BAB 2: Julian

2633 Words
Tidak berapa lama setelah kepergian Yura. Dua buah mobil datang bersamaan dengan sebuah limusin yang menyusul datang. Seorang pria ber jass hitam keluar tergesa-gesa memasuki klinik.  "Tuan, Anda baik-baik saja?" Julian mendelikan matanya dengan kesal, di raihnya bantal kecil di atas sofa dan di lemparkannya pada Logan dengan kesal. "Kau lihat sendiri, apa aku baik-baik saja atau tidak!" bentaknya dengan keras. "Maaf Tuan" Logan tertunduk takut, Logan cukup kaget saat mendapatkan sinyal kecelakaan darurat dari handpone Julian yang di kirimkan ke kantor pusat. Ketika dia menemukan mobil Julian tenggelam di laut Logan semakin panik dan kacau karena media masa mengejarnya, sementara Julian tidak di temukan di tempat kecelakaan. Beruntungnya di tengah malam Julian menelponnya. Julian mengambil lembaran uang dua ratus dollar yang tergeletak di atas meja, lalu pergi memasuki mobilnya. Ketika Julian sudah berada di dalam mobil, sudah ada Stela dokter pribadinya tengah menarik kursi dan menjadikannya ranjang untuk Julian. Julian langsung membatingkan tubuhnya yang masih terasa sakit dengan tangan yang masih menggenggam uang. Stela segera mengambil peralatan medisnya dan memeriksa Julian, "Kau membuat satu negara kacau karenamu." Julian menaikan satu alisnya lebih tinggi, "Lakukan saja pekerjaanmu dengan benar." Umpatnya setengah kesal, Stela membalas dengan senyum masam karena sudah terbiasa mendengarkan omelan Julian. "Luka-luka di tubuhmu sudah di obati rupanya." "Ya, seseorang menolongku, dia menyelamatkan nyawaku dengan tulus" jawabnya terdengar sinis. Logan berdeham tidak nyaman, dia tahu jika Julian masih dalam kadar kemarahannya sekarang. "Tujuh belas menit lagi Anda menghadiri konferensi pers. Semua media menunggu kabar terbaru Anda." Julian langsung duduk dari tidurnya, dia mengambil satu set pakaian yang tersedia di balik tirai, Stela langsung berbalik dan terlihat malu melihat Julian yang menjatuhkan selimut di pinggangnya dan telanjang seutuhnya. "Cari pemilik mobil plat nomer N9N71, aku ingin datanya sekarang." Perintah Julian di sela kesibukannya mengancingkan kemejanya. "Bagaimana dengan misil?." Logan menghentikan gerakan tangannya yang tengah mencari informasi plat nomer yang di sebutkan tuannya, "Semuanya baik-baik saja. CIA sudah menyelasaikannya." "Beritahu Robin. Tuntut mereka secepatnya." "Baik Tuan." Julian menyibak gordeng yang menutupi jendela limusin, dia duduk dengan anggun melihat keadaan kota. Julian melihat wajahnya memenuhi layar televisi besar yang sedang menayangkan dirinya di titik-titik terpenting kota, mobil yang Julian pakai semalam terlihat rusak parah di kelilingi garis kuning polisi. Para pejalan kaki menyempatkan diri berkumpul dan melihat seakan dia manusia yang sangat penting untuk di ketahui. Ingatan Julian kembali berputar kedalam kejadian semalam, dia masih bingung dan bertanya-tanya apakah gadis yang menolongnya itu manusia atau bukan. Julian ragu, dia ingat betul jika gadis itu bicara pada ikan. Apakah dia seorang mermaid? Itulah pertanyaan Julian sekarang. *** Seperti apa yang di katakan Logan sebelumnya, semua media sudah berbondong-bondong mengambil gambar sejak Julian keluar dari mobil. Pria itu benar-benar sudah seperti seorang selebriti yang sangat terkenal. Julian melangkah tegap dan berwibawa melewati karpet merah menuju podium, para awak media berebut melemparkan pertanyaan mengenai keadaanya. Julian berdiri di depan mimbar, dia berdeham cukup keras hingga semua orang terdiam dan mengerti apa yang dia inginkan. Ketenangan. "Aku berterima kasih atas perhatian semua orang mengenai keadaanku. Seperti yang kalian tahu, aku memang mengalami kecelakaan." Julian terdiam, dia memejamkan matanya menahan silauan cahaya kamera yang tidak berhenti memotretnya. "Tapi semuanya baik-baik saja, aku berdiri di sini dalam keadaan cukup baik. Terima kasih." Julian langsung menutup pembicaraannya tidak lebih dari dua menit.   "Tuan bagaimana cara Anda bisa meyelamatkan diri?." "Bagaimana dengan kebenaran misil dan penyeludupan?" "Bagaiamana dengan proyek pabrik omega?, apakah akan di tunda karena kondisi Anda sekarang?"   Ratusan pertanyaan berbondong-bondong mengganggu telinga Julian, semua orang berlari berkerumun mengejar langkahnya, para pengawal dengan sigap menahan mereka. Julian memasuki mobilnya lagi dengan tenang, dia sudah terbiasa mengacuhkan media. "Tuan Thomas menunggu kedatangan Anda" ucap Logan sebelum Julian menutup pintu limusin dengan kesal.   *** "Apakah Anda baik-baik saja?" Samuel membukakan jass yang di kenakan Julian, pria itu terlihat masih khawatir meski tuan mudanya ada di depannya dalam keadaan utuh. "Baik Sam, terima kasih." Julian tersenyum lebar menampakkan senyuman indahnya. "Di mana dia?." "Tuan Thomas bersama Nyonya Rebeca di kamar." Julian berdecih sebal ketika mendengar calon ibu tirinya itu. "Bagus-bagus, anaknya kecelakaan, satu negara di buat heboh. Sementara dia asik-asikan meggenjot kewanitaan nenek sihir itu di ranjang" umpatnya Julian dengan keras. Samuel memalingkan wajahnya terlihat malu, dia tahu jika Julian masih tidak mau menerima siapapun untuk menggantikan tahta ibunya. Apalagi sosok Rebeca yang notabenya w************n terlahir di kalangan rendahan di mata Julian. Sampai kapan pun Julian tidak akan menerimanya. Julian melangkah lebar melewati tangga melingkar menuju kamar Thomas. "Juls.., ya ampun kau selamat." Seru Jeslyn calon adik tirinya yang langsung  berlari dan menghambur kedalam pelukannya. Dengan jengkel Julian melepas pelukan eratnya, "Menjauhlah, aku alergi orang miskin." Jeslyn mundur dengan kesal, "Jaga ucapanmu Juls." "Dan kau jaga sikapmu, kau masih belum menjadi Nona muda di sini." "Mengapa kau menjadi sekasar ini Juls, kau berbeda dengan malam itu" rintih Jeslyn terdengar menyakitkan. "Kenang saja semaumu Jeslyn, aku bercinta denganmu bukan berarti aku tertarik padamu." Jawab Julian dengan angkuh, dia tidak menampik jika dia pernah bercinta dengan Jeslyn karena saat itu dia terlalu mabuk, dan wanita itu terus menggodanya. Kejadian malam itu juga menimpa Zicola kakaknya, Zicola bercinta dengan Rebeca calon ibu tirinya. Jeslyn mengepalkan tangannya dengan erat, dia sangat benci di tolak oleh julian. Ketika sudah berada di depan kamar Thomas, tanpa basa-basi Julian langsung membuka pintu kamar lebar-lebar. Di lihatnya Thomas tengah duduk di atas ranjang dan Rebeca di sampingnya membaca majalah. Julian bersandar pada daun pintu dan bersedekap, "Oh, aku pikir kalian sedang bercinta. Lumayan aku bisa melihat adegan porno." "Anak kurang ajar!" maki Thomas menggema. Julian mengedikan bahunya dengan acuh. "Mau apa memanggilku?." "Kemarilah Juls, dan bicara lebih dekat dengan ayahmu" ucap Rebeca terdengar lembut dan menggoda. "Tidak. Aku harus menjaga jarak sekitar radius empat meter dari orang miskin, jika terlalu dekat kita akan menghirup oksigen yang sama. Aku akan alergi." Jawab Julian dengan sarkas dan mencela Rebeca terang-terangan. Thomas memijat batang hidungnya nampak frustrasi. "Pergilah keluar sebentar" pintanya pada Rebeca. Rebeca tersenyum memaksakan, meski dalam hatinya dia sangat kesal, tidak mudah baginya menyingkirkan posisi Julian, apalagi Julian seratus kali lebih kaya dari Thomas. Julian benar-benar membencinya dari segi apapun, selain itu Julian menjalankan hidupnya sesuai nuraninya sendiri.  Tidak mudah bagi siapapun untuk masuk dalam kegilaannya.   *** Yura berlari keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, Zicola sudah berdiri di depan rumah dan menatap waspada sekaligus lega. "Kau ke mana saja Yu? Kau membuatku khawatir!, kenapa teleponmu tidak aktif?, hampir saja aku menelpon polisi karenamu. Mobil siapa itu?" Cecarnya dengan semua pertanyaan-pernyataan yang membuat Yura harus memutar bola matanya. "Aku tidak apa-apa kakak. Itu mobil Hunter" jawab Yura dengan tenang. Zicola meraih tubuh kecilnya "Bajumu kenapa basah?, apakah ada yang menyakitimu?, katakan siapa orangnya!." Tatapan Zicola semakin tajam, melihat lengan kecil gadis itu terluka, ternodai darah di antara robekan bajunya. "Astaga Yu!, masuk dan ganti bapakaianmu, aku akan menelpon Dokter" teriaknya kepanikan. Yura tersenyum geli melihat Zicola yang selalu bersikap berlebihan terhadap dirinya. “Berhenti tertawa Yu!" teriak Zicola jengkel. Yura terdiam seketika, dia mendekati pria itu dan berjinjit. "Cup" sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Zicola, "Berhenti memarahiku" ucapnya singkat, lalu berlari terbirit-b***t menuju kamarnya. Zicola terkekeh geli seraya mengusap pipinya, pandangannya terkunci seketika ketika melihat sosok wanita cantik yang menatapnya sendu penuh Luka. Siapa lagi jika bukan tetangganya. Jane Austin.   *** Semenjak kedatangan Yura ke rumah itu satu minggu yang lalu, Zicola langsung berubah. Sikap murung, pendiam, dan penyendirinya jungkir balik menjadi pria hangat, cerewet dan posisif. Ya, Zicola posesif terhadap Yura, pria itu menjaga dan memperlakukan adiknya sudah seperti ratu kecil. Setelah selesai mandi dan di obati dokter Yura pergi ke dapur, di lihatnya Zicola tengah memunggunginya. Pria itu tengah memasak dan bahagia, meski banyak pelayanan di rumah itu, Zicola tetap melakukannya dengan suka hati. Para pelayan sering menangis dan bersyukur, mereka tidak pernah melihat tuannya sebahagia itu. Dulu, sebelum Yura kembali, hidupnya Zicola di penuhi rasa sakit dan ketakutan yang berkubang dalam kegelapan, dan kini Yura berhasil menariknya dan membawa Zicola menuju cahaya. Yura mendekat dan berdiri di sampingnya, dia mengambil sepotong wortel mentah dan memakannya. "Jadi, siapa yang telah menyakitimu?" tanya Zicola, pertanyaan itu terus menerus di ucapkan semenjak satu jam yang lalu. "Kenapa kau terus menanyakannya?" "Karena kau belum memberikan jawabannya, Yu" Zicola berdecak pinggang, wajah tampannya menyiratkan kekesalan sekaligus khawatir. "Aku harus melindungimu, aku adalah ayah, ibu, kakak dan sahabatmu." Yura tidak dapat menahan senyumannya, sikap rewel Zicola semakin mencerminkan seberapa pedulinya pria itu padanya. "Aku telah menolong  seseorang. Kau puas?" Zicola menarik napasnya lega, dia mendekati Yura dan memeluknya erat penuh kerinduan, "Lain kali hati-hati." Yura mengangguk dalam dekapannya. "Aku merusak kaca sebuah klinik, apakah kau bisa memperbaikinya?." "Apapun untukmu." Zicola tersenyum kecil sambil mengusap rambut Yura. "Ikutlah ke kantor pusat denganku." "Tidak" Yura langsung melepaskan pelukannya, gadis itu tertunduk sedih "Itu perusahaanmu. Aku akan mencari pekerjaanku sendiri." "Yu, aku mohon. Lakukanlah demi ayah. Tetaplah di sampingku, dan masuk kampus manapun yang kau mau, asal jangan ke luar negeri. Aku tidak mau kita terpisah lagi" Yura kembali menggelengkan kepalanya. Pertanda penolakannya tidak akan berubah, meski Zicola terus memohon, memintanya ikut meminpin perusahaan ataupun meneruskan jenjang pendidikannya. Yura mundur perlahan dan pergi untuk menghindari percakapan yang cukup berat bagi dirinya. "Aku ingin menemui Thomas" Zicola berlari mengejar langkah Yura yang sudah ke luar rumah sambil membawa sepiring sarapan yang baru di buatnya. "Makanlah dulu Yu" Yura menghentikan langkahnya, melihat sebuah ferrari 458 di hiasi pita merah. Berada tepat di depan rumah. "Mobilnya sudah datang. Cobalah, itu untukmu" ucap Zicola terdengar senang, dia melihat setiap gerak tubuh Yura yang mematung dan bibir menganga kaget. "Itu untukku?" tanya Yura kegirangan. Zicola mengangguk dan tersenyum lebar. Yura berlari dan langsung melompat memeluknya dengan erat sampai-sampai Zicola hampir menjatuhkan piring di tangannya. "Makan sarapanmu dulu, baru kau pergi" bisik Zicola penuh perhatian. "Aku tidak lapar" "Kau harus makan Yu" Yura melepaskan pelukannya dan memasuki mobil barunya dan menyalalakan mesin. Zicola mengambil sepotong omelet dan menyuapi gadis itu selagi dia masih bertanya melihat-lihat mobil barunya. "Apa aku boleh pergi sekarang?" tanya Yura setelah menerima suapan terakhirnya. Zicola mengangguk kecil dan menatap puas. Tangan Yura terulur melewati jendela mobil. "Beri aku dua ratus dollar." Zicola terkekeh geli mendengar permintaan adik kecilnya itu, dia mengeluarkan dompetnya dan memberikan salah satu black cardnya. "Aku akan membeli alat-alat lukis dengan ini" Yura melompat kegirangan, gadis itu segera memasuki mobilnya dengan riang. Zicola masih berdiri dengan senyuman lebarnya menatap kepergian Yura. Sudah lama dia ingin melakukannya, dan rasanya seperti berada di surga yang selalu di impikannya. Sudah hampir enam belas tahun Zicola kehilangan Yura, dan ketika gadis itu kembali. Zicola bertekad akan selalu menjaga dan membahagiakannya.   *** Julian Pov   Logan mengatakan jika mobil yang di gunakan gadis itu adalah milik restaurant kecil yang di pakai untuk mengantar pesanan. Sekarang aku mengerti, dia bekerja di restaurant. Yang tidak aku mengerti sekarang adalah, aku berada di sini. Di depan reataurant itu.   Sial ini bukan aku!   Meski dia menyelamatkan hidupku, rasanya aneh jika harus menemuinya. Akan lebih bagus jika aku mengundangnya dan berbicara di tempat tenang. Terlanjur sudah aku di sini, rasanya semakin memalukan bila aku harus pulang lagi. Aku bukan pecundang yang harus malu bertemu seorang gadis. Ketika aku keluar dan melangkah beberapa meter memasuki restaurant semua orang menatapku. Yeah.. aku tidak peduli.   Yang aku pedulikan sekarang adalah dia..   Gadis yang duduk di meja kasir, memangku dagunya dengan bosan. Ketika aku mendekat dan berdiri di hadapannya dia tetap tidak melihat ke arahku, mata indahnya sibuk menatap keluar jendela. "Ehem!" aku berdeham cukup keras. Dia memalingkan wajahnya.  Ya, lihat aku sayang, jangan mengacuhkan aku, itu sangat menyebalkan. "Oh, paman." Ucapnya setengah terkejut. "Julian.  Julian Giedon." Dia perlu tahu margaku, setelah dia tahu aku harap dia menyesal. "Siapa namamu?, aku ingin mengucapkan terima kasih." "Yura." Bagus, sekarang aku tahu namanya. Tapi aku bingung harus berbicara apa padanya.   *** Author Pov   Julian merapikan jassnya sebentar, "Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kau lakukan. Aku harap aku bisa membalas jasamu suatu saat nanti." "Tidak perlu" jawab Yura kelewatan dingin. Julian melongo, dia tidak habis pikir dengan jawaban gadis di depannya itu. Apa yang di dengarnya seperti sebuah penghinaan dan penolakan Yura terhadap ketampanan dan kekayaannya. Ada banyak kejengkelan dan merasa terhina di dalam dirinya, namun dia juga penasaran seberapa jauh gadis itu bertahan menolak pesonanya. "Siapa pemilik restaurantnya?" tanya Julian. "Sa.. saya Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ana dengan gugup, dia terlalu terkejut dengan kedatangan seorang Julian Giedon ke dalam restaurantnya. "Aku pesan enam ratus porsi makanan terbaik di sini untuk makan malam karyawanku" ucap Julian dengan angkuh. Mulut Ana menganga, "Enam, enam ratus?." "Ya, aku akan menunggunya di sini. Selama aku duduk, gadis ini harus menemaniku ngobrol." Tatapan Julian langsung tertuju pada Yura. "Ini pasti sangat lama Tuan." "Apa kau tidak sanggup?" tanya Julian terdengar sedikit mencela, ana menggelengkan kepalanya. "Tentu bisa." Jawab Ana ragu, dia ragu jika Yura mau menemani Julian untuk duduk dan berbincang, sementara Ana tidak berani memerintah Yura. Melihat kegelisahan Ana, Yura langsung berdiri dan tersenyum "Baiklah ayo."   *** Julian Pov   Entah apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Duduk dan hanya menatap wajah Yura lebih dari setengah jam tanpa bosan, bahkan segelas anggur pun tidak aku sentuh sejak tadi. "Mengapa kau irit bicara sekali?" Aku terlalu gatal ingin melihat bibir mungilnya bergerak. Jika perlu aku mencicipinya dan merasakan gerakannya di dalam mulutku.   Sial, laknat sudah pikiran kotorku   "Kau hanya memintaku untuk menemanimu" dia menjawab dengan cerdas pertanyaanku. Menarik. "Bagaimana keadaan lenganmu?" "Baik." Aku benar-benar tidak sabar untuk berada lebih dekat dengan gadis dingin ini. Sikapnya mengingatkan aku pada seseorang, kakakku. Aku menggeser kursi yang ku duduki, ku raih lengan kecilnya yang tertutup baju berlengan panjang. Mungkin sebaiknya aku tidak memeriksanya di sini, kami perlu tempat yang lebih nyaman. "Apa yang kau lakukan?, lepaskan aku!."  Perintah Yu setengah berteriak. Aku tetap menyeretnya pergi ke melewati lorong kecil menuju tangga yang mengarah ke atap restaurant. Tubuh Yu membenturku ketika aku menariknya, aku bisa merasakan aroma rambutnya, mata bulatnya lebih dekat dan alisnya yang mengerut menampakan kekesalannya padaku. "Aku ingin melihat lukamu." Aku duduk di kursi bundar di bawah pohon, ku tarik tubunya hingga dia duduk di pangkuanku. "Lepaskan aku!" Yu membentak di depanku. Aku tidak peduli. Aku memenjarakan kedua tangan kecilnya dalam genggamanku, tanganku yang lain membuka kancing kemejanya. Kesan pertama yang aku rasakan adalah. Aku b*******h. Lehernya yang jenjang terlihat bercahaya di bawah sinar matahari sore, bahunya kecil ketika kemejanya aku turunkan. Dan sepasang d**a yang bagus di bawah sana, akan lebih bagus jika di rasakan oleh tanganku.   Tapi, itu bukan tujuanku.   Ku lihat lengannya yang terluka semalam, kini di balut perban dengan rapi. "Apakah akan meninggalkan bekas luka?" Dia terlalu cantik, sangat tidak adil jika tubuhnya di goresi luka. "Tidak akan. Kau puas?!"   Wow, berhentilah memarahiku. Itu sangat keterlaluan.   Aku kembali mengancingkan pakaiannya dengan benar. "Berhentilah memarahiku, semalam kau baik padaku." "Karena semalam aku tidak mengetahui sifat aslimu." "Kau benar-benar tidak mengenaliku?" Kepala cantik Yu bergerak ke satu sisi, dia menatapku seakan sedang melucuti semua yang ada pada diriku. Aku merasa gugup tanpa alasan di bawah tatapannya. Dia mengingatkan aku pada ibu ketika dia tengah marah padaku. Kemarahan yang mencerminkan aura yang lebih menarik, kecantikan dan keberanian. "Memangnya kau siapa?."   Apa maksudnya?, dia benar-benar tidak mengenaliku!   *** Author Pov Julian menggerakan kakinya dan menegakan tubuhnya lagi, dia mencebikan bibirnya dan terlihat sedikit kesal mendengar jawaban Yura. Merasa mulai bosan dan tidak nyaman dengan keadaannya, Yura beranjak dari duduknya, namun dengan cepat tangan Julian menahannya. "Kau mau ke mana?" tanya Julian semakin di buat kesal, dia tidak suka di acuhkan. "Lepaskan aku brings*k. Dasar tidak sopan" Yura menghempaskan genggaman tangan Julian dengan kasar, lalu pergi dengan cepat. "Brengs*k katanya?" tanya Julian pada dirinya sendiri, "Mulutnya pedas sekali." Julian melangkah lebih cepat menyusul Yura, dengan cepat meraih tangan gadis itu dan menariknya dengan keras. Tubuh Yura terbentur ke tembok, dengan cepat Julian menghimpit semua pergergerakannya. "Kau seorang mermaid?" tanya Julian dengan serius. To be continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD