02. Pernikahan yang Kelam

2171 Words
Pernikahannya akan diadakan tiga minggu lagi. Yasmine sendiri tidak mengerti kenapa tanggal pernikahannya dengan Damar terasa begitu terburu-buru. Lila yang baru saja dia beritahu juga tidak kalah kaget seperti dirinya. "Yas, ini tuh pernikahan sekali seumur hidup. Gimana mungkin persiapannya nggak sampe sebulan gini," cerocos Lila. "Nggak tau juga. Aku kan nggak ikut persiapannya." "Ini pernikahan lo Yas, harusnya lo ikut terlibat dong. Wujudin pernikahan impian lo―kayak yang dulu sering lo ceritain ke gue," ujar Lila gemas. "La, ini bukan lagi pernikahan impianku…" Pernikahan ini bukanlah kemauan Yasmine. Pernikahan impian yang selalu ingin dia wujudkan kini hanya tinggal angan. Diam-diam Yasmine kembali membuka buku sketsanya yang berada di atas meja. Dia membuka halaman demi halaman hingga berhenti pada gambar gaun pengantin yang terlihat simple namun tetap elegan. Itu adalah gaun pengantin impiannya. Dulu dia mendesainnya khusus untuk pernikahannya kelak. Sekarang dia hanya bisa memandangi desain gaun itu saja, tanpa bisa merealisasikan gambar tersebut menjadi gaun yang sesungguhnya. "Yas..." panggil Lila sambil mengelus pundaknya. Lila tahu pernikahan ini berat untuk Yasmine. Dia juga tahu kalau gambar desain yang saat ini tengah dipandangi Yasmine sangatlah berarti untuk sahabatnya itu. "Lo nggak papa?" lanjutnya dengan tangan yang masih mengelus pundak sahabatnya. "Iya, aku nggak papa," ucap Yasmine sambil menutup kembali buku sketsanya. Dia tidak boleh menangis lagi. Sudah cukup semalaman dia menangis karena Ben. Sekarang jangan lagi. "Yas, dipanggil Pak Theo ke ruangannya," ucap salah satu rekan kerja mereka. Yasmine dan Lila adalah seorang desainer di sebuah perusahaan fashion yang bernama Hansters Inc. Perusahaan ini memiliki beberapa brand di bidang fashion—baik untuk pakaian, sepatu, bahkan perhiasan. Di Hansters Inc, Yasmine dan Lila ditempatkan sebagai desainer untuk Galencio Brands―yang merupakan merk pakaian, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Yasmine sendiri merupakan desainer khusus gaun disini. Sedangkan Lila lebih sering mendesain pakaian yang terkesan casual. Dan Pak Theo adalah atasannya. Beliau adalah orang yang bertanggung jawab atas Galencio Brands. "Permisi, Bapak manggil saya?" tanya Yasmine setelah mengetuk pintu ruangan atasannya. "Duduk." Yasmine pun langsung duduk di salah satu sofa disana. Ruangan atasannya ini memang tidak terlalu formal. Tidak ada kursi khusus tamu yang biasa diletakkan di depan meja seorang bos. Atasannya lebih suka menjamu bawahan atau bahkan tamunya di sofa yang sudah dia sediakan disana. Ruangannya pun terlihat lebih santai. Tapi sayangnya Yasmine tetap tidak bisa merasa santai sekarang. Dia tau ada sesuatu yang membuatnya dipanggil oleh Pak Theo. Dan dia rasa itu bukanlah sesuatu yang baik. "Kamu tau kenapa saya manggil kamu kesini?" tanya Theo langsung, setelah ia duduk tepat dihadapan Yasmine. "Maaf Pak, saya nggak tau." "Kinerja kamu menurun, saya benci lihat desain-desain sampah yang kamu buat ini," ucapnya datar seraya melempar lembaran kertas desain milik Yasmine ke atas meja. Yasmine tahu kalau ini akan terjadi. Akhir-akhir ini dia memang sedang banyak pikiran sehingga desain yang ia hasilkan memang benar-benar mengecewakan. "Saya minta maaf, Pak." Memang hanya itu yang bisa Yasmine katakan. Dia juga menyadari kalau desainnya memang buruk. "Ambil desain-desain itu. Perbaiki kembali dan serahkan ke saya besok pagi." Dengan segera Yasmine mengambil kembali selebaran desainnya yang berserakan di atas meja. "Kamu bisa kembali kerja." "Baik Pak, saya permisi," balas Yasmine dengan kepala mengangguk dalam. Yasmine pun keluar dari ruangan tersebut dengan bahu terkulai lemas. Masalah pernikahannya belum selesai dan sekarang ditambah dengan masalah pekerjaan. Kenapa akhir-akhir ini kesialan selalu datang kepadanya? *** Ternyata waktu tiga minggu itu terasa begitu cepat. Hari ini sudah tiga minggu semenjak acara makan malam keluarganya dengan keluarga Damar malam itu. Itu berarti hari ini adalah hari pernikahannya dengan Damar. Sekarang dia sudah sah menjadi istri dari seorang Damar Bramantyo. Pernikahannya terasa begitu cepat, Yasmine bahkan tidak mengingat detailnya. Yang jelas sekarang dia tengah duduk berdampingan dengan Damar di pelaminan. Tidak banyak tamu yang di undang oleh Yasmine. Dia hanya mengundang Lila―sahabatnya. Selain itu hanya ada tamu-tamu dari kedua orangtuanya dan orangtua Damar. Yasmine juga tidak melihat ada teman Damar yang datang. Mungkin pria itu juga tidak berniat untuk mengundang teman-temannya. Terkadang Yasmine bertanya-tanya pernikahan macam apa yang tengah ia jalani saat ini? Acara sudah selesai, kini dia dan Damar sudah berada di dalam kamar hotel yang sudah disiapkan oleh pihak wedding organizer. Rasanya begitu canggung, mereka terlihat seperti dua orang asing yang dipaksa untuk berada di dalam satu kamar yang sama. "Mas Damar mau mandi duluan?" tanya Yasmine mencoba memecah keheningan. "Hmm," sahutnya datar dengan langkah berderap menuju kamar mandi. Sembari menunggu Damar yang sedang mandi, Yasmine pun mulai menghapus make up tebal di wajahnya. Dia juga mulai melepas satu per satu aksesoris di kepalanya. Seharian ini kepalanya terasa berat, mungkin karena sanggul besar yang kini coba Yasmine lepaskan. Orangtuanya dan orangtua Damar adalah orang jawa asli. Oleh karena itu mereka ingin dia dan Damar menikah dengan adat jawa. Walaupun terkesan kuno tapi Yasmine tidak keberatan, dia suka sesuatu yang berbau tradisional. Suara shower terdengar dari arah kamar mandi. Hari ini Damar juga pasti merasa lelah. Walaupun mereka tidak mengundang banyak temannya, tapi tamu undangan dari pihak kedua orangtua tetaplah banyak. Tersenyum seharian seakan-akan tengah berbahagia pasti juga terasa melelahkan bagi Damar. Sampai sekarang Yasmine masih saja dibuat penasaran akan sosok Damar. Dia yakin laki-laki itu juga tidak menginginkan pernikahan ini—terlihat dari ucapan pria itu di pertemuan pertama mereka hari itu. Namun yang membuat Yasmine heran, kenapa pria itu tidak menolak? Sebenarnya Yasmine ingin menanyakan hal itu di hari mereka bertemu untuk pertama kalinya. Namun melihat wajah Damar yang saat itu terlihat enggan mengobrol lebih jauh dengannya, maka Yasmine pun mengurungkan niat. Yasmine tidak tahu akan menjadi seperti apa pernikahannya nanti, tapi dia berharap pernikahannya akan bertahan untuk selamanya. Semua wanita di dunia ini pasti menginginkan pernikahan sekali seumur hidup, begitupun Yasmine. *** Pagi setelah acara resepsi mereka berakhir, Damar pun langsung mengajak Yasmine untuk pindah ke apartemennya. Semalam ketika berada di hotel pun tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Mereka memang satu ranjang, tapi mereka hanya tidur―tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Dan hari ini mereka masih terlihat seperti dua orang asing. "Maaf, aku cuma bisa bawa kamu ke apartemen ini." "Nggak papa, aku juga lebih suka di apartemen kok," balas Yasmine dengan senyum tipis di wajahnya. "Rumah kita lagi proses renovasi, beberapa bulan lagi mungkin akan selesai." Sejujurnya dibandingkan apartemen, tempat tinggal Damar ini lebih cocok disebut penthouse. Luasnya sama sekali tidak terlihat seperti apartemen. Yasmine juga menyukai desainnya―khususnya untuk bagian tangganya. Yasmine sangat suka dengan tangga spiral yang kini sedang dilihatnya. Ruangan di lantai bawah dibiarkan tanpa sekat yang justru menambah kesan modern―sedangkan untuk lantai atas Yasmine masih belum tau seperti apa bentuknya. "Kamar kamu ada di lantai bawah." "Maksud Mas Damar?" tanya Yasmine bingung. "Kita tidur di kamar yang berbeda. Kamu di lantai bawah dan aku di lantai atas," jawab Damar dengan santainya. "Tapi..., kenapa?" "Apanya?" "Kita udah nikah, kenapa harus tidur di kamar yang berbeda?" Yasmine benar-benar tidak mengira akan seperti ini pernikahan yang sedang dia jalani. Dia memang tidak menginginkan pernikahan ini, tapi bukan berarti dia ingin bermain-main dengan sesuatu yang sakral ini. "Aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini, begitupun kamu. Bukannya lebih baik seperti ini? kita jadi punya privasi masing-masing," jelas Damar sambil menatap lekat Yasmine. "Aku tau kita sama-sama nggak menginginkan pernikahan ini. Tapi apa nggak bisa kita coba menjalani pernikahan ini dengan normal?" "Nggak bisa," jawab Damar. "Mas―pernikahan itu sakral, kamu nggak bisa main-main seperti ini." "Ini hidupku, terserah aku mau bagaimana." "Tapi―" "Pembicaraan selesai, aku mau istirahat," potong Damar sembari menaiki tangga menuju lantai dua. Tidak terasa air mata Yasmine pun mengalir membasahi pipinya namun dengan cepat ia menghapusnya. Dia tidak boleh menangis di hari pertama pernikahannya. *** Pagi ini Damar sudah mulai bekerja seperti biasanya. Pagi tadi setelah perdebatannya dengan Yasmine, dia memutuskan untuk langsung pergi bekerja. Berada satu atap dengan perempuan itu hanya akan membuatnya kesal seharian nanti. Jadi lebih baik dia menjauh dari perempuan itu dan kembali berkutat dengan pekerjaannya yang menumpuk di kantor. Damar tidak membenci Yasmine, dia hanya benci dengan pernikahan ini. Melihat Yasmine hanya akan membuatnya terus mengingat tentang pernikahan sialan yang saat ini harus ia jalani. "Pengantin baru kenapa udah kerja aja nih?" tanya Bimo―Sekretaris Damar. Dia terlihat membawa berkas-berkas penting untuk Damar. Jika kebanyakan bos lebih suka memperkerjakan sekretaris perempuan, maka lain halnya dengan Damar. Dia lebih suka memperkerjakan sekretaris laki-laki. Menurutnya sekretaris laki-laki lebih bisa bersikap profesional dibanding sekretaris perempuan. "Diem lo!" ketus Damar. Bimo ini selain menjabat sebagai sekretaris Damar dia juga merupakan sahabat Damar sejak kuliah dulu, tidak heran jika mereka sama sekali tidak terlihat seperti seorang bos dan bawahannya. "Nih, berkas-berkas yang lo minta." Bimo pun meletakkan setumpuk berkas yang ia bawa ke atas meja Damar. Dia tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, baru menikah kemarin dan hari ini sudah kembali bekerja. Benar-benar workaholic. "Jadwal gue hari ini apa aja?" tanya Damar sambil membuka-buka dokumen di atas mejanya. "Nggak banyak. Cuma ada satu rapat setelah makan siang nanti." "Cuma itu?" tanya Damar heran. Ia bahkan sampai mendongak ke arah Bimo saking herannya. "Gue pikir lo mau libur dulu, jadi jadwal lo banyak yang sengaja gue kosongin." Bimo tidak salah ‘kan? Normalnya pengantin baru akan mengambil cuti dan pergi berbulan madu bersama pasangannya. Memang dasar bosnya saja yang tidak normal. "Mulai besok balikin lagi jadwal gue kayak semula." "Bos, kemarin Karin nanyain lo," ucap Bimo yang sontak membuat Damar menghentikan kegiatannya. "Lo udah nggak ada hubungan apapun sama Karin ‘kan?" "Bukan urusan lo," jawabnya sambil kembali melanjutkan membuka-buka dokumen di depannya. "Inget Dam, lo udah punya istri di rumah. Jangan bertindak bodoh," kata Bimo mencoba menasihati. "Lo nggak tau apapun, jadi jangan pernah ikut campur masalah gue," desis Damar penuh peringatan. Bimo yang kini tengah ditatap tajam oleh Damar pun hanya bisa menghela napas pelan. Dia tau betapa keras kepalanya Damar. Mereka sudah berteman sejak awal masuk kuliah. Dia juga mengenal Karin―pacar Damar yang juga merupakan teman kuliah mereka dulu. Bimo tidak tahu apakah Damar sudah memutuskan hubungannya dengan Karin atau belum. Tapi mengingat bahwa sekarang Damar sudah menikah, seharusnya hubungan mereka memang sudah berakhir. *** Malam ini Yasmine sudah memasak menu spesial untuk makan malamnya bersama Damar―suaminya. Meskipun Damar memperlakukannya dengan begitu dingin tapi dia tetap harus berusaha untuk menjadi istri yang baik. Mungkin dengan begini Damar akhirnya bisa sadar dan mau menerimanya sebagai istri yang sesungguhnya. "Mas Damar sudah pulang?" sambut Yasmine ketika dilihatnya Damar yang melewati ruang tamu begitu saja. Dia sedari tadi menunggu Damar di sini, dan sekarang sapaannya justru tidak dihiraukan oleh Damar. "Mas Damar mau mandi? Atau mau makan dulu?" tanya Yasmine yang telah berhasil menyamakan langkahnya dengan Damar. "Aku mau mandi," ucapnya singkat. "Kalo gitu aku siapin makan malamnya, ya? Jadi setelah mandi nanti, Mas Damar bisa langsung makan," ucap Yasmine dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Aku udah makan," ucapnya yang masih terus melangkahkan kakinya menuju lantai dua. "Tapi aku udah masak banyak—" "Memangnya aku minta?!" sentak Damar membuat Yasmine terdiam. Kini mereka sudah berada di depan pintu kamar Damar. Yasmine masih terdiam—akibat shock dengan bentakan Damar beberapa saat lalu. Sedangkan Damar terlihat mengusap wajahnya kasar sembari menghela napasnya lelah. “Dengar Yasmine, pernikahan ini hanya karena perjodohan semata. Jangan bersikap seolah kita pasangan suami istri yang bahagia,” ucap Damar membuat hati Yasmine serasa ditusuk ribuan jarum tak kasat mata. “Aku nggak menginginkan pernikahan ini, begitu juga kamu. Jadi aku minta, berhenti menganggap seolah pernikahan kita ini sempurna,” desis Damar seraya menutup pintu kamarnya tepat di wajah Yasmine. Sepeninggalan Damar, Yasmine masih setia berada di depan kamar suaminya. Matanya mengerjap-ngerjap, seolah berusaha mencerna ucapan Damar beberapa saat tadi. Pria itu tidak menginginkan pernikahan ini, dan dia meminta Yasmine untuk berhenti bersikap seolah mereka adalah pasangan suami istri. Hatinya sakit setiap kali mengingat kata demi kata tersebut. Yasmine pikir, pernikahan ini akan menjadi obat untuk luka hatinya. Namun ternyata tidak. Pernikahan ini sama sekali tidak menyembuhkan luka hatinya, yang ada justru menjadikannya semakin parah. *** Malam ini Yasmine melihat Damar memasuki ruang kerjanya. Ruang kerja Damar memang terletak di lantai satu, jadi wajar saja kalau Yasmine yang sedari tadi berada di ruang tengah tidak sengaja melihat Damar memasuki ruangan itu. Yasmine tidak tau apakah hubungannya dengan Damar nanti akan bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Tapi bagaimanpun hasilnya nanti, dia harus tetap berusaha. “Mas, boleh aku masuk?” tanya Yasmine seraya mengetuk pintu ruang kerja milik suaminya. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Damar, maka Yasmine pun memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut. Kini dia bisa melihat Damar yang tengah serius dengan berkas-berkas di mejanya. Saat ini Yasmine tengah membawakan secangkir teh hijau untuk Damar. Mamanya bilang teh hijau bisa membuat badan menjadi lebih rileks. Mungkin dengan ini Damar bisa menjadi lebih nyaman dalam bekerja dan semoga teh hijau ini juga mampu untuk memperbiki mood-nya. "Aku buatin teh hijau buat kamu," ujar Yasmine sambil menunjukkan secangkir teh di tangannya. "Aku nggak suka teh," balas Damar sambil melirik teh yang dibawa Yasmine tanpa minat. "Tapi ini bagus buat kesehatan, apalagi Mas Damar sering lembur seperti ini," ujar Yasmine tidak menyerah. "Kamu nggak dengar omonganku?" kata Damar yang kini sudah menatap Yasmine dengan sinis. Suasana di sini mulai terasa mencekam. Terlihat Yasmine yang menghela napasnya pelan. Kenapa begitu sulit bagi Damar untuk menerima pemberiannya? “Dan bukannya tadi aku udah bilang?—berhenti bersikap seolah kita pasangan yang sempurna. Kayaknya pendengaran kamu agak bermasalah, ya?” tutur Damar membuat hati Yasmine berdenyut nyeri. “Aku cuma khawatir sama kesehatan kamu. Memangnya salah kalau aku khawatir sama kondisi kesehatan suamiku sendiri?” ucap Yasmine yang masih berusaha sabar. Namun sayangnya, ucapan Yasmine justru dibalas Damar dengan kekehan sinisnya. “Suami, ya?” katanya dengan sisa-sisa tawa yang belum reda. “Aku bahkan lupa kalau aku udah punya istri,” katanya membuat air mata Yasmine mulai menggenang. Tidak tahan lagi, Yasmine pun segera meletakkan secangkir teh tersebut di atas meja Aaron. "Aku tinggal tehnya disini, terserah kamu mau minum atau enggak," katanya sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan. Begitu Yasmine menghilang dari balik pintu, Damar pun langsung menghembuskan nafasnya kasar. Dia merasa seperti manusia paling jahat sekarang. Dia tidak berniat menyakiti hati Yasmine tapi entah kenapa setiap kali melihat perempuan itu justru kata-kata kasarlah yang keluar dari mulutnya. Dia pun mulai melirik teh hijau yang kini telah berada di hadapannya. Damar mengangkat cangkir itu dan mulai menghirup aromanya pelan. Benar-benar menenangkan… Sebenarnya dia tidak bohong ketika mengatakan tidak menyukai teh. Dia memang membenci minuman itu, tapi entah kenapa teh yang satu ini berbeda dari teh-teh yang ia benci sebelumnya. Dia sangat suka aroma teh buatan Yasmine. Dengan perlahan dia pun meminum teh di dalam cangkir tersebut. Tidak buruk juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD