3. Sebuah Awal

1790 Words
Wanita itu biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Luna, ya wanita berusia lima puluh tahun tersebut adalah yang paling lama mengabdi di rumah Dhanan. Dia lah yang merawat Ken sejak bayi, menyiapkan seluruh keperluannya, dia tak hanya seorang asisten rumah tangga, karena Dhanan sudah menganggapnya seperti keluarga. Wanita bertubuh gempal dengan tinggi tak lebih dari seratus lima puluh senti meter itu berdiri mematung melihat Fio yang sudah duduk di ruang makan namun tak sedikitpun menyantap roti yang telah dioles selai di hadapannya. Fio justru terpaku menatap layar tabletnya dengan balutan pakaian kerja formalnya yang sengaja bernuansa gelap karena masih dalam masa berkabung.   “Nyonya berangkat kerja?” tanya Mbok Luna, wanita itu sebenarnya mempunyai nama asli Unah namun dulu nama Luna Maya sangat tenar dan dia sangat menyukainya sehingga dia dipanggil Luna oleh pelayan lainnya yang membuatnya lebih dikenal dengan nama Luna. Fio mengangkat wajahnya dan mengangguk, mencoba tersenyum kepada wanita yang matanya tampak bengkak itu, dia pasti sangat sedih akan kepergian majikannya yang sangat baik hati tersebut sehingga beberapa hari belakangan dia meminta izin untuk beristirahat di kamar. “Mbok sudah lebih baik?” tanya Fio yang memang sejak nikah dipanggil Nyonya di rumah besar itu. “Sudah Nya, tuan Ken bagaimana? Berangkat kerja juga?” tanya Mbok Luna. “Iya dia mau ke kantor, kasihan di rumah Mbok, pasti sedih kepikiran papa terus,” ucap Fio sambil mengaduk kopi dan menyesapnya, aroma kopi selalu mampu menenangkannya. Hingga Ken datang dan duduk di samping Fio. Dia kembali seperti Ken yang sebelumnya. Dengan rambut belah tengah, gel yang cukup banyak agar helai rambut itu tak bergeser dari tempatnya. Juga kancing sampai atas, dan kini dasinya tampak berantakan. Mbok Luna dengan sigap menghampiri Ken dan membetulkan dasi Ken, pria itu tersenyum lebar, sangat lebar seperti anak kecil yang disayangi oleh sang ibu hingga Mbok Luna merasa matanya berkabut. Senyum ini adalah senyum Ken yang pernah dilihat lebih dari dua puluh tahun lalu, senyum polos yang tulus. Mbok Luna tak kuasa berlama-lama menatap mata kecoklatan itu hingga dia pun berkata akan menyiapkan sus-u putih untuk Ken. Ken kembali menganga sambil memperhatikan Fio yang lagi-lagi menyesap kopinya. Fio melirik ke arah Ken dan mengernyitkan kening. “Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Fio, Ken pun menggeleng. Hingga Fio melihat lelehan air liurnya menetes. Fio berucap dalam hatinya, “astaga dia ngiler lagi? Huft!” Fio mengambil tissue dan menyeka sudut bibir Ken. “Ken, kamu harus selalu bawa sapu tangan atau tissue, bersihkan sendiri iler kamu!” rutuk Fio sambil menggeleng dan membuat tissue bekas itu ke tempat tempat sampah khusus di dekat meja makan tersebut. “Iler itu apa?” tanya Ken sambil kembali menganga. “Iler itu air liur, air yang jatuh dari mulut kamu,” ucap Fio. “Air bahasa inggrisnya water, jatuh itu bahasa inggrisnya fall, jadi iler itu waterfall?” tanya Ken membuat Fio menganga dan mengerjapkan matanya. Lalu dia menutup mulutnya seraya menghela napas panjang. Bagaimana bisa dia mengganti kata iler dengan water fall yang sangat jauh maknanya. “Water fall itu air terjun, bukan air liur!” cibir Fio sambil menggeleng tak mengerti. “Kan artinya sama air jatuh juga, waterfall dari mulut,” kekeh Ken dengan wajah tanpa dosa. “Terserahlah Ken, asal jangan sebut itu di depan orang-orang, nanti kamu diketawain! Dikatain Ogeb baru tahu rasa,” celoteh Fio, membalik kata bodoh agar terdengar lebih halus. Dia kembali memusatkan perhatian pada layar tabletnya, sesaat dia bermonolog dengan dirinya, apakah dia pernah melakukan kesalahan besar dahulu? Misalnya seperti mengkhianati negara? Atau membunuh pahlawan? Sehingga dia mendapat kutukan seperti ini. “Ogeb itu apa?” ‘Nah kan!’ sentak Fio dalam hati. Dia sepertinya salah berucap. “Ogeb itu pintar!” jawabnya sambil terus memperhatikan gambar diagram yang menunjukkan saham perusahaan Dhananfood dengan serius. “Berarti Fio ogeb dong, Fio kan pinter,” ucap Ken nyaris membuat Fio ingin melemparkan sumpah serapahnya namun dia memilih mengusap d-adanya perlahan, sabar Fio sabar ini ujian. Rapalnya berkali-kali. Mbok Luna yang menjadi penyelamat kali ini, membawakan segelas s-usu putih dan juga roti yang telah diberi selai kacang. Ken tak lagi bertanya kepada Fio dan memilih meminum sus-unya. Mbok Luna yang kasihan melihat Ken pun menarik kursi dan duduk di dekat Ken, memilih menyuapi Ken potongan roti itu. “Mbok, biar dia mandiri,” celoteh Fio melarang mbok Luna menyuapi Ken. Fio meneguk kopi terakhir di gelasnya. “Nggak apa-apa Nya, sesekali,” ucap mbok Luna sambil tersenyum dengan bibir bergetar. Fio hanya menggeleng tak berdaya, mungkin mbok Luna memang masih sangat mengasihani Ken. Hingga supir pribadi mereka pun masuk dan memberi tahu bahwa mobil telah siap. “Ken ayo berangkat,” ucap Fio. “Masih lapar,” ucap Ken. “Aku tunggu di mobil ya,” ujar Fio. “Kita kenapa buru-buru sih?” rutuk Ken. “Nilai saham kita turun karena kepergian papa, jadi kita harus adakan meeting penting.” Fio menghampiri Ken dan mengusap bahunya perlahan seolah menguatkannya sambil memberikan senyum hangatnya, dan Ken hanya membalas dengan mulut terbuka lebar seolah tak mengerti yang dimaksud Fio. Memang apa sih yang dimengerti dari jiwa seorang anak-anak yang terjebak di tubuh pria berusia dua puluh delapan tahun ini? Fio pun memilih meninggalkan Ken dan menunggu di mobil. Ken kembali disuapi Mbok Luna yang sesekali menyeka sudut bibirnya Ken sambil tersenyum meski matanya menyiratkan kesedihan. “Tuan, nanti di kantor jangan sering buka mulut ya, agar air liurnya nggak menetes. Mbok khawatir kalau tuan ileran terus, nanti Nyonya Fio malu,” ucap Mbok Luna. “Water fall,” kekeh Ken. Mbok Luna hanya tersenyum, lalu menepikan rambut Ken ke belakang telinganya. “Rambutnya sudah panjang, mau potong rambut? Mbok temani?” ucap mbok Luna tulus. Ken pun menggeleng. “Nanti saja,” jawabnya. Ken menyelesaikan suapan terakhirnya dan dia pun menghabiskan s-usu putih itu lalu berjalan dengan langkah setengah melompat seperti biasanya, ya dia berjalan layaknya anak-anak yang terkadang sambil melompat, terkadang sambil menyeret langkahnya. Dia juga akan berlari ketika melihat sesuatu yang membuatnya penasaran atau sedang bergembira. Ken masuk ke dalam mobil dan duduk disamping Fio, membuka lebar kaca jendela mobil itu dan melambaikan tangan kepada Mbok Luna ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju meninggalkan pelataran rumah mewah tersebut. Fio memegang tangan Ken agar tak keluar dari celah jendela, lalu dia menutup kaca jendela tersebut. Ken hanya melihatnya dengan wajah penuh pertanyaan. “Nanti masuk angin,” ucap Fio seolah tahu apa yang ada di benak Ken. “Water fall, water fall,” ucap Ken karena merasakan sudut bibirnya berair, dengan segera Fio mengambil tissue dan menyerahkan ke tangan Ken untuk menyekanya sendiri. “Ken, dengar Fio baik-baik ya,” ucap Fio sambil menatap mata Ken, Ken justru mengalihkan perhatian keluar jendela. Hingga Fio memegang dagunya agar mereka kembali melakukan kontak mata. “Ken, aku mau bicara serius, tolong dengarkan. Hari ini kita ada rapat penting dengan dewan direksi, aku harap kamu bisa bersikap tenang ya. Kamu hanya perlu duduk dan menyimak dengan tenang, biar aku yang selesaikan semuanya, oke?” ucap Fio. Ken hanya mengangguk. Fio mengusap pipi Ken dan tersenyum. “Anak pintar,” ucap Fio. Ken lagi-lagi mengangguk dengan mulut menganga. “Satu lagi,” ucap Fio. “Apa?” “Jangan sampai water fall jatuh dari mulut kamu selama rapat,” ucap Fio dengan mata mendelik, tak ada lagi senyumnya yang terlihat baru saja. Hingga Ken mengatupkan mulutnya lalu memajukan bibirnya. “Nah itu lebih baik, setidaknya.” Fio kembali memperhatikan tablet yang kini memuat kolom percakapan dengan kepala beberapa divisi di perusahaan milik suaminya itu. Mengabaikan Ken yang memilih menyandarkan kepalanya di kaca dan memandang jalanan sambil membuat lingkaran-lingkaran dengan jarinya di kaca yang telah diembuni udara dari mulutnya tersebut. *** “Saham kita turun! perusahaan kita digosipkan pailit!” ujar seorang pria cukup tua dengan rambut setengah botak dan kacamata tipis membingkai matanya, perutnya buncit hingga membuat kancing kemejanya tampak ingin lepas. Saat ini Ken, Fio dan seluruh dewan direksi berada di ruang meeting utama perusahaan. “Perusahaan tidak dalam keadaan seburuk itu, Pak Daru,” ucap Fio tegas. “Bagaimana tidak seburuk itu jika penjualan selalu menurun setiap harinya,” imbuh pria lainnya. Fio menarik napas panjang dan menghembuskannya, sementara Ken tampak sibuk memperhatikan wajah-wajah di ruangan itu. “Itu karena kita mempunyai saingan baru yang promosi produknya sangat gencar,” jawab Fio lagi, kali ini dia berusaha tenang. “Kamu salah besar! Ini semua karena CEO perusahaan ini i***t! Kita bisa menggantinya untuk menaikkan kepercayaan publik lagi!” ujar Daru sambil menatap sinis kepada Ken yang hanya terbengong tak mengerti. “Tidak bisa!” jawab Fio. “Bagaimana tidak bisa? Kami juga pemegang saham perusahaan ini! kita bisa ambil suara dan suara terbanyak akan menentukan perlu atau tidaknya pergantian CEO!” ujar pria lainnya yang disetujui hampir seluruh anggota rapat. Fio berdiri dan menatap wajah mereka semua, “Pak Setya, kita belum memerlukan ini, CEO kita baru menjabat. Dan beri kami waktu untuk meningkatkan penjualan. Setelahnya kalian bisa ambil suara atau apapun itu!” ucap Fio. “Berapa lama?” tanya Daru. “Enam bulan!” ujar Fio. “Terlalu lama! Tiga bulan. Deal!” ujar Daru dengan mata membesar yang langsung disetujui oleh seluruh anggota rapat, sepertinya mereka lebih takut kehilangan uang mereka dibandingkan mempertahankan Ken yang jelas-jelas pewaris perusahaan dari orang yang pernah mereka sanjung itu. “Baik, tiga bulan. Jika dalam tiga bulan penjualan perusahaan ini meningkat! Beri kepercayaan bagi bapak Ken Dhananjaya untuk terus memimpin,” ucap Fio. Seluruh anggota rapat mengangguk. Sementara Daru dan Setya tampak saling melemparkan senyum sinis dan merendahkan yang tak luput dari penglihatan Ken. Semua seolah terekam dalam memorinya meskipun saat ini Ken mungkin tak bisa berbuat banyak. Hanya Fio yang tampak berapi mencoba melawan mereka, Fio sedang memutar otak mengenai strategi perusahaan dan sepertinya dia cukup kesulitan jika melawan mereka seorang diri tanpa kekuatan. Ketika seluruh anggota rapat keluar dari ruangan itu, meninggalkan Fio dan Ken berdua. Fio tampak sangat frustasi, menekan kepalanya yang mendadak migrain. Ken tampak menerima panggilan di ponselnya. “Halo! Pasha! Sudah sampai? Dimana? Iya aku kesana,” ujar Ken ceria. Dia hampir pergi jika saja tangan Fio dengan cepat menarik ujung jasnya. “Mau kemana?” tanya Fio sambil melirik ke arah Ken dengan kening berkernyit. “Ketemu Pasha! Dia ke Indonesia, asik!” ujar Ken ceria, seolah tanpa beban. Tak tahukah kepala Fio ingin pecah rasanya saat ini? “Pasha siapa?” “Ih Fio lupa? Itu lho teman kuliah aku dari Inggris! Lepasin, aku mau ketemu Pasha sekarang!” cebik Ken sambil mencoba melepas tangan Fio dari jasnya. “Aku ikut!” ujar Fio. “Ayo ... cepat cepat!” ujar Ken sambil menarik tangan Fio dan berlari keluar dari ruang rapat dengan wajah cerianya yang tanpa dosa. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD