Apa Tobias Gay?

1380 Words
Rendra memandang punggung Alea yang keluar ruangan Tobias dengan tubuh lemas. Bagaimana tidak, ia harus mengganti seratus juta untuk sebuah kerusakan yang sebenarnya tak seberapa mengingat angka kekayaan Tobias yang sangat banyak bahkan untuk tujuh turunan. Dasar orang pelit, teriak Alea dalam hati.  Tapi ratusan juta bukan uang kecil, bahkan orang sekaya Tobias pun pasti menganggap uang itu tak kecil. Rendra mengembuskan napas berat, dua pikirannya seakan bertolak belakang. “Kenapa?” tanya Tobias, setenang air sungai yang memiliki arus kuat di dasarnya. Rendra melirik Tobias, lelaki itu sangat dingin sedingin salju abadi. Tak seharusnya ia seperti itu, terutama kepada alea yang seperti boneka porselein. “Kamu yang kenapa?” Rendra membalik pertanyaan Tobias. “Memangnya aku kenapa?” tanya Tobias sambil menunjuk dirinya sendiri. “Tak seharusnya kamu mempersulit perempuan.” Rendra duduk di tepi meja dengan ujung p****t. Sebuah hal yang biasanya sangat mengganggu Tobias, namun jika lelaki itu tak terganggu, itu pasti karena ada masalah yang jauh lebih penting. Urusan dengan Alea jauh lebih penting daripada hanya urusan Rendra yang duduk di tepi meja dengan ujung pantatnya. “Dia bukan perempuan,” seloroh Tobias sambil menyalakan laptop. “Kalau begitu, apa dia banci?” tanya Rendra sambil melirik sahabatnya. Tobias menghela napas berat, dipandanginya sang sahabat lalu geleng – geleng kepala. Rendra tak tahu seperti apa perempuan bernama Alea itu di mata Tobias. Tapi baginya, Alea adalah seorang dewi kahyangan yang turun ke bumi lalu selendangnya hilang sehingga tak bisa kembali lagi. “Aku akan mencicil hutangku sampai lunas. Kalau Alea tak bisa membayar penuh, aku yang akan melunasinya,” kata Rendra dengan penuh percaya diri, seakan bisa membayar hutang ratusan juta itu dengan mudah. “Kamu kenapa Ren?” tanya Tobias, tak percaya Rendra bisa dengan mudah mengambil tanggung jawab dari orang asing. Bahkan seandainya ia tertarik dengan Alea, tak sepantasnya ia membayar kerugian sebesar itu, kecuali kalau hubungan mereka sudah jelas. Rendra sudah menaruh minat pada Alea sejak pertama kali bertemu, seperti sebuah ikatan lama yang sempat terputus lalu disambungkan. Hanya saja ia harus mencari tahu lebih banyak tentang sosok Alea. Rendra berjanji akan melakukannya cepat atau lambat. “Aku harus pergi,” pamit Rendra dan segera berlari keluar. Meninggalkan Tobias yang mulutnya terbuka melihat tindak tanduk Rendra yang tak biasa. Apakah lelaki itu jatuh cinta pada pandangan pertama? Tobias tak menyangka kalau selera Rendra sangat tak biasa. Perempuan bar – bar yang bisa berkelahi tidak hanya dengan mulut namun berkelahi secara harfiah. Rendra berlari keluar kantor sambil berharap Alea masih ada disana. Teringat kalau mobil Alea juga mengalami kerusakan, ia penasaran apakah Alea menggunakan mobilnya atau memilih naik ojek online misalnya. Beruntung setelah Rendra berada di lobi gedung perkantoran, Alea baru saja keluar pintu utama. Ia pun berlari untuk menghentikan langkah perempuan itu. Siapa tahu ia bisa menawarinya tumpangan. Meskipun sebenarnya ia tak memiliki jadwal keluar, namun alasan apapun bisa ia gunakan. “Alea,” serunya membuat sang pemilik nama menghentikan langkah lalu berbalik menghadapnya. “Kak Rendra!” seru Alea. Angin yang berembus cukup kencang membuat rambut Alea beterbangan dan berantakan. Gadis itu merapikan anak – anak rambutnya ke belakang telinga. Mata abu - abunya mengikuti Rendra yang semakin mendekat kepadanya. Rendra mematung, pandangannya hanya tertuju pada si albino yang cantik jelita. Rambutnya dibiarkan putih tergerai, membuatnya tampak seperti seseorang dari daratan Eropa. Hanya sepasang mata abu – abu yang banyak bergerak, yang membuatnya tampak jelas kalau memiliki kelainan genetic yang menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi atau mendistribusikan melanin. Padahal melanin berperan serta dalam memberi warna kulit, rambut dan mata. “Kamu mau pulang? Bawa mobil?” tanya Rendra sambil berjalan mendekatinya. “Mobilku maksudku mobil omku di bengkel. Aku lagi nunggu jemputan.” Mata Rendra membulat, kedua alisnya naik karena tahu Alea berbohong soal mobilnya.  “Itu mobilku," kekeh Alea, sadar kalau Rendra tak percaya dengan ucapannya. "Ojol?" tanya Rendra, tak ingin memperkeruh suasana hanya untuk urusan tak penting seperti itu mobil Alea atau om - nya. “Bukan. Omku mau jemput nih.” Alea memandang jam tangannya lalu mendecak dan gelisah. “Kenapa?” “Aku harus menunggu setengah jam sampai satu jam-an sampai omku datang. Kayaknya aku mau nunggu di café deh.” Alea memandang café yang ada di seberang gedung. “Kebetulan aku lagi istirahat ini. Mau aku temani?” “Boleh.” Alea merasa senang karena tak harus menunggu omnya sendirian. Alea tidak suka sendirian karena tak suka pikirannya berkelana kemana – mana. Gadis ceria itu memiliki masalahnya sendiri. Selain takut gelap, ia juga tak suka sendirian. Mereka berdua menyeberang jalan di sebuah zebra cross yang letaknya tepat di depan gedung perkantoran. Melangkah cepat agar bisa sampai ke seberang sebelum lampu pejalan kaki berubah merah. Mereka masuk café dan segera memesan minuman. Alea memilih duduk di dekat jendela sementara Rendra ada di depannya. “Maafin aku ya, gara – gara aku, Kak Rendra jadi ikutan kena masalah,” kata Alea dengan wajah diliputi kecemasan. “Nggak apa – apa. Bukan sepenuhnya salahmu. Kalau aku nggak berhenti mendadak, tabrakan itu takkan terjadi.” “Tapi kenapa mahal banget ya? Itu boss Kakak apa selalu horror seperti itu?” Mata Rendra membulat, tak percaya gadis itu membahas Tobias. Ia tak tahu seperti apa awalnya sampai Tobias bisa sedingin itu kepada Alea. Tobias memang selalu dingin pada wanita kecuali kepada adik tiri yang dicintainya. Bukan cinta kakak ke adik, tetapi cinta lelaki kepada perempuan yang tentu saja hanya sepihak karena sang adik sudah menikah dan memiliki anak dengan lelaki lain. Tetapi sejak itu sifat dinginnya kepada perempuan semakin menjadi – jadi, meski demikian … Tobias tak suka berhadapan dengan perempuan apalagi sampai harus bertemu dengan mereka. Sekali saja sudah cukup, tak perlu ada pertemuan lanjutan. Begitu kata Tobias. “Dia tak suka perempuan. Kamu tak perlu khawatir. Bukan ke kamu saja dia seperti itu.” Rendra menyeruput kopinya yang masih panas, “Dia gay? Pantas saja.” Seketika kopi yang masih berada di mulut Rendra menyembur keluar. Tak menyangka kalau Alea menarik kesimpulan semacam itu. Tawanya meledak dan kian menjadi – jadi. “Bukan seperti itu. Dia cowok normal,” kata Rendra saat sudah bisa menguasai dirinya. “Kak Rendra yang bilang dia tak suka perempuan. Alasan apalagi selain karena dia pisang yang suka pisang.” Sekali lagi tawa Rendra semakin meledak. Sungguh sangat seru bisa berkenalan dengan sosok Alea yang tak hanya cantik tetapi sangat lucu. “Dia trauma karena cintanya bertepuk sebelah tangan.” “What! Trauma hanya karena cintanya bertepuk sebelah tangan? Kayak nggak ada perempuan cantik lain di dunia ini.” Alea mendesis, membayangkan secantik apa wanita yang sampai membuat Tobias trauma. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi kenyataannya begitu….” “Bosmu aneh.” Alea menyedot es kopi latte pesanannya. Rendra meringis, sepertinya Alea adalah perempuan yang sangat berterus terang. Meskipun menyenangkan, tetapi mendengarnya mengejek Tobias membuat Rendra tak nyaman. “Sebelumnya aku minta maaf, tapi apakah kamu bisa membayar kerugian itu cash?” Alea menggeleng lemah. "OK. Kamu bisa bayar secara bertahap. Mencicilnya sampai lunas juga tak masalah. Nanti kamu transfer aja ke aku ya. Maafkan aku, tak bisa membantumu." "Jangan begitu, Kak. Aku sudah sangat terbantu karena Kak Rendra baik banget." Alea menggenggam kedua tangan Rendra erat. Membuat lelaki itu terkejut dengan sikap yang ditunjukkan gadis itu. Mata Alea menyipit, bahkan ia mendekatkan wajahnya kepada Rendra. “Apa benar biaya perbaikannya semahal itu?” kata Alea setengah berbisik, seakan tak ingin siapapun mendengarnya. “Tobias hanya membeli barang original. Bahkan kemejanya tadi harganya puluhan juta.” Rendra ikut mendekatkan wajahnya, hingga ia bisa menghidu aroma fresh dari mulut Alea. Alea tak merasa terkejut, sekalipun tadi ia sempat terkejut saat Tobias menunjukkan nota perbaikan mobilnya. Ia menarik napas dalam – dalam lalu memandang keluar jendela. Sebuah mobil yang sangat ia hapal baru saja masuk pelataran café. Wajahnya berubah sumringah dan dengan cepat ia berdiri. “Maaf Kak Rendra, tapi omku sudah menjemput. Kapan – kapan kita ngobrol lagi ya.” Alea segera berlari keluar lalu masuk ke Innova putih milik omnya. Mata Rendra menyipit, berusaha melihat pengemudi di balik kaca yang untungnya tidak terlalu gelap dan sinar matahari membuat pandangannya sangat jelas. Rendra menyentuh dagunya, matanya menyipit dan ia merasa kalau lelaki di balik kemudi adalah seseorang yang ada di masa lalunya. Tapi siapa? Kalau ingin tahu lanjutannya, tunggu ya….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD