•Part 2•

1009 Words
Joselin POV ========= Semenjak berpacaran dengan Joshua, aku dijauhi oleh teman-temanku. Mereka mulai memanggilku playgirl tidak tahu diri, jalang peliharaan dan sebagainya. Alasannya masuk akal sebenarnya, aku mencampakkan Elvan di depan umum seminggu yang lalu. Saat itu masih terngiang di kepalaku ucapan sadisku padanya, "Aku sudah punya pacar lagi, El, jadi jauhi aku." Sementara Shua hanya melingkarkan tangannya di leherku sambil menertawai Elvan yang patah hati. Dia membenci kami setelah itu. Begitu pula dengan para mahasiswa yang memenuhi kantin saat itu. Beritanya cepat menyebar. Luar biasa.. Shua memaksaku putus dengan Elvan dan jadi pacarnya dengan imbalan keselamatan kami bertiga. Tadinya aku hanya menertawakan sikap itu. Dia juga kelihatannya sakit jiwa karena bicara sendiri. Tapi ternyata dia memang berniat membunuh Elvan. Kalau saja aku tidak jadi pacarnya sekarang, mantan pacarku itu mungkin sekarang sudah ada di surga. Jadi beginilah aku sekarang.. Setiap hari berjalan masuk ke gedung fakultas bersama pacar baru. Saling bermanja-manja ria, tersenyum padanya, mencubit sana-sini, mengumbar kalimat-kalimat penuh cinta ketika melewati mahasiswa lain. Walaupun dalam hati kami, saling mengumpat, menertawakan satu sama lain. "Sampai nanti ya, Cantik, aku akan menjemputmu lagi!" Salam Shua setiap kali pergi dari kelasku. "Iya, tentu, Sayang," balasku tersenyum palsu. Semua temanku tampak risih dengannya. Tingkah laku Shua sangatlah buruk, dia nakal, tidak tahu aturan, seenaknya sendiri, bodoh dalam mata kuliah apapun. Satu-satunya hal positif dari dirinya hanyalah dia memiliki penampilan fisik baik. Semua itu didukung oleh pilihan pakaiannya yang selalu modis. Gara-gara dia, tidak ada yang mau bicara denganku lagi. Semuanya lebih mendukung Elvan dan mem-bully-ku habis-habisan. Shua malah menikmati ejekan demi ejekan kepada dirinya seolah itu pujian. Tidak heran.. Dia'kan gila... Ada banyak jenis sakit jiwa di dunia ini. Sejak aku mengenalnya aku mencari tahu tentang penyakit yang dia derita. Maksudku, aku tidak nyaman selalu melihatnya berbicara sendiri saat tidak ada orang. Dia bicara dengan sosok yang dia sebut saudara kembar bernama Jimmy. Sejauh yang kutahu, Jimmy ini adalah orang yang lebih kasar, lebih jahat ketimbang Shua. Aku benci sekali jika mendengarnya bicara. Bukan hanya sekali, berkali-kali dia berkata ingin 'memperkosaku'. Aku beruntung JOSHUA SIALAN ini tipikal orang yang seperti mayat hidup. Dia tidak memiliki nafsu sama sekali padaku. Kegiatanku setiap pulang kuliah adalah ke rumahnya dan memergokinya menonton film dewasa di kamarnya. Setiap kutanya, "Sedang apa kamu?" Dia bangun dari kasurnya, lalu menjawab dengan enteng, "Menonton AV, mau ikutan? kata Jimmy ini untuk bagus untuk perkembangan. Aku heran kenapa orang senang sekali melihat orang telanjang." Benar-benar sudah gila' kan? Seperti siang hari ini, dia menontonnya juga di layar laptopnya. Aku sedikit takut padanya, tapi aku bisa apa. Kalau aku tidak ke rumahnya dan menjadi pembantu, dia pasti akan mencelakaiku atau orang-orang terdekatku. Keluarganya saja dibunuh. Lapor polisi? Tidak bisa. Shua itu orangnya rapi, licik dan aku tidak mau ikut terjebak masuk penjara dengannya. Jadi sekarang aku selalu berusaha mencuri kesempatan untuk membuktikan kalau dia sendiri yang membunuh keluarganya. Sayangnya tadi pagi gagal lagi.. Aku ingin sekali meracuninya sekarang. Setiap siang aku selalu mampir untuk membuatkannya makanan. Sudah berkali-kali aku berniat mencampurkan sup sayuran buatanku dengan racun tikus. Tapi aku tidak sampai hati untuk menjadi pembunuh. Aku memang ingin dia mati saja, tapi tidak dengan tanganku. Kuberikan makan siang hari ini ke kamarnya. Dia terlalu malas keluar jika sudah lengket dengan ranjang. Aku tidak begitu mengenalnya, tapi sejauh yang kutahu dia sangat ahli di bidang teknologi. Saking ahlinya, dia tidak perlu kerja keras karena terbiasa membobol akun bank nasabah lain. Jadinya selama ini, kulihat kerjaannya hanya menonton video dewasa, seperti sekarang. "Bisakah kamu berhenti menontonnya setiap hari?" Pintaku menaruh mangkok makanannya di meja. Dia menoleh dengan heran, "Kenapa? Ini seru, ada jalan ceritanya, ini'kan juga film." Tapi kemudian rasa takutku kembali timbul, karena dia mulai berbicara sendiri dengan sosok yang dia yakini sebagai Jimmy itu. Kudengar nada bicara kasar khasnya berkata, "Shua, ngapain malah masuk deretan video ginian, Bego!" Saat dia menyadari layar laptopnya dipenuhi thumbnail barbau LGBT. Dia menjawab sendiri sambil menutup layar website tersebut, "Lah, salah pencet, Jim, woles aja. Kita sudah ngelihat semuanya. Jadi bosen..." Aku tidak tahan mereka selalu mengobrolkan bahasan c***l, aneh dan mengerikan. Ingin sekali aku menghempaskan linggis ke kepalanya. Tapi setiap aku berpikir buruk, dia melirikku tajam. Mungkin dia sangat peka kalau sedang akan dicelakai. Dia memberiksnku senyuman licik, mengambil mangkoknya, memandangi sup buatanku. Kemudian malah menyodorkannya padaku, "Coba kamu cicipi dulu, lalu suapi aku." "Kenapa aku harus menyuapimu?" Tanyaku bernada benci padanya. Sebelum dia menenggelamkan kepalaku di bak mandi, aku harus segera pergi. "Kamu keluar kamar, langsung kupotong jempolmu," ancamnya membuatku urung membuka gagang pintunya. Ancamannya semakin menjadi-jadi.. Aku menenangkan diri. Dia sangat suka jika melihatku ketakutan. Satu-satunya cara agar dia tidak puas padaku adalah bersikap berani padanya. Semakin aku takut, semakin dia akan menyakitiku. Dia'kan gila.. "Berikan aku cinta dong, aku ini tidak pernah merasakan cinta seumur hidupku tahu. Menurutku, kalau kamu melayaniku artinya kamu memberikan cinta padaku. Jadi suapi aku sampai selesai," perintahnya tersenyum kecil sambil memberikan mangkoknya. Aku menerimanya sambil menegaskan, "Aku tidak mau berlama-lama denganmu. Aku bukan pembantumu. Aku sudah memasak untukmu, jadi setidaknya berikan aku waktu untuk pulang dan bebas darimu!" "Lalu apa gunanya pacar?" Tanyanya malah keheranan, "Kamu harus melayaniku, rugi aku merebutmu dari teman sekelasku kalau kamu tidak mau berlama-lama denganku. Lagipula kata Jimmy, semakin aku dekat denganmu, mungkin aku akan jadi punya nafsu." "Go to hell." Dia terus mengoceh dengan nada ancaman, "Walaupun aku lebih ingin menjejakmu di bak mandi ketimbang menidurimu." Aku semakin muak melihatnya. Senyumannya mengembang lagi karena raut wajahku menampakkan kebencian. Lalu menggodaku, "Oh, oh, aku bercanda, Sayang, aku ini tidak suka kekerasan, jadi tidak mungkin aku menjejakmu sampai mati di bak mandi." "Ya.. karena melihatmu tergantung di lampuku itu mungkin lebih seru," tambahnya sambil menunjuk lampu kamarnya. Dia menertawai dirinya sendiri. Lalu mengobrol dengan dirinya sendiri tentang betapa jeniusnya dirinya. Dia memberikanku pandangan penuh tipu muslihat. Aku takut. Kalau saja aku punya keluarga, aku ingin sekali menceritakan ini semua dan mendapat perlindungan. Masalahnya, aku sendiri hanyalah gadis yang berasal dari rumah asuh. Sekarang pun, aku sudah hidup mandiri. Aku melindungi orang di sekitarku dari ancaman Shua, tapi aku sendiri tidak punya seseorang yang bisa menolongku. Kadang pikiranku bodoh sekali. Seharusnya kubiarkan saja Shua membunuh siapapun, sementara aku akan melarikan diri. Tapi aku sudah terlanjur masuk ke dalam hidupnya. Dia'kan laba-laba, sementara aku hanyalah lalat kecil yang telah menempel di jaringnya. Kalau sudah begini, rasanya mustahil terbang bebas kembali. Sial bagiku bertemu laki-laki gila sepertinya.. dia harus mati atau aku yang mati nantinya... °°°°°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD