4. Planning

1723 Words
“Pasha!! Pasha!” panggil Ken, setengah berlari dengan tangan terus menarik Fio. Fio yang memakai heels sempat kesulitan mengimbangi langkah Ken yang sangat cepat karena terlalu antusias. Mereka kini telah berada di loby perusahaan. Tampaklah pria bertubuh tinggi dengan tubuh agak sedikit berisi namun tak terlihat gemuk, tubuhnya tampak pas dan bugar. Memakai setelan jas yang terlihat mahal. Merentangkan tangan ke arah Ken yang langsung melepas pegangannya kepada Fio dan menghambur memeluknya. Fio menggeleng tak mengerti, langkahnya kini tak terlalu cepat seperti tadi. Memperhatikan wajah pria dengan kulit putih itu, rambutnya disisir rapi dan senyumnya tampak manis membuat pipinya terlihat chubby, tingginya sama dengan Ken hanya saja penampilannya yang sangat berbeda, dia tampak seperti pria maskulin yang sangat modis. Ken melepas pelukan Pasha dan menoleh ke arah Fio yang berada di sampingnya. “Pasha, ini Fio istri aku sekaligus sekretaris papa yang sekarang jadi asisten sekaligus sekretaris sekaligus istri aku,” jelas Ken membuat pria bernama Azrapasha Gabriel itu tersenyum geli lantas mengulurkan tangan untuk menyalami Fio. Fio membalas jabatan tangannya dan memperkenalkan dirinya. “Maaf ya saat pernikahan kalian aku nggak bisa hadir, masih sibuk urus pekerjaan di Inggris. Oiya Fio boleh kita bicara sebentar, ada hal yang penting yang harus aku sampaikan,” ucap Pasha. Fio pun mengangguk lantas mengajak Pasha menuju ruang kerja Ken yang semula ditempati ayahnya. Sepanjang perjalanan menuju ruang kerja Ken, pria itu terus saja tersenyum sangat lebar seraya terkekeh, sangat tampak dia menyayangi Pasha, temannya ketika kuliah di luar negeri tersebut. Pasha juga tampak sangat menghargai dan menyayangi Ken, tak tampak wajah – wajah jijik atau sinis seperti yang sering diperlihatkan orang-orang terhadap Ken dengan keterbatasannya. Dia tetap memperlakukan Ken layaknya sahabatnya sejak dulu dan tak pernah berubah. “Papa sudah tenang di surga,” ucap Pasha seraya merangkul Ken. “Iya, papa orang baik, pasti masuk surga,” tutur Ken seraya tersenyum lebar. “Maaf ya, aku kemarin sedang urus pindahan jadi nggak bisa lihat pemakamannya.” Pasha mengusap bahu Ken untuk menguatkannya. Ken hanya mengangguk seraya mengucap tidak apa-apa. Fio sudah membuka pintu ruang kerja Ken dan mempersilakan Pasha masuk, lalu dia membuatkan minuman untuk mereka bertiga. Setelahnya, Fio duduk di sofa tunggal, sementara Pasha dan Ken memang telah duduk terlebih dahulu di sofa panjang. Pasha mengeluarkan sebuah dokumen dari tas punggung yang diletakkan disisi tubuhnya, menyerahkan berkas tersebut ke arah Fio, berkas yang rupanya berisi lamaran pekerjaan Pasha, lengkap dengan sertifikat keterampilan miliknya dan screen shoot email dari Dhanan sebelum dia meninggal dunia. Fio membaca email itu dengan mata berkaca-kaca, dia tahu itu adalah tulisan email dari Dhanan, ayah mertuanya. Membaca tulisan itu seperti mendengar Dhanan berbicara, tulisan panjang itu berisi permohonan agar Pasha mau ikut bergabung di perusahaan dan membantu Ken menyempurnakan kepemimpinannya, dia sangat menyayangi Ken dan tak mau terlalu membebani Fio. Agar Pasha juga bisa membantu Fio mengurus perusahaan yang ditinggalkannya. Dia juga telah menyediakan jabatan manager perencanaan untuk ditempati Pasha di perusahaan itu. Fio mengerjapkan matanya agar air itu tak luruh, bahkan di sisa usianya, sang ayah mertua masih mengkhawatirkan dirinya dan juga anaknya, kebaikan yang tak pernah dapat Fio lupakan. “Selamat bergabung, Pak Pasha,” ucap Fio seraya menjabat tangan Pasha. Pasha tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Bu Fio. Tapi jika hanya ada kita bertiga, sepertinya lebih enak memanggil nama,” kekeh Pasha. Fio pun menyetujuinya, lantas meminta manager personalia ke ruangan itu untuk membawa berkas lamaran Pasha dan meminta disiapkan kartu khusus karyawan dan yang berhubungan dengan administrasi. Setelahnya, menager personalia itu pun kembali keruangannya untuk menyiapkan segalanya. Ken rupanya tampak bosan sehingga dia memutuskan bermain ponsel di kursi kerjanya, sementara Fio dan Pasha masih berbincang. Pasha melihat ke arah Ken dan menggeleng lemah, lalu menatap Fio yang juga kedapatan memperhatikan Ken yang telah tertawa-tawa sambil bermain ponsel game petualangan yang disukainya. “Dulu dia tak seperti itu, dia adalah mahasiswa yang pandai, pemikir strategis dan sangat handal. Seandainya dia tak sefrustasi itu hingga ingin mengakhiri nyawanya sendiri dengan bodohnya,” ujar Pasha. Fio menoleh ke arah Pasha, dia memang pernah mendengar dari Dhanan bahwa Ken memang sedikit depresi sebelum kecelakaan dan banyak yang berspekulasi bahwa dia ingin bun-uh diri karena hal itu dan membuat dirinya terlibat kecelakaan. “Ya aku juga menyayangkan hal itu, aku berharap dia cepat kembali seperti sebelumnya,” doa Fio dengan tulus. “Seharusnya dia tak sebodoh itu, hanya ditinggal nikah kekasihnya saja sampai ingin menghabisi nyawanya sendiri,” tutur Pasha sembari menggeleng. Fio meneguk minumannya dan meletakkan cangkir itu di meja, “mental orang yang satu dengan yang lainnya tak sama Sha, kita mungkin bisa bilang itu hal yang bodoh, namun belum tentu untuk dia seperti itu, bisa jadi ditinggal kekasih adalah hal terberat dalam hidupnya, jadi kita tak bisa menghakiminya dengan label bodoh dan sebagainya bagi seseorang yang jiwanya sedang lemah.” Pasha melihat ke arah Fio yang memasang raut sangat serius, dia menggaruk kepalanya, sepertinya dia telah salah bicara hingga Fio tertawa, “maaf aku terdengar sangat kolot ya?” kekeh Fio. “Sedikit,” ujar Pasha sambil menggeleng dan tersenyum lebar. “Aku hanya sedikit tertekan karena masalah perusahaan. Mereka ingin mengganti Ken dengan orang lain, padahal perusahaan ini dibangun karena kerja keras papanya Ken, sangat tidak adil untuk Ken yang merupakan pewaris tunggal,” ucap Fio kembali melihat ke arah Ken yang sudah berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu. “Ken, mau kemana?” tanya Fio. “Hanya jalan-jalan sebentar,” ucap Ken. “Jangan keluar kantor ya,” pesan Fio yang diangguki oleh Ken, dia pun berjalan riang menuju luar ruangan, meninggalkan Pasha dan Fio yang mungkin ingin membahas hal penting mengenai perusahaan. Bahkan Ken telah menanggalkan jas dan dasinya di meja kerja, dia memang tak suka memakai dasi, hingga Fio bahkan harus memohon kepadanya agar dia mengenakannya saat rapat tadi. “Kamu tahu nggak? Kamu lebih terlihat seperti ibunya dibanding istrinya,” kekeh Pasha. “Aku hanya mengkhawatirkannya,” jawab Fio kembali meneguk minumannya. “Oiya lalu apa yang mereka inginkan lagi? Apa ada penawaran dari pihak kamu ke mereka? Aku memang sudah mendengar sebelumnya bahwa banyak sekali yang ingin menjatuhkan Ken karena ingin menguasai perusahaan,” ucap Pasha. “Mereka meminta bukti, jika laba perusahaan meningkat, mereka akan tetap mempertahankan Ken,” ucap Fio. “Kita harus bakar uang untuk itu,” ucap Pasha. “Bakar uang?” “Ya bakar uang untuk mendapatkan uang yang lebih banyak,” jawab Pasha. Otaknya mulai merencanakan sesuatu, dia pun meminta Fio menjelaskan tentang produk yang dikeluarkan perusahaan. Mereka larut dalam perencanaan dan membuat draf kasar tentang apa yang akan mereka lakukan dan membahasnya lagi nanti. Hingga tak terasa hari yang mulai sore, dua jam mereka berbincang tanpa jeda. Fio melihat ke arah kursi Ken, lelaki itu bahkan tak kembali ke ruangannya padahal sebentar lagi jam pulang kantor. Karenanya Fio pun berniat mencari Ken sementara Pasha akan pulang terlebih dahulu karena dia perlu menyiapkan beberapa hal di apartmennya  yang masih berantakan. *** Fio mencari Ken ke beberapa tempat dan tak diketemukan, dia pun mendapat laporan dari petugas keamanan bahwa Ken sedang berada di ruang tim promosi, Fio seharusnya tahu Ken memang suka kesana karena di sana banyak sekali atribut promosi yang menarik perhatiannya, dan tim promosi yang memang paling dekat dengan Fio selama ini. Benar dugaan Fio, pasti Ken sedang bermain dengan tim promo, mereka tampak bersenang-senang dan tertawa. Fio semakin mendekat ke arah Ken yang penampilannya sedikit berubah, rambutnya di tata rapih, sementara kancing paling atas kemejanya dibuka, dan celananya diturunkan, tak dipinggang melainkan di pinggul. “Ken?” panggil Fio, Ken membalikkan tubuh ke arah Fio dan tim pomo yang melihat Fio sudah membulatkan matanya itu segera berpencar dan kembali ke meja masing-masing, meninggalkan Fio dan Ken serta satu karyawan perempuan yang tampak seusia dengan Fio. Wanita itu masih tersenyum lebar ke arah Fio. Ken tersenyum namun kembali menganga sehingga wajah kerennya tak tampak lagi dengan ekpresi tersebut. “Keren kan?” ujar wanita bernama Wulan itu, dia memang yang paling dekat dengan Fio di perusahaan ini karena mereka masuk perusahaan dalam waktu yang bersamaan. “Kata Wulan, kamu paling suka model pakaian seperti ini,” ucap Ken sambil menaikkan celananya, “melorot,” ujarnya lagi membuat Fio menggeleng dan mengirimkan tatapan permusuhan ke arah Wulan yang hanya cengengesan. Fio melangkah maju dan membuka ikat pinggang Ken lalu menaikkan kembali celana Ken dan memasang ikat pinggang itu lagi, Ken kembali memakai celana di pinggangnya membuat celana itu tampak mengatung di bagian kakinya. “Pakai sesuatu yang membuat kamu nyaman, dan jangan dengarkan ucapan orang-orang,” ucap Fio, kembali menata rambut Ken menjadi belah tengah seperti biasa, karena Ken tampak kurang nyaman dengan model rambutnya saat ini. “Kamu santai banget benerin celananya,” goda Wulan. “Memang kamu pikir siapa yang setiap hari bantu pakai celananya,” ujar Fio. Sementara Ken mengaitkan kancing bajunya dan mengambil jarak dari Wulan dan Fio. Wulan bersiul dan mendekat ke telinga Fio, “gede nggak?” tanyanya sambil berbisik. “Apanya?” tanya Fio. Dan Wulan pun melirik ke arah celana Ken sampai Fio mencubitnya dan Wulan mengaduh. “Ngaco! Dasar emak-emak, pikirannya ngelantur,” ujar Fio sambil menggeleng geli, memang Wulan telah menikah sejak lima tahun lalu dan dikaruniai anak. “Memang masih belum juga? Dia normal kan itunya?” “Nggak tau ah, sudah sana siap-siap sudah mau jam pulang kantor kan?” ucap Fio mengalihkan percakapan. “Kamu aja yang mulai duluan, seenggaknya dapetin satu anak buat nerusin perusahaan,” bisik Wulan lagi hingga Fio menutup mulutnya khawatir Ken mendengarnya dan menanyakan hal yang tidak-tidak. “Ken, pulang yuk,” ajak Fio sambil mengamit lengan suaminya. Ken hanya mengangguk dan melambaikan tangan ke arah Wulan. “Bye Wulan,” ucap Ken, Wulan membalas lambaian tangan Ken dan menjulurkan lidah ke arah Fio yang sudah memberikan tatapan permusuhan. Fio meletakkan kedua jari di depan matanya sendiri lalu menunjuk ke arah Wulan seolah dia mengawasi Wulan. Membuat Wulan tertawa geli. Sebenarnya dia cukup sedih mendengar Fio menikahi Ken, semua karyawan pun tahu tentang Ken yang memiliki keterbatasan. Meskipun Ken berasal dari keluarga konglomerat dan anak pemimpin perusahaan. Sebagai teman, Wulan ingin Fio mendapatkan kebahagiaan dan pasangan yang sepadan untuknya, dia sangat tahu bahwa kehidupan Fio sejak dulu memang cukup berat. Namun Fio sangat kekeuh akan keputusannya karena rasa sayangnya terhadap Dhanan, pemilik perusahaan sekaligus ayah Ken sehingga Wulan hanya mampu mendukung keputusannya itu. ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD