Nel pulang hampir jam sembilan malam, perutku sudah sangat kelaparan, sebungkus keripik singkong gak membantu sama sekali, hanya membuat lambungku makin agresif minta segera di isi. Aku gak membalas sapaannya, begitu membukakan pintu, aku langsung menyambar bungkusan di tangan Nel lalu bergegas kedapur. Nagita dan kelaperan bukan perpaduan yang tepat, Kau gak akan percaya bisa seperti apa hasilnya.
"Selaper itu? " Tanya Nel menonton diriku menuang kuah sop kedalam mangkuk dengan agak serampangan di atas meja makan. Dia bertahan di ambang pintu dapur, gak berniat bergabung sepertinya.
"Gak mau makan dulu nih? " tanyaku mengendikkan dagu ke satu lagi porsi sop yang tersisa dalam kantong plastik.
Nel mengangkat bahu "Tadi sudah makan di kantor" gumamnya. Penampilan Nel sudah sangat jauh dari kata on point, setelan kerjanya udah kusut, make up luntur dan rambut acak-acakan. Aku jadi ingin tau dia lembur mengolah data klien atau ngapain sih? sampai segitu kusutnya.
"Kau kayak orang abis tanding gulat" komentarku setelah menyesap sesendok kuah gurih menyegarkan yang belum ku tambahi perasan jeruk serta sambal, seraya mengamati penampilan Nel dari atas ke bawah.
"Bang Ian kehilangan file, aku di paksa ikut nyari, gak taunya di bawa pulang sama Salsa" ujar Nel akhirnya ikut bergabung denganku di meja makan. "Mereka itu kadang lebih ngeselin dari dirimu kak, aku sampai bongkar ruang file dari jam enam, baru jam lapan tadi bang Ian kepikiran nanya ke Salsa. Kan, kampret banget" sungutnya menyambut segelas air putih yang ku sodorkan.
Nel, ini adik kandung mantan suamiku. Namanya Nelma, kami sudah dekat sejak aku dan abangnya berpacaran, usianya terpaut enam tahun dariku tapi entah kenapa kami bisa cocok sekali satu sama lain. Persahabatan kami gak ikut kandas sekalipun aku dan Tora akhirnya berpisah lima tahun lalu. Sejak lulus kuliah dan bekerja Nel pindah kemari, katanya ingin belajar mandiri. Tapi aku yakin dia tinggal bersamaku biar gak perlu mengikuti aturan yang di buat orang tuanya, khususnya jam malam. Di sisi lain keberadaan Nelma di sini bikin rumah gak terasa sepi, aku jadi punya partner maraton drakor, dia juga gak keberatan berbagi tugas rumah, meskipun gak bisa di bilang rajin. Walau kami sering meributkan hal-hal sepele seperti masalah mengelola sampah, aku dan Nel selalu bisa saling mempercaiyai satu sama lain bila ada masalah. Aku gak pernah ragu membagi uneg-uneg padanya begitu juga sebaliknya.
"Beneran nih, gak mau makan? " tanyaku sekali lagi, isi mangkuk di hadapanku sudah berkurang separo. Kalau memang dia gak berminat aku bisa menghabiskan jatahnya sekalian.
Nel hanya menggeleng, jarinya sibuk mngetuk-ngetuk layar HP dengan kening berkerut serius. Menebak mungkin itu urusan pekerjaan aku gak berusaha mengajak dia mengobrol lagi, menuang porsi jatahnya ke mangkuk yang nyaris tandas lalu mulai makan lagi.
Ini enak bangeet. Sop tulang yang hanya buka di malam hari di kawasan beringin ini sudah yang paling lezat se jambi raya. aku belum menemukan tandingannya sejauh ini. Dari dulu lapaknya hanya berupa tenda sederhana di pinggir jalan, pengunjungnya gak pernah sepi hingga larut malam. Wajar sih, rasa kuah sup nya itu lho, ngaldu tapi gak terlalu berlemak jadi gak terasa berat. Asin dan gurihnya pas, jika di tambahi perasan jeruk kunci dan bersendok-sendok sambal aku jamin kalian bakal ketagihan.
"Si abang kayaknya ngga pulang deh lebaran ini" ucap Nel tiba-tiba menyela kegiatanku membersihkan tulang dari daging yang menempel alakadarnya. Abangnya Nel cuma ada satu, namanya Tora.
"Ohh" gumamku setelah berhasil menelan makanan di mulutku.
"Udah serius kayaknya sama mba Mia sampai mau ngerayain lebaran bareng, sama keluarganya pula" Lanjut Nel, aku belum yakin apa niatnya ngasih informasi ini. Mau memanas-manasi apa gimana.
Padahal semalam Tora juga sudah ngasih tau aku soal batal pulang kampung ini. Alasannya beda banget, bukan demi ngerayain lebaran bareng Mia aja, tapi emang gak bisa. Kan sudah ada larangan mudik lebaran. Lagian bodo amat dia mau ngerayain di mana dan sama siapa gak ada urusannya dengan ku.Sudah jadi mamtan ini.
"Wajar kan, mereka udah pacaran hampir setahunan" komentarku mengendikkan bahu lalu kembali membersihkan tulang sapi.
"Iya, wajar banget. Yang gak wajar tuh udah lima tahun masih jomblo aja, gak move on" cibir Nel lalu terkikik jahat.
"Ehh, b*****t! Situ juga jomblo" tukasku mengacungkan tulang sapi yang baru setengah jalan ku bersihkan.
"Jomblo berkelas aku sih, gak punya pacar gak apa-apa yang penting ada partner setia buat senang-senang" balasnya tersenyum jumawa.
"jomblo berkualitas my ass" aku balas mencibir.
Tawa Nelma makin menjadi-jadi, entah di bagian mana lucunya. Aku juga gak kepo ingin tau, sebahagia dia sajalah.
****
"Kak, ada yang mau smoothing. Masih bisa ga? " suara Bree menyela konsentrasiku memulas coating gell pada permukaan nail gell berwarna nude dan putih yang ku aplikasikan di permukaan kuku klien.
Aku mendongan sekilas hanya untuk melihat kepala Bree menyembul kedalam ruangan dari balik pintu yang di buka sebagian. "Masih kuat lembur? " kataku balik bertanya dari balik masker. Bree mengangguk mantap yang ku balas dengan acungan jempol tanda aku mengijinkannya mengambil kerjaan itu.
Walaupun kami sama-sama tau Nail it sangat butuh pemasukan untuk bertahan, aku tetap menegaskan agar karyawanku mengambil job semampunya, aku gak mau nanti kami malah semakin repot kalau ada yang jatuh sakit karena kelelahan.
ohh ya, Nail it adalah nama salon ku, sepertinya aku belum memperkenalkan dengan benar.
Aku mendirikan Salon ini tiga tahu lalu setelah melalu proses panjang. Tadinya aku bekerja sebagai staff HRD di salah satu hotel friendchise asal Amerika di kota ini. Pekerjaan yang aman, nyaman dan penghasilan lebih dari cukup. Buktinya aku bisa betah bertahan hingga tujuh tahun. Tapi setelah bercerai, aku jadi punya pandangan berbeda, aku jadi sadar kalau hidupku selama ini terlalu monoton dan lumayan membosankan. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru, yang berbeda dari hanya duduk di depan layar komputer selama delapan jam sehari, aku juga teringat cita-cita masa kecilku membuka sebuah toko kecil entah apapun itu jenisnya.
Sejak kecil aku gak punya banyak hobby ,satu-satunya yang bertahan hingga dewasa adalah nail art, walaupun waktu itu aku belajar secara otodidak hasil kerjaku lumayan memuaskan. Ada sensasi tersendiri bila melihat jari-jari di hiasi karyaku, terlebih jika aku berhasil mewujudkan design yang di inginkan klien. Aku menjadikan nail art sebagai sampingan selama kuliah dan berlanjut terus hingga aku memiliki pekerjaan tetap, aku gak pernah menganggap serius profesi ini, hanya ku jadikan sarana menyalurkan ide-ide yang kadang memenuhi otak ku.
Aku pikir membuka toko saja ujung-ujungnya akan sama monoton dan membosankan seperti pekerjaan ku di kantor, jadi ku putuskan untuk menjadikan usaha sampinganku sebagai profesi sungguhan. Aku gak tanggung-tanggung lho dengan rencanaku, demi menjadi nail artist profesional aku bela-belain kursus selama setahun di singapore, menghabiskan hampir seluruh isi tabunganku.
Menyelesaikan kursusku, aku gak langsung pulang ke Jambi dan membuka nail studio, aku malah kejakarta dan bekerja di nail studio yang sudah cukup terkenal disana. Salah satu cara efektif untuk belajar adalah dengan praktek langsung bukan?, aku sadar masih butuh belajar banyak cara-cara mengelola sebuah usaha karena jujur saja aku sama sekali butan dengan dunia bisnis.
Aku bekerja hanya sepuluh bulan karena sudah sangat gak betah tinggal di jakarta yang selalu macet dan pengap. Aku rindu suasana jambi yang biasa aja nyaris membosankan. Nail art belum menjadi trend waktu itu, terutama di jambi, atas saran bos ku di nail studio aku memutuskan membuka salon saja dengan merekrut hair dresser, make up artis dan beauty therapist, jadi nantinya calon customer akan di suguhi berbagai layanan saat mereka datang ke salon ku alih-alih hanya jasa menghias kuku..
Aku menamainya Nail It, untuk dua alasan, pertama karena memang ide awalnya adalah nail studio, kedua arti kata nail it itu sendiri, berasal dari kalimat nailed it yang bisa di artikan 'melakukan sesuatu dengan sempurna' atau bisa juga 'berhasil'.
Selama tiga tahun kemudian Nail it terus beroperasi, berkembang, mengalami banyak hal termasuk Pandemi yang entah kapan akan berakhir ini. Meskipun saat ini sedang tersaruk-saruk dan hanya memiliki empat karyawan tetap, aku yakin salon kecil ini akan bertahun hingga bertahun-tahun kedepan.
Harus bertahan, dong
Memangnya aku mau jadi pengangguran merangkap homeless?
***
Selesai dengan klien terakhirku hari ini aku gak langsung bisa bersantai, aku masih harus merapikan kembali area kerjaku, mengembalikan botol-botol nail polish ke rak, membersihkan peralatan yang ku pakai dengan alkohol lalu melap seluruh permukaan meja dan kursi dengan cairan desinfektan sesuai standar yang ku tetapkan sejak wabah virus melanda. Semua ku kerjakan sendiri karena kami sudah gak memiliki asisten.
Setelah semua pekerjaan melelahkan itu aku benar-benar berharap bisa bersantai di lantai tiga dan menikmati makan siang yang sudah sangat terlambat, tapi rupanya semesta memutuskan lain, di mulai dengan dering ponsel gak lama setelah aku menyandarkan punggung pegal ku di sandaran sofa di lantai tiga
Nomer gak di kenal, dengan banyaknya aplikasi pinjol di HP, aku jadi terbiasa untuk menjawab setiap telepon dari nomer tak di kenal.
"Hallo" sapaku.
"Hallo, selamat sore. ini benar dengan ibu Nagita Harjono? " Sahut suara pria yang terdengar ringan di ujung sana.
"Iya benar" .
"Saya dari B** ini bu... angsurannya sudah jatuh tempo..."
Ohh sial!, makiku dalam hati. Bisa-bisanya aku lupa menyetor uang ke rekening itu.
"Ibu Nagita?.. hallo"
"ohh, maaf pak" sahutku mulai panik melihat jam dinding sudah menunjukkan 16:13 sore. "memangnya teller masih buka jam segini? "
"langsung ke lantai dua aja bisa bu, saya tunggu sampai jam 5 bisa? ".
Lalu gimana dengan makan siang ku? dan punggung pegal ku? .
"oke baik pak, saya kesana sebentar lagi".
walau sudah nyaris lima menit berlalu aku masih terpaku di sofa dengan punggung tegak. Pagi tadi aku memakai separo uang itu untuk membayar pinjol yang jatuh tempo empat hari lagi. Sialnya pengajuan pinjaman ku masih berstatus di verifikasi hingga saat ini dsn belum ada tanda-tanda akan di setujui apalagi pencairan. Gak mungkin kan aku menyetor cicilan cuma separo?
Ahh. . kenapa jadi kacau begini sih?
Ku tekan dadaku yang berdebar tak beraturan dengan tangan yang terasa dingin dan gemetar, sepertinya aku juga butuh konsultasi ke dokter untuk gejala gak mengenakan setiap kali mendapat telepon dari penagih hutang.
Aku benar-benar terjebak di tengah kepungan masalah yang kuciptakan sendiri dan masih gak bisa menemukan jalan keluarnya. Dengan linglung aku beranjak meraih cardigan dan tas selempang yang ku gantung di balik pintu, bersiap turun ke bawah dengan perasaan tak karuan.
Aku ingin sekali kembali kemasa di mana aku gak mengenal dan gak tertarik untuk mengenal pinjol.