Hilangnya Pria Misterius
Nuke melempar tas kulitnya ke atas sofa. Dan mulai merebahkan tubuhnya di ranjang. Pikirannya mulai melayang mengingat perkataan teman - teman di kantor tadi. Mereka membicarakan supervisor kami, mbak Mira yang akan menikah minggu depan. Mereka mengatakan salah satu perawan tua di kantor ini telah laku.
Mereka lupa aku dan mbak Mira seumuran, pikir Nuke sambil mendesah kesal di atas ranjangnya. Belum menikah atau menikah merupakan pilihan kenapa harus dicap sebagai perawan tua.
Terlihat cahaya datang dari pintu yang terbuka perlahan. Nuke melihat Bude Sari masuk ke kamarnya. "Maaf, bude langsung membuka pintu kamarmu, sebab bude ketuk beberapa kali kamu tak menjawab", sapa bude sambil tersenyum.
Bude Sari adalah kakak ibu Nuke. Setelah ibunya meninggal menyusul bapaknya saat wabah COVID beberapa tahun lalu, Nuke memutuskan tinggal di kota Bandung bersama bude. Empat tahun sudah dia tinggal di Bandung dan Nuke mulai bekerja baru dua tahun terakhir ini.
Bude menepuk punggung Nuke halus. Dia seperti mengetahui ada hal yang membuat Nuke resah. "Maaf bude, aku tidak dengar bude tadi ketuk pintu", sahut Nuke sambil masih berbaring di atas ranjangnya.
"Ono opo to nduk?", Tanya bude Sari dengan bahasa Jawanya yang lembut.
"Ndak ada apa-apa kok bude, Nuke hanya capek karena hari ini banyak sekali yang Nuke kerjakan." Nuke menjawab seadanya.
"Ya sudah kalau belum mau cerita. Ingat yo nduk segala sesatu jangan disimpan sendiri bikin mumet. Ada bude tempatmu curhat. Ayo makan dulu, basuh wajahmu atau mandi dulu biar seger," seru bude Sari.
Nuke bergerak dengan malas mengikuti bude Sari. Sebenarnya Nuke tidak merasa iri dengan mbak Mira, namun ia mulai merasa bahwa hidupnya saat ini memang kurang berwarna. Tidak ada pria mengisi hari-harinya. Seperti teman-temannya yang sibuk berkirim pesan dengan kekasih mereka di sela-sela jam kerja dan istirahat. Ada keinginan Nuke untuk dapat memiliki hubungan yang manis dengan kekasih.
Nuke masih membersihkan wajahnya dan memakai krem malam sebelum tidur. Dia melihat wajahnya sambil berpikir. Wajahku tidak jelek, lumayanlah karena aku merawat kulitku jadi kulit wajahku cukup cerah. Mataku pun besar seperti mata Bapak. Hidungku bangir mirip ibu dan bibirku pun berisi dan merah muda tanpa pemulas bibir. Hanya hmm.. tubuhku saja yang memang kelebihan beberapa kilo. Ah.. mengesalkan, gerutu Nuke dalam hatinya sambil membanting kapas ke tong sampah di sampingnya.
Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar, ada pesan singkat yang datang di sana. Ada pesan notifikasi bahwa seseorang menyapanya di akun media sosialnya. Nuke merasa malas membuka pesan itu karena hari ini ia merasa sangat lelah dengan pikirannya.
Hari ini adalah hari Jum'at. Nuke datang terlampau pagi sehingga baru Linda dan dirinya di kantor. Nuke bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah cabang perusahaan asuransi. Nuke menikmati pekerjaannya meskipun gajinya belum seberapa karena ia masih termasuk karyawan junior karena ia baru bekerja memasuki tahun kedua disini. Nuke selesai kuliah tepat saat COVID 19 mewabah sehingga ia memilih di rumah dan merawat bapak serta ibunya. Yang akhirnya, ibu menyusul bapak meninggal dunia. Berturut-turut dalam dua tahun ia kehilangan orang tua tercinta. Sebagai anak tunggal banyak sanak keluarga menawarkan rumah mereka sebagai tempat tinggal barunya. Nuke saat itu tinggal di Jakarta. Tempat ia bertumbuh dewasa. Akhirnya Nuke memilih tinggal bersama bude Sari di Bandung.
Terlihat Linda masih sibuk sendiri dengan telepon genggamnya. Linda tampak tersenyum-senyum sendiri dengan mata masih ke arah telepon genggamnya. Nuke sudah mengenal rekan kerjanya ini, pasti Linda sedang ngobrol dengan kekasihnya. Tiba-tiba perut Nuke terasa lapar. Dia tadi terburu-buru ke kantor tanpa sarapan.
"Lin, kamu mau ikut tidak? aku mau ke kantin di ruko sebelah. Belum sarapan nih!", Nuke mengajak Linda.
Masih fokus ke telepon genggamnya, Linda menjawab tidak mau, katanya sudah makan di rumah.
Kantin karyawan berukuran kecil ini terlihat masih sepi. Hanya ibu paruh baya dibantu anak perempuannya memindahkan makanan dari alat masak di atas kompor ke meja penyajian. Ibu Darno nama pemilik kantin tersebut. Lokasi kerja Nuke memang di area perkantoran yang diapit oleh ruko berjejer. Sementara kantin bu Darno berada di tengahnya.
Nuke pagi itu memesan mie instant goreng dengan telur dan teh panas. Bu Darno meminta anaknya menyiapkan pesanan Nuke. Beberapa menit kemudian Nuke melihat ada pegawai lain yang datang dan sepertinya mau pesan makanan. Seorang pria mungkin dua tahun lebih tua selisih usia dengannya. Ia nampak memesan nasi dan lauk pauk kepada bu Darno. Bu Darno dengan sigap menyiapkan pesanan pria itu. Pria itu tampak sebentar melirik ke arah duduk Nuke sambil menerima piring makan dari bu Darno. Dia mengangguk dan basa-basi menawarkan "makan, teh. Duluan ya". Nuke mengiyakan dan menjawab sedang menunggu makanan. Tak lama kemudian makanan Nuke pun datang. Pria itu duduk tak jauh dari Nuke.
"Teh, mari sini kalau mau gabung," ajak pria itu.
" Makasih Aa saya disini aja," sahut Nuke memanggil pria itu dengan sebutan Aa dalam bahasa Sunda artinya abang karena pria itu menyapanya dengan sebutan Teteh atau kakak perempuan dalam bahasa Sunda.
"Oh panggil saya Hasan saja. Kebetulan saya karyawan Tour and Travel di ruko paling ujung, saya pindahan dari Yogya.
"Oh, saya Nuke, sahut Nuke sambil melambaikan tangan.
Ternyata pertemuan Nuke dan Hasan tidak hanya di pagi itu. Beberapa kali Nuke sering bertemu dan berpapasan dengan Hasan.
Hingga suatu sore sepulang kerja, kembali pertemuan itu terjadi. Kali ini Hasan menawarinya untuk mengantarkan Nuke pulang.
"Nuke, ayo aku antar kamu pulang!" Sapa Hasan dari atas Yamaha mionya. "Eh, Aa Hasan. Tidak usah repot antar saya, kasihan nanti keluarga Aa menunggu di rumah," sahut Nuke.
"Ah, tidak ada yang menunggu anak kost kok. Ayo," jawab Hasan sambil tertawa.
Sedikit ragu Nuke untuk menerima tawaran Hasan. Tapi Nuke melihat langit mulai mendung, dengan menumpang motor Hasan harapannya Nuke akan sampai lebih cepat sebelum hujan turun.
"Baiklah Aa, terima kasih ya ajakannya," Nuke menjawab sambil naik ke atas motor Hasan dan menyebutkan nama jalan rumah bude Sari.
Dalam perjalanan yang lumayan ramai karena jam pulang kerja, Hasan dan Nuke hanya terdiam. Lumayan jauh memang perjalanan ke rumah bude dari kantor. Nuke merasa sedikit tidak enak karena Hasan harus sedikit memutar jika nanti pulang ke kost nya.
Akhirnya sampai juga di rumah bude dan benar saja gerimis mulai turun makin lama makin deras. Nuke mengajak Hasan untuk mampir sambil menghindari hujan yang makin deras.
"Ayo Aa, hujan makin deras masuk dulu saja. Aku buatkan kopi sebentar," ajak Nuke.
"Aduh jadi merepotkan kamu, Nuke. Baiklah aku sebentar numpang berteduh ya," sahut Hasan sambil memasukkan motor ke pekarangan rumah bude. Kemudian berlari kecil memasuki rumah bersama Nuke.
Bude sudah siap membuka pintu untuk mereka dan mempersilahkan masuk. Nuke memperkenalkan Hasan pada bude Sari dan mereka berbincang di ruang tamu, saat Nuke membuatkan secangkir kopi panas untuk Hasan.
Mereka berbincang bertiga sekitar setengah jam membicarakan seputar pekerjaan dan keluarga Hasan yang ternyata ada di Yogya. Hasan hanya bersama ibu dan adik laki-lakinya. Terkadang Hasan harus bolak balik ke Yogya untuk menengok ibu dan adiknya yang masih SMA.
Hujan akhirnya berhenti. Hasan pun pamit untuk pulang. Tawaran bude untuk mengajak Hasan makan malam pun ditolak oleh Hasan.
"Terima kasih bude, mungkin lain kali saya main lagi takut hujan kembali turun!" begitu jawabnya.
Bude dan Nuke mengantarnya hingga pagar rumah dan melihat Hasan menghilang dalam gelapnya malam.
Semenjak kehadiran Hasan, bude Sari selalu menanyakan Hasan. Tampaknya bude berharap terjadi hubungan serius antara Nuke dan Hasan.
"Bude, berharap nak Hasan bisa sama kamu nduk. Anaknya sopan, ganteng, tinggi, kulitnya bersih!," selalu hal itu yang disampaikan bude pada Nuke.
Nuke jadi teringat ibunya yang juga akan berkata demikian jika Nuke memperkenalkan teman prianya dulu. Namun yang awalnya kelihatan serius lalu gagal dalam perjalanan cintanya.
"Bude itu lho mirip ibu, kalau Nuke kenalkan teman cowok selalu pikirnya aku akan pacaran sama cowok itu. Lha wong nomor telepon genggamnya saja aku tidak punya bude," jawab Nuke santai.
Bude Sari hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban keponakan satu-satunya itu. Nuke memang anak dari adik bude semata wayang. Dan bude Sari sendiri seorang janda tanpa anak. Suaminya meninggal di usia pernikahan mereka kelima tahun. Sebuah kecelakaan tragis menimpa suaminya hingga harus meninggalkan bude selamanya.
Bude tampaknya enggan untuk menikah lagi. Dia mencukupkan diri dengan mengelola usaha yang dirintisnya sendiri semenjak suaminya pergi selamanya. Bude menjual makanan oleh-oleh khas Bandung diberbagai tempat dekat daerah wisata yang banyak digemari turis asing dan lokal.
Hari berganti hari bahkan minggu berganti minggu. Nuke mulai mencari keberadaan Hasan. Dimana dia sebenarnya, karena hampir tiga minggu Nuke tidak bertemu Hasan. Bahkan biasanya saat makan siang Nuke selalu bertemu dan makan bersamanya.
"Bu Darno, apa lihat Aa yang tinggi waktu itu pernah bertemu saya di sini?" suatu kali Nuke bertanya pada ibu pemilik kantin.
"Oh, nak Hasan yang ganteng itu mbak?", ibu Darno kembali bertanya dan Nuke membalas dengan anggukan.
"Terakhir saya ambilkan dia makan itu sekitar dua minggu lalu lumayan lama juga tidak kemari," jelas bu Darno.
Nuke terdiam sesaat mendengar penjelasan bu Darno. Kemudian dia kembali melanjutkan makan siangnya. Linda tampak masih fokus dengan telepon genggamnya. Dia sedikit memperhatikan Nuke yang menanyakan sesuatu pada ibu kantin.
"Mbak, tanya soal apa sama bu Darno? " tanya Linda sambil meneruskan makan siangnya.
Nuke yang tadinya enggan bercerita mengenai Hasan akhirnya mulai menceritakan sosok Hasan ini pada Linda. Linda tampak tak yakin akan cerita Nuke. Mungkin dipikirnya Nuke mengarang cerita bertemu pria karena mbak Mira sudah menikah minggu lalu.
"Ah sudahlah kalau kamu tak percaya dengan ceritaku. Tapi bodohnya aku, kenapa aku tak tanya nomor telepon genggamnya sebelum dia menghilang." Jelas Nuke.
"Itulah yang buat aku ragu akan cerita mbak. Kok bisanya di jaman komputer begini mbak lupa tanya no telepon cowok itu?" sahut Linda sambil tertawa cekikikan.
Beberapa hari setelahnya Hasan tidak pernah lagi terlihat. Bahkan keberadaannya bagai hilang ditelan bumi. Nuke semakin penasaran dan ingin mencari ke tempat kerja Hasan. Namun ia merasa malu karena belum kenal terlalu dekat dengan Hasan.
Ah nanti dipikirnya, aku yang naksir dulu dan mencari dia, begitu pikir Nuke jika ia datang ke tempat Hasan bekerja. Linda yang dari tadi sibuk dengan telepon genggamnya mulai mengalihkan pandangan ke Nuke. Kemudian dia tersenyum dan berkata, " Sudah mbak datangi saja kantornya!"
Nuke terkejut sepertinya Linda bisa membaca pikirannya. Nuke menjelaskan apa yang ada di pikirannya soal Hasan pada Linda. Namun Linda berusaha meyakinkannya bahwa tidak ada salahnya mencari seorang teman karena lama tak bertemu. Siapa tahu saja orang itu sakit?
Linda pun berjanji untuk menemani Nuke mencari ruko tempat kerja Hasan. Akhirnya Nuke pun setuju dan rencananya sepulang kerja sore itu mereka akan mencari ruko Tour & Travel tersebut.
Sepulang kerja Linda dan Nuke berjalan bersama ke pos penjagaan komplek perkantoran tersebut. Dalam pos yang tak terlalu besar, terdapat dua orang penjaga berseragam, sedang duduk dan di depannya ada meja kayu. Satu petugas sedang fokus ke telepon genggamnya dan yang satunya sedang menyeruput segelas kopi.
" Selamat sore Pak!" sapa Nuke. Dia melirik teman yang disampingnya sedang sibuk bertelepon dengan kekasihnya. Rupanya Linda minta kekasihnya datang menjemput setelah mereka selesai mencari keberadaan Hasan.
Pria berseragam yang sedang menyeruput kopi tadi segera menurunkan gelas di tangannya. "Iya teh, ada yang bisa saya bantu?, " tanyanya sementara bapak yang fokus ke telepon genggam tampak masih asyik melihat teleponnya.
Nuke pun menanyakan apa di area perkantoran mereka ada kantor Tour & Travel, sayangnya Nuke pun tidak menanyakan nama kantor tersebut pada Hasan.
Mendengar pertanyaan Nuke, Pak Satpam pun mengernyitkan dahi seperti bingung. Begitu pula Pak Satpam yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggam pun meletakkan telepon genggamnya dan mulai berdiri.
"Maaf teh, mengapa mencari kantor Tour & Travel di perkantoran ini? Masih banyak perusahaan tur yang lain di tengah kota kok, " jawab Pak Satpam yang menjawab sambil berdiri dan tentu saja jawabannya sangat tidak memuaskan Nuke.
Linda yang telah selesai berbicara dengan kekasihnya pun mulai turut bicara.
"Begini Pak, kami mencari teman yang kerja di Tour &Travel di ruko area ini," jelas Linda.
"Teteh berdua yakin, kalau temannya kerja di Tour & Travel di ruko sini? Sebab tidak ada lagi Tour & Travel di area ini kecuali yang di ruko paling belakang dan sudah tutup beberapa bulan lalu. Bahkan setahu saya sudah tidak ada pegawai yang bekerja di sana!" jelas Pak Satpam yang akhirnya diketahui bernama Pak Nugroho.
Linda dan Nuke saling bertatapan, kaget mendengar penjelasan Pak Satpam.