Eps 5

1502 Words
“Kamu mau kemana?” tanya Tere saat melihat Ello yang sudah rapi memakai hoddie warna maroon. Ello mengibaskan rambut yang sedikit basah. “Mau keluar bentar. Lo mau ikut?” tawarnya. “Umm ....” terlihat berfikir. “Nggak ah.” Tolaknya. Takut jika diluar akan bertemu dengan beberapa kolagenya. Dia belum siap menunjukkan hubungannya dengan Ello di publik. “Yaudah, gue pergi dulu.” Meraih dompet warna hitam yang dari tadi tergeletak diatas meja. “Lo Cuma dirumah sendirian. Papa pergi kencan.” Setelah ngomong itu, Ello melesat keluar kamar. Tere mengerutkan kening. ‘Kencan?’ batinnya. Mertuanya ternyata juga puber. Seorang duda muda yang ditinggal istri selingkuh dan berakhir perceraian. Tak ingin memikirkan itu, Tere segera beranjak dari ranjang, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebentar. Setelah kurang lebih lima belas menit, Tere keluar hanya dengan menggunakan handuk yang menutupi bagian tertentu. Itu pun handuknya Ello, karna ia lupa tak membawa handuknya. Dia juga mandi menggunakan peralatan mandi Ello. Tere membuka kopernya yang masih utuh, bahkan belum berpindah dari tempatnya tadi. Memilih dalaman atas bawah yang berwarna senada, lalu baju tidur yang memang dress berbahan kaos sebatas lutut tanpa lengan. Itulah kebiasaan Tere, hampir semua bajunya bermodel dress. Merasa berada didalam kamar sendiri, Tere melepas handuk, melemparkannya keatas tempat tidur. Lalu memasang BRA digundukan yang tak bisa dibilang kecil, tapi tidak juga bisa dibilang besar. Ceklek! “Aaaa!” jeritan Tere memenuhi seisi rumah. Segera ia jongkok dengan memeluk lututnya. Berharap semua yang berharga tak terlihat oleh si pembuka pintu. Sementara Ello diam mematung dengan mata tak berkedip. Untuk pertama kalinya melihat seorang wanita toples dihadapannya. Memang inti tubuh Tere tak terlihat, tapi tadi sempat liat sedikit, dan kini ia terpaku menatap kulit tubuh yang putih mulus tanpa cela. “Ello! Kamu ngapain?!” teriak Tere dengan menunduk, tak mau mendongak menatap suaminya. “Anu, gue ... Gue mau ... Mau ....” “Mau apa?” “Mau ... Mau ... mau ambil ....” lupa. Melihat yang barusan, membuatnya lupa tujuan balik ke rumah. Menatap semua barang yang ada dimeja, di kasur. “Kamu bisa keluar dulu, kan?” “Enggak.” Jawabnya cepat. Tere makin frustasi, dia bersumpah akan memukul kepala bocah nyebelin itu kalo sudah berpakaian. “Ello!” teriaknya frustasi karna cowok imut itu masih mematung ditempat. “Aku mau ganti baju. Kamu keluar!” pintanya lagi. “Iya, iya, gue keluar.” Masih saja matanya enggan berpaling dari tubuh polos Tere, pelan Ello keluar dan menutup pintu kamar. Diam berdiri di depan pintu, mengelus jantung yang berpacu lebih cepat. Mengingat yang ia lihat beberapa detik diawal. Semua terlihat nyata dan ... Menggoda. Ello menggelengkan kepala cepat, lalu jakunnya naik turun. Memegang bagian bawahnya yang terasa ngilu. “Anjiir, ternyata lebih indah dari yang gue bayangin.” Pelan, berjalan meninggalkan kamar. Keluar dari rumahnya sambil memasang topi yang tadi sempat ia raih dimeja kamar. “Udah ambil, hapenya?” tanya Lxexi yang menunggunya didepan rumah. Ello menepuk kening. Gara-gara pemandangan tadi, ia lupa segalanya. Malah ngambil topi yang sama sekali tak ia butuhkan. Padahal tujuan pulang kan buat ngambil hape. Kamvret! “Lupa.” Kembali memutar badan dan melangkah masuk kedalam rumah. Lalu berhenti, menggaruk pelipis. ‘Gimana pas gue masuk kamar, ternyata mbak Tere pas toples lagi? Pasti dia ngira kalo gue emang sengaja pen liat tubuh toplesnya. Walau nyatanya gue kesenengen, tapi kan harus seneng yang dapat ijin.’ Batinnya berkecamuk. “Ppcck! Aaggrrhh!” mendengus kesal. Berbalik dan kembali melangkah keluar rumah. “Udah?” tanya Lexi lagi. “Nggak jadi.” “Yee ... buang waktu aja lo! Kamvret!” omel Lexi. Tak peduliin omelan sahabatnya, Ello bergegas naik ke boncengan. Detik kemudian, motor Lexi melaju meninggalkan rumah. ** Motor ninja hitam milik Lexi berhenti disebuah jembatan yang sudah lama tak terpakai. Disana udah ada Zayn, Verso, Geon dan Ilham. Ello dan Lexi menjabat tangan teman-temannya ala mereka. lalu bersandar dibesi pembatas jembatan. Ello meraih sebatang rokok yang diulurkan Verso. Lalu menarik rokok yang udah menyala dari mulut Verso untuk menyalakan rokoknya. Detik kemudian, kepulan asap menguar diudara. “El, gue kira lo ketangkap.” Celetuk Zayn tiba-tiba. “Iya, gue tadi liat motor lo dimasukin pic up.” Sahut Ilham. “Syukur kalo lo nggak ketangkap. Eh, tapi motor lo gimana?” Geon ikut nanggapi. Kepulan asap kembali keluar dari mulut Ello. “Masih di satpol pp. Papa nggak mau ambil, asemb!” umpatnya dengan sedikit kekehan. “Gimana ceritanya motor lo digotong tapi elonya kelayapan gini?” Verso ikutan nimbrung. Ello kembali terkekeh mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana saat dirinya mengucapkan ijab kobul. Dan sekarang ada seorang wanita cantik yang mengisi kamarnya. “Lha, si monyet malah ketawa sendiri. Sedeng emang!” Lexi nonyor kepala Ello. “Eh, gue mau nanya.” Ello menatap wajah teman-temannya dengan serius. “Nikah itu apa?” Kelima temannya saling tatap, lalu kembali menatap wajah serius Ello. “Kenapa tiba-tiba nanyain nikah?” Verso balik nanya. “Acar aja kagak ada, mau halalin siapa?” timpal Geon. “Inget, El. Kita ini masih sekolah.” Tutur Lexi. Ello mengacak rambut, bingung juga mau jelasin ke teman-tamannya kek gimana. “Enggak. Gue Cuma nanya aja ke kalian. Setelah kita nikah, kita ngapain?” “Malam pertama.” Serempak ke lima anak itu menjawab sama. “Ppcck, urusan tanam ucet aja lo pada serempak! Giliran suruh ngelarin tugas muka dah mirip sempak!” kesal Ello menatap teman-temannya yang kemudian terkekeh. ** Setelah mendengar pintu ditutup, Tere mendongak, tetap diam untuk beberapa menit. Takut jika suaminya kembali masuk dan akan melihatnya yang masih toples. Saat mendengar suara motor yang samar menjauh, Tere mulai berdiri, memunguti baju ganti dan berlari masuk ke kamar mandi. “Huh, nggak lagi asal bugil. Bisa-bisanya gue lupa kalo ini bukan kamar gue pribadi. Dasar nyebelin!” cemberut, dengan tangan yang sibuk mengeringkan rambut pakai handuk kecil. Duduk didepan meja belajar, menatap depan yang hanya ada tatanan beberapa buku dan lampu belajar. Meraih sisir, lalu hairdrayer untuk mengeringkan rambutnya. Setelah selesai, Tere meraih ponselnya yang berkedip. Ada email masuk dari Zia, bagian keuangan di kantornya. “Ah, pasti wanita matre itu.” Mendengus kesal saat membaca isi pesan email. Tere kembali meneliti kopernya, menepuk kening saat menyadari sesuatu. Laptopnya lupa nggak ke bawa. Tanpa laptop itu, ia tak bisa bekerja dengan nyaman. Apa lagi malam ini ia harus rampungin ngecek data dan grafik yang dikirim oleh manager kepercayaannya. Segera ngambil jaket, tas kecil yang selalu menemaninya. Tak lupa memasukkan ponsel kedalam tas lalu keluar dari kamar. Tere tersenyum ramah saat berpapasan dengan Bik Rumi, salah satu pembantu yang nginap dirumah. “Non Tere mau pergi?” tanya Bik Rumi. “Iya, Bik. Aku mau ambil laptop di rumah. Kelupaan, tadi nggak kebawa.” “Oh, iya. Nanti kalo den Ello nanya saya nggak bingung jawabnya.” “Ello biasa pulangnya jam berapa, bik?” sebenernya nggak peduli, tapi entah, dia hanya ingin tau saja. “Biasanya jam 11, kadang jam 1. Nggak pasti sih, non.” Tere ngangguk dengan sedikit nyengir. “Yaudah, aku pergi dulu ya.” “Iya, hati-hati, non.” Tere hanya ngangguk dengan sedikit senyuman. Berlalu dari sana. ** Memasukkan laptop dan beberapa alat mandi yang kelupaan. Lalu berpamitan pada nenek. Setelahnya mengendarai mobil meninggalkan rumah kediamannya. Eh, dulu. Untuk sekarang, rumah ini udah bukan lagi kediamannya. Bahkan nenek memarahinya karna dia balik pulang tanpa ijin suami dan mertua. Tere menggerutu selama perjalanan. Sangat kesal dengan perlakuan nenek yang benar-benar membuatnya stres. “Cucunya itu kan gue, bukan Ello. Kenapa nenek malah bangga-banggain cowok nyebelin yang belum dewasa itu sih! Heran gue! Lebihnya bocah itu apa coba? Lama-lama gue gila kalo kek gini.” Memukul stir dengan sangat kesal. “Eh, tapi lebih bagus sih, nggak tinggal bareng nenek. Kalo sampai gue sama Ello satu atap sama nenek, beneran deh. Gue bakalan jadi prekedel tiap hari. Mending juga papa Sam yang keknya sedikit ngerti.” Tere menyipitkan mata saat siluet matanya menangkap plat mobil yang sangat ia kenal. Mobil warna hitam yang terparkir dipinggir caffe. Caffe yang bernuansa alam dan ada beberapa burung-burung di dalam sana. Di caffe ini adalah tempat yang sering ia datangi saat membuat janji dengan Bian. ‘Kenapa Bian datang ke Caffe ini ya? Apa dia bernostalgia saat bareng sama aku?’ batin Tere. Ia memutuskan untuk mengecek. Sangat penasaran apa yang sedang Bian lakukan didalam sana. Memarkirkan mobil tak jauh dari mobil Bian, segera Tere turun dari mobil. Masuk mengecek setiap orang yang duduk didalam. Langkahnya terhenti didepan pintu masuk yang terdapat penutup gorden. Gorden warna biru itu sedikit terbuka, menampilkan sosok pria tampan dengan kemeja warna biru yang pernah ia belikan sebagai kado universari yang ke satu tahun hubungan mereka. Tangan Tere terulur, menggenggam gorden itu, sedikit menyibak. Dadanya berdebar lebih cepat, naik turun sesuai dengan nafasnya yang tak beraturan. Air mata jatuh begitu saja saat melihat Bian yang dengan mesra menarik pinggang seorang gadis dengan dress sebatas paha. Lalu ... Gelap. Ada yang sengaja menutup matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD