Tiba-tiba saja Sean menghentikan laju mobilnya. Beruntung kondisi jalanan sedang lenggang sehingga tidak terjadi hal yang sejujurnya Lea inginkan.
"Mendingan lo ngomong deh, sekarang sama gue! Lo dendam sama gue sampe nuduh gue yang hamilin lo, kan?!" Sean langsung membentak Lea.
Lea yang sedari tadi sedang menahan tangisnya karena perlakuan Miranda itu akhirnya mengeluarkan air matanya.
"Jangan nangis! Gue enggak butuh air mata lo! Gue butuh jawaban!" bentak Sean lagi.
Lea tidak berniat untuk menjawab Sean sama sekali. Wanita muda itu sungguh tahu jika apa pun yang keluar dari mulutnya takkan pernah dianggap benar oleh Sean.
"Seandainya lo cowok, mungkin gue udah matiin lo sekarang!" ujar Sean kesal sebelum kembali menginjak dalam pedal gas mobilnya.
*****
Sean dan Lea telah sampai di apartmen yang disediakan oleh orang tua mereka. Lea sedikit tercengang saat memasuki unit apartmennya karena terlihat jelas jika hanya tersedia satu kamar tidur di sana.
"Gue enggak bakal tanya siapa yang bakal milih tidur di sana. Jadi, jangan pernah masuk ke sana kalo gue lagi di dalem. Ngerti?!" seru Sean sambil menunjuk ke arah kamar tidur.
"Ta-tapi ... Gue kan lagi ...." lirih Lea yang tak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Gue enggak peduli! Lo pikir aja! Masa iya gue mau tidur seranjang sama bekas orang?! Geli kali!" sindir Sean pada Lea. Wanita muda itu hanya menundukan kepalanya, lebih memilih diam dari pada harus menjawab Sean dan berakhir dengan dirinya yang sakit hati akan ucapan Sean.
Sean pun berlalu masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Lea hanya terduduk lesu di sofa yang berada di ruang televisi. Lea hendak menangis, namun gadis itu kembali sadar jika Sean pasti akan terganggu dengan tangisannya.
"Seenggaknya gue harus bertahan sampe anak ini lahir." Lea menepuk-nepuk pelan pipinya.
Lea mengedarkan pandangannya, mulai meneliti isi apartmennya yang sudah lengkap itu. Mulai dari televisi, kulkas, mesin cuci yang ada di dekat sebuah ruangan yang Lea yakini isinya adalah kamar mandi, hingga sepertinya bahan-bahan makanan mungkin sudah tersedia di dalam kulkasnya.
Kini pandangan mata Lea terjatuh pada koper kecil miliknya yang berada di dekat kakinya.
"Mandi dulu deh," putus Lea pada akhirnya setelah mengambil beberapa potong pakaiannya dan juga peralatan mandinya.
Tak berselang lama, Lea akhirnya keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa lebih segar dari pada sebelumnya.
Setelah tak sengaja menolehkan kepalanya ke arah balkon apartmen, Lea yang sudah mengenakan celana pendek di atas lutut dan sebuah kaus kebesaran yang menutupi celananya itu berjalan ke arah balkon. Lea menggeser pintu kaca yang menjadi akses menuju ke balkon. Angin kencang membelai wajah Lea ketika wanita muda itu menggeser pintu kaca.
Lea akhirnya bisa bernapas sedikit lega setelah satu bulan ini hidupnya cukup tertekan, setelah ia melewati pintu kaca itu. Nyatanya, angin yang menyapa Lea seakan meringankan sedikit beban wanita muda itu. Lea pun terus melangkahkan kakinya, berniat untuk menjemur haduknya yang basah di pagar balkon.
Seolah meledek ketenangan Lea, angin yang bertiup kencang itu menerbangkan handuk yang baru saja Lea tenggerkan di pagar balkon. Lea yang refleks itu pun bergerak maju berusaha meraih handuknya yang mungkin saja bisa ia raih jika sebuah tangan tidak menarik tubuhnya.
"Kalo lo mau mati, jangan di sini! Bikin orang susah tau, enggak?!" bentak Sean setelah membenarkan posisi berdiri Lea yang tadi terlihat seperti orang yang ingin melompat dari balkon.
Lea hanya diam, bosan mendengar Sean yang selalu membentaknya tiap kali mengajak berbicara. Sepertinya kini Lea akan mulai terbiasa dengan perilaku Sean kepadanya.
"Kalo orang ngomong tuh jawab! Lo gagu apa bisu, hah?!" bentak Sean lagi sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Lea yang tetap saja tak menjawabnya.
Lea menghembuskan napas kasarnya berkali-kali, berusaha mencari ketenangannya yang sudah lenyap sejak mendengar Sean berbicara kepadanya.
Lea akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam apartment. Perut wanita muda itu sudah keroncongan karena sejak pagi belum diisi oleh apa pun. Lea akhirnya berjalan menghampiri kulkas dan membukanya. Lagi-lagi wanita muda itu menghela napas kasar setelah menemukan kulkasnya tak terisi apa pun.
Lea menepuk keningnya. Ia tak sengaja meninggalkan s**u hamilnya di kamar rumahnya yang dulu.
Tiba-tiba saja Lea tersenyum sinis, menertawai dirinya sendiri lalu bergumam lirih, "Harusnya gue masih di rumah, lagi sibuk mikirin nanti ospek bakalan kayak gimana."
Lea segera meninggalkan kulkas dan kembali menyambar kopernya untuk mencari hoodie dan celana panjangnya. Lea ingin pergi ke toko swalayan yang ada di seberang gedung apartmentnya untuk membeli beberapa bahan makanan, s**u hamil, dan handuk baru untuknya.
Setelah mengganti pakaiannya di kamar mandi, Lea pun mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompetnya lalu memasukannya ke saku celananya. Tanpa pamit, Lea pun segera pergi ke tempat tujuannya.
*****
Jantung Sean hampir saja terlepas ketika melihat wanita yang ia benci itu berusaha meraih handuk yang terbang. Dengan sigap, Sean langsung menarik wanita itu dan membentaknya.
Sean tahu jika dirinya mungkin sudah keterlaluan karena terus-terusan membentak Lea. Namun pemuda itu tetap saja melakukannya karena dipikirannya masih sama, wanita di hadapannya itu adalah sumber masalah untuknya.
Karena tak mendapatkan respons apa-apa selain diam, Sean pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
"Lea, ya? Lo udah ancurin masa depan gue dua kali. Itu artinya, lo juga harus ngerasain hidup lo ancur dua kali," gumam Sean pelan setelah menutup pintu kamarnya.
Sean mulai memikirkan hal-hal buruk apa yang harus ia lakukan pada Lea nanti, hingga suara pintu terbuka dan tertutup itu terdengar lalu menghancurkan rencana balas dendam yang sudah sempat ia pikirkan tadi.
"Ck. Ganggu aja!" ujar Sean kesal lalu membuka pintu kamarnya hendak menegur Lea yang berisik.
Sean pun akhirnya keluar dari kamarnya, namun pemuda itu tak menemukan Lea di sana, di sofa yang akan menjadi ranjang untuk isrti yang dibencinya setengah mati itu tidur nanti malam.
"Pergi aja sana! Enggak usah balik lagi!" teriak Sean yang entah mengapa merasa kesal karena Lea tidak mengatakan apapun padanya.
*****