Secercah sinar matahari menyambut Bara tatkala pria itu mulai membuka kedua matanya. Dia meregangkan badan sebentar lalu tersenyum saat pandangannya menemukan seorang wanita yang tampal terlelap nyaman di dalam pelukannya.
Tadi malam, setelah membiarkan An tertidur selama beberapa jam, Bara membangunkan wanita itu lagi. Tentu saja untuk melakukan kegiatan ‘itu’. Bara merasa seperti baru pertama kali melakukannya, dia merasa begitu ketagihan dengan rasa dari Andromeda.
An menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka kedua matanya. Wanita itu menerka-nerka sedang berada di mana saat menemukan pemandangan aneh di depannya.
Dada?
Dada siapa ini?
Seketika Andromeda mendongakkan kepala dan terbelalak kaget saat menemukan Bara yang sedang menampilkan senyum mautnya.
“Good morning.” sapa Bara yang membuat An malu dan kembali menelusupkan kepalanya ke d**a pria itu. Bara terkekeh dan memilih untuk bangkit dari kasur, menghindar agar tidak kembali bersentuhan dengan candu barunya. Karena bisa gawat jika hasratnya datang kembali lagi.
Menyadari gerakan Bara, An segera meraih selimut dan menenggelamkan dirinya di dalam benda itu.
“Aku mandi dulu, ya. Kalau mau nyusul boleh.” goda Bara dengan kekehan sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Andromeda yang masih bersembunyi di balik selimut.
Gila. Kau benar-benar gila, Andromeda. Rutuk wanita itu kepada dirinya sendiri.
Apa yang sebenarnya sudah ia lakukan dengan sahabat abangnya itu?
Andromeda memejamkan matanya karena menolak untuk berpikir. Dia sudah melakukan suatu kesalahan besar dengan tidur bersama pria itu. Seolah tertampar, kelebat bayangan sang Ibu yang selalu mengingatkannya akan keperawanan yang harus ia jaga untuk sang suami membuatnya menghela napas sedih.
Ya sudah, mau bagaimana lagi.
Toh, tadi malam dia dengan begitu mudahnya larut dalam nafsu bodohnya sendiri. Nafsu yang begitu kurang ajarnya dia nikmati bersama Bara.
Tapi, kalau waktu bisa diulang, dia tidak keberatan jika kejadian tadi malam terjadi lagi. Karena sungguh, dia merasa tepat menyerahkan miliknya kepada seorang Bara Angkasa.
Haha, sangat bodoh memang, rutuk An lagi.
Dengan kecepatan penuh, Andromeda segera bangkit dan berniat untuk mencari pakaiannya lalu segera pergi dari kamar pria ini. Namun, dia terhenyak saat merasakan rasa tidak nyaman di daerah kewanitaannya. Dia meringis kecil sebelum akhirnya bangkit dari kasur dengan perlahan untuk mengambi gaunnya di lantai dan segera memakainya.
Setelah menemukan sepatu dan clutchnya, Andromeda segera berjalan menuju pintu kamar Bara dan membukanya lalu pergi meninggalkan kamar itu. Tanpa sepengetahuan sang pemilik kamar tentunya.
=====
Tak habis-habisnya u*****n keluar dari mulut Bara yang sekarang sudah kembali menjalankan aktivitasnya di Waller Corp. Kekesalan yang tak kunjung usai dia rasakan itu, terus muncul entah apa alasannya.
Sebenarnya, Bara tahu kenapa, tapi pria itu tidak mau mengakuinya.
Hari itu, wanita itu tahu tahu sudah menghilang begitu saja. Dan seolah tak cukup membuat Bara geram, Andromeda begitu pintar bersembunyi karena bahkan sampai para tamu menuruni kapal pesiar itu, dia tidak dapat menemukannya.
Setelah dari New Zealand, Bara yang sudah jengkel memilih untuk tidak lagi memperdulikan wanita itu, pikirnya. Anggap saja jika malam itu dia sedang having s*x dengan partner one night standnya, seperti biasa, tidak ada hubungan lagi setelah menyelesaikan kegiatan mereka.
Maka dari itu, setelahnya Bara tidak berusaha untuk mencari atau bertemu dengan Andromeda. Dan lucunya, karena keputusannya sendiri itulah, kekesalannya muncul tanpa sebab.
=====
Seperti biasa, Andromeda adalah orang yang tahu tahu saja riweh tanpa sebab. Itu dibuktikan dengan dirinya yang sekarang sibuk mengobrak-abrik tasnya untuk mencari sebuah ponsel miliknya yang sedang berbunyi nyaring itu.
Padahal, biasanya dia meletakkan ponsel itu di kantung kecil pada pinggiran tas. Tapi entahlah, ponsel itu mungkin saja terjatuh dari kantung dan sekarang tercebur dalam isian tas An yang muatannya agak banyak serta tak beraturan.
Lampu lalu lintas dihadapannya sedang menampilkan warna hijau, yang berarti An bisa bernapas lega karena dia bisa mencari ponselnya terlebih dahulu. An menghembuskan napas keras dan berucap ‘akhirnya’ tanpa suara saat tangannya menyentuh benda pipih itu.
Saat layar ponsel di genggamannya menampilkan nama sang Abang, An mendesah sebal.
‘Lama banget sih An, angkat telponnya.’
‘Hp aku kecemplung di tas, jadi susah nyarinya. Kenapa sih?’
‘Ntar kamu tolong jemput Aretha sama Khandra ya. Abang ntar lembur sampe malem, mending mereka nginep aja di rumah keluarga.’
‘Yes, bisa monopoli Khandra.’
‘Enak aja, emangnya situ sudah menghasilkan asi? Selama anda tidak menghasilkan asi, Khandra nggak bisa anda monopoli karena dia butuh emaknya buat ngenyot asi.’
‘Allahuakbar, Abang. Tu mulut yee, lama lama An iket pake senar layangan.’
‘Hahaha, nggakpapa lah, kan An udah gede. Udah tahu yang begituan. Bentar lagi juga palingan kawin, eh nikah maksudnya haha.’
Deg.
Aku sudah kawin, Bang. Dengan sahabat Abang sendiri malah, aku An dalam hati.
‘Iya udah entar An jemput. Udah ya Bang, mau nyebrang dulu, bye.’
‘Bye.’
Tepat saat An sudah memasukkan ponselnya ke dalam kantung pinggir tas, lampu hijau berganti warna menjadi merah. Dia dan beberapa orang di sampingnya yang memiliki tujuan sama segera bergegas melangkahkan kakinya di sepanjang zebra cross untuk menyebrang.
Hitungan detik waktu yang menandakan warna lampu lalu lintas hendak berganti mulai berbunyi. Orang-orang semakin mempercepat langkahnya, tak terkecuali An yang berada di barisan akhir.
Saat kakinya hendak mencapai trotoar, teriakan seseorang membuatnya memalingkan kepala ke belakang, ke arah sumber suara. Matanya membelalak saat melihat seorang bocah kecil yang sedang berjalan cepat dan ada sebuah mobil dengan pengendaranya yang sudah pasti tidak sabaran melajukan mobil mendekati anak itu.
An berlari secara refleks hendak melindungi anak laki-laki itu.
Hembusan nafas lega terdengar saat tangannya dapat meraih bocah itu sebelum pucuk mobil tadi hampir saja menabrak. Orang-orang disekitar yang melihat kejadian barusan saling berteriak menggumamkan kata makian untuk sang pengendara yang sudah jauh berjalan.
Andromeda kemudian melepaskan pelukannya pada sang bocah dan beralih menatapnya.
“Nggakpapa, sayang?” tanya An kepada bocah itu.
Bocah itu mengangguk lalu memutar kepalanya seolah sedang mencari sesuatu.
“Gio, ya ampun, Mbak jantungan ini. Jangan lari-lari lagi, tadi kan sudah Mbak bilang buat gandeng tangan Mbak.” ujar seorang wanita berseragam baby sitter yang menghampiri kami dengan wajah panik.
“Makasih ya, Mbak. Ya ampun, saya bisa dipecat kalau anak ini kenapa-napa tadi.” tambah wanita itu.
“Sama-sama, Mbak. Kalau sampe kenapa-napa, bukan Mbak juga yang salah, tapi pengendara tadi kok.”
“Adek, besok besok kalau nyebrang jangan lupa ya gandeng tangan Mbaknya, biar aman.” pesan Andromeda yang sekarang sedang berjongkok, menyejajarkan diri dengan bocah itu.
“Iya, aunty. Gio bakal gandeng tangan Mbak Asri besok besok.” balas bocah bernama Gio itu yang membuat An gemas dan mengusap pelan kepala Gio sebelum berdiri.
“Mau kemana, Mbak?”
“Mau ke gedung situ kok, Mbak. Mau ketemu sama unclenya.” jawab Mbak Asri seraya menunjuk gedung tempat An bekerja.
“Oh saya juga kerja di situ. Ayo ke sana bareng. Gio, aunty gandeng, ya.” ajak An yang membuat Gio mengangguk seraya memasukkan tangan kecilnya dalam genggaman tangan An.
=====
Andromeda kembali merutuki dirinya sendiri saat menyadari sekarang dia berada di depan pintu ruangan Bara.
Ternyata, bocah yang sedang dia gandeng ini adalah keponakan pria yang sedang mati-matian dia hindari. Pantas saja, rasanya dia tidak asing dengan Gio, saat pembukaan cabang restauran Gala, Bara sempat membawa keponakannya itu dan An melihatnya.
Mbak Asri menitipka Gio kepada An sebentar karena ingin menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Andromeda sudah menawarkan bocah kecil itu untuk bermain bersama di ruangannya, namun Gio malah bersikukuh untuk segera bertemu dengan sang uncle.
Alhasil, disinilah dia sekarang. Berdiri kaku di depan meja Vian, sekretaris Bara.
“Loh, Bu An. Ada urusan apa, Bu, sampai ke sini?” tanya pria itu seraya berdiri dari duduknya.
“Saya cuma mau antar Gio, keponakan Pak Bara ke sini. Baby sitternya lagi ke toilet, sakit perut katanya.” jawab An yang membuat Vian mengangguk mengerti.
“Masuk saja kalau gitu, Bu. Pak Baranya ada di dalam, kok. Lagi nggak ada tamu juga.”
“Oh nggak usah, biar Gio aja yang masuk. Saya buru-buru, mau meeting.” tolak An.
Andromeda baru saja melepaskan genggamannya pada tangan Gio saat pintu di hadapannya terbuka dan menampilka sesosok pria yang membuatnya tanpa sadar menahan napas.
“Vian, kalau Gio-“ ucapan Bara terputus saat mendapati keponakan yang ditunggunya sejak tadi berada dalam gandengan tangan Andromeda.
“Uncleee.” teriak Gio senang sambil menghampiri pamannya itu.
Lamunan diantara kedua insan itu buyar. Bara segera menangkap Gio ke dalam gendongannya dan memberikan kecupan-kecupan gemas di seluruh wajah bocah itu.
“Geli, uncle.” protes Gio yang sedang meliuk-liukkan badannya berusaha menghindar.
Bara menghentikan aksinya dan bertanya, “Mbak Asri mana?”
“Dia lagi di toilet, sakit perut katanya.” bukan Gio, namun wanita dihadapan Bara yang menjawab.
Bara mengangguk lalu dia mengalihkan pandangannya pada Vian.
“Kalau pengasuh Gio datang, suruh tunggu di luar dulu, ya. Saya mau ngobrol sama perempuan ini.” ucap Bara yang diangguki dengan patuh oleh Vian namun membuat Andromeda terperangah kaget.
An masih terdiam di tempatnya saat Bara akhirnya memilih untuk menarik tangan An, menuntunnya memasuki ruangan pria itu.
Kalau tidak aku tarik, pasti wanita ini akan terdiam terus seperti patung di depan ruanganku, pikir Bara.
Setelah Bara menutup pintu ruangannya, pria itu menurunkan keponakannya dan membiarkan bocah itu untuk bermain dengan bebas.
“Duduk.” perintah Bara dengan pandangan yang mengarah pada sofa di tengah ruangan.
Seperti robot, An segera melangkah menuju sofa itu dan mendaratkan bokongnya pada dudukan sofa. Bara mengikuti langkah wanita itu dan memilih untuk berdiri di hadapan An.
Rasanya, begitu banyak kata yang hendak ia sampaikan pada wanita di hadapannya ini. Namun, otaknya tak mampu memikirkan satu katapun yang hendak dia ucapkan.
Bara bersedekap dan berdeham pelan sebelum akhirnya bersuara.
“Kenapa Gio bisa sama kamu?” tanya Bara akhirnya.
Pertanyaan Bara yang tiba-tiba membuatnya terhenyak kaget dan mendongakkan kepalanya untuk memandang pria itu.
“Tadi waktu mau nyebrang jalan, ada pengendara kurang ajar yang main jalan aja padahal lampu masih merah. Mobil itu hampir aja nyerempet Gio. Untung aja aku sempet nangkep dia.” jelas wanita itu kemudian.
Bara segera berjalan menghampiri keponakannya itu dan langsung meneliti keseluruhan tubuh Gio untuk memastikan keadaannya.
“Gio, ok?” tanya Bara.
“Gio ok, uncle. Sorry, tadi Gio nakal, nggak mau gandeng tangan Mbak Asri.” aku Gio yang membuat Bara tersenyum maklum lalu membelai lembut pipi gembulnya.
“Nggakpapa, tapi janji sama uncle besok-besok kalau nyebrang gandeng tangan Mbak Asri, ya.”
Gio mengangguk dan menjulurkan kelingking kirinya yang langsung membuat Bara mengulurkan kelingking kanannya, hendak melakukan pinky promise.
Andromeda tersenyum saat menyaksikan interaksi diantara paman dan keponakan itu.
Haah, dirinya jadi rindu Khandra.
Pandangan Bara teralih kepada An yang sedang tersenyum menatap dirinya dan Gio. Hal itu membuat Andromeda segera membuang pandangannya ke arah samping, menghindari tatapan Bara.
Pria itu terkekeh saat melihat respon dari An.
Astaga, hanya dengan melihat wanita itu, tanpa sadar membuat segala kekesalannya yang tidak jelas itu menguap begitu saja.
Seketika, pikiran jahil terlintas di pikiran Bara untuk mengerjai wanita itu. Bara kembali menghadap ke arah Gio dan bertanya kepada keponakannya itu dengan suara yang keras.
“Nah, Gio sudah tahu caranya bergandengan tangan yang benar?”
Gio mengerutkan kening tanda kebingungan. Setahu bocah itu, bergandengan hanyalah kegiatan yang sambil lalu dia lakukan saja. Memangnya ada tata caranya?
“Nggak tahu, Uncle.” jawab Gio polos.
Bara tersenyum puas saat mendengar jawaban yang memang ingin dia dengar.
“Andromeda.”
“Bisa ke sini sebentar?” pinta Bara yang membuat An mengernyitkan dahi bingung.
“Untuk apa?”
“Bisa ke sini dulu?” pinta Bara lagi dengan nada yang sudah berubah menjadi perintah.
An mendesah sebal saat mendengarnya dan itu membuat dia harus berdiri lalu berjalan menghampiri Bara. Lelaki itu tampak menahan senyum saat melihat An yang berjalan menghampirinya dengan wajah jengkel.
“Gio butuh contoh tata cara bergandengan tangan yang benar.” Dan tanpa meminta persetujuan dari wanita itu, Bara menarik tangan kirinya dan dengan perlahan memasukkan jari-jari An ke dalam sela-sela jari milik pria itu.
“Nah, begini Gio cara bergandengan tangan yang benar.”
Gio, keponakan Bara hanya mengangguk polos lalu setelahnya memilih untuk kembali fokus pada mainan mobil yang sekarang sudah tergeletak di lantai ruangan Bara.
“Bisa lepas gandengannya?”
“Nggak mau.” tolak Bara yang kemudian malah menarik wanita itu menuju pinggir jendela kaca ruangannya.
Andromeda terperangah dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Ruangannya memang berada di lantai yang tergolong tinggi. Namun ternyata, pemandangan di lantai ruangan Bara, sangatlah berbeda dari pemandangan di ruangan waniita itu.
“Kenapa waktu itu kamu pergi?” Bara membuka suara disaat keheningan tercipta beberapa detik yang lalu.
“Memangnya keberadaan aku di sana masih penting? Bukannya biasa buat kamu yang sering do one night stand, setelah selesai bakal bubar dan nggak memperdulikan keberadaan partner kamu.”
Bara menggeram jengkel saat mendengar jawaban yang begitu salah baginya.
“I am. Aku memang melakukan itu, tapi waktu itu partner aku kamu. Kamu, Andromeda.”
“Apa bedanya aku sama mantan partner kamu, Bar? Sudahlah, kamu jangan merasa aku berbeda karena aku adek Bang Dafa. Anggap saja itu kegiatan having fun kamu sama seperti yang pernah kamu lakuin.”
Kali ini, Andromeda melepaskan tautan jari di antara mereka dan melangkah mundur, membuat jarak.
“Terserah. Terserah kamu, An. Kalau memang itu yang kamu pikirkan, anggap saja memang seperti itu.” balas Bara dengan menahan emosi yang mulai muncul di dadanya.
Keyakinan An untuk menjauhi pria di dekatnya ini semakin bertambah, saat dirinya mendengar obrolan riuh dari gerombolan wanita yang berjalan di depannya dalam perjalanannya hendak menuju kamarnya di kapal waktu itu.
”Eh Mel, mantan lo tadi malem berantem mukulin bule.”
“Mantan? Mantan gue yang mana?”
“Itu tuh, si Bara Angkasa.”
“Astaga, mantan ONS doang kalo si Bara. Tapi mantan ONS terindah sih emang kalo dia haha.”
“Emang sejago itu dia?”
“Banget. Bikin gue pengen lagi. Tapi udahlah, nggak bakal bisa juga.”
“Lah kenapa?”
“Tu orang, nggak pernah mau having s*x untuk kedua kalinya sama orang yang sama. Dia nggak mau ada urusan lagi begitu ena ena kita selesai.”
“Yah, sayang banget ya. Padahal si Bara pacarable gitu.”
“Banget, beb.”
“Gio, kapan kapan ketemu sama Aunty lagi ya.” ucap An kepada Gio yang diangguki dengan semangat oleh bocah itu.
Dan tanpa berpamitan dengan Bara, Andromeda segera melangkahkan kakinya dengan lebar menuju pintu keluar. Dia butuh keluar dari ruangan ini.
An butuh jarak dari pria itu untuk menghirup nafas karena sesak yang tahu-tahu saja muncul di dadanya.
=====