3 : Kehilangan

1094 Words
"Lo nggak papa? Baju lo basah..." Juna menggeleng, mengambil beberapa helai tisu untuk mengusap bulir-bulir air di wajahnya. Rinjani memegangi lengan Juna yang masih terasa dingin. "Gue minta maaf, ya?" Juna diam. Tapi kemudian ia mengangkat wajahnya, dan menatap Rinjani lewat refleksi tubuhnya di cermin. "Udah biasa, jadi jangan khawatir." "Arsen emang suka gini?" "Iya," "Terus lo nggak ngelawan? Lo tuh be—" "Lo nggak tau! Jadi mendingan diem!" Rinjani menarik nafas, berusaha menyesuaikan situasi di ruang ganti siswa yang atmosfernya mulai menegang. Jalan pikiran Juna memang benar-benar sulit di tebak. Tapi Rinjani tetap tak ingin kalah. "Lo bisa laporin Arsen ke BK, lo panggil bokap atau nyokap lo ke sekolah dan masalahnya juga bakal selesai." "Terus Orang tua gue bakal tau, kalau anaknya itu cuma pecundang. Gitu?" Rinjani menghela nafas. "Yaa, nggak gitu juga... maksud gue, dengan gitu Arsen bakal berhenti buat ngerendahin lo kaya gini." Juna tertawa getir, membuang gumpalan tisu yang sudah tak terpakai ke tempat sampah. "Lo tuh nggak ngerti, nggak ada yang peduli sama gue. Yang Arsen mau, bikin gue keluar diem-diem dari sekolah ini. Dia bakal ngelakuin apa aja biar gue nggak betah, terus keluar sekolah." "Kalau gitu, masa lo mau gini terus? Kalau seandainya itu yang bakal bikin Arsen berhenti ganggu hidup lo, kenapa lo nggak pindah?" Juna menggeleng samar, merapikan tatanan rambut plus bando hitam yang melekat di kepalanya. "Nggak ada alesan kuat buat gue pindah. Lo pikir, pindah segampang itu? Bokap gue bakal nanya ke sekolah, dan pada akhirnya dia tau, kalau anak cowoknya itu kaya gini." Rinjani bekedip. "E-Emang, bokap lo nggak tau gimana pergaulan lo di sekolah?" Juna menggeleng cepat. Pasti."Nggak tau, dan nggak akan peduli. Yang penting, gue masih hidup dan baik-baik aja itu udah cukup buat Bokap gue." Ekstrim. Mungkin itu kata yang pertama kali ada di benak Rinjani. Kalau seandainya Juna adalah anak keluarga broken home, dia nggak akan bereinkarnasi menjadi sosok yang lembut. Justru sebaliknya. Menjadi anak berandalan seperti Arsen? Mungkin. Pasti. Ada alasan lain mengapa hubungannya dengan keluarga memburuk. Dan hal ini benar-benar membuat Rinjani penasaran. "Lo nggak akan ngerti. Soalnya, ini lebih rumit dari yang lo pikirin. Gue tau Arsen, Dia tau Gue. Dan kita emang nggak akan pernah akur." Lanjutnya. Rinjani cuma ingin Juna tahu, bahwa setidaknya ada satu orang yang peduli dengannya. Iya, Rinjani. "Ayo ke kelas," *** "Pak Dandy, hari ini nggak usah jemput, ya. Aku mau pulang bareng temen." "..." "Iya, Iya. Nggak papa, nggak usah khawatir. Ntar aku bilang sama Mama, kok." "..." "Oke, Makasih, ya Pak.." Rinjani tersenyum, lalu memasukkan ponselnya ke saku seragam. Kakinya yang dibalut converse putih melangkah ke arah halte dan duduk disana. Seminggu lalu, ia menemukan Juna disini. Dan ia harap hari ini bisa satu Bus lagi dengan cowok itu. . Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Rinjani mulai kebosanan karena terus menerus menunggu Juna yang tak juga menampakkan batang hidungnya. Sedari tadi yang ia lakukan hanya mengetukkan alas sepatu ke lantai dan mengecek layar ponsel untuk melihat Jam. Sekedar informasi, Rinjani sama sekali nggak punya kontak Juna. Perempuan itu semakin kesal tak karuan saat sebuah Bus melintas hampir untuk ke delapan kalinya, dan Rinjani membiarkan Bus melintas begitu saja sampai Juna datang, padahal ia sendiri tau, harus menunggu sampai belasan menit lagi untuk Bus berikutnya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. From : +62817282746280 Lo ke gudang belakang skrng, Juna ada sama gue. Rinjani mengerutkan dahi, menatap sekali lagi nomor tak dikenal yang baru saja mengiriminya pesan aneh namun sedikit berbau ancaman. Perempuan itu mengetikkan balasan; To : +62817282746280 Ini siapa? Sepuluh detik. From : +62817282746280 V Satu karakter huruf itu langsung membuat Rinjani bangkit berdiri dan segera berlari sekuat mungkin untuk mencapai gerbang sekolah yang jaraknya puluhan meter dari Halte. Menerobos masuk dan berlari sepanjang koridor untuk menemukan Gudang Belakang sekolah. Nafasnya masih tersenggal ketika sampai di sebuah koridor yang kumuh dan tak terawat itu. Keramiknya pecah dan berlumut, pilar-pilar di sekitarnya dipenuhi coretan. Suara gedubrak yang nyaring membuat Rinjani melangkah ke sumber suara. Dan benar saja. Kakinya menegang ketika melihat Tiga orang anak laki-laki dengan seragam almamater yang berbeda sedang menghabisi Juna hingga babak belur. Wajahnya sangat asing, dan sepertinya mereka bukan berasal dari sekolah ini. "A-Juna?" Kerongkongannya terasa kering ketika melihat pemandangan seperti ini. Juna tersungkur dengan luka memar dimana-mana. Seragamnya lusuh dan beberapa bagian tubuh lecet. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya panas dingin. Ini mengingatkannya tentang masa lalu. Rinjani tak memiliki banyak waktu untuk memandang Juna, maka perempuan itu langsung menarik tangan Arsen sedikit menjauh. "Mau lo apa, sih?! Lo pengen keliatan hebat, hh?! Lo pengen—" "Gue suka sama lo!" Arsen menatap Rinjani dalam. "Lo tau?! Lo ngelakuin kaya gitu sama aja tindak kekerasan! Gue bisa laporin lo ke Polisi kalau tingkah lo kaya gini terus, Sen! Sumpah, ya. Dari awal gue bener-bener—" "Gue nggak peduli! Karena cuma dengan nyakitin Juna lo bakal datengin gue. Jangan salahin gue kalau gue makin jadi sama Juna. Karena ini gue lakuin biar lo ngeliat gue!" Rinjani berkedip beberapa kali. Apa katanya? Suka? "Ya, tapi cara lo—" "Kalau aja lo mau ngeliat gue, lo mau ngobrol sama gue, lo mau nyapa gue..." Arsen menarik nafas. "Gue nggak bakal kaya gini." Rinjani mengusap wajahnya frustasi. Pikirannya terbagi, antara memikirkan bagaimana keadaan Juna, juga situasi yang harus ia hadapi sekarang. Rinjani memijat ringat keningnya. "Oke, Oke.. Jadi mau lo gimana?" "Gue suka sama lo," Rinjani menarik nafas panjang. Pengalaman di tembak cowok yang benar-benar di luar dugaan. Secara tidak langsung, ini adalah bentuk ancaman. Rinjani mengangkat wajahnya menatap ekspresi Arsen yang tadinya mengeras kini sedikit lembut. "Lo... mau kita pacaran?" Arsen mengalihkan pandangan ke arah lain. Lalu menatap Rinjani lagi. "Menurut lo?" Rinjani menghembuskan nafas kasar, mengepalkan kedua tangannya untuk meyakinkan diri bahwa keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik. Lagipula, ini juga akan berpengaruh pada Juna. "Oke, kita pacaran," Rinjani menatap Arsen lamat-lamat. "Tapi lo harus janji, nggak akan pernah gangguin Juna lagi." Arsen justru tertawa getir. "Jadi lo mau pacaran sama gue gara-gara Juna?" Iya. Rinjani menambahkan dalam hati. "Nggak, gue cuma nggak suka sama cowok yang kasar. Dari dulu yang bikin gue nggak mau deket sama lo karena lo kasar." Ujarnya, tidak sepenuhnya berbohong. "Deal," Dari sini, terlihat bahwa hubungan yang akan mereka jalani terkesan seperti sebuah perjanjian tak tertulis. Lalu Arsen menarik tangan Rinjani ke tempat sebelumnya. Juna benar-benar kacau dan Rinjani sama sekali nggak tega melihatnya. Perempuan itu menatap Arsen sejenak lalu melangkah mendekati Juna dan membantunya berdiri. "Lo harus pulang, ya?" Juna berdiri meskipun sekujur tubuhnya terasa ngilu. Rambutnya berantakan, bando-nya patah, dan seluruh barang-barangnya berantakan di tanah. Rinjani mengambil tas Juna yang teronggok di tanah lalu menyampirkannya ke pundak cowok itu. "Jangan lupa obatin luka lo." Rinjani berbalik, hampir mengambil satu langkah untuk pergi sampai akhirnya Juna menahan lengannya—Untuk kali pertama. "Lo mau kemana? K-Kita pulang barengan, kan?" Rinjani tersenyum tipis, menyingkirkan tangan Juna pelan. "Gue... duluan, ya?" Sampai Rinjani berjalan beriringan dengan Arsen, Juna masih mematung. Faktanya, siapapun yang pernah ada disamping Juna selalu berurusan dengan Arsen. Dan itu menjadi salah satu alasan mengapa Juna tak pernah ingin memiliki teman. Juna semakin merasa bersalah, saat dari kejauhan Arsen meletakkan lengannya pada pundak Rinjani, merangkulnya. Kalau saja Rinjani mau mendengarkan Juna, untuk tidak berteman dengannya, Rinjani tidak akan berurusan dengan cowok sialan itu. . Rinjani masih berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan Arsen. Ia bisa merasakan rangkulan Arsen yang terlalu kuat. Diam-diam ia rindu dengan aroma bedak bayi milik Juna, yang kini digantikan dengan aroma Musk yang begitu menyengat. Saat itu juga, Rinjani sadar, dengan keputusan yang diambilnya sekarang, Rinjani harus kehilangan Juna. Kehilangan hubungan pertemanan mereka. . . (TBC)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD