Bab 2.

1581 Words
“Riana?” sapaku dengan senyum lebar. Riana, adik perempuanku yang kini telah tumbuh dewasa dengan cantik. Dia tengah melanjutkan pendidikannya di universitas yang dulu merupakan universitas yang pernah kuimpikan. Melihatnya mengenyam pendidikan di tempat yang tidak bisa aku raih, membuatku merasa bangga sebagai seorang kakak. Dulu aku berusaha membanting tulang untuk membiayai pendidikan Riana. Dan sekarang, setelah aku menikah dengan mas Khansa, pria itu bersikeras untuk membiayai kehidupan kami semua, termasuk biaya pendidikan Riana. Awalnya aku berusaha menolak usaha mas Khansa itu. Aku merasa mas Khansa tidak harus melakukannya. Karena Riana adalah adik kandungku, itu berarti dia adalah tanggung jawabku. Meski mas Khansa sekarang telah menjadi suamiku, tapi bukan berarti mas Khansa juga harus menanggung beban keluargaku bukan? Aku hanya merasa tidak enak dengan mas Khansa dan juga keluarganya. Aku tidak ingin membuat mereka berpikir bahwa aku telah memanfaatkan kebaikan hati mas Khansa. Aku sendiri menyadari bahwa kami bukanlah kalangan yang sejajar dengan keluarga mas Khansa yang memiliki kekayaan melimpah. Dengan menikahnya aku dan mas Khansa saja itu sempat membuat perbincangan khalayak umum dan juga keluarga mas Khansa sendiri, apalagi jika mereka tahu bahwa mas Khansa juga ikut menanggung biaya keluarga kami. Aku hanya tidak ingin membuat status kami terlihat lebih buruk di mata mereka semua. Namun sayangnya mas Khansa tidak menyadari perasaanku itu. Dia tetap bersikeras ingin mencukupi kebutuhan kami berdua. Ketika aku mendengar mas Khansa berkata bahwa Riana juga merupakan keluarga kita, membuatku merasa terharu. Betapa pedulinya mas Khansa kepada keluarga kami. Aku selalu bersyukur telah dipertemukan dan mendapatkan seorang suami yang penuh dengan kasih sayang seperti mas Khansa. Saat ini aku bisa melihat Riana yang tersipu malu memergoki kegiatan m***m kami, lalu mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Membuatku tersenyum kecil. Riana saat ini tengah berusia 24 tahun. Namun gadis itu masih belum pernah memperkenalkan kekasihnya satu pun padaku. Pada dasarnya memang Riana itu adalah gadis yang pemalu, sama sepertiku. Saat ini gadis itu tengah mengerjakan skripsinya, dan aku sebagai kakak akan selalu siap membantunya. Meski sebenarnya juga tingkat pendidikan kami jauh berbeda saat ini. Aku tertawa dalam hati tiap kali menyadari itu. Aku hanya bisa berdoa, semoga adikku, Riana, bisa diberi kemudahan dan kelancaran dalam hidupnya. Dan juga mendapatkan jodoh yang luar biasa seperti mas Khansa. “Riana, kau sudah bangun rupanya. Kau butuh sesuatu?” tanyaku lagi mencairkan suasana kaku di antara kami. Bisa kurasakan usapan lembut dari jemari mas Khansa pada pinggangku. “Ah Riana tadinya mau bantuin kakak masak di dapur. Tapi kalau Riana ternyata mengganggu, Riana ke kamar saja deh.” ucap gadis itu. Terlihat gadis itu hendak membalikkan tubuhnya kembali namun buru-buru langsung kucegah. “Riana, tunggu! Kamu gak ganggu kok. Bisa bantu kakak masak sekarang? Berkat seseorang, sepertinya masakan kakak gak bisa selesai tepat waktu pagi ini.” tawarku sekaligus sengaja memberikan sindiran kecil pada suamiku, mas Khansa. “Hei, apa kau sedang menyindirku Sayang? Dasar nakal.” balas mas Khansa tidak terima. Pria itu bergerak menggelitiki tubuhku yang sontak saja mengundang gelak tawa di antara kami berdua. Riana ikut tertawa kecil melihat kedekatan kami. Gadis itu melangkah mendekat ke sampingku dan mengambil tugas lain yang perlu dilakukan. “Hahaha sudah cukup, Mas. Keysha harus masak sekarang.” ucapku kemudian menghentikan kegiatan bermain kami. Dengan pelan kudorong tubuh mas Khansa menjauh dariku. Aku membalikkan tubuh kembali membelakangi mas Khansa dan mulai meraih pisau lagi. Kulanjutkan kegiatan memotong sayur itu tidak memedulikan mas Khansa yang kembali beralih memelukku dari belakang, namun tidak seerat tadi. Sepertinya pria itu tahu bahwa aku juga butuh secepatnya menyelesaikan masakan ini untuk sarapan kami. Ya, aku harus menyelesaikan masakan ini secepatnya sebelum nanti mendapat teguran dari mama Rasti, mamanya mas Khansa, karena terlalu lama menyiapkan sarapan mereka. Itu juga salah satu alasan aku bangun pagi-pagi selama ini. Aku tidak ingin membuat keluarga mas Khansa, terutama mama Rasti semakin tidak menyukaiku. Aku melirik ke arah Riana yang tengah fokus mencuci bahan rempah-rempah. “Riana, tolong sekalian cucikan sayuran juga ya.” pintaku sembari menyerahkan sayuran yang baru saja selesai aku potong. Riana menoleh dan mengambil sayuran itu. “Iya, Mbak.” jawab gadis itu dengan patuh. Aku bergerak untuk menyiapkan alat-alat memasaknya namun sedikit kesulitan karena mas Khansa masih tidak berniat melepas pelukannya. Aku menjadi gemas sendiri lama-lama. “Ugh mas Khansa, tolong lepas dulu. Keysha tidak bisa gerak ini.” keluhku. Terdengar kekehan kecil dari bibir mas Khansa sebelum kemudian benar-benar melepaskan pelukannya. “Baiklah, Sayang.” balas mas Khansa yang lalu memberi kecupan kecil di kepalaku. Mas Khansa beralih memerhatikanku dari samping. Manis sekali bukan? Bukannya pergi, namun pria itu tetap memilih untuk menunggu dan melihatku dari samping. Aku mengulum senyum melihat itu. Barulah aku bisa leluasa bergerak. Aku mulai bekerja sama dengan Riana membuat sarapan secepat mungkin. “Ada yang bisa mas bantu tidak?” tawar mas Khansa. Aku melirik sejenak ke arah mas Khansa sebelum menjawabnya. “Tidak. Mas Khansa duduk saja di sana. Keysha sudah ada Riana yang bantuin.” jawabku. Dengan patuh akhirnya mas Khansa mengikuti ucapanku. Pria itu duduk di sebelah pantri sembari meraih majalah dan membacanya dengan santai. Akhirnya tidak sampai setengah jam masakan kami telah siap. Bertepatan dengan mama dan papa mas Khansa yang juga turun menuju meja makan. Setelahnya kami makan bersama dengan tenang. Sesekali aku akan mengambilkan beberapa lauk tambahan untuk mas Khansa. Dan mas Khansa akan melempar senyum manis ke arahku sebagai tanda terima kasih. Kami benar-benar terlihat seperti sepasang suami istri yang baru, dan aku menyukai hal itu. aku berharap suasana romantis di antara kia tidak pernah lekang oleh waktu. “Uhuk uhukkk uhuk!” suara batuk Riana tiba-tiba. Sontak semua mata langsung tertuju pada adikku itu. gadis itu berusaha meraih gelas di depannya, dengan satu tangan yang menutupi bibirnya. “Riana, kamu tidak apa-apa, nak? Pelan-pelan kalau makan. Jadi tersedak kan.” Pesan mama Rasti sambil bergerak membantu Riana mengambil gelas minumnya. Dengan pelan mama Rasti membantu gadis itu menenggak minumannya. Aku bisa melihat mama Rasti terhat begitu peduli dan menyayangi adik kandungku itu dengan baik. Seharusnya aku merasa senang bukan? Ya, aku memang senang melihatnya. Adikku, Riana, dia adalah gadis manis yang selalu diberkahi limpahan kasih sayang oleh banyak orang. Aku senang melihatnya. Aku merasa bersyukur dengan itu. “Uhm terima kasih, Ma.” ucap Riana kepada mama Rasti setelah selesai menenggak minumannya. “Kamu tidak apa-apa Riana? Kenapa bisa tersedak, hm? Kau memikirkan sesuatu?” tanyaku kemudian. “Apalagi kalau bukan karena ulah kalian, Keysha. Kemesraan kalian di meja makan itu membuat Riana jadi tidak bisa fokus makan.” sahut mama Rasti sambil melirik ke arahku. Aku yang melihat iu langsung tertegun di tempat. Tentu saja semua orang tahu bahwa yang dimaksud mama Rasti sebenarnya adalah aku. meski ucapannya terarah untuk aku dan mas Khansa, tapi aku sadar bahwa akulah sebenarnya yang disalahkan di sini. Aku hanya bisa terdiam menundukkan kepala. “Maaf, Mama.” gumamku dengan pelan. Sejenak suasana di antara kami terasa tidak menyenangkan seperti awal. “Sudahlah, Ma. Apa salahnya kalau mau bermesraan sama istri sendiri? Itu berarti rumah tangga Khansa terbukti harmonis kan? Harusnya mama senang kalau rumah tangga Khansa dan Keysha berjalan dengan baik-baik saja.” Sahut mas Khansa dengan santai. Aku tahu mas Khansa hanya ingin menengahi perdebatan kami dengan baik. Aku bisa merasakan usapan lembut di tanganku yang berada di atas pangkuanku. Usapan dari mas Khansa yang berniat untuk menenangkan diriku seperti biasanya. Aku tersenyum tipis menyadari itu. aku tahu bahwa mas Khansa, suamiku, akan selalu berdiri di sisiku seperti biasanya. Dan aku sangat bersyukur untuk itu. “Khansa benar, Ma. seharusnya mama senang melihat mereka berdua akur seperti itu. dan Riana pasti juga memaklumi bukan?” celetuk papa mas Khansa juga. Papa mas Khansa melempar senyum kecil ke arah Riana, yang kemudian juga disambut senyum manis oleh adikku itu. “Iya, Pa. Riana tidak apa-apa.” jawab Riana dengan sedikit canggung. “Mama bukannya tidak senang, Pa. Tapi bermesraan juga harus tau tempat. Kalau tiap kita makan harus dikasih liat kemesraan orang, lama-lama juga bikin mual kan!” “Ma/Mama!” tegur mas Khansa dan papanya serempak. Dan suasana di antara kita menjadi semakin berat. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan suasana ini. Juga merasa bersalah. Lebih baik memang aku harus melihat waktu dan tempat untuk bermesraan dengan mas Khansa. Meski sebenarnya juga aku tidak bermaksud untuk berlaku demikian. Suasana di sekitarku dan mas Khansa memang rasanya mengalir dengan ringan dan mudah begitu saja. Mungkin karena ikatan cinta di antara kita yang membuatnya seperti itu. Kami seakan bisa selalu merasa terhubung satu sama lain dan mengundang keromantisan di antara kita tanpa sadar. Harusnya aku juga merasa bersyukur untuk itu. Namun sepertinya tidak untuk orang lain. Orang yang melihatnya mungkin akan menjadi terganggu, seperti mama Rasti saat ini. Aku mencoba melirik ke arah mama Rasti yang berada di seberang mejaku. Dan aku langsung bisa melihat raut wajah tidak senangnya. Sudah pasti bukan. Aku tertawa miris dalam hati. Pernikahanku dengan mas Khansa sudah berjalan selama 3 tahun, namun sampai saat ini aku bahkan tidak bisa mendekatkan diri kepada mama mertuaku sendiri. Aku sudah berusaha keras untu menyenangkan hati beliau, namun entah kenapa semua yang kulakukan selalu salah di mata mama Rasti. Apa yang harus aku lakukan? Aku kalah dengan adik kandungku sendiri. Riana hanya butuh hampir setahun untuk bisa diterima oleh mama Rasti dan bisa berbincang dengan hangat dengan beliau. Sedangkan aku? Aku berusaha bangun lebih pagi dan melakukan banyak pekerjaan rumah demi untuk mengambil hati mama Rasti dan hasilnya masih tidak ada perubahan. Yang ada beliau malah semakin kesal kepadaku. Mungkin benar kata orang. Kita bisa berusaha keras namun semua itu juga perlu sebuah keberuntungan. Dalam hal ini, terkadang aku merasa iri pada keberuntungan adikku sendiri. Dia seperti terlahir untuk mudah dicintai banyak orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD