Ardi pulang, ia segera menemui Xena di kamarnya dan akan menanyakan pasal lamaran kerja yang ia kirimkan ke perusahaan tersebut. Namun, baru brebebrapa langkah ia melangkah, sang istri, Tania telah memanggilnya terlebih dahulu, hingga ia pun menghentikan langkahnya dan menoleh kearah istrinya.
“Kenapa Mah?”
“Tadi Mamah ikut investasi emas lagi, Pah. Dan semoga kali ini, berhasil supaya nanti keuntungannya bisa untuk membantu perekonomian kelaurga kita nanti.“
Ardi mengerjapkan kedua matanya, sungguh ia tak tahu dengan sifat istrinya ini mengapa ia tidak peka dengan kondisi yang tengah mereka alami sekarang.
“Mah. Kan, Papah sudah berkali-kali bilang dengan Mamah, jangan ikut investasi lagi. Mengapa susah sekali sih, Mamah kalau diberitahu.” tegasnya.
“Pah ... jangan marah-marah dulu dong, niat Mamah ini kan baik. Papah dengerin dulu penjelasan Mamah, Pah.”
“Ah sudahlah, Papah pusing.” balasnya dan langsung berjalan menuju kamarnya.
“Gimana sih Papah, padahalkan niat aku itu baik loh. Ingin membantu perekonomian keluarga ini, kan kalau menang, bisa dipakai untuk keperluan yang lain. Ini malah marah-marah nggak jelas.” gerutunya
Sebelum menuju ke kamarnya, Ardi terdiam sejenak. Ia menoleh kearah pintu kamarnya yang tak jauh dari kamar Xena.
Perlahan ia pun berbelok dan brerjalan menuju kamabr Xena. Ia berdiri tepat didepan kamarnya dan mencoba untuk mengetuk pintunya, namun sang anak yang bersebelahan kamarnya dengan Xena keluar dan langsung bertanya pada Ardi.
“Papah mencari Kak Xena?”
Ardi pun langsung menoleh dan mengangguk. “Iya, ada sesuatu yang perlu Papah berbicara dengan dia,”
“Kak Xena ada di kamar Ara.”
“Yasudah, kalau gitu Papah ingin berbicara dengannya."
“Jangan dulu Pah. Karena ... trauma Kak Xena kembali kambuh."
Ardi nampak bingung. “Kenapa bisa seperti itu?”
Arabelle menghela napasnya sejenak, ia ingin mengatakan hal ini dan banyak sekali pertanyaan yang ingin tanyakan pada Papahnya ini, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat apalagi Mamahnya tengah memerhatikan mereka.
“Kalau mau bicara tentang Xena, bicara saja. Saya juga tidak peduli dengan dia.” ketus Tania yang langsung masuk kekamarnya.
*****
Malam hari pukul 20:00, Xavier tengah berada di kamarnya ia duduk santai didekat balkon tersebut.
Kepulan asap terlihat jelas mengudara, itu berasal dari bibirnya yang menghirup vape dan ia hembuskan melalui hidung dan juga mulutnya.
Senyuman manis tersimpul diwajah tampannya, taktakala ia mengingat Xena. Lagi-lagi wajah cantik gadis itu menghantui pikirannya.
“Besok harus aku yang menginterviewnya langsung.” gumamnya.
Xavier menghentikan aktivitasnya, ia bangkit dari posisinya dan berjalan menuju tempat tidurnya lalu duduk disana.
Ia menyugarkan rambutnya, dengan tangan kanannya, tiba-tiba atensinya langsung tertuju pada lengannya yang terdapat bekas saat dirinya mrnghapus tatto itu.
Walupun sudah mulai memudar karena sudah berjalan delapan tahun yang lalu, namun pola dari gambar tatto itu masih bisa terlihat samar ditangannya yang apabila benar-benar diperhatikan dengan seksama.
“Ah, sepertinya aku harus ke Dokter kulit lagi untuk menghilangkan ini.” monolognya.
*****
Di ruang tengah. Arabelle dan Ardi tengah duduk bersama, sedangkan Tania berada di kamarnya. Ini kesempatan bagus untuk Arabelle bertanya pada Papahnya mengenai lukisan tersebut.
Ardi yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya membuat Ara jadi tidak enak untuk bertanya, karena takut mengganggu perkerjaannya.
“Kenapa Ara? Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ardi yang sedari tadi memerhatikan tingkah sang anak.
“Eum ... iya sih Pah. Tapi, Papah sepertinya masih sibuk. Ara nanyanya nanti saja deh saja deh Pah.”
Ardi menghentikan aktifitasnya lalu segera menoleh kearah sang anak. Ia tersenyum tipis.
“Kamu mau tanya apa?”
“Soal Kak Xena,”
“Kenapa dengan dia?"
Arabelle menghela napasnya sejenak, sebelum menanyakan pasal lukisan itu, lalu ia pun mulai bertanya “Sebenarnya tadi awal mula trauma Kak Xena kambuh, karena ... lukisan bunga mawar, Pah.”
Dahi Ardi berkerut, ia bingung dengan perkataan sang anak. “Lukisan bunga mawar? maksud kamu, Papah tidak mengerti coba kamu jelaskan.”
“Iya Pah. Jadi tadi sebenarnya, Ara minta bantuan Kak Xena untuk mengajari Ara melukis karena untuk nilai praktek di sekolah nanti. Dan Ara memutuskan untuk melukis bunga mawar, dan ..." Arabelle mengehentikan ucapannya sejenak.
“Kenapa Ara? Ayo kamu lanjutkan ucapanmu."
Ara mengangguk, ia mendengus pelan. “Saat lukisan itu sudah jadi, tiba-tiba Kak Xena merasa sangat ketakutan ketika melihat lukisan itu. Bahkan, Kak Xena berkata bahwa lukisan itu jahat. Ara nggak ngerti Pah. Sebenarnya ada apa dengan lukisan itu? Apa ada hubungannya dengan tragedi delapan tahun yang lalu?”
Ardi mengangguk, jujur sebenarnya ia pun tidak begitu mengerti tentang bunga mawar itu, namun dulu psikiater yang menangani Xena pernah membahas tentang bunga mawar. Dan Xena selalu takut kalau semua yang berhubungan dengan bunga mawar, baik itu lukisan, gambar atau aslinya.
“Pah?” panggilan Ara meyadarkan Ardi.
“Em, Iya. Papah juga sebenarnya, tidak begitu paham tentang bunga mawar itu, tapi dulu psikiater yang menangani Xena pernah berkata, kalau bunga mawar itu adalah salah satu yang ada disaat tragedi tersebut."
“Bunga mawar? Setahu Ara, di rumah Om Aron itu jarang sekali terdapat bunga mawar, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali karena Tante Aira tidak suka dengan durinya.”
“Nah, itulah yang Papah bingungkan juga sampai sekarang. Untungnya di rumah kita juga tidak ada bunga mawar.”
Arabelle mengangguk. Ia mencerna kata-kata dari sang Papah, yang mengatakan kalau bunga mawar itu ada hubungan dengan tragedi tersebut, hingga Arabelle berpikir apa sipelaku menggunakan bunga mawar untuk membunuh?
Atau bunga itu dijadikan sebuah alibi untuk menghabisi keluarga sepupunya itu? Ah ... sungguh, teka-teki dalam keluarga Aron ini benar-benar membuat Ara tak bisa berpikir jernih.
Ardi melihat kearah jam dinding yang menunjukan pukul 22:00. Lalu menoleh kearbah snag anak. “Ara sudah malam, lebih baik kamu tidur Nak.”
Arabelle mengangguk. “Iya Pah. Kalau gitu Ara ke kamar dulu ya Pah.” ucapnya yang dianggukan oleh Ardi.
Gadis cantik berambut sebahu itu pun berjalan menuju kamarnya. Ia masuk kedalam kamarnya dan langsung terkejut dengan Xena yang sudah memegang gunting ditangannya.
Dengan raut wajah pucat dan mata sayu serta tatapan tajam, bahkan rambutnya pun acak-acakan yang semakin membuat Ara pun kian merasa takut, namun perlahan ia berjalan pada Xena seraya menelan salivanya.
"Kak ... kak Xena kenapa kenapa megang gunting. Siniin ya, guntingnya biar Ara aja yang pegang," ucapnya dengan nada lembut, membujuk Xena.
Tapi, Xena malah menggeleng dengan tatapan mata kosong yang masih sama.
Ara tertegun, ia mencoba untuk berbicara lagi pada Xena. “Kak. Memangnya Kak Xena mau ngapain?”
“Dia jahat.”