Kaos Kaki

2232 Words
1.      Kaos Kaki   Ojek melaju menuju jalan Campus. Distro tempat aku bekerja berlokasi tidak begitu jauh dari kampus belakang. Tapi tetap saja, akan sangat melelahkan jika aku berjalan kaki. Aku pernah belajar mengemudi motor, tapi ayah dan bunda tak mengizinkanku membawa motor sendiri. Ayah sering kali mengantar dan menjemputku, hanya saja kadang aku tak mau merepotkan. Ayah juga harus menyiapkan bahan dan peralatan untuk berjualan. Akhirnya aku tiba di distro. Sebelum aku bekerja di distro tersebut, karyawan di sana laki-laki semua. Namun tak ada yang telaten dan bertahan lama. Akhirnya mereka membuka lowongan untuk karyawati. Awalnya aku sempat ragu untuk melamar bekerja di sana. Sebelumnya aku pernah melamar kerja di rumah makan, tapi mereka menolak karena kondisi tanganku. Selain itu mereka menghendaki karyawannya untuk berbusana yang praktis. Kerudung lebarku menurut mereka dapat mengganggu gerakanku. Ada satu rumah makan yang justru mewajibkan karyawatinya untuk berjilbab syari’i, sayangnya tidak menerima karyawan baru. Beberapa tempat menolak menerimaku karena kondisi tanganku. Menemukan distro itu adalah satu anugerah untukku. Distro itu buka sampai malam dan jam kerjanya dibagi dua shift. Aku dapat shift sore karena pagi sampai siang aku harus kuliah. Saat memasuki distro, sudah ada Vida, teman kerjaku yang tengah merapikan kaos-kaos yang tergantung di hanger. “Assalamu'alaikum, Vid.” “Wa’alaikimussalam, Dira.” Vida tersenyum lebar. “Oya, Dir, Mas Deni nyariin tuh. Katanya ada yang mau diomongin.” Aku mengernyitkan alis. Ada gerangan apa Mas Deni mencariku. Mas Deni ini bertugas mengawasi distro. Ia berwewenang meneruma karyawan baru juga memberhentikannya. Ia bertanggung jawab pada keamanan distro dan segala terkait keuangan distro. Bisa dibilang ia orang kepercayaan owner distro ini. Distro yang bernama “Be Yourself” ini memiliki banyak cabang di kota lain. Distro utama ada di Bandung. Barang-barang yang dijual rata-rata adalah produk sendiri. Ada pula import dan dari brand lain. Rumah produksinya di Bandung. Banyak barang menarik yang dijual di distro ini, seperti kaos, jaket, sweater, sepatu, celana, topi, asesoris laki-laki maupun perempuan, dompet, tas, pernak-pernik, pigura kecil, mug, sabuk, sandal, bahkan juga buku-buku diary atau note book yang dibuat dari kertas daur ulang. Aku masuk ke ruangan Mas Deni dan membiarkan pintu itu terbuka. “Duduk dulu, Dir. Ada yang mau aku omongin.” Mas Deni menatapku tajam. Sepertinya ada yang tak beres. “Begini, Dir. Aku berencana menampilkan sesuatu yang khas dari distro ini. Aku ingin karyawannya mengenakan seragam. Nah seragamnya ini kaos dan celana jeans. Aku nggak akan membedakan semua karyawan. Jadi aku harap kamu mau mematuhi aturan untuk mengenakan seragam. Kerudungnya bisa dimasukkan ke kerah kaos karena ada tulisan di bagian d**a, tulisannya 'be yourself'. Apa kamu sanggup? Kalau kamu nggak mau, dengan terpaksa aku harus memberhentikanmu.” Aku terdiam dan melongo. Awal bekerja di sini, Mas Deni tak keberatan dengan caraku berbusana. Kenapa harus ada aturan seperti ini. Meski aku membutuhkan pekerjaan ini, tapi aku tak bisa mematuhi aturan baru yang aku rasa telah memasung hak seseorang untuk berbusana sesuai aturan agama. “Maaf, Mas. Saya memilih mundur.” Mas Deni menatapku lebih tajam dari sebelumnya. “Kenapa harus mundur? Toh aku nggak memintamu untuk melepas jilbab. Kamu hanya perlu mengganti style pakaian saja.” Kuatur napasku agar lebih stabil. Menjelaskan pilihan kita kepada orang lain itu memerlukan kesabaran. Tidak semua orang bisa memahami kenapa seorang muslimah memilih untuk berpakaian longgar dengan kerudung yang lebar. “Memang saya tetap memakai kerudung jika mengikuti aturan baru distro. Tapi kerudung itu dimasukkan ke dalam kerah baju. Itu artinya tidak menutup bagian d**a. Sedang aturan dalam syariat, kerudung yang dikenakan harus menutup dada.” Kulirik sejenak kaos seragam yang tergeletak di meja. Ukurannya pas di badan, saat dikenakan akan membentuk lekuk tubuh. “Selain itu, ukuran kaosnya juga sepertinya ngepas di badan. Kalau dikenakan akan membentuk lekuk tubuh. Pakaian yang baik itu tidak ketat dan tidak membentuk lekuk tubuh. Menurut saya kaos tersebut juga kurang panjang, tidak menutup bagian belakang. Mohon maaf, saat mengenakan celana jeans, bentuk kaki dan pinggul akan tercetak jelas. Mohon maaf, Mas, saya tidak bisa mengenakan pakaian seperti itu.” Aku berusaha memilih kata-kata yang tepat. Mas Deni tersenyum miring, “Jadi kamu mau bilang kalau cara berpakaian seperti itu salah total dan cara berpakaian kamu yang paling benar?” Buru-buru aku menggeleng. “Bukan begitu, Mas. Ketika saya bilang saya tidak bisa berpakaian seperti itu, bukan berarti saya mengatakan bahwa cara berbusana saya yang paling benar. Hanya saja, saya merasa lebih nyaman dengan cara berbusana saya yang seperti ini.” “Ya, sudah. Itu artinya kamu mundur.” Mas Deni memasukkan beberapa lembar uang dalam amplop. “Ini pesangon buat kamu.” Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sedih karena aku merasa diperlakukan tidak adil. “Terima kasih banyak, Mas, udah ngasih saya kesempatan bekerja di sini. Mohon maaf kalau selama bekerja di sini, saya banyak salah.” “Sama-sama,” balasnya singkat. ****** Aku melangkah gontai keluar distro dengan wajah yang mungkin terlihat mendung, kacau, muram, dengan raut kesedihan yang mendominasi. Entah ini ironis atau sesuatu miris, ketika aku tinggal di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi saat aku ingin menjalankan syariat dengan memperbaiki caraku berbusana, masih saja ada orang yang mempermasalahkan. Menganggap cara berpakaianku sebagai simbol dari radikalisme atau fanatisme berlebihan. Memang, di kampus, mahasiswi yang mengenakan gamis dan kerudung lebar itu bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan berpenampilan modis dengan gaya fashion masa kini. Aku berjalan dengan rasa shock yang masih menggelayut. Kurasakan titik-titik air mulai turun perlahan. Kudongakkan kepalaku. Langit begitu gelap dengan tumpukan awan kelabu yang mengembung di banyak titik. Semakin lama gerimis itu kian menderas hingga aku berlari menuju emperan toko untuk berteduh. Saat berlari menuju tempat teduh itu, kakiku terjerembab ke dalam lubang yang digenangi air. Alhasil kaos kakiku basah. Aku mengenakan sepatu karet yang tak apa jika terkena air. Namun kaos kaki yang terlanjur basah ini membuat telapak kakiku basah dan risih. Aku berteduh dan bersedekap. Ada rasa dingin menyelinap, mencekam hingga pori-pori. Terpikir olehku untuk menggunakan jasa taxi online. Naik ojek sangat tidak memungkinkan. Belum sempat aku mengambil ponsel, tiba-tiba ada motor berhenti di depanku. Aku kaget, saat melihat sosok pengemudi yang tengah melepas helm. Axel? Apa dia mengikutiku? Kenapa dia ikut berteduh di sini? Axel tak kalah terperanjat. Dia bengong menatapku. “Eh ada Mamah. Kok bisa ada di sini?” Axel menatapku dari ujung atas hingga bawah, membuatku risih. “Kamu sendiri kenapa berteduh di sini?” Kulirik dia sepintas. Sebenarnya aku tidak suka dia memanggilku “Mamah”. Teman-teman sekelas mengikuti jejaknya memanggilku “Mamah”. Dia sendiri dipanggil “Papah” oleh anak-anak. Yang membuatku merasa bodoh, meski aku tak suka panggilan itu, jika ada yang memanggilku “Mamah”, aku refleks menyahut dan menoleh. Awalnya aku tak ambil pusing. Aku artikan panggilan “Mamah” itu seperti doa agar aku menjadi orang yang baik seperti Mamah Dedeh. Awal Axel memanggilku karena menilaiku suka ceramah seperti Mamah Dedeh. Sampai akhirnya, saat aku membantu ayah berjualan, ada sepasang suami istri beserta satu anak yang masih balita, membeli nasi goreng dan makan di tenda kami. Sang suami memanggil istrinya dengan sebutan “Mamah”, sedang sang istri memanggil suaminya dengan panggilan “Papah”. Sejak itu aku merasa janggal dan begidik sendiri, membayangkan aku dan Axel menikah dan saling memanggil dengan panggilan itu.... Tidak... Tidak... Astaghfirullah... “Aku tadi lagi jalan, terus hujan, ya udah, aku berteduh di sini. Eh ternyata ada Mamah...” Dia menaikkan alisnya dan menyeringai. Aku tak merespons. Kutundukkan kepala dan kuamati kaos kakiku yang basah. “Kaos kakimu basah? Kok nggak dilepas?” tanyanya dengan suara yang terendam hiruk pikuk kendaraan yang masih saja berlalu lalang meski hujan semakin deras. “Kaki adalah aurat perempuan. Sama seperti rambut yang harus ditutup kerudung, kaki juga harus ditutup,” jawabku tanpa menolehnya. “Ribet amat, sih. Ini kan darurat. Kalau Mamah sakit gara-gara kaos kakinya basah, papah juga yang repot.” Lagi-lagi ia menyeringai. Aku hanya bisa menggeleng dan mengalihkan tatapanku ke arah lain. “Si Rara, Mita, sama Amel pada pakai jilbab, tapi nggak ribet kayak kamu. Mereka nggak pakai kaos kaki.” Kutoleh dia dan tersenyum, “Sampai hafal kalau mereka nggak pakai kaos kaki. Jangan-jangan setiap hari kamu kerjaannya merhatiin kaki perempuan.” “Ciyee... Cemburu, ya?” balasnya sekenanya. “Astaghfirullah...” Aku menggeleng sekali lagi. “Tunggu sebentar... Tunggu ya, jangan kemana-mana dulu.” Axel membuka jaketnya dan memayungi kepalanya dengan jaket itu. Ia berjalan menyebrang jalan, menembus guyuran hujan. Entah apa yang akan dia lakukan. Aku masih mematung. Rupanya dia masuk ke toko sepatu di seberang jalan. Tak berapa lama kemudian, dia berbalik ke arahku. Aku mengernyit kala tatapanku terfokus pada benda yang ia pegang selain jaketnya. “Nih, pakai...” Axel menyodorkan kaos kaki yang masih terbungkus dalam kemasan. Aku menganga sekian detik. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Axel bersikap begitu manis, membelikanku kaos kaki di toko seberang. Tak peduli rambut dan bajunya sebagian basah karena tertimpa hujan. “Kok bengong, ayo dipakai. Tuh ada kursi. Kamu duduk aja, menghadap ke tembok. Aman, kok. Nggak kelihatan.” Aku seperti melihat sosok Axel yang lain. Apa dia baik-baik saja? Kenapa bisa sebaik ini? Aku terima kaos kaki itu. Kuturuti sarannya untuk mengenakan kaos kaki dengan duduk menghadap tembok. Ujung rok gamisku yang lebar bisa menutupi kakiku. Aku beranjak dan mengambil ponsel. Tak susah untukku mengetik di keyboard ponsel karena aku sudah terlatih menggunakan tiga tonjolan di kedua telapak tanganku untuk mengetik. Aku membuka aplikasi untuk memesan taksi online. “Kamu minta orang rumah buat jemput, ya?” tanyanya. Aku menggeleng, “Aku pesan taksi online.” “Ujung rok gamismu ada yang basah. Kalau kamu celana pasti nggak seribet ini.” Kutatap dia tajam, lalu kualihkan pandanganku ke arah lain. “Kenapa kamu bawel banget mengurusi cara berpakaian orang? Aku nyaman berbusana seperti ini. Aku sedang berusaha untuk berbusana sesuai syariat, di mana pakaian itu tidak boleh membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, dan kerudungnya juga diulurkan sampai menutup dada.” “Menutup d**a, kan? Kerudungnya sudah melebihi dari batas, tuh. Aku bukan Muslim dan aku juga terlahir di keluarga non Muslim. Wajar kalau aku nggak bisa memahami kenapa muslimah sepertimu menggunakan pakaian yang longgar begini dengan kerudung lebar. Pasahal banyak muslimah lain yang lebih fleksibel dalam berpakaian. Toh kamu masih muda. Apa nggak ingin berpakaian sesuai trend?” Aku sudah menduga. Setiap ada kesempatan, Axel senang mengajukan pertanyaan seperti ini. “Karena beragama itu adalah berkeyakinan, bukan mengikuti trend. Aku memeluk agama Islam karena aku meyakini agama Islam yang paling diridhoi Allah. Karena itu aku berusaha mengikuti aturan dalam agamaku, tak terkecuali cara berbusana yang juga ada aturannya dalam Al-Qur’an.” “Bukankah kamu beragama Islam karena orang tuamu juga beragama Islam?” Kuembuskan napas pelan. “Aku memang terlahir dari keluarga muslim. Namun ketika aku baligh, ketika aku dewasa dan bisa memilih, sama sekali tidak ada paksaan bagiku untuk tetap memeluk agama Islam. Jangan lupa, memeluk agama adalah hak asasi manusia. Karena tidak ada paksaan, bisa saja seseorang memilih memeluk agama lain di saat dia dewasa, agama yang berbeda dengan agama orang tuanya. Namun aku tetap berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling diridhoi Allah, karena itu aku tetap beragama Islam.” Kutoleh dia yang terdiam. “Kamu terlahir dari orang tua yang memiliki agama, kan? Kenapa saat dewasa kamu memilih untuk tidak memeluk satupun agama?” Axel terdiam. “Sebaiknya kamu jangan berteduh di sini. Aku nggak enak kalau orang lihat kita berteduh bersama di tempat ini,” ucapku pelan. “Ngusir, nih? Toh kita nggak ngapa-ngapain. Lagian banyak orang lewat. Tak usah terlalu saklek.” Aku tak merespons. Kami membisu dengan pikiran masing-masing. Atmosfer mendadak membingungkan. Aku bersyukur saat taksi online yang aku pesan sudah datang. “Terima kasih kaos kakinya,” ujarku padanya. Dia mengulas senyum, “Hati-hati. Sampai rumah jangan lupa istirahat, makan yang banyak biar tetap fit. Sampai ketemu besok ya Ma...mah... Sa....yang...” Dia mengerucutkan bibirnya, memberi kiss lewat udara. Aku memelototinya, sedang dia tertawa cekikikan. Aku masuk ke dalam taksi. Kulirik kaos kaki baru yang aku kenakan. Orang menyebalkan seperti Axel ternyata bisa bersikap manis. ****** Setiba di runah, bunda membuatkan minuman lemon dan jahe hangat untuk menghangatkan badan. Kuceritakan kejadian sedih hari ini pada ayah dan bunda. Ayah menenangkanku. Ia mengusap pipiku. “Nggak apa-apa, sayang. Mungkin ini memang belum rezeki Dira. Atau bisa jadi ini bukan hal yang baik untuk Dira. Atau Allah sudah mempersiapkan hal lain yang lebih baik untuk Dira. Tetap optimis dan selalu berprasangka baik sama Allah.” Ayah mengusap rambutku. Aku mengangguk. Setiap mendengar nasihat ayah, aku merasa tenang. “Makasih, Ayah. Dira merasa lebih baik.” Ayah tersenyum manis, “Ya, sudah, ayah berangkat jualan, ya. Hujan sudah reda.” Aku menjabat tangan ayah. Adika, adikku menemani ayah berjualan. Setelah berpamitan denganku, ayah berpamitan dengan bunda. Di mataku mereka pasangan paling romantis. Ayah selalu memperlakukan bunda dengan lembut, bunda pun seorang istri shalihah dan ibu terbaik untuk anak-anaknya. Setelah ayah dan Adika berangkat berjualan, bunda memelukku erat. “Jangan sedih lagi ya, Nak. Ingat, rezeki itu nggak akan kemana. Adira pasti bisa mendapat rezeki lain, mungkin nanti dapat rezeki dari beasiswa. Toh memang lebih baik kamu fokus kuliah saja.” Aku mengangguk. Rasanya memang berat kehilangan pekerjaan. Namun aku yakin, Allah lebih tahu apa yang terbaik untukku. Bagiku memiliki keluarga yang hangat dan selalu ada untukku adalah anugerah terindah yang diberikan Allah untukku. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD