Marry Me!

1000 Words
[Jawab, Gus! Jangan kelamaan. Kalau jawabannya 'tidak', aku pastikan kamu akan sangat menyesal.] Send. Ara mengirim pesan terakhir, yang menurutnya akan jadi jurus mematikan buat Gus Fatah. Lihat saja, jika diremehkan, Ara akan nekad menyusun rencana gila untuk bisa dekat dengan Fatah. Ia terkenal cerdas dalam berstrategi di antara teman-temannya. Itu kenapa, setiap kali hang out dulu, Ara selalu terpilih jadi ketua tim. "Nduk, Al." Kiai Asmun memanggil dengan lembut keponakan sekaligus anak angkatnya. "Enggeh, Bi." Alya menyahut cepat. Berbeda dengan Ara, ia acuh pada orang tua yang tengah bicara serius di hadapan mereka. "Kompetisi akan diadakan di pesantren ini. Tolong dihandle bagian santri putri, ya?!" titah sang kiai. "Dawuh." "Oya, Ara!" Kini Kiai menoleh pada anak gadisnya. Seketika Ara mendongak, melepaskan tatapan dari gadged di tangan. "Hem?" Melihat respons Ara yang terlihat sulit menyesuaikan lingkungan Kiai Asmun mendesah. Perlu kesabaran ekstra menghadapi remaja tengil itu. Ingin bersikap keras, tapi khawatir berefek buruk, yang menyebabkan sang anak patah arang dan memilih menjauh dari sisinya. "Ke mana khimarmu?" Kiai bertanya dengan lembut. "Em?" Ara menautkan alis. "Khimar?" Ia tampak berpikir, lalu memegang kepala. "Oyah, Bi. Ini ya? Em, itu tadi ... Ara udah coba, tapi panas sekali rasanya, Bi." Tangan lentik gadis itu mengipas-ngipas. "Huft." Kiai meniup berat. "Ya sudah, kamu boleh membuka khimar saat bersama Abi atau dalam rumah ini. Biar nanti, abi minta santri putra untuk tidak lagi masuk ke rumah ini. Tapi begitu ke luar, maaf Ara ini demi kebaikan kamu, kamu harus memakai khimar. Pertama gunakan dari bahan lembut, atau jika belum siap gunakan yang sekedar menutup d**a, jadi kamu tidak akan kepanasan." Giliran Ara mendesah. Baginya ini merepotkan, Alya sampai heran melihat ekspresi sepupunya yang begitu terbebani. Padahal selama ini, Alya menggunakan kerudung lebar yang menutup hingga bawah bokongnya, dan rasanya baik-baik saja. Tak kepanasan sedikit pun, dia juga memakai ciput agar rambutnya tak berantakan. Menurutnya Ara hanya perlu membiasakan diri. "Tapi, apa itu harus, Bi?" tanya Ara keberatan. "Itu wajib, Nak." Kiai menjawab cepat. "Bukan kah ummi sudah menjelaskan kemarin?' "Iya, tapi tetap saja Ara kesulitan memahami, kalau masih belum paham bagaiamana bisa dengan mudah melakukan?" Bagi Ara, memakai khimar dengan terpaksa itu seperti menjalani sebuah hubungan tapi tidak ada ikatan emosi di dalamnya, tidak memiliki motivasi dan tujuan yang membuatnya menggebu untuk melakukan. "Ara ... memakai khimar itu adalah salah satu pengorbanan, juga perlindungan bagi kita sendiri. Jika kamu berat, boleh dipaksa sedikit dulu, ingat harus dipaksa. Hanya sedikit! Dan lagi, apa kamu tau, bahwa panas yang sekarang kamu rasa hingga tak mau menutup aurat itu, kelak tidak ada apa-apanya dibanding balasan buat mereka yang memilih membuka auratnya di depan non mahram." Kiai menjelaskan dengan sabar. Walau bagaimana memaksa dalam sekejap hanya membuat Ara semakin terbebani, karenanya pria yang menjadi panutan banyak orang itu memilih bertindak dengan cara lembut. Ara mendesah lagi, ia masih belum menerima. Hatinya masih berat jika harus menutup aurat yang selama ini menurutnya tidak mengganggu siapa pun. ____ Hari - H kompetisi semakin dekat. Karena banyaknya hal yang harus dipersiapkan, Fatah menambah agenda berkunjung ke pesantren Darul Mustofa. Di suatu sore, pria berkulit putih bersih itu harus mengantar laporan ke bagian administrasi pihak pesantren, terkait dana yang diperlukan dari banyaknya donatur. Fatah memiliki pribadi hamble, meski anak kiai dia mampu mencairkan suasana di kalangan orang awam saat berdiskusi, itu kenapa proposal yang diajukannya hanya perlu hitungan hari untuk dapat persetujuan calon donatur. Tak sengaja netranya menangkap sosok Ara yang berdiri tepat di depan jendela dengan melepas blus luarnya. Hingga tampak hanya mengenakan kaus singlet yang menempeli tubuh. "Astagfirullah." Fatah menunduk dan berjalan semakin cepat. Namun, di sisi lain Ara sudah melihatnya. Ia tersenyum lebar dan melambaikan tangan melihat pria yang jadi targetnya. "Hai, Gus! Aku di sini." Ara sedikit kecewa karena Fatah tidak menjawab. "Apa dia tidak melihatku? Ah, aku susul saja dia. Tidak banyak kesempatan bisa bertemu." Kebiasaannya bergaul bebas dengan pria dan wanita, membuat Ara tak sedikit pun canggung jika harus mengejar Gus Fatah. Langkah Ara sudah menuju pintu, tapi tak sengaja Alya -yang melihatnya akan ke luar- menegur. Ara juga bagian dari tanggung jawabnya pada Kiai dan Bu Nyai. "Ara! Mau ke mana?" Ara tersentak dan menoleh. "Eh kamu? Em, itu ada temenku di luar." "Temen?" Dahi Alya mengerut karena bertanya-tanya. Tapi tak penting menurutnya, yang penting Ara tidak keluar dalam keadaan 'telanjang' seperti sekarang. "Iya." "Ingat ya, sebelum ke luar, pakai gamis dan khimarmu!" "Oia, lupa. Hehe." Ara meringis. Lalu berlari ke kamarnya. Tak ada gunanya berdebat dengan Alya. Tak perlu juga dia mengatakan akan mengejar Fatah, bisa gawat jika Alya tahu niatnya menikung lewat jalan ninja. Lagipula dia sudah berjanji pada umi dan abinya untuk berusaha mengubah kebiasaan sedikit demi sedikit. ______ Ara celingukan mencari sosok Fatah. Pandangan sudah diedarkan ke segala arah tapi tak juga ketemu. "Bukannya tadi dia ke arah kantor itu?" Ara bicara sendiri. Lalu memutuskan melihat Fatah di kantor yang ia lihat dituju pemuda yang membuatnya penasaran. Saat di depan pintu, Ara melongok ke dalam dan tak menemukan sosok Fatah. Hanya ada beberapa santri senior yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Ketika salah seorang bertanya, Ara hanya mengabaikan dan meninggalkannya pergi. Santri itu geleng-geleng melihat kelakuan Ara, tapi setidaknya ia merasa senang Ning Ara sudah belajar memakai khimar saat ke luar rumah kiai. Fatah yang bersembunyi di balik dinding kantor menghela lega melihat Ara meniggalkan kantor. Gadis itu benar-benar nekad rupanya. Pesan dan panggilan sudah diabaikan, bukannya malu dan minder, malah makin ngejar. Meski banyak pengagum, belum pernah Fatah bertemu gadis sejenis Ara. Menutup aurat pun, gadis itu masih terlihat menyeramkan. Ia pun bergegas menuju mobil yang di parkir di halaman Kiai Asmun dengan jalan cepat-cepat. Seperti ketakutan dikejar setan, Fatah mengeluarkan kunci, dengan buru-buru. 'Klek' Pintu telah terbuka, dan ia tak menyadari sesuatu ketika masuk ke mobil lantaran pikiran dan pandangannya melihat ke arah depan, takut kalau-kalau Ara memergokinya dan mengajak bicara. Saat akan memasang sabuk pengaman, Fatah terlonjak kaget melihat sosok seseorang duduk manis menyilang tangan di d**a yang ada di kursi belakang. "Allah!" Ara tersenyum. "Kenapa buru-buru, Gus?" BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD