TIGA

1168 Words
“Bagaimana jika kau menikah dengan ku?” Perkataan Baekho membuat suasana hening sejenak. Dua orang dewasa itu hanya saling diam dengan isi kepala mereka sendiri. “Maaf jika perkataan ku membuat mu tidak nyaman. Tapi yang ku tangkap dari ceritamu adalah, kau baru saja dicampakkan oleh kekasih mu karena kabar kehamilan yang tidak ia inginkan, dan aku hanya ingin menolong mu saja,” terang Baekho. Masih tidak ada reaksi dari Soojin, ia hanya diam dengan isi kepala yang masih terus berusaha memproses apa maksud perkataan juga penjelasan yang dilontarkan pria di hadapannya ini. Jika dipikir lagi, keduanya baru saja bertemu beberapa saat yang lalu. Mereka hanyalah dua orang asing yang dipertemukan oleh kesalahpahaman, tapi kenapa Baekho berkata ia ingin menolong Soojin bahkan berniat menikahi wanita itu. Aneh, Soojin merasa jika sikap Baekho begitu aneh. “Apa yang sebenarnya menjadi niatmu? Apa kau ingin menipu ku atau memanfaat kan ku? Kita baru saja bertemu dan kau bilang ingin membantu ku dengan menikahi ku? Omong kosong macam apa itu?!” Soojin bangkit, ia berniat pergi dari sana, namun sebelum ia benar-benar melakukannya Baekho lebih dulu menjegal lengan kanannya. “Maaf jika menurut mu aku tidak sopan. Sejujurnya aku merasa jika anak yang sedang kau kandung memiliki nasib sama seperti ku.” Perkataan Baekho membuat Soojin membeku, belum sempat wanita itu mengatakan sesuatu Baekho lebih dulu kembali berucap. “Ibuku melahirkan ku tanpa sosok laki-laki yang menemaninya. Kami hidup tanpa figur seorang Ayah ataupun Suami. Aku tahu seberapa berat menjalani kehiduoan sebagai orang tua tunggal, apalagi dengan status pernikahan yang tidak jelas. Cibiran orang-orang juga pandangan lingkungan sekitar adalah salah satu dari cobaan yang harus dihadapi, tapi melihat bagaimana perjuangan Ibu membuat ku tidak ingin ada anak lain merasakan hal yang sama.” “Selalu diejek sejak kecil karena tidak memiliki Ayah, dijauhi dan dikucilkan oleh lingkungan sekitar membuat ku tumbuh menjadi orang yang terlalu oversharing. Itu melelahkan, jujur saja. Aku hanya tidak ingin anak dalam kandungan mu kelak mendapatkan perlakuan yang sama, itu saja.” Mendengar penjelasan Baekho membuat Soojin berpikir ulang. Benar apa yang pria itu katakan, kehidupan ke depannya akan jauh lebih sulit dengan keadaannya sekarang, juga untuk anaknya kelak. Apa yang akan ia katakan nanti? Apa dirinya akan tega untuk mengatakan jika sang Ayah tidak mau mengakuinya sebagai darah dagingnya sendiri, bukankah itu terlalu kejam. Tapi menikah dengan seorang asing seperti Baekho juga bukan solusi yang benar. Siapa yang menjamin jika Baekho benar-benar baik seperti apa yang ia lakukan beberapa saat lalu, bagaimana pun mereka belum saling mengenal dengan baik. “Kau tidak perlu repot bertanggung jawab dengan ku, aku akan melenyapkannya. Dengan begitu baik kehidupan ku ataupun anak ini akan baik-baik saja. Aku tidak perlu khawatir dengan pandangan orang-orang, dia juga tidak perlu mendengar cibiran ataupun harus dijauhi lingkungan karena tidak memiliki seorang Ayah.” Gila. Mungkin itu kata yang pantas disematkan pada Soojin saat ini. Ia tidak memikirkan dengan jelas oal apa yang baru saja ia katakan, dirinya hanya menganggap jika kehadiran anak ini adalah sebuah kesulitan maka dengan melenyapkannya adalah sebuah solusi. “Kau yakin bisa melakukannya? Meski belum mengenal mu aku tahu tidak ada Ibu yang tega untuk melenyapkan anak kandungnya sendiri,” sahut Baekho tenang. *** Soojin rasa gila adalah nama lainnya. Hal itu berdasar dengan keputusan yang ia ambil saat ini. Wanita itu memijat kepalanya sendiri yang terasa berdenyut, ia merasa pening dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Kenapa seolah seluruh dunia tengah menghukumnya, kenapa semua ini harus terjadi padanya. Sensasi dingin menjalar di sekitar pipi saat sekaleng kola menyentuh kulitnya. Ia menoleh dan mendapati Baekho yang tengah tersenyum ke arahnya. “Karena kau sedang hamil, tidak dibenarkan untuk meinum kopi ataupun cola. Sebagai gantinya aku membelikan mu jus buah,’ ucapnya lagi-lagi dengan senyuman lebar. Ya, Soojin memang memutuskan untuk menerima tawaran Baekho, tentu saja dengan beberapa syarat yang harus pria itu penuhi. Diantaranya tidak ada kontak fisik berlebih dan juga tidur di satu kamar yang sama. Soojin juga menambahkan jika keduanya akan resmi berpisah saat anak dalam kandungannya telah lahir, ia juga mengatakan jika dirinya akan berhenti kuliah dan mulai bekerja hingga Baekho tidak perlu untuk menanggung biaya kehidupannya sekalipun mereka telah menikah nantinya. Anggaplah Soojin benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Tapi untuk saat ini yang ia pikirkan hanyalah anak dalam kandungannya, ia tidak peduli dengan hal lain untuk sekarang. ‘Terima kasih,” ujar Soojin menerima jus buah tersebut. “Jadi, tujuan kita sekarang kembali ke apartemen kekasih mu untuk mengemasi barang-barang mu dahulu?” tanya Baekho, Soojin hanya diam mengangguk. Kembali ke apartemen Minho membuatnya kembali mengingat kenangan pahit juga luka yang pria itu torehkan kepadanya. Melihat Soojin yang terdiam membuat Baekho meragu, ia merasa jika Soojin belum sepenuhnya siap untuk bertemu dengan Ayah dari anak dalam kandungannya. “Kau yakin ingin bertemu dengannya sekarang? Jika kau belum yakin kita bisa menundanya duku, atau aku bisa meminta tolong orang untuk,” perktaan Baekho tertahan saat Soojin memotongnya lebih dulu. Wanita itu menghela napas panjang. Soojin mengakui jika dirinya memang masih belum siap untuk bertemu dengan Minho, apalagi setelah kejadian yang membuatnya begitu sakit hati. Tapi dirinya tidak memiliki pilihan lain, ia harus kembali ke sana dan membawa seluruh barang miliknya sebelum ia memulai kembali hidup yang baru bersama Baekho. “Ya. Lagipula seharusnya ia tidak ada di rumah sekarang,” ucap Soojin yakin. Setidaknya, dari yang ia tahu harusnya Minho tengah melakukan reading untuk debut dramanya saat ini dan itu berarti pria itu tidak berada di rumah yang artinya ia tidak harus bertemu dengan Minho sekarang. Baekho hanya mengangguk sekilas, keduanya kemudian menaiki taksi dan berjalan meunju apartemen milik Minho. Perjalanan menuju apartemen memakan waktu lebih kurang empat puluh menit. Kini keduanya sudah ada di depan sebuah gedung dengan banyak laintai juga tinggi menjulang. Melihat keraguan yang kembali hadir di wajah Soojin membuat aekho menghela napas, pria itu kemudian menggandeng tangan Soojin dan membuat wanita itu menoleh, terkejut. “Putuskan dengan benar sekarang, jika kau siap kita hadapi bersama saat ini juga. Tapi jika kau masih ragu-ragu, lebih baik kita kembali sekarang,” ucapnya dengan sorot mata tegas. Soojin menarik napas panjang, ia memantapkan hatinya pada satu pilihan. “Kita akan tetap ke sana.” Dan disinilah mereka sekarang. Di depan sebuah pintu unit apartemen yang begitu dikenal oleh Soojin. Melihat tempat yang dulu ia sebuh “rumah” membuat kenangannya kembali tanpa sadar, ia masih mengingat dengan jelas tiap kenangan yang ia buat bersama Minho di sini. Baru saja Soojin akan memencet kode keamanan unit, pintu lebih dulu terbuka dari arah dalam dan menampakkan sosok Minho. Keadaan menjadi awkward untuk sementara waktu, terlebih Minho yang saat ini tengah menatap Baekho dengan tatapan tajam. “Maaf, tapi kedatangan kami ke mari ingin mengemasi barang-barang Soojin,” ucap Baekho menginterupsi. “Siapa kau, kenapa juga barang Soojin harus dikemasi. Ini rumahnya,” sahut Minho ketus. Belum sempat Soojin menyahut, Baekho lebih dulu mengucapkan sesuatu yang membuat keadaan menjadi hening juga tegang. “Soojin akan menikah dengan ku, dan mulai hari ini dia akan tinggal bersama ku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD