Eps 4

1849 Words
“Nenek udah ngabari papamu. Nanti Samuel mau kesini jemput kalian.” Kata-kata penutup makan siang yang nenek interupsi. “Jemput?” Tere meyakinkan yang didengar. Nenek tersenyum, hanya menjawab dengan anggukan. “Jadi, mbak Tere tinggal di rumah papa ya, nek?” Tanya Ello yang ikutan nyimak. Nenek ngangguk dengan senyuman. “Wanita yang udah nikah itu, harus mengikuti suami. Kemanapun suaminya tinggal.” “Asiik.” Sorak gembira yang lirih, tapi masih mampu didengar oleh Tere. Hingga gadis bermata bulat itu melirik kesal kearah suaminya. “Tapi, nek. Jarak kantor ke rumahku lebih dekat dari sini. Aku juga nyaman tinggal dirumah ini.” “Jangan sok tau kamu, Re. Rumah Samuel ke kantor kamu Cuma dua kilo. Kalo jarak dari kantor kamu ke rumah ini ada tujuh kilo.” Jelas nenek yang tentu menyalahkan Tere. “Abis makan, kamu kemasi barang-barangmu. Lalu nunggu Samuel datang.” “Nek,” rengek Tere yang tentu tak ingin pindah rumah. Apa lagi tinggal bersama Ello, cowok yang resmi menjadi suaminya, tapi masih sekolah SMA. “Tere, jan batah lagi. Ello sayang, kamu bantuin istrimu beberes ya. Itu kamarnya ada dilantai atas.” Menatap menantunya dengan sangat ramah. “Siyaap, nek.” Balas Ello sambil menaruh tangan dikening, layaknya hormat pada bendera. “Liat nih, suamimu tampan, nurut, udah pasti bisa bikin kamu seneng terus. Sana, beresi barang-barangmu.” Menatap Tere yang cemberut. Ello mendorong kursi kebelakang, lalu beranjak. Menatap Tere yang masih manyun karna tak ingin pindah rumah. “Ayo istriku sayang, pangeranbantu kamu beres-beres.” Ucapnya, berlagak seperti drama china dalam film kerajaan. Tere melirik wajah Ello yang tersenyum imut sambil mengedip-ngedipkan mata. Beranjak dari duduknya, tangannya sangat gatal, ingin banget culek mata yang kedip kek lampu sein itu. Namun tak mungkin ia lakukan, karna ada nenek yang menyaksikan mereka berdua. Ello mengekor saat Tere menaiki tangga, lalu masuk kedalam kamar. Cepat Tere menutup pintu kamar setelah Ello masuk. Memepet cowok tampan itu ke dinding. Mendongak dengan satu tangan bertumpu kedinding, sedangkan tangan satunya menuding wajah tampan itu. “Aku nggak ngerti ya, kenapa nenek bisa sesuka ini sama kamu. Ini aku akan turuti mau nenek untuk pindah ke rumah kamu. Tapi, awas kalo kamu berani sentuh aku! Kamu harus—“ “Harus apa?” Ello memotong kata-kata Tere. Tangannya terulur hendak membelai pipi putih didepannya. Dengan cepat Tere menjauh, berjalan mundur agar tangan Ello tak menyentuhnya. “Aaaww ....” Sial bukan, saat mencoba menghindar, tapi kakinya malah keserimpet karpet bulu yang memang ada didepan ranjang tidurnya. Ello yang berniat menopang tubuh Tere agar tak jatuh, malah ikutan jatuh menindih tubuh kecil Tere diatas kasur. Melihat bibirnya yang tepat berada diatas bibir Tere, sengaja ia jatuhkan kepalanya. Hingga bibir mereka benar-benar bersentuhan. Tere melotot saking terkejutnya. Tak bisa bergerak kemana-mana karna tubuh Ello lebih besar dari tubuhnya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam dengan bibir dan hidung yang bersentuhan. Ello tersenyum saat merasakan d**a Tere berdebar tak normal. Selain itu, ia merasakan sesuatu yang nempel didadanya. Taulah, cowok mikirin itu. Yang nggak ngerti, berarti lu belom dewasa. Awook awook .... Ello mengangkat kepala, tersenyum tipis menatap wajah Tere yang merona dengan mata masih melotot itu. “Lo deg degan?” ejek Ello tanpa dosa. Tere yang kesadarannya terbang melayang, segera kembali. Mendorong d**a lebar cowok imut itu. Namun kesusahan. Ello sengaja tak ingin bangun. “Bangun! Kamu berat!” ucapnya sedikit berteriak. “Empuk, bikin betah!” nyengir dengan melirik bagian d**a. Mata bulat itu semakin melotot, kembali mendorong d**a Ello. “Dasar m***m! Awas kalo berani macem-macem!” segera bangun setelah Ello menyingkir dari atasnya. Tere memperbaiki dressnya, lalu mengambil koper besar yang ada di lemari atas. Sementara Ello tiduran di atas kasur dengan sangat nyaman. “Kamar lo luas banget, sama kek kamar gue.” Menelisih ke setiap sudut kamar. Tere tak menanggapi, memilih beberapa baju, lalu memasukkan kedalam koper. Jujur, jantungnya masih berdebar dengan penyatuan bibir yang tanpa sengaja tadi. Ia sudah sering berciuman dengan Bian, tapi yang ini terasa berbeda. “Betewe, lo harus terima kasih ke gue.” Tere melirik suaminya yang menatapnya dengan sedikit senyuman. “Nggak penting!” kembali ngambil yang ia butuhkan untuk dibawa pergi. “Penting lah, mbak. Kalo gue nggak datang, pasti lo akan jadi istri kedua dari pria yang lo beli di toko online itu kan?” Ello tertawa saat mengatakan itu. “Hahah ... Aduuh, bentar, perut gue kaku. Lo cantik, apa yang buat lo harus beli suami? Nikah aja dipernikahan massal. Anjiir bener nasib lo.” Kesal, Tere melempar apa yang ia pegang. Lemparannya tepat mengenai wajah Ello yang masih saja menertawakannya. “Terus aja kamu ngetawain aku! Nyebelin!” Ello menghentikan tawa, beranjak dari tidurnya. Menatap benda berbentuk segitiga dengan warna merah darah. Ada pita kecil dibagian depan yang tentu dihiasi renda-renda. “Ukurannya L?” ucap Ello membaca tempelan kecil disisi benda itu. Mulut dan mata Tere sama-sama membulat. Cepat ia berlari ketempat tidur, berusaha merebut yang ada digenggaman Ello sekarang. Sayangnya Ello kekeh mempertahankan benda itu, hingga aksi rebutan segitiga merah itu terjadi. Dua anak manusia ini saling gulang-guling ke kanan dan kiri ranjang. Mendapatkan apa yang diinginkan, Tere segera berdiri. Menatap Ello dengan sangat kesal. “Bocah ngeselin!” Ello terlihat tertawa, tentu senang karna mengetahui benang merah istrinya. “Eh, istriku, betewe nih ya. Ukuran kita sama lho. Sempak gue juga ukurannya L.” Tere memejamkan mata dalam, wajahnya memerah, malu bangeeett. “Ello, aku nggak nanya!” ucapnya kesal penuh penekaan. “Gue ngasih tau, mbak.” “Enggak penting!” “Apanya?” “Sempaknya!” “Kalo isinya?” “ELLOO!!” ** Ello menyeret satu koper besar, mengekor langkah wanita yang berjalan menuruni tangga dengan wajah tak bersahabat. Masih sangat malu dan kesal untuk kejadian beberapa menit lalu. Samuel tersenyum lebar menatap kedua anak manusia yang kini berdiri didepannya. Menekan kedua mata yang tiba-tiba terasa perih karna rasa haru. Mengingat dia dan Darel yang pernah ingin menikahkan anaknya kelak. Agar hubungan persahabatan mereka semakin terikat dan tak pudar. Kini, semua benar-benar menjadi kenyataan. Pernikahan Ello dan Tere yang tanpa sengaja ini seperti sudah digariskan. “Papa kenapa? Belekan?” celetuk Ello yang tau papanya nangis. Papanya tertawa kecil, udah kebiasaan dia dan anak-anaknya, sering bercanda, dimanapun itu. “Papa terharu melihat istrimu yang sangat cantik. Bikin papa pengen nikung.” “Eh,” Tere sedikit terkejut mendengar ucapan mertuanya. “Ciihh! Lama nganggur, liat yang gadis, pasti langsung nongol!” sahut Ello. Samuel tertawa kecil. Menepuk pundak Tere. “Papa Cuma becanda. Jan anggap serius. Nggak mungkin lah, papa mau nikung menantu papa sendiri.” Tere bernafas lega, sangat terlihat jika wajahnya menegang. “Mami,” Samuel menatap nenek. Dari dulu, dia memanggil dengan panggilan yang sama seperti Darel. “Karna Tere dan Ello sudah bersiap, aku ajak mereka pulang ya.” Ijinnya, sebelum meninggalkan kediaman Eldrax. Nenek tersenyum, mengelus lengan Samuel. “Mami nitip Tere ya. Jaga dia, dia cucu kesayangan mami.” “Pasti, mi.” ** Perjalanan yang tak sampai satu jam. Tere tak diperbolehkan membawa mobil sendiri. Ia berada satu mobil dengan Samuel dan Ello, juga sopir pribadi Samuel. Sedangkan mobil Tere dikendarai oleh Jordi. Cukup terkejut saat melihat rumah mewah yang cukup besar. Halamannya pun sangat luas, sangat mirip kebun buah. Ada beberapa pohon mangga, kelengkeng, jeruk, jambu air, jambu biji dan tanaman lainnya didepan rumah. Rumah Samuel pun tidak tingkat seperti milik Tere. Namun tetap terlihat megah dan elegan. Setelah memasukkan mobil Tere ke garasi, Jordi pamit pulang. Sementara Tere mengekor Samuel yang masuk kedalam rumah. Memperkenalkan setiap ruangan yang mereka lewati. Kopernya diseret oleh Karim, sopir Samuel. “Semoga kamu betah disini ya, sayang.” Penutup akhir setelah memperkenalkan semua ruangan dan dua pembantu wanita yang tinggal dirumah besarnya. Tere ngangguk dengan senyuman. Cukup lega karna papa mertuanya sangat ramah dan terlihat welcome dengannya. “El, kamu mau kemana?” Samuel menghentikan langkah Ello yang meninggalkan mereka diruang tengah. “Ke kamar.” Jawabnya singkat dengan sedikit menoleh. “Ajak istrimu sekalian. Biarkan dia istirahat. Pasti capek.” Suruh Samuel. Ello menaikkan alis dengan senyum jail. “Aku sama mbak Tere satu kamar, Pa?” tanyanya basa-basi. Papa menautkan alis. “Iya. Kalian kan suami istri. Apa salahnya?” “Yah, papa kek nggak tau.” Melirik Tere yang terlihat risih karna jadi bahan pembicaraan kedua lelaki ini. “Kenapa?” “Cowok sama cewek kalo disatu kamar bisa ngapain?” lanjut Ello. “Nyetak ba—“ Samuel tak meneruskan ucapannya. Memilih menunduk, menutup mulut menahan senyum. Ello tertawa kecil. “Pa, kalo mbak Tere aku hamili, boleh?” melirik Tere yang mengepalkan tangan dengan mengeratkan giginya. “Kamu berani, hum?!” galak Tere, tak lagi peduliin mertuanya. Tere langsung nyelonong mendahului Ello, masuk ke kamar cowok itu. Tere melempar tas kecil keatas kasur. Matanya menelisih kesetiap sudut kamar. Namanya aja kamar cowok, mana ada meja rias? Adanya juga tempelan poster gambar motor gede, lalu ada beberapa robot-robotan diatas meja belajar. Tere duduk ditepi tempat tidur dengan seprai warna biru berlambang group sepak bola favorite Ello. ‘Astaga, ranjangnya sempit bener?’ guman Tere. Menatap ranjang dengan ukuran 120cmx180cm. ‘Ini sih beneran cocok buat ngrungkel berdua.’ Mengerjapkan mata beberapa kali. Tak begitu lama Ello masuk menyeret kopernya. Tersenyum manis saat mata mereka beradu. “Gue kosongin lemari yang sebelah. Lo bisa pakai buat naruh baju-baju lo.” Menaruh koper Tere, lalu membuka lemarinya. Memindahkan semua barang-barangnya yang kebanyakan adalah barang koleksi Ello. “Di kamar gue nggak ada peralatan cewek. Lo bisa rilis apa aja yang lo butuhin, ntar gue minta sama papa.” Ucap Ello disela kesibukan memindah seragam basket dan bola basketnya. Bahkan didalam kamarnya ada keranjang basket, tepat berada diatas pintu. Tere memutar bola mata, kesal. Andai ia tak bekerja, apa iya, jika butuh duit harus selalu minta sama papa mertua? Eh, tapi dia nggak bisa juga salahin Ello, secara si Ello emang masih seorang pelajar. Dan pelajar tugasnya adalah belajar, bukan nyari duit. Bener kan kuy? Tere melepas jaket jeans yang menutupi tubuh, menyampirkan jaket itu ke kursi dekat meja. Lalu duduk bersandar kepala ranjang dengan nyaman. Diam menatap suaminya yang sibuk mindahin barang-barangnya kedalam koper. Tak sengaja matanya menatap kotak besar berwarna biru dengan pita warna merah. “Kamu punya pacar?” tanyanya tiba-tiba. Ello sedikit menoleh, tersenyum sedikit dengan desisan kecil. “Kenapa nanyain pacar?” “Pen tau aja.” “Punya lah, gue kan bukan jomblo ngenes yang harus nyari pasangan di aplikasi online.” “Iiissh!” desis Tere kesal, karna lagi-lagi Ello mengejeknya. “Denger ya. Aku nggak jomblo, Cuma kebetulan untuk saat ini aku baru sendiri.” Ello terkekeh. “Masa’?” “Hih! Nggak percaya?!” kesal Tere. Mengambil ponsel, membuka galery, lalu mencari fotonya saat bersama Bian disebuah taman. “Liat nih, ini mantanku.” Ello makin terkekeh, sedikit menoleh untuk menatap layar lebar milik istrinya. Matanya memicing, merasa kenal dengan pria yang merangkul pundak Tere didalam layar itu. “Selera lo ... D!” tanggapan berupa ejekan. “Maksud kamu?!” Tak menjawab, Ello ngeloyor masuk ke kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD