar membenciku. Padahal aku tidak pernah melakukan kekerasan padanya, cuma kepalanya sering kutenggelamkan di bak mandi saja. Aku masih menganut ajaran laki-laki tidak boleh berlaku kasar pada perempuan. "Aku akan membalasmu!" Bentaknya ingin menangis. "Milih mana, minta maaf padaku dengan tulus, kutampar dua kali dengan cinta atau kutenggelamkan lagi?" "Bunuh aku saja." Aku tertawa mendengarnya, "Lucu sekali, aku sedang malas menggali kubur, Sayang, pegal sekali semalaman nguburin orang. Maaf ya." "Gila!" Hardiknya makin parah. "Oh, oh, atau kamu mau kumutilasi, nanti biar dimakan anjing liar?" Godaku sambil memainkan dagunya. Aku menambahkan, "Tapi kalau mutilasi, dimulai dari jari, tidak akan langsung mati. Aku'kan orangnya suka main pelan-pelan, kalau terlalu kasar, nanti kamu kesakitan." Dia mulai kelihatan takut. Setelah membisu beberapa saat, akhirnya dia meminta maaf juga, "Aku minta maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi." Aku berdiri dengan perasaan puas, kuambil pisau dapurku tadi untuk melepaskan ikatannya. Kadang aku bangga pada diriku sendiri bisa menaklukkan Joselin. Bahkan mahasiswa lain masih tidak percaya aku yang 'iblis' ini mendapatkan pacar 'malaikat'. "Kamu mungkin berharap aku mengatakan itu'kan? Mimpi saja, dasar orang gila!" Lanjut Selin selalu menyulut kemarahanku lagi. Sudah berapa kali aku ditipu dengan ucapannya maaf seperti ini. Karena terlalu kesal, aku melepaskan ikatan talinya sambil menyayat telapak tangan kanannya dengan pisauku. "Ah!" Pekiknya kesakitan sambil merebut tangannya lagi. Dia meremasnya kuat-kuat untuk menghentikan pendarahan. Aku menyeretnya untuk keluar dari kamarku, "Ayo-ayo berakting lagi, Sayang, kita harus kuliah, jangan lupa tersenyum dan perlakukan aku seperti pacar tersayang kalau tidak mau tubuhmu nanti kusayat semua. Baru telapak tangan saja sudah sakit' kan?" Dia seakan ingin menggigitku. "Aku serius," tegasku padanya, "Kamu macam-macam denganku, kamu tidak akan kutenggelamkan di air lagi, tapi darahmu sendiri. Jangan kira aku baik padamu karena aku menyukaimu, kamu'kan cuma pajangan." Aku tertawa melihatnya semakin tertekan denganku. Begini dong, aku ini orangnya suka tantangan juga. Percuma kalau punya pacar sama-sama iblis sepertiku. Kalau orangnya bak malaikat begini yang risih dekat-dekat dengan dosa, kan lebih seru diajak berdua. °°°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD