Dokter Rita pun mulai menjelaskan kondisi yang kini tengah di alami oleh Leandra, tak menyadari jika seseorang membuka pintu hendak masuk ke dalam ruangan itu.
"Jadi, Mbak ... Leandra, pertama saya mau ucapin selamat ya, atas kehamilannya. Kehamilan Mbak sudah memasuki usia kandungan empat minggu. Tolong jaga kesehatan anda, perbanyak makan sayur dan buah, juga minum vitamin yang nanti akan saya resepkan. Tekanan darah Mbak Lea juga sedikit rendah. Tolong di perhatikan lagi pola makannya," ujar dokter Rita lembut sementara Lea duduk menegang di atas kursinya.
Kini wajah Lea benar-benar memucat. Rasanya gadis itu ingin menghilang saja dari muka bumi ini.
Brakk.
Bunyi sebuah benda jatuh membuat Lea dan dokter Rita yang berada di ruangan itu tersentak. Lantas Lea menolehkan kepalanya dan kembali tersentak melihat Alex yang tengah berdiri dengan wajah yang tak kalah pucat dengannya.
"Mas siapa, ya? Suaminya Mbak ini?" tanya Dokter Rita.
"I ... iya, saya suaminya, Dok. Jadi ... gimana keadaan istri saya?" tanya Alex tergagap sementara Lea hanya menundukan wajahnya yang lebih pucat dari saat dia mendengar berita kehamilannya.
"Janin Mas dan Mbak Leandra cukup sehat. Namun kondisi Mbak Leandra lah yang justru bisa membahayakan janin. Masnya tolong, ya, bilangin istrinya supaya makan yang teratur, jangan ditunda-tunda," jelas dokter Rita setelah Alex duduk dihadapannya.
"Jadi, istri saya ini beneran hamil, Dok?" tanya Alex memastikan. Jantung pemuda itu benar-benar sudah ingin terlepas dari tubuhnya.
"Benar, Mas ...." Dokter Rita menggantung kalimatnya karena dia tak tahu siapa nama pemuda yang kini duduk dihadapannya.
"Alex. Nama saya Alex." Seakan mengerti, Alex pun menyebutkan namanya.
"Tolong ya, Mas Alex, Mbak Leandranya lebih di perhatikan lagi," ujar dokter Rita menasihati.
"Baik, Dok. Kalau gitu, kami permisi," pamit Alex sambil memboyong tubuh Lea yang sudah bergetar hebat.
"Jangan lupa untuk datang lagi, ya. Mbak Leandra harus sering-sering kontrol." Dokter Rita mengingatkan sebelum Alex dan Lea benar-benar meninggalkan ruangan itu.
*****
Setelah kabar yang cukup untuk membuat jantung mereka berdua mencelos, Alex dan Lea hanya diam sepanjang perjalanan pulang.
Namun, karena frustrasi memikirkan tentang adiknya, Alex tiba-tiba saja menepikan mobilnya mendadak. Jika tidak memasang seatbelt, tubuh mereka pasti sudah terpelanting ke depan.
"Bisa kamu jelasin ini semua, Leandra?" Terselip nada khawatir di tengah suara Alex yang berteriak itu.
Lea hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Jawab, Lea! Jawab!" bentak Alex yang semakin frustrasi karena adiknya itu tak menjawab.
Tiba-tiba saja suara isak tangis terdengar di dalam mobil yang dipenuhi suasana tegang itu.
"Maaf, Bang. Maafin, Lea." Hanya kalimat itu yang bisa Lea katakan.
"Siapa pun ayahnya, dia harus tanggung jawab!" seru Alex sambil memukul kemudinya.
"Jangan, Bang. Lea enggak mau. Kita gugurin aja, ya, Bang? Lea belum siap." Lea yang tengah kalut itu akhirnya berpikir seperti itu.
"Kamu gila, ya? Bayi kamu itu enggak salah apa-apa!" Alex menarik kedua bahu Lea lalu mengguncangnya.
"Lea harus apa, Bang?" tanya Lea putus asa.
"Tanggung jawab. Abang mau kamu dan cowok kamu tanggung jawab! Biar Abang yang ngomong ke Mami!" putus Alex pada akhirnya.
"Jangan, Bang. Jangan bilang ke Mami! Lea enggak sanggup liat Mami nangis." Lea menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Mami justru bakalan nangis kalo kamu gugurin kandungan kamu!" bentak Alex, berusaha menyadarkan adiknya itu.
Lea lagi-lagi hanya bisa menangis. dia bahkan tidak mengingat kejadian malam itu. dia hanya menemukan Sean di kasur yang sama dengannya. Bisa saja bukan Sean pelakunya. tapi saat Lea terbangun, lengan Sean lah yang melingkar di perutnya, membuat Lea kini berpikir jika Sean yang sudah melakukan itu padanya.
*****
Mobil Alex berhenti di pekarangan rumahnya. Tubuh Lea malah semakin menegang saat melihat sebuah mobil yang familier untuknya terparkir rapi di pekarangan rumahnya.
"Ayo, turun!" ajak Alex. Sejujurnya pemuda itu tidak ingin berbuat kasar pada Lea. Namun, Alex tahu jika dirinya tak melakukan ini, adik tercintanya pasti berbuat nekat nanti.
"Lea enggak mau, Bang!" Lea menjauhkan tubuhnya dari Alex.
"Kamu mau Abang ngomong ke Mami di sini sekarang juga sambil teriak?!" ancam Alex membuat Lea takut setengah mati. Gadis itu sudah kehilangan harga dirinya saat terbangun tanpa busana, jangan sampai dia kehilangan mukanya di hadapan orang banyak.
"Iya, Bang, iya! Lea turun!" Dengan berat hati, akhirnya Lea turun dari mobil Alex.
Takut adiknya kabur atau semacamnya, Alex segera mengikuti Lea turun dari mobilnya dan menggenggam erat tangan adiknya itu.
"Tunggu Abang!" perintah Alex sambil menggenggam tangan adiknya itu.
"Ada apa, sih, ribut-ribut?" Miranda menyambut kedatangan kedua anaknya yang berisik.
"Lea sayaaang, Bunda kangen deh sama Lea. Tadi Bunda juga ke Rumah Sakit, tapi malah enggak bertemu kamu. Nih, Bunda akhirnya paksa Sean biar anterin Bunda kesini." Maharani yang muncul dari balik punggung Miranda itu pun bersuara heboh menyambut Lea. Padahal gadis itu tengah ketakutan setengah mati.
Lea dan Sean bukan berasal dari sebuah perjodohan atau semacamnya. Lea memacari Sean yang sudah disukainya sejak pertama kali bertemu saat Masa Orientasi itu karena tiba-tiba saja Sean mendekatinya dan memacarinya.
Orang tua Lea dan Sean yang ternyata saling mengenal itu pun sangat senang ketika mengetahui anak mereka menjalin hubungan spesial.
"Mi, bisa kita masuk sekarang?" tanya Alex membuat tubuh Lea menegang disebelahnya.
"Ya masuk, lah. Masuk tinggal masuk. Iya, enggak, Jeng?" tanya Miranda pada Maharani yang kelewat senang karena bertemu dengan Lea.
Semua orang yang berada di luar itu pun berjalan masuk ke dalam kediaman Fallentino. Langkah kaki Lea terasa semakin berat saat melihat Sean tengah duduk di kursi ruang tamunya, tanpa menghiraukan kegaduhan yang terjadi.
"Sean, ini ada pacarnya kok malah diem aja?" tanya Maharani ketika mereka semua mengambil tempat duduk di ruang tamu rumah mewah tersebut.
"Bun, Sean kan udah bilang, kita udah putus. Udah selesai!" jawab Sean sedikit kesal karena Maharani selalu saja menanyakan Lea.
"Apa itu bener, Le?" tanya Miranda penasaran. Lea hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab.
Suasana yang tadinya sedikit ceria karena kehebohan Miranda dan Maharani pun berubah menjadi canggung seketika.
"Bunda udah ketemu dia, kan? Yaudah, kita pulang sekarang," ajak Sean sambil bangkit dari kursinya.
"Satu langkah aja kaki lo keluar dari rumah ini sebelum tanggung jawab, gue pastiin lo enggak bakal bisa jalan lagi!" Tiba-tiba saja Alex yang sedari tadi diam menyimak itu angkat bicara.
"Abang, enggak boleh begitu sama tamu!" Miranda berusaha mengingatkan. Wanita itu tahu jika Alex yang menyayangi adiknya merasa tersinggung akan ucapan Sean.
"Mami enggak tau, kan, apa yang udah orang itu buat ke anak Mami?" tanya Alex membuat Lea yang sedari tadi hanya menundukan kepala itu semakin menundukan kepalanya.
"Abang ngomong apa sih, Bang? Putus itu kan hal yang biasa dalam pacaran. Yang penting putusnya baik-baik. Iya, kan, Le?" tanya Miranda pada Lea dan gadis itu menganggukan kepalanya kaku.
"Emang Mami tau kenapa dia mutusin Lea?!" tanya Alex membentak.
Miranda menggelengkan kepalanya sementara Sean dan Maharani menunggu kelanjutan dari kalimat Alex.
"Lea hamil anaknya, Mi! Dia mutusin Lea pasti karena enggak mau tanggung jawab!" teriak Alex yang sudah tidak tahan lagi menahan emosi.
"Lea? Kamu hamil, Nak? Ya, Tuhan!" Tiba-tiba saja Miranda jatuh terduduk setelah sebelumnya wanita itu berdiri untuk mengantar pulang Sean dan ibunya.
"Jawab, Leandra! Jangan diem aja!" seru Alex membuat Lea menangis terisak.
*****