Is He Attracted to Me Or Just Being Nice?

2007 Words
4.      Is He Attracted to Me Or Just Being Nice?   Aku memikirkan apa maksud Axel mengirimkan pesan w******p dan mengklarifikasi bahwa dia tak memiliki hubungan apapun dengan Cherise? Apa itu penting untukku? Cowok satu itu memang penuh kejutan. Aku terkadang tak mengerti akan sikapnya. Kadang manis, kadang nyebelin, kadang malu-maluin, dan sering pula meledek sampai aku kesal. Selain kuliah jam sepuluh, aku ada kuliah jam satu siang. Aku, Luna, dan Syifa sholat Dhuhur di Masjid kampus, setelah itu kami ke kantin. Luna dan Syifa membeli nasi rames, sedang aku memakan bekal yang disiapkan bunda untukku. Hingga sebesar ini, bunda masih sering membawakan bekal. Kadang ayah yang menyiapkan. Tak hanya untukku, Adika juga sering disiapkan bekal. Namun dia kerap menolak. Mungkin karena dia anak laki-laki jadi risih dibawakan bekal. Seusai makan siang, kami berjalan menuju kelas, mengikuti kuliah selanjutnya. Axel tidak mengikuti kuliah dan ini bukan hal aneh. Dia memang sering membolos dan titip absen. Namun dia juga melihat-lihat tipikal dosennya. Kalau dosennya saklek dan disiplin, dia nggak akan berani titip absen. Seusai kuliah, aku pergi ke lapangan basket di belakang kampus. Aku ingin memenuhi undangan dari Cherise untuk melihat tim putri bermain basket. Hari ini aku belum aktif bekerja, jadi tak ada salahnya aku melihat latihan basket. Cherise menyambut kedatanganku dengan senyum merekah. Aku amati, dia selalu ramah pada siapapun, murah senyum, dan bersikap akrab meski pada orang yang baru dikenal. Aku memaklumi kenapa banyak cowok yang menyukainya. Namun aku tak pernah mendengar bahwa dia memiliki pacar. Aku pernah mendengar para cowok berbincang, membicarakan sosok Cherise yang susah ditaklukkan. “Ikut latihan, yuk. Aku yakin kamu pasti bisa bermain basket dengan baik. Sepertinya kamu berbakat.” Cherise memberikan bola padaku. Kuberanikan diri untuk menerima bola itu. Saat itulah mata Cherise terbelalak, tertumbuk pada kedua telapak tanganku. “Kondisi tanganku tidak seperti orang normal,” ucapku segera. Berbeda dengan orang lain yang kerap refleks bertanya tentang keadaan tanganku, Cherise memilih diam. Aku tahu sebenarnya dia penasaran, hanya saja dia menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku lahir dengan sindrom meromelia. Kedua tanganku tidak memiliki jari.” Cherise mengulas senyum, “Meski kamu nggak punya jari, tapi kamu bisa bermain basket dengan baik. Bahkan mungkin lebih baik dari yang memiliki jari lengkap.” Dua orang anggota tim mendekat ke arah kami. “Dia mau ikut kita main?” tatapan gadis berambut pendek itu tertuju pada kedua telapak tanganku. “Itu tangannya kenapa? Emang kamu bisa main basket?” wajah manis itu berubah kaget dan ia tak berhenti menatapku. Aku bisa melihat ada ekspresi wajah yang cukup menyinggung perasaanku dari seorang gadis di sebelah gadis berambut pendek itu. Kamu tahu, ekspresi wajah seperti apa yang membuatku tersinggung? Ketika seseorang menaikkan sebelah sudut bibirnya, seperti jijik melihat kondisi tangan yang tak berjari. Begitu juga dengan tatapan menelisik yang mengamati kedua tanganku dengan penuh selidik. Aku tahu pemandangan seperti ini begitu asing untuk mereka, layaknya melihat sesuatu yang baru dan aneh. Dan aku akan semakin tersinggung kala orang mengasihaniku atas kondisiku. Aku merasa baik-baik saja. Jauh di lubuk hatiku, aku ingin dipandang dan diperlakukan layaknya orang normal yang memiliki jari lengkap. “Udah, lebih baik kita main, yuk.” Cherise sepertinya paham bahwa aku tak nyaman dengan cara kedua temannya menatapku. Kami bermain basket dengan dibagi menjadi dua team. Aku merasa bebas bergerak karena suasana lapangan sepi, tak ada yang menonton. Cherise mengatakan bahwa dia mengagumi kemampuanku men-dribble bola terutama teknik spin driblle. Dia juga menyukai caraku menembak bola ke arah ring. Dia bertanya dari mana aku belajar teknik bermain basket. Aku jawab bahwa aku sering bermain basket bersama ayah. Aku belajar dari ayah. Tiba-tiba Cherise melambaikan tangan pada seseorang yang berjalan di pinggir lapangan. “Om, kemana aja?” Aku menoleh pada seseorang yang dia panggil “Om”. Ternyata Axel. Di kelas dia dipanggil “papah”, oleh Cherise dipanggil “Om”. Mungkin besok-besok ada yang manggil dia kakek atau buyut. Rupanya dia masih di kampus saja, aku pikir ngelayab ke mana sampai bolos kuliah. “Habis dari kantin,” jawab Axel lantang. Dia duduk di bangku pinggir lapang yang terletak di seberang. Aku jadi hilang mood untuk melanjutkan permainan. Rasanya tak nyaman bermain, sementara ada laki-laki yang melayangkan pandangan ke arah kami. Aku menepi dan duduk. Kuambil botol air yang kumasukkan ke kantong kecil di sisi kanan tas punggungku. Kuteguk air itu. Cherise duduk di sebelahku. “Tadi si “Om” bolos kuliah, ya?” tanyanya sementara matanya menerawang ke seberang, mengamati cowok bengal yang masih duduk di bangku. “Iya, dia bolos kuliah. Lucu, ya... Kamu manggil dia “Om”,” ulasku dengan tawa kecil. “Ya, emang seharusnya aku manggil dia “Om”. Aku ini keponakannya.” Mataku terbelalak, “Om? Kalian saudara?” Cherise tersenyum, “Jadi gini, aku cerita dari awal ya biar jelas. Papanya Axel itu adalah kakekku. Aku manggil papanya Axel itu Opa Krisna. Opa Krisna menikah sama Oma Titi. Waktu menikah, usia mereka masih sangat muda. Waktu itu Oma Titi 16 tahun, sedang Opa 17 tahun. Mamaku lahir saat Opa berumur 18 tahun. Waktu mamaku berulang tahun ke-10, Oma Titi meninggal. Delapan tahun kemudian, Opa menikah dengan mamanya Axel. Waktu itu Opa umur 36 tahun, mama Axel 25 tahun. Masih di tahun yang sama, mamaku menikah sama papaku. Mama juga mengikuti jejak Oma Titi dan Opa Krisna yang menikah muda. Nah, mamanya Axel hamilnya barengan sama mamaku. Jadi aku dan “Om” Axel ini seumuran. Axel itu adik satu ayahnya mamaku dari ibu yang berbeda. Mudeng ora?” Cherise menjelaskan panjang lebar. Aku tertawa kecil saat mendengar Cherise berbicara ngapak di akhir ucapannya. “Iya aku paham. Selisih Axel dan mama kamu emang jauh ya. Ponakan sama om-nya seumuran. Lucu juga.” Cherise ikut tertawa, “Iya. Makanya kami kuliah bareng di sini. Aku disuruh Oma Lani, mamanya Axel, untuk mengawasi Axel biar dia kuliah yang bener. Axel juga nggak boleh pacaran sama mamanya. Kata Oma Lani, kalau sampai Axel pacaran, aku harus lapor ke Oma dan Opa. Sebaliknya, mama dan papaku juga pesen sama Axel buat jagain aku dan aku juga nggak dibolehin pacaran. Makanya kadang dia protektif juga. Kalau ada cowok-cowok merhatiin aku, dia suka gandeng tanganku biar aku nggak diganggu.” Aku melirik Axel yang masih duduk di seberang. Entah kenapa ada rasa lega saat mengetahui fakta hubungan Axel dan Cherise yang ternyata om dan ponakan. Ya Allah, kenapa aku harus lega? Axel mau punya hubungan khusus dengan cewek lain sekalipun, aku nggak punya hak untuk mencampuri. Laki-laki itu punya image bengal, badboy, dan rusuh. Namun nyatanya, dia juga anak mami yang nurut sama larangan mamanya untuk tidak berpacaran. Aku nggak pernah mendengar dia punya pacar. Atau mungkin dia pacaran sembunyi-sembunyi biar nggak ketahuan Cherise? Ah, apa urusannya denganku. Selesai latihan, aku berjalan menuju pintu gerbang. Aku ingin pulang cepat agar bisa membantu ayah berjualan. “Mamah....” Aku menoleh ke belakang. Axel berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. “Udah baca w******p-ku belum?” tanyanya agak menjaga jarak meski kami jalan beriringan. “WA yang mana, ya?” aku mengernyit. Aku belum memgecek ponselku lagi. Apa mungkin dia mengirim WA lagi? “WA-nya udah di-read kok sama kamu,” balasnya. Oh, maksud dia WA yang menyatakan bahwa dia tak memiliki hubungan apapun dengan Cherise. Aku tersenyum kecil. “WA yang kayak gimana, ya? Aku lupa.” Tentu aku tidak lupa, tapi tak apalah sesekali berlagak innocent di depannya. “Masa bisa lupa? Materi kuliah yang seabrek aja kamu hafal, masa WA-ku yang cuma sebaris kamu nggak hafal?” Axel memasang tampang cemberutnya. “Beneran aku lupa.” Axel menepuk keningnya, “Coba deh dibaca lagi.” “Males ambil Hape,” ujarku sekenanya. “WA yang bilang aku dan Cherise nggak ada hubungan apa-apa,” ucapnya dengan intonasi yang sedikit meninggi. “Oh, yang itu... Perasaan aku nggak nanya ada hubungan apa antara kamu dan Cherise, kok kamu kirim WA kayak gitu?” kukernyitkan alisku. Jujur, aku juga tak begitu mengerti kenapa dia mengirim WA seperti itu. “Itu hanya pemberitahuan saja,” sahutnya. “Pemberitahuan? Kenapa aku perlu tahu? Apa itu penting buat aku?” “Pen....” Axel tak melanjutkan ucapannya meski dari gerak bibirnya, seolah ia ingin melanjutkan. “Penting? Kenapa?” kupicingkan mataku. “Ehm.... Biar kamu nggak salah paham,” tukasnya. “Kenapa kamu takut aku salah paham?” tanyaku lagi. Axel tercekat. Ia melirik ke bawah. “Tali sepatumu lepas.” Axel menunduk dan berjongkok. Tanpa aku duga, dia mengikat tali sepatuku. Aku merasa nggak enak sendiri kala segerombol mahasiswi berjalan mengamati kami. “Aku bisa ngikat tali sepatu sendiri,” ujarku segera. Axel berdiri, “Udah selesai.” Aku jadi salah tingkah sendiri. “Aku duluan ya,” ucapku lalu mempercepat langkahku. “Mah, tunggu...” Dia setengah berlari menyusulku. Aku berdiri di trotoar, menunggu jemputan ayah. Tadi ayah sempat mengirim WA, menanyakan mau pulang jam berapa. Eh, ayah sekalian menawarkan untuk menjemput. Axel berdiri di sebelahku, agak jauh. “Kenapa pacaran itu nggak boleh dalam Islam?” Aku meliriknya sepintas. “Agama melarang untuk mendekati zina. Pacaran bisa saja menjadi jembatan untuk ke arah sana. Mungkin awalnya hanya saling menatap, lalu berani saling menggenggam. Karena tergoda rayuan setan, bisa aja mereka melakukan sesuatu yang lebih. Kamu pasti pernah mendengar banyaknya kasus aborsi karena hubungan di luar nikah? Itu kan berawal dari pacaran, akhirnya sampai kebablasan. Agama memiliki aturan itu sebenarnya untuk kebaikan manusia.” “Kalau pacarannya nggak ngapa-ngapain?” dia kembali bertanya. “Yakin nggak ngapa-ngapain? Minimal saling menatap... Itu bisa jadi zina mata. Aku sering dicurhati teman-teman. Rata-rata mereka udah pernah ciuman sama pacarnya.” Aku menjawab sambil menoleh kanan kiri jalan, siapa tahu ayah sudah datang. “Berarti Mamah belum pernah pacaran, ya?” Axel melirikku dan tersenyum. Aku tak merespons. Rasanya tanpa aku jawab sekalipun, dia pasti tahu jawabannya. “Oya, sebaiknya kamu jangan deket-deket aku...” Aku menolehnya yang masih berdiri di sebelahku dengan jarak yang agak jauh. “Ini kan nggak begitu dekat? Lagian banyak orang juga di sini.” Axel melirik dua mahasiswi yang juga tengah berdiri di trotoar. “Maksud aku... Sebentar lagi ayahku datang. Aku nggak mau ayah salah paham.” Axel mengangguk. “Okay, aku balik ke kampus. Mamah hati-hati, ya.” Axel menaikkan kedua alisnya dan yang membuatku enek, dia mengedipkan matanya dan lagi-lagi memberikan kiss lewat udara. Aku hanya menggeleng. Meski terkadang dia menyebalkan, tapi dia memiliki sisi humor yang kerap membuatku tertawa dan senyum-senyum gaje. Tak lama kemudian ayah datang dengan motornya yang setia.  Ayah memberikan helm padaku. “Gimana kuliahnya?” “Alhamdulillah lancar, Yah.” Motor kami melaju. Saat aku melirik ke arah pintu gerbang, Axel masih berdiri di dalam pintu dan memandang lepas ke arahku. Dia mengulas senyum. Rupanya dia belum masuk ke dalam dan memastikanku benar-benar pulang dijemput ayah. Kenapa dia begitu care? Padahal awal masuk kuliah, dia begitu frontal menghadapiku. ****** Sore ini adalah hari pertama aku bekerja setelah sebelumnya diberhentikan. Aku menghadap Mas Revan yang masih berada di kota ini. Katanya dia akan berkeliling ke cabang distronya yang lain. “Maaf, Mas, saya mau mengembalikan pesangon yang diberikan Mas Deni kemarin. Saya lupa mau mengembalikan kemarin.” Aku letakkan amplop itu di meja. “Tidak usah dikembalikan,” ujarnya dengan senyum khasnya. “Tapi saya kembali kerja di sini. Uang pesangon ini bukan hak saya.” Mas Revan kembali mengulas senyum, “Anggap saja ini uang bonus atas kinerja kamu yang sangat baik di sini. Saya juga memberikan bonus untuk Vida yang juga memiliki kinerja baik, sama sepertimu.” Aku tergugu dan ragu untuk mengambil amplop itu kembali. “Ambillah amplop itu. Saya mohon jangan ditolak, ya.” Aku mengangguk pelan, “Terima kasih, Mas.” Aku keluar ruangan dengan perasaan lega. Tak salah rasanya jika Vida mengatakan bahwa Mas Revan ini sangat baik, ramah, dan calon suami idaman. Astaghfirullah, jangan sampai niatku bekerja di sini disisipi niat lain karena ingin melihat Mas Revan. Wanita yang cocok mendampingi Mas Revan adalah yang shalihah, dewasa, dan cantik, bukan orang yang memiliki kekurangan sepertiku. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD