Bab 7

2271 Words
Sudah dua minggu berlalu. Andromeda menjalani harinya seperti biasa, berkutat dengan segala kertas dan desain-desain bangunan yang menjadi proyek kerjanya. An menghembuskan napas lega saat akhirnya desain bangunan Waller Mall selesai. Hanya bangunan luarnya, wanita itu belum bisa menyelesaikan detail-detail di dalam gedung karena anggota timnya yang lainlah yang mengerjakan hal itu. Andromeda harus menunggu desain itu selesai lalu menyatukan semuanya serta memoles sedikit sebagai finishing. Tangan kanan An menyambar gelas berisi cafe mocha dan segera menandaskan minuman tersebut. Heaven, ucap An dalam hati saat cairan berwarna coklat itu menelusuri rongga mulut hingga kerongkongannya. Tok tok tok “Masuk.” “Mbak An, ini desain anak-anak yang lain buat detail luar gedung.” ucap Regi seraya mengulurkan gulungan kertas berisikan gambar desain. Andromeda membuka gulungan kertas itu di atas meja, lalu mengamatinya dengan cermat. Senyum puas terukir di bibir wanita itu saat mendapati apa yang dia inginkan terpenuhi. “Keren banget desainnya. Nggak rugi Mbak dulu bujuk-bujuk kamu buat masuk ke sini.” ujar An kepada Regi yang hanya dapat menggaruk kepalanya yang tak gatal itu. “Duh, Mbak An, malah bikin saya malu. Ya sudah, Mbak, saya permisi dulu, mau ngasih pemberitahuan ke anak-anak kalau Mbak sudah ok sama desain ini. Saya yakin mereka pasti lagi was was sambil nahan napas sekarang nunggu persetujuan Mbak An.” sahut Regi yang membuat Andromeda tergelak. “Astaga, emangnya saya semenakutkan itu, Reg?” “Kalau lagi ngobrol kayak gini sih enggak, Mbak. Kalau di ruang rapat waktu mantengin ide-ide sama neliti desain, anak-anak pada milih nonton film horror dari pada nunggu tanggapan dari Mbak.” kata Regi jujur, mengutarakan semua keluh kesah para bawahan An. Andromeda tersenyum kecil lalu berkata, “Maaf ya, saya nggak sadar kalau segalak itu.” “Nggakpapa, Mbak. Wajar kalau sikap Mbak begitu, kan Mbak pimpinan kami. Kami sebagai bawahan malah menghormati Mbak karena sikap royal Mbak sama kami. Yah, minus sikap galaknya, sih, hehe.” “Ya sudah, sana lanjutin kerjaan kamu. Nanti setelah saya finishing desain gedung bagian luar, saya bakal kasih ini ke klien. Habis itu kalau ada revisi, kalian siap siap meeting lagi sama saya, ok?” “Siap, Mbak An. Saya permisi dulu kalau begitu.” pamit Regi kemudian yang dibalas dengan anggukan samar oleh Andromeda. Selepas kepergian Regi, An kembali menekuni desain yang baru diselesaikan para bawahannya itu. Well, let’s get back to work, An, ujar wanita itu menyemangati dirinya sendiri. ===== “Pak Bara, Bu Andromeda tadi telfon saya, kata beliau, desain bangunan gedung sudah jadi. Bapak bersedia meluangkan waktu kapan?” tanya Vian kepada Bara yang sekarang ini tampak sibuk sedang membaca dokumen di komputernya. Bara mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan Vian sebelum terdiam seolah memikirkan sesuatu. “Desainnya sudah termasuk bagian dalamnya?” “Belum, Pak. Kata Bu An, beliau butuh persetujuan Bapak dulu buat desain gedungnya. Nanti kalau Pak Bara sudah ok, baru beliau dan tim bisa membuat rancangan desain yang sesuai.” “Ok.” “Jadi, kapan Bapak mau menemui Bu Andromeda, Pak?” tanya Vian lagi kepada sang atasan karena tidak mendapatkan jawaban di ucapan Bara tadi. “Habis ini saya masih ada jadwal?” “Pak Bara harus menyambut Mr. Kenneth, investor Kanada kita yang akan sampai di sini pukul 13.00. Sekalian sudah saya jadwalkan makan siang bersama dengan beliau, Pak.” “Ok. Tolong sampaikan ke Bu An kalau saya akan temui dia setelah pertemuan dengan Mr. Kenneth nanti.” “Baik, Pak.” Vian segera mengundurkan diri dari ruangan sang bos dan kembali ke mejanya untuk memberi kabar kepada arsitek yang menangani pembangunan gedung baru Bara. ===== Pukul 18.58 Andromeda mendesah tidak sabar saat melihat waktu yang tertera di layar ponsel. Tujuh belas menit lagi, jam operasi gedung Waller Corp akan dihentikan. Semua listrik pada bagian perkantoran akan dipadamkan. Hal itu bertujuan untuk mencegah para karyawan melakukan lembur berlebihan. Vian sudah mengabarinya tadi siang jika sang atasan akan menemui An setelah pertemuannya siang tadi. Namun, sampai saat ini, belum ada kabar lagi kapan pastinya Bara akan menemui Andromeda. Sebenarnya, tidakpapa jika tidak terjadi pertemuan hari ini, masih ada esok hari bukan? Tapi memang sepertinya sikap atasan Vian itu sangat menyebalkan, sehingga mengharuskan Andromeda untuk menunggu pria itu sampai sekarang. Deringan telefon kantor membuyarkan lamunan An dan membuat wanita itu segera meraih gagang telefon untuk menyapa orang di seberang sana. ‘Halo.’ ‘Selamat malam, Bu An. Ini Vian, Bu. Pak Bara baru saja memberi kabar. Kata beliau, Bu An diminta untuk menunggu Bapak di depan lobby. Beliau akan melakukan pertemuan dengan Ibu di luar kantor.’ ‘Oh ok. Terima kasih ya,Vian.’ ‘Sama-sama, Bu. Selamat bekerja.’ Hembusan nafas jengkel langsung keluar dari mulut An setelah gagang telepon terpasang sempurna di tempatnya. Apa-apaan ini? Andromeda tentu saja merasa sebal, namun dirinya bisa apa selain memenuhi permintaan sang klien. Dengan hati-hati, wanita itu membereskan segala desain yang akan dia tunjukkan kepada Bara dan menjadikan satu di sebuah wadah gulungan berwarna hitam. Selanjutnya, An beralih ke barang bawaan pribadinya yang segera dia masukkan ke dalam tas. An terduduk sejenak di kursinya dan bercermin sekilas pada kamera ponsel. Dandanan di wajahnya masih tampak rapi dan tidak memerlukan polesan lagi, putus An. Tangan kanan Andromeda mencari botol parfum di dalam tasnya. Dan setelah berhasil menemukan botol itu, An menekan pump parfum yang langsung menguarkan aroma stroberi, aroma favorit wanita itu. Setelah menyemprotkan parfum tadi di beberapa titik, Andromeda kembali memasukkan botol tadi ke dalam tas lalu segera bangkit dari kursinya. An menyampirkan tas pada bahu kanannya dan memenuhi tangan kirinya dengan wadah gulungan desain. Wanita itu kemudian berjalan menuju pintu lalu membukanya dan mematikan lampu sebelum kembali menutup pintu ruangan. ===== Suara klakson mobil berlambang Maserati membuat Andromeda yang sedang termenung, terkejut. “Come in.” perintah Bara saat jendela pada pintu penumpang di sampingnya terbuka. Saat menyadari siapa pemilik mobil di depannya, Andromeda berjalan pasrah. Dia segera membuka pintu penumpang di hadapannya lalu menaiki sedan itu. Keheningan menjadi teman setia kedua insan itu saat berada dalam perjalanan. Andromeda menolak untuk berbasa-basi kepada sang klien. Dan Bara tidak memiliki mood untuk menggerakkan bibirnya setelah lelah menghadapi investornya tadi. Setelah setengah jam terlewat, akhirnya mereka sampai pada tujuan. “Kenapa Anda membawa saya ke sini?” protes Andromeda kepada Bara yang sedang fokus memakirkan mobil di basement apartment milik pria itu. “Tidak mungkin kan pertemuan kita dilakukan di cafe atau restauran. Sedangkan, saya yakin ukuran kertas desain yang hendak Anda tunjukkan ke saya ukurannya besar. Well, I’m pretty sure, kalau tempat-tempat umum tidak punya meja dengan ukuran yang sebesar itu.” “Apartment saya jadi tempat terkondusif untuk melakukan pertemuan ini.” ujar Bara tepat saat mobilnya sudah terparkir manis. Andromeda bergerak gusar di tempatnya. Betul, memang tidak salah ucapan Bara barusan. Tapi, mengingat sejarah mereka berdua, membuat Andromeda menjadi was was akan suatu kejadian tidak senonoh yang bisa saja kembali terjadi di tempat pribadi milik pria itu. Demi Tuhan, hanya ada mereka berdua. Tidak ada Vian, sekretaris Bara yang ikut serta dalam pertemuan ini, maupun sekretarisnya. Semoga saja, ini hanya pemikiran tidak masuk akal yang sepintas lewat di benak Andromeda. Semoga saja, hal itu tidak akan terjadi. ===== Setelah menggelar kertas desain di meja kerja Bara yang syukurnya mampu menampung, akhirnya mereka berdua terlibat dalam perbincangan bisnis. Bara meneliti dengan cermat desain yang Andromeda buat dan menyampaikan segala pendapatnya. Andromeda pun akan menyahuti setiap pertanyaan sang klien dan mencatat bebera masukan dari pria itu. “Over all, saya suka. Ini benar-benar beda dari yang biasanya.” “Terima kasih, Pak. Saya akan diskusikan masukan-masukan Bapak dengan tim saya. Setelah desainnya saya revisi, saya ajukan lagi ke Bapak. Biar desain dalam gedung bisa cepat jadi.” Bara mengangguk puas dengan kinerja arsitek di depannya itu. Tidak hanya cantik, wanita di hadapannya ini memiliki bakat yang mengagumkan. Diam-diam Bara tersenyum dalam hati. God, dia memuji wanita itu lagi. Wanita yang entah sudah berapa lama tidak Bara temui ini. “Good job. Mau minum apa?” tanya Bara yang sudah keluar dari masalah bisnis. “Terserah, Pak Bara. Apa saja yang ada.” jawab An yang diangguki sekilas oleh sang tuan rumah. “Duduk dulu, silahkan.” ujar Bara seraya menggiring Andromeda ke sofa ruang tamu. Bara meninggalkan tamunya sendirian di ruangan itu. Dan An mengambil kesempatan tersebut untuk kembali memperhatikan tempat tinggal sang klien. Senyuman kecil muncul di bibir An tatkala matanya menatap sebuah grand piano berwarna hitam di tengah ruangan. Dia teringat akan kejadian dimana An yang terbangun karena suara merdu permainan piano Bara. Siapa yang menyangka, jika di balik sikap menyebalkan milik pria itu, Bara memiliki jari-jari terampil yang dapat menghasilkan nada indah dari menekan tuts-tuts berwarna putih dan hitam itu. Bara menyodorkan sebuah gelas berisi orange juice kepada Andromeda yang tampak sedang mengamati piano miliknya di tengah ruangan. “Kamu bisa main piano?” tanya Bara kepada Andromeda yang tampak menyesap minumannya. An menggeleng dan berkata, “Kak Gendra yang bisa. Aku sama sekali nggak bisa mainin alat musik.” “Really?” “Ya, please jangan ngehina.” protes wanita itu saat melihat pandangan jahil yang dilemparkan Bara. “I’m not. Aku cuma tanya.” balas Bara yang kemudian meneguk kopi hitam miliknya. “How’s life?” “Good, I’m doing good. Kamu?” “Yeah, same here.” jawab Bara yang sekarang sudah mendudukan dirinya di samping Andromeda. Tindakan Bara barusan membuat An tanpa sadar mencengkram gelas di tangannya dengan erat. “God, you drink black coffe?” tanya wanita itu tidak percaya saat menyadari isi dari cangkir milik Bara. “Memangnya kenapa?” “Bisa tidur nanti?” “Bisalah. Tinggal tutup mata kan?” canda Bara yang dibalas dengan dengusan sebal milik Andromeda. “Jangan sering-sering minum minuman berkafein kalau nggak ada niat buat begadang. Nggak sehat.” pesan Andromeda yang membuat Bara menaikkan alis kanannya karena heran. “Pasti itu pesan dari Ibu kamu kan?” tebak Bara. An mengangguk dan bercerita kepada pria itu saat Ibunya mengomeli dirinya serta kedua kakak laki-lakinya yang terlalu sering mengonsumsi kafein. “Waktu ibu aku masih ada, beliau juga sering ngomel kalau lihat keluarganya keseringan begadang. Aku sama dad sampai pernah harus ngumpet-ngumpet nonton bola.” cerita Bara dengan senyuman kecil yang muncul di bibir pria itu. “Ibu kamu sudah nggak ada? Sorry.” “It’s ok. Mom meninggal waktu aku SMA. Dulu abang kamu juga datang waktu ibu aku meninggal. Beliau sudah kena kanker paru-paru tiga tahun sebelumnya.” Tanpa sadar, tangan Andromeda sudah bergerak ke pundak Bara dan mengelusnya beberapa kali, tanda prihatin. “Nggakpapa, Mom sudah tenang di atas.” ucap Bara kali ini dengan pandangannya yang mengarah kepada wanita itu. Mendapati mata Bara yang sekarang menatapnya, membuat An salah tingkah dan menurunkan tangannya dari bahu pria itu. Namun, karena terlalu grogi dan tidak berhati-hati, tangan Andromeda malah menyentuh gelas yang masih berada di genggaman Bara. Kejadian itu membuat cairan berwarna hitam di dalam gelas tumpah dan membasahi kemeja putih yang dikenakan Bara. Dengan panik, An segera menaruh gelasnya di meja dan berusaha melihat seberapa parah akibat dari tindakan bodohnya barusan. “Sorry Bar, astaga.” ucap An yang kali ini melayangkan pandangannya untuk mencari tissue. Tangan Andromeda segera meraih sebuah kotak tissue yang dilihatnya di atas meja dan mencabut beberapa helai tissue dari situ. Wanita itu berusaha mengeringkan noda di baju Bara yang sebenarnya tidak mungkin hilang juga dengan menggunakan tissue. “Sudah An, nggakpapa.” kata Bara menenangkan. Bara kemudian menangkap kedua tangan An yang sedang bergerak panik berusaha mengelap noda di pakaiannya. “Enough.” tekan pria itu lagi. Andromeda menatap mata pria itu dan mengangguk pelan. Bara belum melepaskan pegangan tangannya pada tangan An dan membuat pandangan kedua orang itu seakan terkunci saat saling menemukan. Sebersit rasa asing itu muncul di kedua manik mata mereka. Mereka sama-sama tidak tahu. Dan sama-sama tidak bisa mengungkapkan. Andromeda yang pertama kali sadar dan wanita itu berdeham untuk menyadarkan pria di hadapannya. “Sudah malam. Sepertinya saya harus pulang, Pak Bara.” ucap An sambil berusaha melepaskan cekalan Bara pada tangannya. Bara tersenyum miring dan malah semakin mempererat cekalannya lalu mendekatkan tubuh mereka. “Bukannya lebih baik Anda menginap saja kalau sudah malam, Bu Andromeda?” An menelan ludahnya gugup, namun dia masih berusaha untuk tetap diam dan tidak membuat jarak guna memberanikan diri. “By the way, nice lips, Miss. Can I kiss them?” tanya Bara akhirnya saat pandangannya terpaku pada bibir Andromeda. Mendengar pertanyaan barusan membuat An tanpa sadar menggigit bibirnya menahan sebuah gejolak yang seharusnya tidak boleh dia rasakan lagi. Andromeda hendak menggeleng, menolak apa yang hendak Bara lakukan kepadanya. Namun, terlambat. Pria itu sudah memajukan badannya dan menyatukan bibir mereka. Bara menggeram nikmat saat akhirnya dapat merasakan bibir Andromeda lagi. Bara mencumbu bibir milik wanita itu dengan begitu menggebu, membuat pemiliknya harus menahan diri agar tidak jatuh terbaring pada sofa. Saat ciuman itu berakhir, Bara dapat melihat percikan gairah yang mulai nampak di mata milik An dan membuat pria itu tersenyum puas. Kali ini, Bara mencoba untuk menggoda wanita itu dengan hanya terdiam memandang manik mata Andromeda. An yang hanya dipandang seperti itu merasa bingung dan frustasi di saat yang bersamaan. Kenapa Bara diam saja? Sial, tanpa sadar, keinginan untuk dicium lagi oleh pria itu muncul dalam dirinya. Andromeda akhirnya menyerah dan bertanya untuk memastikan sesuatu. “Are you gonna kiss me again, or not, Sir?” “Kenapa memangnya?” sahut Bara dengan menunjukkan senyum menggoda miliknya. “Because I want to go home, if you are not doing that.” “Bagaimana bisa aku melewatkan kesempatan buat mencium kamu, An?” =====
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD