Prom Night & Pertanyaan

1830 Words
Vella menatap keluar jendela mobil. Wajahnya yang dibalut make-up tipis disinari sinar matahari sore. Kini gadis itu dalam perjalanan menuju sekolahnya. Malam ini akan diadakan pesta prom night di aula sekolah. Vella lulus SMA dengan nilai pas-pasan. Itu saja sudah membuatnya bersyukur. Mau masuk universitas mana pun, Vella tak keberatan. “Ini senja, jangan melamun,” tegur Dio, papa Vella. Vella menatap Dio dan mendengus kecil. Gadis itu memperbaiki duduknya menghadap ke depan. “Pa, kenapa Vella nggak diajarin nyetir mobil, sih?” tanya gadis itu cemberut. “Nggak boleh. Kamu masih SMA,” tolak Dio. “Tapi, Kak Varda pintar nyetir pas masuk SMA. Ini Vella udah mau lulus SMA belum dikasih ijin juga. Umur Vella juga udah 18 tahun. Seharusnya, sudah bisa, ‘kan?” “Nanti aja kalau kamu lulus kuliah,” sahut Dio cuek. Vella menatap papanya itu dengan wajah masam lalu memalingkan wajahnya dengan kesal. Selalu saja begitu. Papanya selalu bersikap protektif padanya. Pergi ke mana-mana harus diantar, mau ijin keluar sama teman serasa kayak interview di perusahaan besar, pokoknya kalau Vella mau keluar dari rumah harus ada yang temani. Titik. Setiap Vella membicarakan itu pada Mentari, mamanya, wanita itu selalu memberi pemahaman pada putrinya bahwa papanya hanya khawatir padanya. Terlebih lagi, Vella sudah mengalami kecelakaan parah. Untung saja, kecelakaan itu hanya merenggut separuh memorinya dan bukan nyawanya. Namun, terkadang Vella masih merasa kesal. Kakaknya tidak diperlakukan seperti itu. Varda bisa bebas keluar semaunya, tak perlu diberi pertanyaan serta ceramah panjang lebar. Mobil mereka berhenti di depan gerbang sekolah Vella ketika langit mulai menggelap. Teman-temannya sudah banyak yang datang. Sekolahnya juga sudah terang karena lampu yang di pasang di setiap titik. “Kamu pulangnya jam berapa nanti?” tanya Dio. “Jam 9, Pa,” sahut Vella malas. “Ingat kata Papa––“ “Jangan pulang sebelum Papa jemput, kalau ada apa-apa telepon, jangan keluar dari lingkungan sekolah, selalu dekat dengan teman dekat, jangan berani menyeberangi jalan raya sendirian.” Vella menyebutkan semua yang seharusnya keluar dari mulut Dio. Gadis itu menatap papanya,” Papa nggak bilang pun Vella udah tahu. Papa udah berapa kali ingatin itu. Vella bisa jaga diri, kok, Pa. Ya?” ucap gadis itu memelas. Dio menghela napas panjang. “Ini semua juga untuk kebaikan kamu, Vella.” “Tapi, kalau begini terus, bisa – bisa Vella nggak terbiasa hidup mandiri, Pa,” ujar gadis itu jengah. “Vella,” panggil Duo memperingati putrinya. “Iya, iya. Maaf, Pa,” lirih gadis itu menunduk. Dio tersenyum kecil dan mengusap kepala Vella. “Yaudah, kamu masuk sekolahmu sekarang. Langsung ke tempat acara, ya. Jangan keliaran ke tempat lain. Ini sudah malam.” Vella hanya menganggukkan kepala. Dia keluar dari mobil setelah mencium punggung tangan papanya. Gadis itu langsung melenggang ke dalam sekolah. Vella berbalik dan menatap mobil papanya yang baru melaju. Papanya benar – benar protektif padanya. Padahal Vella juga ingin sesekali bebas tanpa kekangan tanpa aturan ketat. Gadis itu langsung menuju aula tempat acara dimulai. Dia masuk dan segera mencari keberadaan Riska dan Fara. Kedua gadis itu tengah duduk di kursi agak depan. Ketika melihat Vella, mereka melambaikan tangan menyuruhnya mendekat. “Gue nggak nyangka lo datang juga ternyata. Padahal selama ini lo jarang banget keluar malam sendirian,” komentar Riska ketika Vella baru saja merapatkan bokongnya ke kursi. “Sebenarnya gue nggak boleh datang, tapi gue bujuk Papa mulu. Akhirnya diijinin, sih, tapi begitulah, gue harus terima ceramah dulu,” curhat Vella sembari menyandarkan punggungnya ke belakang. “Nggak boleh gitu lo. Papa lo sayang sama lo makanya begitu. Coba, deh, perhatiin anak – anak jaman sekarang yang terjerumus pergaulan bebas. Itu karena mereka kurang perhatian dari orang tua mereka. Mungkin perhatian, sih, tapi mereka nggak nyari tahu gimana pergaulan anak mereka sebenarnya. Lo harusnya bersyukur punya Papa perhatian gitu, Vel,” ujar Fara mengingatkan. “Iya, gue jelas bersyukurlah. Tapi, kalau dikekang begini gue juga kayak merasa terbebani, tahu nggak? Kakak gue nggak sebegitu dikekang, kok. Mau kemana aja pasti diijinkan asal tempat tujuannya itu nggak macam – macam. Lah, gue? Proses minta ijinnya lama banget, ujungnya nggak diijinin padahal gue cuma mau kerja tugas bareng kalian.” Vella mengeluarkan segala keluh kesahnya. “Mungkin karena lo masih SMA, Vel,” ujar Riska menenangkan. “Masih SMA bagaimana, sih? Kakak gue baru masuk SMA udah diajarin cara nyetir mobil. Gue udah mau lulus SMA belum dikasih. Dari situ aja, kalian bisa lihat, dong, gimana perbedaan kelakuan Papa sama gue dan Kak Varda,” keluh gadis itu. Fara dan Riska tak tahu harus berkata apa lagi. Malam di mana seharusnya mereka bersenang – senang, malah dijadikan ajang curhat Vella. Kedua gadis itu lantas mengelus pundak Vella berusaha memberi rasa nyaman pada gadis itu. “Tetap positif thinking aja, Vel. Sekarang Om Dio ijinin lo keluar, siapa tahu aja beliau udah mulai kasih kebebasan sama lo, ya, ‘kan?” ujar Riska tersenyum kecil. Fara mengangguk setuju. Vella menatap kedua temannya itu lalu mengangguk pelan. Semoga saja perkataan Riska benar adanya. === Ketika sedang asyik menyaksikan pertunjukan tarian modern, rasa pusing langsung menyergap kepala Vella. Gadis itu mengatur napasnya dan memijit kepalanya. Dia menatap Riska dan Fara yang terlihat sangat menikmati pertunjukan di panggung. Padahal Vella ingin mengajak mereka ke toilet. Akhirnya, Vella memutuskan pergi sendiri ke toilet. Dia melewati beberapa koridor yang hanya diterangi lampu redup. Situasi di koridor itu hening karena semua orang ada di aula. Tangannya menyentuh dinding berusaha menopang tubuhnya ketika merasa sakit di kepalanya makin menggila. Vella akhirnya masuk ke toilet dan segera membasuh wajahnya di wastafel. Setelah merasa baikan, Vella diam sejenak untuk menenangkan diri. Make-up di wajahnya kini luntur. Gadis itu lantas mengambil tisu dan mengusap wajahnya. Ketika sedang mengusap wajahnya, sakit kepala kembali menyerangnya. Namun, kini ada suara-suara yang bermunculan dalam kepalanya. Vella memejamkan matanya dan memegang kepalanya yang sakit. “Akhh,” rintihnya pelan dan jatuh duduk di sudut dinding. Sebuah acara di sekolah. Vella melihat dirinya sendiri tengah berpakaian seragam SMP dengan piagam di tangannya. Terlihat dia tengah bercengkerama dengan teman – temannya yang lain. Ketika ingatan itu perlahan memudar, Vella membuka perlahan matanya. Dia memikirkan kembali memori yang diingatnya itu. Apa itu acara perpisahan saat dia SMP? Vella menggeleng pelan. Dia tak ingin memikirkan itu dulu. Kepalanya masih terasa sakit. Gadis itu perlahan berdiri dan menatap wajahnya di cermin. Dia dulu merasa tak percaya pernah melewati masa – masa SMP, namun ingatannya yang hilang perlahan bermunculan membuat gadis itu sadar bahwa dia memang pernah melalui masa – masa SMP. Namun, kalau dipikir-pikir lagi Vella tak melihat satu pun foto SMP-nya terpajang di rumahnya. Tiba – tiba saja Vella merasa ada keanehan. Mengapa dia tak pernah melihat foto – foto SMP-nya? Satu lagi, orang tuanya tak pernah menceritakan kenapa mereka tiba-tiba pindah ke Jogja. “Vel, lo kenapa?” Vella tersentak kaget dan menoleh ke pintu. Fara berdiri di sana dan menatapnya bertanya – tanya. “Lo tadi pergi gitu aja, terus lama banget. Gue sama Riska khawatir jadi kita nyari lo,” ucap Fara masuk dan membasuh tangannya di bawah air kran. “Lo, kok, lama banget di toilet, sih?” “Ah ... nggak apa – apa, kok. Perut gue tiba – tiba mules tapi sekarang nggak lagi,” dalih gadis itu tersenyum ragu. “Ooh. Eh, lo ngelepas make-up?” Fara mencondongkan wajahnya ke wajah Vella. Vella lantas memalingkan wajahnya. “Gue nggak terbiasa pake make-up, jadi gue lepas sekalian. Eh, si Riska mana?” Fara mengendikkan daging ke arah pintu. “Tadi dia dipanggil sama guru pas baru sampai di toilet.” “Ooh.” “Ke aula, yuk. Bentar lagi anggota OSIS mau dance, pasti seru, deh,” ajak Fara semangat. “Terus Riska?” “Dia pasti ke aula, kok, kalau lihat kita udah nggak ada di sini.” “Yaudah, ayo.” Kedua cewek itu melenggang keluar dari toilet. Tak lama setelah mereka pergi, Riska muncul dari arah lain. Gadis itu masuk ke toilet. “Guys ....” Riska memandang toilet yang kini sepi. Gadis itu langsung terdiam dan perlahan mundur. Toilet memang terang, namun auranya terasa menyeramkan. Sontak, bulu kuduk Riska merinding. “Lo kenapa?” tanya seseorang tiba – tiba. Riska berbalik cepat dengan wajah kaget. Menyadari bahwa itu adalah Yoga, teman sekelasnya, gadis itu langsung bernapas lega. “Ngagetin aja lo!” gerutu gadis itu kesal. “Lo-nya aja yang penakut,” cibir Yoga. Riska memutar bola matanya. Dia tidak takut, tapi kaget. Mana ada orang yang tidak kaget kalau tiba – tiba mendengar suara dari belakangnya padahal suasana lagi sepi. “Mau ke aula?” tanya Yoga. Riska mengangguk. “Yaudah, ayo. Kita barengan aja ke sana,” ajak pemuda itu. Riska langsung saja menyetujuinya. Penerangan di koridor tak terlalu terang membuat gadis itu takut berjalan sendiri. Dalam hati dia merutuk kesal, Vella dan Fara meninggalkan dirinya. Awas saja dua cewek itu! === Acara telah selesai. Fara, Vella dan Riska berjalan beriringan keluar gerbang. Di luar gerbang sudah ada Dio yang berdiri di depan kap mobil menunggu kedatangan putrinya. “Buset, Papa lo udah hampir setengah abad masih tampan aja, ya,” bisik Fara antusias. “Lo nggak tahu aja, waktu Papa gue masih SMA, katanya Papa jadi buruan cewek – cewek. Sampai – sampai Mama gue katanya punya banyak haters cuma gara – gara Papa suka sama Mama,” jelas Vella geli. Fara dan Riska terkikik geli mendengarnya. Ketiga gadis itu langsung diam ketika Dio mendekati mereka. “Sudah selesai, ‘kan, acaranya?” tanya Dio. “Iya, Pa,” sahut Vella. “Kalian berdua pulang naik apa?” tanya Dio pada dua teman Vella. “Kami juga ada yang jemput, kok, Om,” sahut Riska sopan. “Oh begitu, ya. Ya sudah, kalau begitu kami pulang duluan, ya,” pamit Dio pada dua gadis itu. Pria itu mengode putrinya agar segera memasuki mobil. “Gue duluan, ya. Dah,” pamit Vella lalu berlari kecil ke mobil dan segera masuk. Dio menyusul masuk dan segera melajukan mobil menjauh dari sekolah Vella. Dalam perjalanan, tak ada pembicaraan apa pun. Vella diam – diam melirik papanya. Dia ingin bertanya perihal kepindahan mereka ke Jogja, namun sepertinya raut wajah papanya saat ini tidak mendukung. Papanya terlihat kelelahan. Pasti papanya baru selesai bekerja dan langsung menjemput Vella. Terkadang Vella merasa bersalah juga karena sering mengeluh atas sikap protektif papanya. Mengingat orang tuanya itu masih menyempatkan waktu untuk memperhatikan putrinya padahal jadwal pekerjaannya sangat padat membuat Vella sadar bahwa papanya emang benar – benar menyayanginya. “Kenapa lihat Papa?” tanya Dio tanpa menoleh. “Kok, Papa tahu, sih?” “Tahu aja. Ada yang mau kamu tanyain?” Vella diam sejenak lalu menggeleng pelan. “Nggak ada, kok, Pa. Vella cuma mikirin jurusan yang Vella pilih nanti kalau lanjut kuliah.” “Memangnya kamu mau di jurusan apa, hm?” tanya Dio lembut. “Vella mau di Manajemen Perkantoran, boleh, Pa?” tanya gadis itu deg-degan. “Boleh, dong. Urusan kuliah Papa serahkan semuanya sama kamu. Lagi pula, jurusan itu cocok kalau kamu mau ikuti jejak Papa. Yah, memang awalnya mungkin jabatan kamu masih rendah, tapi kalau kinerja kamu baik nanti, Papa percaya kamu pasti bisa menggantikan Papa,” ujar Dio panjang lebar. “Makasih, Pa,” ucap Vella senang. Dia tak menyangka papanya memberinya keluasan untuk memilih sendiri jurusannya saat kuliah nanti.” “Memangnya kamu mau lanjut di kampus mana?” “Vella baru mau nyari-nyari, nih, Pa.” “Kalau kamu kebingungan cari kampus yang cocok dengan kamu, bilang sama Papa dan Mama, oke?” Vella mengangguk kecil. “Pa,” panggil Vella memecahkan hening yang sempat mendera mereka. “Kalau kuliah nanti, ajarin Vella nyetir mobil, ya?” Dio memandang anak gadisnya itu sekilas lalu menggeleng pelan. “Nggak. Papa, ‘kan, udah bilang kamu boleh nyetir mobil kalau udah lulus kuliah.” “Ish, Papa!” pekik Vella cemberut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD