Pemandangan kota Jakarta, menjadi pemandangan wajib yang dilihat seorang Bara setiap harinya. Kantornya yang berada di lantai 50, membuat dirinya mampu memandangi aktivitas kendaraan-kendaraan yang begitu banyak melintasi jalan di bawahnya.
Suara ketukan dari pintu ruangan, membuat Bara mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Masuk.” ucapnya mengijinkan siapapun itu untuk memasuki ruangannya.
Vian, sekretaris Bara membuka pintu dan segera melangkah mendekati meja sang atasan.
“Saya sudah menyeleksi arsitek-arsitek terbaik di sini, Pak.” ujarnya seraya menyodorkan sebuah map yang berisikan data yang dikatakannya tadi.
Bara menerima map tersebut seraya menduduki kursinya.
“Kandidat terkuatnya ?” tanya Bara setelah membuka beberapa halaman dari berkas itu.
“Ada di halaman terakhir, Pak. Arsitek itu baru saja menang penghargaan best design untuk pembangunan salah satu hotel milik Putra Grup.”
Bara menaikkan alisnya sejenak saat mendengar nama perusahaan salah satu sahabatnya disebut. Tangannya segera membuka halaman terakhir yang dimaksud Vian. Dia langsung membaca informasi yang tersaji mengenai kandidat terkuat yang disebut sekretarisnya itu.
Andromeda Aneila Putra, nama arsitek itu.
Bara tersenyum sekilas karena dia menyadari jika arsitek yang dimaksud adalah adik dari sahabatnya sendiri. Wanita itu masih duduk di bangku SD saat dirinya pertama kali mengunjungi rumah Dafa. Tidak disangka, sekarang bocah itu sudah menjadi seseorang yang berprestasi.
“Sepertinya, kalau mau mendapatkan kerja sama dengan arsitek itu, kita harus bertindak cepat, Pak. Banyak perusahaan yang sudah mendatangi beliau untuk bekerja sama.”
Bara mendongakkan kepalanya untuk menghadap Vian dan berkata, “Tenang. Saya punya jalur khusus buat dapetin arsitek ini.”
“Kamu tahu kantornya dimana ?”
“Nah, ini salah satu keuntungan buat kita, Pak. Kantor beliau ada di gedung kita, lantai 30.” jawab Vian memberikan informasi.
“Ok. Kalau gitu, urus berkas pengajuan untuk design bangunan kita. Biar saya temui dulu jalur khususnya.”
“Baik, Pak. Saya permisi.” pamit Vian yang dibalas dengan anggukan singkat sang atasan.
Begitu pintu tertutup, Bara segera mengambil ponselnya dan mencari nama Dafa di daftar kontaknya. Setelah menemukannya, tanpa ragu Bara langsung menekan tombol panggilan.
‘Masih idup juga lo, Bar.’ sapa Dafa begitu mengangkat telfon.
Bara terkekeh pelan lalu menjawab, ‘Kalo gue udah mati, sekarang lo lagi ngobrol sama setan, dong.’
‘Gampang, gue tinggal bacain ayat kursi entar. Kenapa ?’
‘Lo dimana sekarang ?’
‘Duh, kok lo jadi posesif sih tanya tanya gue dimana.’
‘Astaga. Gue kirim santet lama lama ke lo.’
‘Mending kirim sate aja dari pada santet.’
‘Serius woi, lo lagi dimana ? Gue ada perlu, nih.’
‘Hoooo serius ternyata. Berucaplah dari tadi kalo begitu.’
Bara hanya bisa menggelengkan kepala dan mengelus dadanya saat mendengar jawaban nyeleneh sang sahabat.
‘Gue lagi di kantor. Tapi bentar lagi mau makan di daerah kantor lo.’
‘Sama siapa ?’
‘Tuh kan, posesif lagi.’
‘Ck, serius napa.’
‘Bercandiii, sayang. Gue janjian makan sama adek gue, si An. Masih inget kan ?’
Kenapa kebetulan sekali.
‘Honestly, sebenernya urusan gue ada sangkut pautnya sama adek lo. Kebetulan ntar lo mau ketemu sama dia.’
‘Waduh, mau ngapain lo sama adek gue ?! Kalo lo mau serius sih nggakpapa, tapi kan lo biasanya main main.’
‘Woiii, ketemu lagi aja baru nanti. Lo kira gue pk, ketemu langsung nyaho.’
‘Yee kan sapa tahu. Yodah, entar ketemuan di Alphabet Resto ya. Gue sama An janjian di sana jam 12.’
‘Ok.’
‘Sampe ketemu, Bara sayaang.’
Bara langsung menekan simbol telefon berwarna merah tanpa membalas ucapan terakhir Dafa. Dia jadi tidak habis pikir, bagaimana bisa dirinya berteman begitu lama dengan Dafa dan juga Gala yang agak tidak normal itu.
=====
Getaran samar dari ponselnya membuat fokus An pada design di hadapannya teralih. Dia langsung mengambil ponselnya yang berada di dekat komputer dan segera menjawab panggilan itu.
‘Udah sampe, Bang ?’
‘Udah, Andromedaaaa. Dimana kao ?’
‘Hehe, masih di kantor.’
‘Yah, ya sudah lah. Ini memang kodrat kami sebagai lelaki untuk menunggu.’
‘Wait wait, An langsung turun, nih. Tunggu bentar yaa.’
Begitu memutus sambungan telepon, An segera mengambil tasnya lalu berjalan keluar ruangan.
=====
Saat memasuki Alphabet, An langsung memandang sekitar untuk mencari kakaknya.
Dafa yang menyadari kedatangan sang adik langsung mengangkat tangannya dan memanggil adiknya itu.
“An!”
Andromeda menoleh ke arah suara yang memanggil namanya lalu tersenyum saat menemukan abangnya yang duduk di dekat kasir.
Saat langkahnya semakin dekat, An baru menyadari jika abangnya tidak sendirian. Ada seorang lelaki yang duduk di sebelah kakaknya itu.
Siapa ya ? Sepertinya tidak asing.
Andromeda memilih untuk tidak bertanya dan menduduki kursi yang berada di hadapan sang kakak.
“Masih inget sama temen Abang yang atu ini nggak, An ? Yang dulu kamu bilang ganteng.” ujar Dafa yang membuat An mendelik sebal.
“Apaan sih, Bang ?! Inget aja nggak, eh malah ngomong begituan.” sungut An jengkel.
“Iya iya, maap maap. Kenalan gih, dia Bara, temen Abang yang agak normal kalo dibandingin sama Gala. Nih, adek gue, Bar, Andromeda. Panggil Eda juga boleh, biar kayak edamame.”
Andromeda segera melayangkan pukulan keras ke tangan kakaknya yang terletak di atas meja dan itu berhasil membuat Dafa langsung mengaduh kesakitan.
“Agak normal dikit napa, sih, Bang?! Udah jadi bapak tetep aja kayak gini kelakuannya.”
“Yee, emangnya kalo udah jadi bapak harus langsung jadi berwibawa gitu apa. Ntar, anak Abang terlalu serius dong, An, gara gara nggak pernah Abang becandain.”
Ya Tuhan, An jadi penasaran saat hamil sang kakak, Ibunya ngidam apa.
“Dih, kalian berdua cocok, deh. Sama sama geleng kepala gitu.” ucap Dafa setelah melihat Bara dan An bergantian. An kembali mendelik sebal dan hendak memukul kembali tangan sang kakak, namun dengan gesit Dafa sudah menurunkan tangannya.
“Mending kita pesen dulu, deh. Kagak makan makan entar kalo nunggun kelakuan lo.” kata Bara sambil melambaikan tangannya kepada salah satu pelayan yang berdiri di dekat mereka.
Setelah selesai dengan pesanan, akhirnya Dafa kembali berulah. Dan untung saja, kali ini sasarannya adalah Bara, teman kakaknya itu. Jadi, Andromeda bisa tenang sejenak sambil menikmati dinginnya udara yang berasal dari Ac di dekatnya.
Diam-diam, An melirik teman sang abang. Dia jadi penasaran dengan perkataan abangnya saat di awal. Teman kakaknya yang dia sebut ganteng ?
Kalau di ingat-ingat, dulu waktu dia masih duduk di bangku SD, kakaknya itu memang sering mengajak beberapa temannya datang ke rumah. Namun, seingatnya juga, dia dulu tidak terlalu peduli. Toh, dia masih kecil.
Tapi, saat memperhatikan warna mata teman kakaknya, akhirnya kilasan memori itu muncul.
An kecil yang saat itu sedang ingin meminum s**u, pergi ke dapur hendak membuat minumannya sendiri. Namun, saat sampai di dapur, dia tidak menemukan seorang pun yang bisa membantunya untuk mengambil s**u bubuk yang berada di lemari atas.
Andromeda memandang sekitar dan pandangannya terhenti saat menemukan sebuah kursi yang bisa dia gunakan untuk memanjat. Setelah menaruh kursi itu di bawah lemari, dia segera menaikinya. Ternyata, tinggi kursi itu tidak cukup untuk membuat An dapat meraih pegangan lemari. Dia melompat-lompat kecil di atas kursi, berusaha untuk menggapai pegangan pintu.
An hendak menyerah saat sudah beberapa kali dia melompat tapi hasilnya sama saja. Tiba-tiba, sebuah tangan dari arah belakang membukakan lemari tersebut dan pemiliknya bertanya kepada An, “Mau ambil apa ?”
An menolehkan kepalanya ke samping dan menemukan laki-laki yang seumuran dengan kakak pertamanya sedang menatapnya. An tidak langsung menjawab dan malah takjub saat memandangi mata kakak itu.
“Kenapa warna mata kakak beda sama punya An ?” tanya An kecil penasaran.
Kakak itu tersenyum kecil lalu dengan gemas mengusap kepala An sebelum menjawab, “Kakek kakak orang Jerman, bukan orang Indonesia. Makanya, warna mata kakak bisa beda sama punya kamu.”
“Oooh gitu. An juga mau punya kakek dari Jerman, biar mata An bisa sama kayak kakak.”
Kakak itu terkekeh kecil lalu berkata, “Nggak bisa, adek. Warna mata kita udah kayak gini waktu lahir, jadi nggak bisa berubah meskipun kamu punya kakek dari Jerman sekarang. Jadi, tadi kamu mau ambil apa ?”
Seketika An teringat akan tujuan awalnya dan menjawab, “An mau ambil s**u itu.” telunjuknya menunjuk kotak s**u yang dia maksud.
Kakak itu mengambilkan kotak s**u yang di maksud dan memberikannya kepada Andromeda.
“Nih. Bisa turun sendiri kan ?”
An mengangguk seraya berkata, “Bisa kok, Kak. Terima kasih.”
“Sama sama.” balas sang Kakak lalu berbalik dan mengambil gelas di meja sebelum berjalan meninggalkan Andromeda.
Dan malam harinya, saat selesai makan malam, An bertanya kepada sang abang tentang kakak yang membantunya tadi.
“Abang, tadi temen Abang ada yang bantuin An ambil susu.” celoteh An yang mengikuti abangnya itu masuk ke kamar.
“Oh ya ? Yang mana ?”
“Yang matanya warna coklat. Namanya siapa, Bang ?” sahut An semangat.
“Oh. Namanya Bara. Kenapa ? Tadi kamu belum bilang makasih ya ?”
“Udah, kok. Temen Abang yang itu ganteng, ya!”
Sontak Dafa tertawa saat mendengar adiknya yang memuji temannya.
“Ganteng mana sama Abang ?”
“Ganteng Kak Bara! Soalnya warna matanya coklat hehe.”
Suara tawa keras membuat lamunan Andromeda akan kenangannya dulu buyar. An langsung mendengus begitu menyadari jika sang kakaklah yang tertawa kencang dihadapannya.
Entah apa yang dibicarakan kedua laki-laki dihadapannya ini, yang jelas An memilih untuk tidak mau tahu. Pasti tidak penting dan An yakin pasti dirinya juga tidak mengerti.
“Oh, jadi An, Bara gabung sama kita itu soalnya ada perlu sama kamu.” kata Dafa tiba-tiba yang membuat An mengernyit bingung.
“Sama aku ?”
“Saya langsung to the point ya. Jadi, saya mau bangun mall baru. Saya pengen mall ini jadi mall dengan design yang beda dari yang lain. And then, saya nyuruh sekretaris saya buat cari arsitek dengan karya-karyanya yang unik. Dan karena baru saja kamu terima penghargaan best design buat hotel punya perusahaan Putra, kamu jadi kandidat nomor satu yang saya incar buat jadi arsitek utama di proyek saya ini.”
Ok, Andromeda mengerti sekarang.
Well, sebenarnya, sudah banyak tawaran job untuk mendesain bangunan dengan skala besar dari beberapa perusahaan yang besar pula. Namun, dirinya belum bisa memutuskan job mana yang akan di ambilnya.
“Sebenarnya, udah ada beberapa tawaran job, tapi belum ada keputusan. Kalau boleh, bisa saya lihat proposalnya dulu ?” tanya An kepada Bara yang sedang menatapnya.
“Tentu boleh. Nanti biar saya suruh sekretaris saya kirim ke kantor kamu. Kantor kita satu gedung btw.”
“Oh ya ? Lantai berapa ?”
“Lantai 50.”
“Oh, jadi akhirnya saya ketemu sama pemilik gedung ya.” ujar An yang hanya dibalas dengan senyuman kecil Bara.
“Dek, udahlah, bantuin temen Abang aja ya. Desainin gih mallnya Bara. Anggep aja kamu bantuin Abang sendiri. Toh, kalo Abang nggak salah inget, kamu belum pernah desain mall kan sebelumnya ?” kata Dafa sembari menaruh minuman sang adik yang baru disajikan pelayan di hadapannya.
An tersenyum pongah kepada Dafa lalu terdiam sesaat sambil menyesap minumannya.
Yah, kalau dipikir-pikir, benar juga perkataan kakaknya itu. Sebenarnya, An menunggu-nunggu proyek untuk membangun sebuah pusat perbelanjaan. Tapi, dari beberapa tawaran yang diterimanya, tidak ada.
“Ya udah, saya mau ambil proyek mall ini.” ucap Andromeda tiba-tiba yang membuat Bara tersedak minumannya.
Dafa terkekeh sambil menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu.
“Fix makan siang ini lo yang traktir, bro. Bilang makasih dong sama gue, lo bisa dapetin An jadi arsitek lo.”
“Iye iyee, karangan bunga ucapan terima kasih sekalian kagak ?” balas Bara.
“Hmm, boleh juga. Ntar gue kirimin balasan sama sama ke kantor lo juga, deh.”
“Nggak usah, makasih.” sahut Bara ketus.
Dafa yang geli dengan balasan temannya itu terkekeh lagi dan hendak menyahut, namun kedatangan sang pelayan yang membawa makanan pesanan mereka menghentikan niatnya.
“Ayo makan.” ucap Dafa dengan riang yang tidak dihiraukan oleh kedua orang yang berada satu meja dengannya.
Lagi, An kembali melirik Bara yang sedang mengaduk makanan yang dipesan pria itu.
Sebuah senyum kecil muncul di bibir wanita itu. Hitung-hitung, dengan menerima proyek ini, An bisa membalas bantuan kecil yang diterimanya dari teman abangnya ini.
=====
Suara keras musik yang berdentam-dentam terdengar saat Bara memasuki Blue Diamond, salah satu club yang beberapa kali dia kunjungi. Malam ini, Bara diundang oleh salah satu koleganya untuk menghadiri pesta ulang tahun pria itu.
Dalam keremangan cahaya sekitar, Bara berusaha mencari Jonas, nama koleganya itu, untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Setelah beberapa kali bertanya dengan orang yang dikenalnya dan berbincang sebentar, akhirnya Bara menemukan Jonas yang sedang terduduk di meja ujung club. Jonas sedang berinteraksi dengan beberapa temannya sambil ditemani beberapa wanita tentunya. Yeah, tipikal don juan.
“Woi, bro, happy birthday, ya!” teriak Bara sambil menyalami Jonas yang langsung berdiri menyambut tamunya itu.
“Thankyou¸Bar.”
“Nih, oldest wine dari temen gue yang kolektor wine.” ucap Bara seraya menyodorkan sebuah kotak kepada Jonas. Jonas langsung menerimanya dan membuka kotak itu. Senyum puas tercetak langsung di bibir Jonas begitu membaca tahun dibuatnya wine yang diberikan Bara barusan.
“Mantab, bro, thanks! Enjoy the party ya, apa mau gabung sama gue di sini ?” tawar Jonas yang dijawab dengan gelengan Bara.
“Nggak usah, gue mau minum sendiri. Kalo sama lo entar kagak bisa pulang gue, teler. Besok masih ada rapat.” sahut Bara masih dengan volume yang keras, mengingat begitu kerasnya musik yang sedang dimainkan sang DJ.
“Okelah, siap. Makasih ya sekali lagi.”
Bara mengangguk dan mengacungkan ibu jari kanannya, lalu ia segera berbalik dan memutuskan untuk berjalan ke bar.
Setelah duduk di salah satu kursi dan menyebutkan pesanannya kepada bartender, Bara mengelilingi sekitar dengan pandangannya. Banyak sekali wanita cantik yang berkeliaran di sekitarnya. Tapi, dirinya sedang malas berurusan dengan kaum itu saat ini. Dia sedang tidak ingin melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat nikmat itu.
Berbeda dengan kedua temannya, Bara tidak seberuntung mereka yang sudah menemukan pasangan hidupnya masing-masing. Masa lalunya, membuat Bara enggan untuk kembali berurusan dengan perasaan terlarang itu. Mungkin, itu menjadi penyebab utama yang membuat dirinya yang sudah berkepala tiga belum juga menyusul kedua sahabatnya ke jenjang pelaminan.
Alhasil, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai pria dewasa normal, Bara sering mendatangi club-club di Jakarta guna mencari pasangan yang akan memuaskannya. Hanya untuk semalam, tidak lebih. Bara tidak ingin menjalin sebuah hubungan berjangka panjang dengan seorang wanita. Yah, beberapa kali Bara memang berkencan, tapi hanya sebentar. Dan pastinya tidak pernah serius.
Lamunannya buyar saat minuman yang dipesannya sudah tersaji.
Bara langsung menyesapnya perlahan dan merasakan sensasi hangat yang pelan-pelan menuruni kerongkongannya. Malam ini, Bara tidak ingin mabuk, jadi dia hanya memesan minuman dengan kadar alkohol rendah.
Setelah menghabiskan minumannya, Bara memutuskan untuk ke toilet sebentar sebelum pulang. Saat ditengah perjalanannya menuju toilet, perhatian Bara teralihkan kepada seorang pria yang tampak memaksa untuk mencium wanita di hadapannya.
Well, kejadian seperti itu sudah sering terjadi dan biasanya Bara memilih untuk tidak terlibat. Namun, saat pandangannya mengenali wanita yang dipaksa itu, Bara segera menghampiri mereka.
Bara langsung menempatkan dirinya diantara lelaki dan wanita itu.
“Heh, apa apaan lo!” teriak pria itu tidak terima.
“Whoa whoa, easy. Lo ngapain cewek gue ?” balas Bara tenang.
“Cewek lo ?! Enak aja, gue duluan yang nemu ni cewek, main ngaku ngaku aja dia cewek lo!” ucap pria kurang ajar itu, kali ini sambil menekankan telunjuknya ke d**a Bara.
Bara menyingkirkan jari pria itu lalu mundur untuk berdiri di samping Andromeda.
Ya, wanita yang hendak menjadi korban pria b******k ini adalah Andromeda, adik dari sahabatnya yang kebetulan baru kemarin dia temui. Bara mengangkat tangan kirinya untuk merangkul bahu wanita itu. Andromeda yang merasa ketakutan langsung beringsut dan makin menempelkan badannya dengan Bara.
“Dia emang pacar gue, bro. Lo yang seharusnya cari cewek lain.”
“Halah, ngaku ngaku kan lo! Udah deh, ni cewek punya gue ya!” sahut pria itu sambil menarik tangan Andromeda kasar.
Bara segera melepaskan pegangan tangan pria itu dan mendorong An untuk berlindung di belakangnya. “Gue nggak ngaku ngaku, t***l! Kenyataannya dia emang pacar gue, she is my girlfriend. You better back off! Gue mau nyium pacar gue.”
Tanpa memperdulikan pria b******k itu lagi, Bara langsung menarik pinggang An lalu mencium bibir wanita itu.
Hanya sebentar untuk mengusir pria tadi, pikir Bara.
Namun, pikirannya berubah saat jari-jari Andromeda memasuki helaian-helaian rambutnya.
Damn.
Bara menggeram dan tanpa memperdulikan apa yang nantinya terjadi, dia memperdalam ciumannya. Dia ingin menikmati sebentar, bibir wanita yang berada di dekapannya ini, yang entah kenapa terasa begitu memabukkan.
Tanpa harus mengingat bahwa wanita ini adalah wanita terlarang untuk Bara. Terlarang baginya karena dia tidak boleh menyakiti adik dari Dafa, sahabatnya.
Semoga saja, Dafa tidak pernah tahu kejadian ini. Kalau tidak, Bara yakin, kali ini Dafa benar-benar akan mengirimkan santet ke rumahnya.
=====