Eps 2

1456 Words
Bruum ... Brrumm ... Bbruumm Suara berisik yang berasal dari kedua motor ninja itu hampir memekakkan telinga. Lengkap dengan teriakan para penonton yang 70% adalah seorang wanita. Seorang cowok berkaus hitam dengan jeans senada yang sobek dibagian lutut menunggangi ninja merah. Menutup kaca helm yang hanya memperlihatkan bagian mata saja. Tangan kanannya menarik gas dengan brutal, sama sekali tak peduli jika suara itu bisa menulikan setiap orang yang mendengarkannya. Mata beriris kecoklatan itu menatap lurus kedepan, dimana seorang wanita berdiri ditengah jalan dengan bendera warna merah ditangan kanan. Setelah cewek itu mengangkat bendera keatas, cowok itu memacu ninja merahnya dengan cepat, meninggalkan ninja putih yang tadi ada disampingnya. Sudah sangat hafal dengan jalan liar dimanapun ia berada. Buktinya, dia bisa dengan cepat berada digaris finis. Teriakan para penonton makin riuh kala cowok yang menunggangi ninja merah itu membuka helm, lalu mengibaskan rambut sedikit kecoklatan karna cat. Tersenyum tipis menatap lawan yang baru saja sampai disampingnya, dialah Graffiello Aslan Abiyasa. “Sampai detik ini, gue masih yang pertama!” ucap Ello dengan bangga. Cowok berambut hitam itu tersenyum sinis dengan wajah tak ramah. “Lo Cuma beruntung. Lain waktu, pasti elo kalah.” Ini lah, Dean Rahardian, musuh bebuyutan Ello. “Ciih! Dari dulu emang lo nggak mau akui kekalahan, babi!” Salah satu taman Dean, mendekat. Menepuk bahu Dean pelan. “Dia kan sukanya curang, tadi meluncur saat bendera belom naek.” Celetuk Rifki, teman Dean. Mata kecoklatan itu menatap tajam. “Bacot babi! Mata lo katarak, hum?!” Kesal Ello. Lexi, salah satu teman Ello, maju. “Oo, matanya belom melek gitu. Pantesan nggak bisa liat dengan seksama.” Menuding mata Refki yang memang sipit. “Anjing!” teriak Rifki, tak terima dengan ejekan Lexi. Zayn menengadahkan tangan. “Mana dua puluh jutanya?” menagih uang taruhan yang udah Dean janjikan. “Heleh, pasti kali ini ingkar lagi kan lo! Kere emang! Nggak punya duit aja belagu! Pake nantangin Ello! Bangke!” sahut Verso, salah satu teman serta sahabat Ello. “Anjing! Bangsad!” umpat Dean kesal, ngambil amplop coklat disaku jaket, lalu melemparkan amplop itu ke Lexi. Wiiuuw ... Wiiuuw ... Wwiiuuwwii Bunyi sirene polisi membuat semua anak diarea balap liar itu kalang kabut. Semua mencari aman masing-masing. Termasuk Ello yang terpaksa harus pisah dari teman-temannya karna menghindari kejaran beberapa aparat keamanan. Motor ninja merah itu melesat jauh, namun dua motor polisi mengikuti jejaknya. Cepat Ello belok ke gang kecil untuk menghindari kejaran mereka. Sialnya kedua motor itu masih saja mengikuti Ello. Melihat ada beberapa motor dan mobil yang terparkir disamping jalan, Ello langsung memarkirkan motor disana. Lalu masuk kegedung yang bahkan ia tak sempat membaca plakat didepannya itu. Terlihat ada beberapa orang yang sibuk menulis sesuatu diatas meja. Tersenyum saat melihat Ello yang celikukan seperti mencari sesuatu. “Lurus aja, mas. Udah ditungguin dari tadi didalam.” Interupsi salah satu pegawai KUA. Tak menjawab, Ello kembali berjalan sedikit berlari menuju ruangan yang ditunjuk pegawai tadi. Matanya melotot, cukup terkejut. Karna diruangan ini adalah acara pernikahan. “Kamu mempelai prianya?” tanya Jordi yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu. “Akk ....” Ello menggaruk tengkuk. “Sa-saya ....” Ello menoleh ke belakang, seorang polisi masuk, tentu melacaknya. Tak ingin terkena masalah yang berakhir dapat hukuman dari papanya. “Iya, saya, pak.” Jawabnya sambil terpejam dalam. Jordi menatap penampilan Ello, lalu geleng kepala. “Tau mau nikahan kok nggak pakai baju yang sopan sih. Malah pakai celana bolong. Ppcck!” Jordi melepas jas yqng ia kenakan, menyuruh Ello memakai jasnya. Lalu mempersilakan Ello untuk segera menuju ke penghulu yang sudah beberapa menit menunggunya. Nenek tersenyum menatap Ello yang duduk dikursi sebelah Tere. Terlihat ada pancaran bahagia, karna cucunya benar-benar akan menikah. “Makasih, udah datang untuk cucu nenek.” Ucap nenek tulus. Ello sedikit mengulas senyum. Menatap Tere yang juga menatapnya. Untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu. Tere mengingat ucapan Sally yang mengatakan jika calon suaminya memiliki tahi lalat dipelipis, memang nggak besar seperti tompel, tapi cukup terlihat. Giginya nggak mancung, tapi nggak rapi. Lalu, cowok yang sekarang duduk disebelahnya ini berbeda jauh dari semua yang Sally katakan. Bisa dibilang, ini lebih perfect. Wajahnya terlihat imut dan sangat tampan. Apa iya, wajah bocah seperti ini berumur 29 tahun? “Silakan, tulis nama lengkap sekalian nama bapaknya ya.” Pak penghulu menyodorkan kertas putih, lengkap dengan penanya. Ello meraih kertas dan pena itu. ‘Ini gue suruh nikah? Aseli, kan? Astaga, gue salah ngumpet. Aduuh, gimana ini?’ gemuruhnya dalam hati. Ello menoleh sebentar ke belakang, ternyata polisi itu membuka pintu aula pernikahan. Cepat ia kembali menatap kertas didepannya. Mulai mencoretkan namanya serta nama papanya disana. Lalu menggeser kertas itu ke Tere. ‘Gue nggak tau nikah itu apa. Yang gue tau, setelah nikah, pasti akan ada malam pertama. Lalu ena ena. Ya, hanya itu. Selebihnya, gue ngagk tau. Semoga papa nggak marahin gue.’ Bisiknya dalam hati. “Eehmm.” Penghulu berdehem sebelum mengambil microfon diatas meja. Selanjutnya, menatap dua mempelai yang duduk bersampingan didepannya. “Kalian siap?” tanyanya. Tere dan Ello saling tatap, hanya diam untuk beberapa menit. “Siap.” Ucap tere mantap. “Siap.” Lanjut Ello. “Baiklah, sekarang kita mulai ijab kobulnya.” Penghulu mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Ello. Ello menatap tangan penghulu itu lebih dulu, lalu menjabatnya tanpa ragu sedikitpun. “Saudara Graffiello Aslan Abiyasa.” “Saya.” “Saya nikah dan kawinkan engkau Graffiello Aslan Abiyasa bin Samuel Abiyasa dengan Teresia Jusny Eldrax binti Darel Eldrax dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang dua juta rupiah dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Tereksial—“ ucapan Ello terhenti saat mendapat tepukan dipangkuan serta gelengan kepala pak penghulu. “Nama calon istri sendiri, masa’ nggak hafal.” Seru nenek. “Ini kan pe—“ Kembali Tere nepuk pangkuan Ello, meminta untuk tak mengatakan apapun lewat tatapan mata. Ello tersenyum. “Maaf, nek. Grogi.” Akhirnya mencari alasan lain. “Nama kalian ini memang susah diucapkan.” Pak penghulu pun geleng kepala. “Salahkan orang tua kalian yang ngasih nama. Bikin ribet saat ngucap ijab kobul.” Dengan tarikan ke tiga, ijab kobul yang Ello ucapkan dinyatakan SAH. Lalu mereka semua berdoa untuk kebaikan kedua mempelai. “Sekarang, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Untuk surat-suratnya, silakan dilengkapi. Biar buku nikah segera kami proses.” “Ini kita nikah resmi ya?” celetuk Ello. Nenek mengelus pundak menantunya. “Iya, sayang. Ini pernikahan resmi yang terdaftar dinegara. Kamu dan Tere sudah sah menjadi sepasang suami istri.” Terkejut tentunya, tapi berusaha menyembunyikan rasanya. Hanya ngangguk dengan d**a yang tak karuan gemuruh. “Kami akan mengirim semua berkas besok pagi melalui email.” Ucap Jordi pada penghulu. “Iya, pak. Kamu tunggu.” “Kalo begitu, kami permisi, pak. Terima kasih sudah bersedia menunggu.” “Sama-sama, nyonya Eldrax.” Pak penghulu menjabat tangan nenek, jordi dan Tere. Begitu juga dengan Ello. Setelahnya, mereka keluar dari aula pernikahan. ** Berulqng kali nenek mengulas senyum menatap Ello. Merasa begitu beruntung cucunya bersanding dengan Ello. “Nenek panggil kamu siapa?” tanyanya setelah lama hanya natap Ello. “Panggil saya Ello, nek.” Jawab ello dengan sedikit senyum. “Kamu tampan, sama seperti papamu.” Puji nenek. Mata Ello dan Tere sama-sama membulat. “Nenek kenal papanya dia?” tanya Tere cepat. Nenek ngangguk. “Kenal. Samuel itu teman dekat papa kamu. Dulu saat masih SMA, papamu sering banget nginep dirumah Samuel. Anaknya sopan dan pintar, tampan seperti suamimu ini.” “Aa ... Begitu rupanya.” Tere nyengir dengan menggaruk kening. Bahkan ia baru tau namanya tadi. Kenapa bisa se-kebetulan begini? “Yaudah, ayok. Kamu ikut pulang ke rumah ya.” Pinta nenek. Ello nyengir. “Tapi saya masih ada sedikit keperluan diluar, nek.” “Pengantin baru jangan sering-sering keluar rumah. Pamali.” “Ta—“ “Iya, nek. Kita akan pulang. Nenek duluan ya. Aku buntuti dibelakang.” Tere mencekal lengan Ello saat ingin kembali bersuara. “Yasudah, nenek duluan.” Nenek kembali tersenyum. Masuk kedalam mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Jordi. Tak begitu lama, mobil hitam itu melaju meninggalkan KUA. Tere dan Ello melambaikan tangan dengan senyum manis. “Anjing!” umpatnya saat melihat motor ninjanya tak ada diparkiran. “Pasti dibawa sama dua polisi tadi!” Tere yang nggak tau apapun, menautkan alis. “Kamu kenapa?” tanyanya heran. “Motor gue ilang.” “Ilang?” membeo yang didengar, karna tak percaya. Ello hanya ngangguk dengan wajah kesal. “Elo kesini bawa motor?” kembali Ello ngangguk sebagai jawaban. “Yaudah, bareng aku aja.” Ajaknya. Mengikuti langkah istrinya, Ello masuk ke kursi samping kemudi. Setelahnya mobil melesat pelan. “Umur lo berapa?” tanya Tere yang udah penasaran sejak tadi. “Tepat 19 tahun seminggu yang lalu. Gue masih kelas dua belas.” Cchiitt! Mobil Tere ngerem dadakan. Bhuuk! “Aaww!” Ello mengelus kening yang mencium dasboard. “Lo bisa nyetir nggak sih! Benjol nih kening gue!” omelnya. Tak mempedulikan omelan Ello. Tere menatap cowok yang sekarang sudah resmi jadi suaminya. “Kamu nggak lagi ngerjain aku kan?” tanyanya dengan sangat tak percaya. Sangat berharap jika Ello bohong. Ello masih terlihat kesal dengan tangan yang sibuk mengelus kening. “Ngapain bohong. Elo tuh yang bohongin nenek lo.” Tere menepuk kening. “Oh, astaga ... Apa kata dunia, gue nikah sama bocah SMA? Oh, yaampun.” Ello menggeser p****t. “Apa yang salah dengan bocah SMA? Tytyd gue udah tumpul kok.” Kedua mata bulat itu melotot. Tangannya gatal, terasa ingin jitak kepala Ello saat ini juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD