2 : Teman?

1169 Words
"Pindah!" "Heh! Pindah, sono! Lo denger nggak, sih?!" Pagi itu, hal pertama yang Rinjani lihat saat melangkahkan kaki kedalam kelas adalah Juna yang duduk sambil menundukkan kepala. Sedangkan beberapa cowok meneleng kepalanya berkali-kali. "Pindah, woy! Lo budeg, ya?!" Ada beberapa siswa lain disana, tapi mereka diam saja. Seolah aksi bully yang ada dihadapan mereka adalah tontonan yang layak. Arsen yang sudah kehabisan kesabaran karena Juna tak kunjung beringsut langsung menarik tas-nya. Rinjani tak bisa menahan diri, ketika Arsen mengeluarkan semua isi tas Juna dengan cara menjatuhkan barang-barang cowok itu kelantai. "Isi tas lo nggak berubah, Girl." Saat Rinjani mulai melangkah, tangannya di tahan oleh seorang perempuan. Wajahnya masih terasa asing. Tapi yang pasti, dia adalah teman sekelasnya. "Jangan ikut campur," Tapi, Rinjani tak peduli. Ia melepaskan tangan temannya itu pelan, dan menghampiri Juna disana. Rinjani menatap Arsen tajam, dan cowok itu hanya tersenyum puas. "Bagus, lo disini." "Ini masih pagi, Sen. Bukannya jam ngebully orang itu pas istirahat, ya?" Arsen menyeringai. "Gue cuma mau nunjukkin, siapa Juna disini. Sekelas udah pada tau dia siapa, dan karena lo itu marid baru, lo juga harus tau siapa dia." Juna langsung berjongkok, dan segera membereskan barang-barangnya yang berantakan saat Arsen menginjak cermin kecil miliknya hingga retak. "Gue udah tau siapa Juna, tapi gue nggak peduli." Setelah itu, Rinjani berjongkok. Membantu Juna memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas. Tidak perlu di tebak lagi isi tas-nya, yang pasti tidak jauh berbeda dengan barang-barang yang biasa di temukan di dalam tas seorang cewek. Hanya sebagian kecil, sih. Juna menutup reseleting tas-nya dan kembali duduk, sebelum akhirnya kerah seragamnya di tarik paksa. "EH! Ngapain duduk disini, Lo nggak denger?! Gue tadi nyuruh lo pindah, kan?!" Juna di seret, dan dipaksa duduk di kursi paling pojok. Tempat duduknya jauh dari Rinjani dan Juna tahu, bahwa kursi ini sebelumnya di duduki oleh Arsen. Juna hanya bisa menghela nafas, dan duduk disana sambil menenggelamkan kepalanya diantara lipatan lengan. Juna kadang benci dirinya sendiri, karena tidak bisa melawan. . Rinjani menatap nanar sosok Juna di pojok sana. Ia memutar bola mata ketika harus menerima fakta bahwa Arsen yang kini duduk di sebelahnya. Cowok itu tersenyum, karena puas dengan apa yang ia dapatkan sekarang. "Hai?" Rinjani berdecih. "Lo malah lebih buruk dari yang gue bayangin." First Impression Arsen di mata Rinjani memang buruk sejak awal mereka bertemu. *** Selama jam pelajaran, Rinjani tak bisa menahan diri untuk tidak menolehkan kepala ke belakang. Memastikan Juna baik-baik saja. Karena cowok itu terus saja menyembunyikan wajahnya. Sampai sebuah penghapus mengenai kepalanya, membuat Rinjani menolehkan kepala ke sekitar untuk melihat siapa pelakunya. Dan, Arsen tersenyum. "Diem, Please, gue nggak lagi mau bercanda," "Gue bakal bilang ke Ibu Farah kalau lo main-main di kelas," Demi apapun, Rinjani nggak suka dengan senyum Arsen. Senyumnya lebar, tapi terkesan sinis. "Gimana kalau Gue juga bakal bilang, lo tukang bully di kelas ini, deal?" "Silahkan." Arsen tersenyum. Tapi, Rinjani mengabaikannya dan menolehkan kepalanya lagi ke belakang. Arsen mengangkat tangan, membuat seluruh siswa, terutama seorang wanita paruh baya dengan kacamata plus yang berdiri di depan papan tulis itu menolehkan kepala kearahnya. "Bu, Rinjani bisa jawab soal di depan!" Anjir. Rinjani mengerang dalam hati. Dan mau tak mau, ia bangkit dari kursinya. Untuk terakhir kalinya, Rinjani menatap Arsen dengan tatapan menusuk. Tapi, cowok itu terus saja tersenyum. "Semua orang udah tau, gue selalu menang disini." Arsen bergumam. Rinjani menarik nafas panjang dan melangkah untuk maju ke papan tulis. Sekarang memang masuk ke sesi Latihan Soal. Sekarang Rinjani memikirkan sesuatu yang lain, daripada memikirkan soal yang ngejelimet di papan tulis. Yaitu, bagaimana caranya ia bisa membalas mahkluk sialan itu? *** "Mau ke kantin nggak?" Rinjani mengambil posisi duduk di sebelah Juna, menoel lengan cowok itu usil. "Kantin, Yuuuuk!" Juna menggeleng. "Duluan," "Lo sakit? Mau gue anterin ke UKS?" Juna menggeleng. "Minggir, jangan deket-deket," Rinjani mengerutkan dahi. "Ih, suka pura-pura gitu, Kita... temen, kan?" Juna menarik nafas, lalu mengangkat wajahnya dan menegakkan tubuh. Dari sini, Rinjani dapat melihat, betapa pucatnya wajah Juna sekarang. "Gue nggak mau punya temen. Jadi jangan sok deket." Juna membuka tas-nya mengambil sisir kecil untuk merapikan poninya yang sedikit berantakan. Ia juga memperbaiki letak bando hitam di kepalanya, sebelum akhirnya bangkit dari kursi dan meninggalkan Rinjani sambil membawa dompet di tangannya. Rinjani tersenyum geli, makin lo ngejauh, gue makin gemes sama lo. Dasar t*i. *** "Gue duduk disini, yaa.." Rinjani tersenyum, meletakkan semangkuk bakso di meja sekaligus mengambil sepasang sendok dan garpu. Juna memutar bola matanya, ia lebih mengabaikan keberadaan Rinjani yang duduk di depannya, karena semangkuk Bakso ekstra sambal ini faktanya lebih menggoda. Jangan anggap dia ada... "Gue baru pertama kali nyobain Bakso di kantin ini. Lo tau? Di sekolah yang dulu, gue paling anti ke Kantin," Juna mengerutkan dahi, dalam hati ia ingin bertanya; Kenapa? Seolah bisa membaca pikiran Juna, perempuan itu mengangkat bahu. "Soalnya, kalau ke kantin gue pasti di-" "Minggir!" Suara berat tersebut membuat Juna dan Rinjani menoleh ke arah yang sama. Seorang cowok berpostur tubuh tinggi, yang membawa sepiring Somay menatap mereka bergantian. "Nggak denger? Minggir." "Lo ngusir kita?" Kata Rinjani, penuh dengan penekanan. Arsen tersenyum. Terus saja tersenyum, seolah ia merasa senyumnya adalah senyum yang paling baik. Ia mengalihkan pandangan ke arah Juna. "Nggak, gue nyuruh dia doang." Juna hanya tak ingin makan siang seluruh penghuni kantin terganggu, ia mengangkat mangkuk baksonya dan mulai berdiri. Lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya ia harus mengalah. "Duduk, nggak ada yang nyuruh lo berdiri." Rinjani menatap Arsen, sekaligus tangannya menahan Juna agar tetap di tempat. Arsen mendegus, menaruh piring somay-nya kasar hingga menimbulkan suara gaduh dan mengalihkan perhatian seisi kantin. "Coba liat, ini bikin gue makin tertarik. Sebenernya ada hubungan apa lo sama Juna sampe sebegitu pedulinya." Juna menahan nafas, sekaligus degup jantungnya. Biasanya ia bisa mengatasi situasi ini, membiarkan Arsen mendapatkan apa yang ia mau tanpa harus ribut seperti sekarang. Tapi, semenjak Rinjani di sampingnya, Juna rasa tak ada yang berubah dan justru keberadaannya malah membuat ini semakin rumit. "Udahlah," Juna bergumam. Sesekali melirik Arsen yang berdiri di sebelahnya. "Minggir!" Kali ini, Arsen mulai main kaki. Menendang kursi Juna yang tak juga bangkit. "Hey! Minggir!" Juna buru-buru mengangkat mangkuk baksonya. Tubuhnya gemetaran saat mulai bangkit berdiri. Rinjani menarik nafas panjang, mood makannya langsung menurun drastis begitu Arsen datang. "Gue juga mau pindah," Rinjani memutar bola mata. Lalu mulai berdiri. Arsen berdecak, menarik mangkuk bakso Rinjani agar perempuan itu tidak pergi. "Gue nggak nyuruh lo pindah." Rinjani tersenyum. "Kalau gue maunya pindah, gimana dong?" Arsen berdecih. "Please, Gue cuma mau makan siang bareng lo, itu doang." Rinjani memutar bola mata. "Cara lo salah, dan kebetulan, gue juga lagi nggak mau makan bareng lo." Arsen mengepalkan tangannya. Nafasnya tertahan, dan sebisa mungkin ia berusaha mengendalikan emosinya. Tapi, sekarang tidak bisa. "Jangan marah, karena ini lo yang maksa," Kesal, Arsen meraih gelas air putih di meja. Menatap Juna tajam dan akhirnya, ia menyiramkan air tepat pada wajah Juna hingga seragamnya basah. "Apa gue harus kaya gini dulu, baru lo nurut, hm?" Rinjani membulatkan matanya. "Astaga! Lo Gila, yaa?!" Diam-diam, Juna menahan nafas. Tetap menjaga keseimbangan agar semangkuk bakso yang ia pegang tidak jatuh ke lantai. Tapi, Juna nggak bisa. Tangannya terlanjur gemetaran, dan ia hanya bisa menaruh mangkuknya di meja lalu pergi keluar area kantin. Matanya memanas. Harusnya Juna sudah terbiasa, tapi untuk kali ini, entah kenapa rasanya Juna benci dirinya sendiri. Benci karena selalu gemetaran. Benci karena ia tidak bisa mengepalkan tangan dan melayangkan tinjunya. Benci, karena ia justru kabur. Rinjani menyeringai sinis. "Gini, ya kelakuan lo? Gue bener-bener baru tau." "Dan Lo juga harus tau, kelakuan gue masih mending daripada kelakuan Juna." "Lo emang-" "Liat, kan? Kalau dia ngerasa cowok, harusnya dia nonjok gue, nggak kabur gitu aja. Tingkahnya emang kaya cewek. Dan sekarang gue tau, yang kaya gitu tipe cowok lo?" Rinjani menarik nafas. Ia menatap Arsen tajam dan tidak peduli lagi berapa pasang mata yang kini menatapnya aneh. Menganggapnya murid baru yang 'sok' karena terlalu berani menghadapi Arsen. "Sayangnya, gue nggak bakal mau jadi Juna. Kalau pun itu satu-satunya cara buat bikin lo suka sama gue." Di kalimat terakhir, Arsen mengecilkan suaranya. Persis seperti gumaman tapi Rinjani masih tetap bisa mendengarnya. Situasi ini benar-benar lucu. . . . (TBC)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD