Percikan Rasa

3241 Words
3.   Percikan Rasa   Aku menyisir rambutku dan mematut diri di cermin. Hari ini ada jadwal kuliah jam sepuluh pagi. Tapi aku tetap mandi pagi. Rasanya risih kalau mandi terlalu siang. “Mbak, ada pulpen yang masih bagus, nggak?” Tiba-tiba saja Adika nyelonong masuk ke kamar. Kebiasaan, kadang ia lupa mengetuk pintu. “Memangnya pulpen kamu ke mana? Selalu aja ngrecokin punya Mbak.” Kubuka tempat pensil yang kuletakkan di meja. Aku ambil satu buah. “Pulpenku dipinjem Juned, eh malah ilang. Emang tuh anak kalau minjem ujung-ujungnya diilangin.” Adika mengerucutkan bibirnya. Wajahnya terlihat menggemaskan kalau sedang begini. Bisa dibilang wajah adikku kombinasi yang sempurna dari ayah dan bunda. Ia memiliki wajah tampan ayah dengan rahang yang tegas, tapi juga memiliki mata dan bulu mata yang indah seperti bunda. Dia manis dan cute saat tersenyum. “Nih, pulpennya.” Kuserahkan satu pulpen padanya. Ia tersenyum cerah, “Kesuwun, Mbak. Aku mangkat sekolah disit, ya. Assalamu’alaikum.” (Makasih, Mbak. Aku berangkat sekolah dulu, ya). “Wa’alaikumussalam,, sing rajin sekolahe. Aja dolan bae.” (yang rajin sekolahnya. Jangan main mulu). Terkadang aku dan Dika menggunakan bahasa ngapak dalam berkomunikasi. Bahasa ngapak ini adalah ciri khas dari daerahku, kabupaten Banyumas. Purwokerto adalah salah satu kecamatan di kabupaten Banyumas. Selain Banyumas, kabupaten lain di sekitarnya juga banyak menggunakan bahasa ngapak, seperti Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Gombong, dan lain-lain. Sesaat ada nada mengalun dari ponselku. Ada satu pesan w******p masuk dari nomor asing. Assalamu’alaikum, Adira. Maaf mengganggu, saya Revan, pemilik distro Be Yourself. Saya mohon maaf untuk sikap Deni yang sudah memberhentikan Adira. Jika Adira berkenan, Adira dapat kembali bekerja di distro. Tidak mudah mendapat karyawan yang jujur. Saya masih ingin Adira bekerja di sini. Jika Adira bersedia bekerja lagi di sini dan  sekiranya Adira ada waktu, Adira bisa datang ke sini untuk membicarakan lebih lanjut. Nanti saya akan beri tahu kapan Adira mulai bekerja. Kukerjapkan mataku berkali-kali. Aku membacanya ulang. Rasanya senang sekali, aku diizinkan untuk bekerja lagi. Segera, aku keluar kamar. Ayah tengah menyiapkan bahan-bahan jualan, sedang bunda melipat pakaian. “Ayah... Bunda....” Aku duduk di karpet, di sebelah bunda. Derap langkah ayah terdengar teratur, seperti senandung yang membentuk satu irama. “Ada apa, Dir?” bunda menatapku dengan dahi berkerut. Ayah duduk di sebelah bunda. Dari raut wajahnya, terlihat jelas ayah begitu penasaran. “Ada apa, Dira? Kamu kelihatan seneng banget.” Ayah dan Bunda saling menatap. “Owner distro kirim pesan w******p. Katanya Dira boleh kerja lagi di sana. Menurut Ayah dan Bunda, Dira ambil tawaran itu lagi, nggak? Dira sih mau bekerja di sana. Gajinya lumayan. Kerjanya juga nggak berat.” Kutatap ayah dan bunda bergantian. Besar harapanku, mereka mau memberi izin. “Ehmm... Ayah nggak melarang kalau kamu ingin bekerja lagi di sana. Meski sebenarnya, ayah ingin kamu fokus kuliah saja. Tapi ayah juga mikir, kamu bisa cari pengalaman dan belajar dari pekerjaan kamu. Yang penting, pulangnya ayah yang jemput. Jangan sekali-kali mau diantar laki-laki. Apalagi kamu kerjanya masuknya sore dan baru pulang malam.” Aku mengangguk pelan, “Iya, Ayah. Dira bakal mematuhi nasihat Ayah. Makasih untuk izinnya.” Aku beralih menatap bunda. “Kalau menurut bunda gimana?” “Bunda sependapat sama Ayah. Sebenarnya bunda takut Dira kecapaian, karena harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja.” Tatapan bunda terasa begitu lembut dan selalu saja bisa menenangkanku. “Insya Allah, Dira bisa bagi waktu, Bun. Di distro kerjanya nggak begitu berat. Dira sering manfaatin waktu buat baca-baca atau ngetik tugas sambil nunggu customer datang. Mas Deni nggak keberatan. Yang penting kerjaan beres. Makanya pulang dari distro, Dira bisa langsung istirahat, tugas udah Dira selesaikan. Kadang juga Dira selesaikan di kampus sambil menunggu jam kerja.” Ayah dan Bunda saling berpandangan. Mereka tersenyum padaku. “Kamu pekerja keras, persis kayak ayahmu. Bunda bangga sama kamu.” Bunda tersenyum lembut dan menggenggam tanganku. “Kalau nanti Dira merasa kelelahan dan kesulitan bagi waktu, jangan memaksakan diri untuk terus bekerja,” Ayah menambahkan. Kuanggkukan kepalaku sekali lagi, “Baik, Ayah.” “Sebelum ke kampus, Dira mau mampir ke distro dulu. Owner distro mau ketemu sama Dira buat bicarain semuanya.” “Iya, hati-hati ya. Apa ayah antar?” Ayah tak keberatan antar jemput aku ke mana pun selama belum waktunya berjualan. “Dira naik ojek saja, Yah.” ****** Aku berdiri di tepi jalan, menunggu ojek online yang aku pesan. Senyum mengembang saat kulihat seorang driver perempuan menghentikan motornya. “Hai, Dira,” sapa ramah salah seorang driver yang sudah aku kenal karena beberapa kali dia mengantarku ke kampus. “Hai, Mbak Ratih.” Aku balas senyumnya dan kuterima helm yang disodorkan olehnya. “Gimana kabarnya, Mbak? Agak lama kayaknya nggak dibonceng Mbak Ratih,” ucapku sembari duduk di belakang Mbak Ratih. “Alhamdulillah baik, Dir. Iya ya udah, agak lama. Ini tumben Dira minta diantar ke distro pagi, biasanya sorean.” “Iya, Mbak. Ada urusan, makanya ke sana pagi. Habis itu mau langsung ke kampus.” Mbak Ratih selalu mengemudi dengan hati-hati. Aku pernah mengajak Mbak Ratih makan nasi goreng di tenda ayah. Kami berbincang banyak hal. Aku belajar banyak dari sosoknya yang sederhana dan pekerja keras. Mbak Ratih adalah seorang ibu muda yang memiliki satu anak balita. Suaminya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Aku mengagumi semangatnya untuk bekerja demi masa depan anaknya. Impiannya sederhana, hanya ingin melihat anaknya bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik darinya. Impian sederhana tapi butuh perjuangan yang luar biasa. Aku suka cara Mbak Ratih optimis menjalani hidup dan yakin Allah akan memberi kemudahan setelah kesulitan. Terkadang kami berbincang layaknya teman seumuran. Dia bilang, meski usiaku masih delapan belas, tapi aku bisa berpikir dewasa, melebihi usiaku. Sebenarnya, aku juga memiliki sisi kanak-kanak. Aku juga memiliki sisi manja yang tidak diketahui banyak orang. Kadang aku baru bisa tidur setelah bunda mengusap-usap kepalaku. Kadang ayah memasak lauk kesukaanku di saat aku tidak berselera makan. Padahal akulah yang seharusnya melayani mereka. Namun aku tidak membiasakan diri untuk tergantung pada mereka. Apa yang bisa aku kerjakan, akan aku kerjakan sendiri. Dewasa tidaknya seseorang memang dipengaruhi banyak faktor. Umur matang tidak menjamin seseorang mampu bersikap dewasa. Kata teman-teman aku enak diajak curhat karena bisa memberikan saran yang menurut mereka mampu memberi solusi. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, apa benar aku mampu bersikap dan berpikir dewasa? Ataukah banyaknya cobaan yang mendera, yang telah membentukku menjadi pribadi seperti ini? Dari SMP, aku terbiasa mendapat perilaku bullying dari teman-teman. Kadang terang-terangan, kadang berbisik-bisik membicarakan kekurangan fisikku. Ada kata-kata pedas salah seorang teman SMP yang masih membekas hingga sekarang. Tangan kamu cacat, memangnya kamu bisa melukis? Kamu nggak mungkin menang lomba. Mungkin sampai dewasa nanti kamu bakal merepotkan banyak orang karena tak bisa mengerjakan banyak hal. Kata-kata itu justru memotivasiku untuk menunjukkan bahwa orang yang memiliki keterbatasan sepertiku juga bisa mandiri dan berguna untuk sesama. Aku bisa mengerjakan banyak hal dan aku tak mau merepotkan orang lain. Dari para pem-bully aku belajar untuk lebih berempati pada orang lain. Ketika mereka bersedih aku mencoba menghibur dan menenangkan. Saat mereka melakukan kesalahan, aku mencoba mencari tahu alasan mereka berbuat salah, tanpa buru-buru menghakimi. Ketika mereka memiliki kekurangan fisik, aku berhati-hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan terkait dengan kekurangan yang mereka miliki. Rasanya sangat menyakitkan saat kekurangan fisik yang kita miliki menjadi bahan bullying. Mungkin orang lain tidak mengerti, sedikit saja kata pedas terucap, hal itu bisa meninggalkan rasa sakit yang begitu mendalam. Umumnya korban bullying akan merasa minder, tertekan, tidak percaya diri, bahkan juga bisa depresi. Lebih parah lagi, ada banyak kasus bunuh diri yang berawal dari bullying. Tak terasa, aku sudah tiba di distro. Saat aku masuk ke dalam, sudah ada seorang laki-laki asing yang tengah menata jaket-jaket yang berderet di satu baris. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Rasanya dia bukan karyawan baru. Penampilannya terlihat necis dengan kemeja branded yang juga dijual di distro ini. Atau mungkin dia seorang pembeli. Laki-laki itu memicingkan matanya kala melihatku. “Adira, ya?” Aku mengangguk dan sedikit bingung. Siapa pria ini? “Saya Revan, yang tadi pagi w******p kamu.” Aku terdiam sejenak. Aku tak menyangka, pemilik distro ini masih muda. Aku pikir, pemiliknya sudah berusia matang, sekitar empat puluhan dan sudah berkeluarga. Sedang pria yang berdiri di hadapanku terlihat masih muda dan mungkin belum menikah. Aku mengangguk pelan. “Seperti yang saya katakan di w******p, kamu bisa bekerja di sini lagi. Kamu sudah bisa kerja besok. Sekali lagi saya mohon maaf atas sikap Deni. Saya tidak akan melarang karyawan saya untuk berpakaian sesuai style yang membuat mereka nyaman. Distro ini memang menyediakan seragam, tapi saya tidak akan memaksa karyawan terutama karyawan perempuan untuk mengenakannya jika memang tidak nyaman dengan model pakaian ini. Sebenarnya saya sudah bilang ke bagian produksi untuk membuat kaos seragam yang ukurannya besar. Tapi mereka salah ukuran.” Revan menjelaskan dengan detail dan ramah. Aku bingung harus memanggilnya Bapak atau Mas. Rasanya dia masih terlalu muda untuk dipanggil “Bapak”. Namun dia tetaplah atasan di sini. “Terima kasih atas kesempatan yang Bapak berikan. Insya Allah, besok saya akan mulai bekerja di sini.” Dia mengulas senyum. Aku tak berani menatapnya lama. Aku lebih banyak menunduk. Bagi laki-laki, melihat perempuan cantik itu bisa jadi godaan tersendiri. Sama saja dengan perempuan. Ia juga perlu menjaga pandangan dari laki-laki non mahram. Kadang temanku penasaran, apa aku pernah memikirkan laki-laki? Apa aku pernah jatuh cinta? Laki-laki seperti apa yang aku sukai? Seolah bagi mereka, wanita yang berjilbab lebar adalah makhluk yang tak pernah mengisi hatinya dengan berimajinasi akan sosok pangeran impian. Kami pun sama dengan perempuan lain. Kami memiliki kriteria laki-laki seperti apa yang kami sukai. Ada kalanya terbersit kekaguman pada seorang lawan jenis meski hingga sekarang aku belum paham arti jatuh cinta. Seperti apa jatuh cinta? Apakah sama dengan mengagumi? Atau lebih dari itu? Kata bunda, jatuh cinta itu sudah fitrah dan manusiawi. Hanya harus berhati-hati dengan cara menyalurkan perasaan kita. Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan hubungan antar lawan jenis selain pernikahan. Jika harus jujur, ada ketakutan tersendiri untuk jatuh cinta. Sepertinya aku belum siap untuk itu. Kadang aku berpikir, adakah seseorang yang tulus menerimaku apa adanya dengan kondisi tanganku? “Kamu boleh memanggil saya “Mas” agar tidak terkesan kaku. Saya belum berkeluarga,” ucapnya dengan senyum yang mencetak lesung di pipinya. Astaghfirullah... Kenapa aku sampai mengamati lesung pipinya? “Baik, Mas Revan.” Senyap sejenak... “Apa masih ada yang ingin Mas Revan sampaikan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu, Mas. Saya mau ke kampus.” “Oh, silakan. Terima kasih sudah berkenan untuk bekerja di sini lagi.” Aku mengangguk, “Saya yang harus berterima kasih. Permisi, Mas. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.”  Alhamdulillah, mulai besok aku bisa bekerja di distro lagi. Banyak yang aku pelajari selama bekerja di distro. Aku belajar bagaimana sistem promosi dan pemasaran mereka. Aku belum begitu paham bagaimana proses produksi barang-barang yang dijual di distro, aku hanya tahu bahwa material yang digunakan untuk membuat barang-barang itu bukan sembarang material. Kualitasnya bagus. Jahitannya juga begitu rapi. Kepuasan pelanggan karena barang yang berkualitas itu sangat penting agar usaha terus berjalan lancar. Aku melanjutkan perjalanan menuju kampus dengan menaiki ojek online. Setiba di kampus, aku berjalan menyusuri koridor menuju ruangan A1. Di ujung depan ada Cherise yang tengah berjalan bersama ketiga temannya. Mereka anak akuntansi. Seluruh penjuru kampus tahu siapa mereka. Sekelompok gadis cantik dengan kecantikan di atas rata-rata. Tiga di antaranya bukan orang asli Purwokerto, termasuk Cherise. Sedang yang seorang adalah orang asli sini. Dulu bersekolah di SMA yang sama denganku. Tiba-tiba aku melihat Axel, Dito, dan Devano menyusul keempat gadis itu. Kulihat Axel memberikan sebuah buku untuknya. Mereka berbincang begitu akrab. Aku pernah mendengar dulu mereka satu SMA. Pantas saja akrab. Saat jarak kami senakin dekat, Cherise melirikku. “Eh, kamu yang kemarin nglempar bola basket dan masuk ke ring, kan?” aku tak menyangka dia akan menyapaku seramah ini. Aku tersenyum dan mengangguk. Kulirik Vani, teman Cherise yang dulu satu SMA denganku. Dia sama sekali tak menyapaku. Mungkin dia tak menyadari aku dulu teman SMA-nya. Aku bukan siswa yang tenar dan menonjol. Kami juga tidak pernah satu kelas. “Nama kamu siapa? Anak mana?” tanya Cherise lagi masih dengan senyum khasnya. “Aku Adira. Aku dari prodi manajemen.” “Semester pertama, kan? Sekelas sama Axel, dong?” Cherise melirik Axel dan dua temannya. Axel hanya tersenyum tipis. “Aku duluan, ya.” Axel mengulas senyum dan berjalan meninggalkan kami. Dito dan Devano mengikuti. Entah kenapa, aku merasa Axel tidak seperti biasanya yang suka meledekku. Di depan Cherise dan teman-temannya, ia bersikap seolah-olah tidak mengenalku. Apa dia malu hanya tuk sekedar mengakui satu kelas denganku? Sama seperti Vani yang sama sekali tak menyapa. Aku yakin dia pasti paham meski kami tidak saling mengenal. Aku dulu mengikuti ekstrakurikuler karya ilmiah remaja dan saat timku memenangkan lomba, tim mading mewancaraiku. Vani adalah anggota tim mading. Satu hal yang tak banyak orang tahu, orang-orang dengan keistimewaan seperti kami jauh lebih sensitif. Penolakan yang kerap kami terima seolah membuat perasaan kami lebih peka dan bisa membaca kenapa orang tak mau serta merta mengakui mengenal kami. Banyak orang merasa lebih senang dan bangga jika berteman dengan orang-orang yang dianggap penting dan tenar. Aku sama sekali tidak penting bagi mereka. “Aku duluan, ya, Adira. Nanti sore tim basket putri latihan di lapangan belakang. Kalau kamu mau ikut, datang saja.” Aku tak tahu apa Cherise serius mengajakku atau sekedar berbasa-basi. Aku mengangguk pelan. “Ya, udah, aku duluan, ya.” Cherise melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Gadis itu begitu supel dan tak sombong. Aku rasa ia belum tahu akan kondisi tanganku. Aku tak tahu, apa dia akan tetap bersikap hangat padaku saat tahu kondisi tanganku. Aku sering menyembunyikan kedua tanganku di balik kerudung lebarku. Sesampai di kelas, suasana begitu berisik karena dosen belum hadir. Aku bergabung dengan Luna dan Syifa, dua sahabat dekatku. “Teman-teman, Pak Iman tidak hadir. Tapi ada tugas yang mesti dikerjakan. Aku bagikan soalnya, ya. Kalian jawab di lembaran kertas. Kalau sudah selesai dikumpulkan.” Januar sang ketua kelas membacakan pengumuman. Sebagian teman-teman mengeluh. Aku mengeluarkan buku dan alat tulis. “Mah, kalau udah selesai, aku nyontek, ya.” Tiba-tiba suara Axel mengagetkanku. Ia duduk di  sebelahku namun jarak kursi kami agak jauh. Aku tak merespons. “Mamah, kalau udah selesai, aku pinjem ya. Aku ada urusan, mau ke markas BEM dulu.” Giliran Kenzi yang bicara lantang ke arahku. Aku mengangguk, “Iya, Insya Allah.” “Oh, gitu, ya... Giliran Kenzi yang minta langsung di-iya-in. Aku dicuekin,” ucap Axel. Aku tahu Axel tengah melihat ke arahku. Bayangan sosoknya memantul di ujung mataku. Lagi-lagi aku diam. “Kenapa kamu diam dari tadi? Sombong banget, sih.” Axel bicara dengan ketusnya. “Bahaya, nih... Urusan rumah tangga. Mamah dan Papah berantem,” ledek Dito, disusul tawa oleh yang lain. Aku tak menanggapi. Entah kenapa sikap Axel yang cuek dan seolah tidak mengenalkau saat sedang bersama Cherise membuatku enggan untuk berbicara dengannya. “Memang benar, kebanyakan cewek berjilbab lebar itu sombong-sombong. Merendahkan yang lain. Apalagi model kayak kita. Dianggapnya kayak patogen atau virus berbahaya.” Axel masih saja mengoceh. Aku masih bida menahan diri. “Katanya berjilbab, tapi sombong, terus gimana tuh? Apa yang dia kenakan nggak sinkron sama kelakuannya. Percuma berjilbab kalau kelakuannya  minus,” cerocosnya lagi. Suasana kelas mendadak hening. Kutatap Axel tajam, “Jangan pernah menghubungkan jilbab dan akhlak, karena dua hal itu berbeda. Tidak ada kata percuma berjilbab, karena mengenakan jilbab bagi muslimah yang sudah baligh itu kewajiban. Mau dia berakhlak buruk, mau berakhlak baik, semua wajib berjilbab. Wanita berjilbab bukan seorang yang sempurna. Dia hanya sedang berusaha untuk memenuhi kewajibannya. Kamu tahu apa itu artinya wajib? Sesuatu yang wajib jika ditinggalkan akan berdosa. Sama hukumnya dengan sholat lima waktu jika ditinggalkan tentu akan berdosa.” Axel menyeringai dan tersenyum sinis. “Okay, itu dua hal yang berbeda. Terus kenapa perempuan yang sudah berjilbab tidak sadar diri untuk memperbaiki akhlaknya? Biar kelakuannya juga mencerminkan apa yang dia kenakan.” Aku menghela napas sejenak. Kuedarkan pandanganku. Teman-teman yang lain tampak serius menulis tugas masing-masing, tapi juga seksama mendengarkanku. “Semua tergantung individu masing-masing. Semua orang butuh waktu dan proses dalam memperbaiki diri. Tidak ada sesuatu yang instant. Setidaknya muslimah yang berjilbab telah melaksanakan kewajibannya dengan menutup aurat. Mudah-mudahan dengan dia berpakaian sesuai syariat, ia semakin termotivasi untuk memperbaiki akhlaknya. Proses memperbaiki akhlak itu akan terus berlangsung sepanjang hayat.” “Tuh, dengerin Papah Axel.” Sinta, teman sekelasku yang berasal dari Ciamis ikut meledek. “Sebenarnya fungsi berjilbab apa, sih? Bukannya perempuan itu indah. Kok mesti ditutupin?” Axel belum puas jika hanya mengajukan satu pertanyaan saja. “Karena perempuan itu istimewa. Sesuatu yang istimewa tidak boleh diumbar, tidak boleh disentuh sembarangan. Kalau aku pribadi, aku merasakan jilbab itu bisa sebagai filter dan pengingat diri untuk berusaha memperbaiki diri. Jilbab bisa membuat rasa malu semakin besar, malu jika berbuat maksiat, malu jika berbohong, malu jika tidak bisa menjaga lisan, malu jika bergosip, jadi kayak motivator untuk berusaha berbuat baik. Jilbab juga membuatku merasa lebih aman dari pandangan lawan jenis. Sudah dari sananya laki-laki suka melihat perempuan seksi. Dengan berjilbab, sebenarnya perempuan membantu laki-laki untuk menahan pandangannya.” Axel mengelus dagunya. Aku alihkan pandanganku ke arah lain. “Menurut aku justru yang seksi-seksi itu biasa. Dan aku lebih tertarik untuk mengamati perempuan yang berjilbab. Apalagi yang berjilbab lebar dan memakai pakaian yang longgar kayak kamu. Sorry kalau gue... Eh maksudnya kalau aku blak-blakan. Aku kadang berimajinasi, bagaimana penampakan rambut cewek-cewek berjilbab lebar ini. Gimana penampakan mereka saat mengenakan baju seksi. Sorry lagi, yang merasa cewek jangan tersinggung. Kadang aku bayangin ukuran dadanya seberapa besar dan hal-hal lain yang menjurus...” “Huuuh.... Vulgar...” Luna mencibir. Teman-teman yang lain ikut meledek. “Aku belum selesai ngomong. Terus ya, kalau papah lihatin mamah, papah juga punya imajinasi sendiri. Mamah pakai daster, rambutnya dikucir, berantakan, belum mandi, gendong anak yang rewel minta susu..” Seisi kelas kembali gaduh karena tertawa. Aku masih bertahan dengan sikap diamku. “Sekarang pertanyaan serius, nih. Kalau kasusnya kayak gitu gimana? Si cowok justru nggak bisa menahan pandangan dari cewek yang berjilbab lebar.” Aku membisu sesaat. “Nek kayak kuwe kasuse berarti cowokne sing jelalatan.” (Kalau kayak gitu kasusnya berarti cowoknya yang jelalatan). Aku jawab mantap dengan bahasa ngapak. Aku yakin Axel mengerti bahasa ngapak meski bukan asli daerah sini. Teman-teman yang lain tertawa. “Mamah ngapake metu.” Januar tertawa terpingkal-pingkal. (Mamah ngapaknya keluar) “Benar kan apa kataku? Ceweknya udah berusaha berpakaian sesuai syariat, dia tidak bersalah. Yang salah cowoknya karena matanya jelalatan,” lanjutku. Aku kembali menulis, mengerjakan tugas dosen. Bisa-bisa tugasku nggak selesai-selesia jika terus meladeni Axel. Setelah jam kuliah pertama ini habis, aku, Luna, dan Syifa berjalan menuju perpustakaan. Aku ingin meminjam buku. “Eh lihat tuh... Papah Axel selingkuh.” Syifa menatap ke arah depan. Aku dan Luna mengikuti ke arah mana tatapan Syifa bermuara. Aku sedikit kaget kala melihat Axel berjalan beriringan dengan Cherise, bergandengan tangan. Saat Axel melihatku, tiba-tiba ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Cherise. Sepertinya ia terkejut. Ada yang berbeda dari caranya menatapku, seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku memalingkan wajah. Sungguh itu sama sekali bukan urusanku. Dia mau menggandeng seribu wanita sekalipub, aku tak peduli. Saat Axel dan Cherise sudah jauh dari kami, ponselku berbunyi. Ada pesan w******p dari Axel. Aku dan Cherise tidak ada hubungan apapun. Untuk sesaat aku mengernyit. Apa maksud Axel mengirim pesan seperti ini? Dia menjalin hubungan dengan siapapun, itu bukan urusanku... ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD