'Hidup itu sebuah cobaan dimana kita bisa menjadi sekuat-kuatnya makhluk ataupun selemah-lemahnya manusia.'
* * *
Guratan lelah terpancar di wajah Nasywa ketika tiba di rumah sehabis ia bersekolah dan bekerja, perempuan itu membuka pintu rumah yang bercat coklat tua yang telah memudar mengingat bangunan rumah itu telah lama. Rumah inilah salah satu peninggalan almarhum Ayahnya yang kini dikuasai oleh Ibu dan Kakak tirinya, Nasywa bagaikan menumpang di rumahnya sendiri padahal rumah ini adalah miliknya yang telah diahli wariskan oleh dirinya. Namun ia tidak dapat membantah Ibu tirinya karena ia sadar ia hanya memiliki mereka berdua, untuk itulah Nasywa lebih banyak diam asalkan ia masih memiliki tempat untuk berteduh ia patut mensyukuri semuanya.
'Tok.. Tok.. Tok...'
"Assalamualaikum." Nasywa memasuki rumah dan mendapati Widya, Kakak tirinya tengah menonton televisi.
Keadaan rumah begitu berantakan, tas, kaus kaki dan sepatu Widya tergeletak begitu saja tanpa ada niatan membereskannya. Sepertinya Kakaknya itu baru saja pulang kuliah atau mungkin sudah lama pulang namun lebih memilih bermalas-malasan daripada membereskan barangnya sendiri.
"Kak, assalamualaikum."
"Hhmm, waalaikumsalam." Cuek Widya, matanya lebih memilih fokus menatap siaran televisi daripada harus menatap Nasywa walaupun barang sejenak saja.
"Eeh lo mau kemana?" Henti Widya ketika Nasywa akan meninggalkan Widya menuju kamarnya.
"Ke kamar Kak."
"Eh tunggu dulu, lo beresin dulu barang-barang gue. Masukin semuanya di kamar gue, tata dengan rapi. Baru lo boleh masuk kamar."
"T-tapi Kak.."
"Lo mau ngebantah perintah dari gue hah?! Apa perlu gue aduin ke Ibu kalau lo gak mau nurutin omongan gue?!" Ancam Widya.
"J-jangan Kak.." Lirih Nasywa, ia takut ia akan disiksa lagi kalau sampai Widya mengadukannya kepada Ibu.
"Cepetan sana beresin dan tata serapih mungkin di kamar gue!!" Nasywa mengangguk lesu, ia mulai membereskan barang-barang Widya yang berserakan dilantai.
"Kak Nasywa pamit ke kamar Kakak buat naruh semua barang-barang Kakak sekalian pamit ke kamar Nasywa." Pamit Nasywa yang tak digubris oleh Widya karena perempuan itu lebih memilih fokus pada tayangan didepannya.
Nasywa menghela nafas kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar Widya yang bersebelahan dengan kamarnya, ia mengelus dadanya sabar ketika memperhatikan kondisi kamar Widya yang sangat berantakan. Setelah menaruh semua barang-barang Widya, Nasywa membereskan kekacauan yang terjadi di kamar Widya. Kamar Widya ukurannya jauh lebih besar dari kamarnya yang kecil meskipun kamar mereka bersebelahan, sebenarnya dulu kamar yang saat ini Widya tempati adalah kamarnya namun setelah Ayahnya meninggal Widya dan Ibu mengambil alih semua kekuasaan yang ada di rumah ini.
"NASYWAAA!! NASYWA!!!" Nasywa bersegera keluar dari kamarnya ketika Widya berteriak memanggil namanya.
"ISH NASYWA CEPETAN KESINI!!"
"Iya Kak ada apa?" Tanya Nasywa sambil memperhatikan raut wajah kesal Widya.
"Lama banget sih lo? Ngapain aja?!"
"Ini Nasywa ha-..."
"Bagi duit dong, gue mau jalan nih sama temen-temen."
"T-tapi Kak Nasywa belum gajian."
"Duit lo dari sekolah kan ada, siniin cepet!!"
"Tapi itu untuk beli buku Kak, buku Nasywa habis dan Nasywa belum beli buku baru." Nasywa berusaha meminta pengertian Widya.
"Aduhhhh ada apa sih ini ribut-ribut?" Tanya Ibu yang tiba-tiba masuk kedalam rumah dan mendapati Widya dan Nasywa yang sepertinya tengah mempermasalahkan sesuatu.
"Ini nih Bu si Nasywa, masa nih ya aku minta uang dia gak kasih. Padahalkan hari ini aku udah janji mau jalan-jalan ke mall sama temen-temen."
"Bukan gitu Bu, Nasywa belum gajian. Sebenarnya Nasywa ada sih uang tapi itu untuk membeli keperluan sekolah Nasywa."
"Kamu kasih itu duit ke Widya sekarang atau kamu lebih memilih tidur diluar malam ini?!"
"Tapi Bu..."
"Oke malam ini kamu tidur di lua-..."
"Iya Bu Nasywa kasih." Dengan lesu Nasywa mengambil dompet lusuhnya dari saku roknya, ia menyerahkan beberapa lembar berwarna biru kepada Widya.
Widya yang merasa kurang puas atas apa yang Nasywa beri pun merampas dompet Nasywa dan mengambil isinya lalu melemparkan dompet itu kehadapan Nasywa yang langsung ditangkap oleh perempuan itu, Nasywa memeriksa dompetnya yang isinya telah kosong karena diambil tak bersisa oleh Widya.
"Kak jangan ambil semuanya, itu buat beli buku Kak." Pinta Nasywa yang tak digubris oleh Widya.
"Bu Widya berangkat dulu ya?" Widya mencium pipi kanan dan kiri Ibunya kemudian pergi keluar rumah mengabaikan Nasywa yang memanggil dan memohon kepadanya agar uang yang ia ambil segera dikembalikan.
"Kamu mending ke dapur buatin Ibu minum, daripada nangis gak jelas begini. Udahlah jangan pelit sama Widya, dia butuh uang itu untuk menyenangkan hatinya." Nasywa langsung menatap Ibu tirinya dengan sedikit isak tangis yang tersisa.
"T-tapi bu... Buku Nasywa belinya gimana? S-semua uangnya kan diambil sama Kak Widya."
"Itu urusan kamu, mau cari uang kemana Ibu gak peduli! Bahkan lebih baik kamu berhenti sekolah dan jual diri kamu itu lebih berguna bagi kami."
"Astaghfirullahal adzim." Nasywa beristighfar ketika mendengar ucapan kejam dari Ibunya.
"Sekolah itu penting Bu, Nasywa gak mau berhenti apalagi Ibu harus nyuruh Nasywa menjual diri Nasywa. Nasywa gak mau Bu, itu dosa. Allah akan marah dan akan melaknat Nasywa nantinya."
"Kamu jangan kebanyakan ceramah sama Ibu, sana buatkan saja Ibu minum!! Atau kamu mau Ibu cambuk lagi?" Nasywa menggeleng kemudian berjalan menuju dapur untuk membuatkan Ibu minum.
"Dasar anak gak tau diuntung, syukur-syukur aku gak jual tuh anak beneran." Gerutu Ibu sambil memandangi tubuh Nasywa yang semakin menjauh.
Nasywa berjalan kearah Ibu yang tengah menonton acara gosip di televisi, wajahnya harap-harap takut. Ia meletakkan cangkir berisi teh hangat itu ke depan Ibu, lebih tepatnya diatas meja kecil yang ada disana. Ibu menoleh dengan sigap dan meraih cangkir teh yang Nasywa buat.
"Ngapain masih disin?! Sana!!"
"I-iya Bu."
Langkah Nasywa terhenti ketika Ibu menyemburkan air teh itu hingga membasahi lantai, membuat lantai keramik berwarna putih itu menjadi bernoda kecoklatan.
"Nasywa!! Apa ini?! Kamu mau ngeracunin Ibu ya?!!" Nasywa dengan sigap menghampiri Ibu sambil menundukan wajahnya.
"E-enggak Bu."
"Terus kenapa tehnya hambar begini hah?!"
"G-gula di toples habis Bu, Nasywa belum sempat beli. Uang yang Nasywa punya juga udah diambil semua sama Kak Widya." Lirih Nasywa.
"Oh jadi kamu menyalahkan Widya anak Ibu atas kesalahan yang kamu perbuat gitu?!! Bagus ya kamu, mulai berani sekarang." Marah Ibu sambil menatap bengis Nasywa.
"B-bukan gitu Bu, Nasywa gak bermaksu-.." Ucapan Nasywa terhenti ketika Ibu dengan paksa menarik tangannya.
"A-ampun Bu."
"Kamu harus dihukum, malam ini kamu tidur di gudang bersama para tikus dan kecoa!! Itu akibat kamu yang berani melawan dan menyalahkan Widya!!"
'BRUKKKK'
"IBUU!!! IBUUU!!! BUKA PINTUNYA HIKS... HIKS.... NASYWA JANJI GAK NGULANGIN LAGI HIKS.. HIKS.." Nasywa menangis sambil meneriaki Ibu tirinya, namun seakan tuli Ibu tidak menanggapi apapun yang Nasywa teriakan.
"Hikss... Hikss... y-ya Allah kenapa hidupku seperti ini? Apakah ini cobaan darimu? Jika iya maka tolong kuatkan hamba dalam menjalani cobaan yang kau berikan Allah hiks.. hiks.." Nasywa memeluk lututnya ketika merasakan hawa dingin dari lantai menyentuh tubuhnya.