BAB 9

1110 Words
“Mama, princess pulang,” teriak Azara dari pintu masuk. Dia pulang bersama supir pribadinya karena baik Anggara ataupun Bintang tidak bisa mengantar ia; Bintang dipanggil wali kelas dan Anggara dipanggil kakak kelas. Kalau Bintang sudah jelas, wali kelas paling ingin membicarakan tentang kelas dan beberapa kontrak sekolah. Namun Anggara, entahlah, apa sebenarnya yang hendak ia lakukan bersama kakak kelas itu. Perasaan Azara sebenarnya tidak enak, tapi mengingat Anggara adalah manusia yang memiliki banyak teman, ia pikir, kakak kelas itu adalah temannya. “Anak perempuan, kok, teriak-teriak, sih?” sahut ibunya dari arah dapur. Tak lama setelah itu sang pemilik suara pun keluar, senyumannya langsung terulas. “Pulang sama siapa?” tanyanya begitu sudah ada di depan Azara. Sebelum menjawab Azara mengecup punggung tangan ibunya dulu. “Sama Pak Paijo.” “Lho, bukannya kamu berangkat dijemput sama Bintang dan Anggara? Haduh itu dua anak laki-laki emang enggak ada niatan cari pacar apa? Ngintin kamu terus.” Azara langsung senyum-senyum tidak jelas seraya memilin ujung kemeja sekolah yang kini sudah keluar dari rok—dia mengeluarkannya ketika sudah masuk ke dalam mobil. Ibunya yang sudah hapal betul bagaimana karakter anaknya pun langsung menautkan kedua alisnya. Pasti ada sesuatu, itulah yang ada di benak ibunya saat ini. “Ada apa ini?” tanya ibunya dengan nada meledek. “Aku sama Bintang sekarang pacaran, Ma, boleh, kan? Kak Dio aja punya pacar, masa aku enggak boleh. Walaupun Mama enggak bolehin, aku tetep enggak mau putus, sih,” jawab Azara. Tak lama setelah itu dia terkekeh-kekeh. “Mama pernah bilang, carilah kekasih yang lembut, Bintang ini lembut banget, kan? Ya walaupun dia enggak kayak Kak Dio—si laki-laki super dingin ke perempuan yang enggak dekat sama dia—seenggaknya Bintang laki-laki yang baik.” Ibunya langsung tertawa. “Udah pandai buat strategi membela diri sendiri ternyata, ya, kamu?” Setelah mengatakan itu dia mengusap pucuk kepala Azara. “Jangan berlebihan.” Azara melebarkan senyumnya, kalau ibunya sudah setuju tandanya ayahnya dan kakak laki-lakinya yang super selektif pun pasti akan setuju. Ibu bagaikan tolak ukur pertama di keluarga mereka. Biasanya kalau tidak setuju ibunya pasti akan langsung mengatakan tidak boleh, tapi kali ini dia hanya memberitahu untuk jangan berlebihan. “Kenapa Bintang? Padahal kalau menurut Mama Anggara lebih macho.” Kini Azara dan ibunya sudah pindah tempat; dari sekitar dapur ke ruangan makan, mereka duduk di bangku yang mana mejanya masih kosong, makanan akan disajikan beberapa menit ke depan, menunggu Dio pulang. Kalau ayahnya tidak akan pulang siang, dia pulang kerja di sore hari. Dio pun tidak selalu pulang siang, kadang-kadang saja, dia selalu memberitahu ibunya kapan ia akan pulang, karena itulah ibunya tahu. Dio ini tipe laki-laki idaman banyak ibu-ibu. Dia tidak banyak bicara, tapi kalau sudah bicara bisa membuat lawan bicaranya skak. Dia pandai menghormati perempuan dengan caranya sendiri, dia juga memiliki senyuman manis, dan … sebenarnya dia menggemaskan, tapi dia tak pernah mau dikatakan seperti itu. Dio itu suaranya saja bisa membuat perempuan menjerit histeris, dia memang sudah paripurna sejak lahir—sepertinya. Karena itu Azara pernah berpikir, apakah ia anak pungut? Dia sangat jauh di bawah Dio. Namun ia tak pernah mengatakan hal itu kepada orangtua ataupun kakaknya, kalau ia mengatakan itu bisa-bisa kakak dan ayahnya akan menertawakan sampai mata mereka hilang. Percayalah, ayah dan kakaknya satu spesies, mereka hanya menjaga image di luar rumah saja, kalau sudah di dalam rumah, wah … mereka akan berubah drastis. “Anggara itu udah aku anggap kakak aku sendiri, Ma, Anggara sama aku enggak saling suka, kita pure bersahabat. Aku malah berharap Anggara bisa menemukan perempuan baik-baik, dia terlalu banyak mengalami kegetiran selama ini, kalau dia sama aku bisa-bisa tambah stres, aku ini, kan, ambekan, kekanakan, dan ….” Azara menghentikan ucapannya begitu melihat ibunya tertawa. “Nah, akhirnya seorang Azara mengaku betapa ambekannya dia,” ucap ibunya. Azara mengerucutkan bibirnya. “Mama mah nyebelin, udah ah aku mau ke kamar, ganti baju.” Setelah mengatakan itu Azara langsung bangun dari duduknya lalu melangkah dengan langkah keras ke arah kamarnya, dia sengaja menghentak-hentakkan kakinya dan ibunya tahu itu. “Mau Bintang ataupun Anggara, mereka berdua anak yang baik. Mereka memiliki ciri khasnya masing-masing,” ucap Ibu Azara pelan seraya bangkit dari duduknya, ia hendak melanjutkan kegiatannya di dapur, tadi ia menghentikan sebentar kegiatannya hanya untuk menemani Azara berbagi cerita, sejak anak-anaknya masih kecil dia memang selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan segala cerita yang ingin anaknya sampaikan sepulang sekolah, sepulang main, bangun tidur, dan lain sebagainya. Bahkan Dio pun seperti itu, dia sering berbagi cerita dengan ibunya, padahal sekarang usianya sudah 29 tahun, sebentar lagi 30 tahun. *** Anggara memasukkan tangannya ke dalam saku celana seraya menyandarkan tubuh ke tembok belakang sekolah. Seperti apa yang dia katakan kepada Azara, dia memang dipanggil kakak kelasnya. Kakak kelas itu adalah orang yang pernah kalah balapan dengan Anggara, rupanya dia masih menaruh dendam dan sangat senang setelah mengetahui Anggara satu sekolah dengannya. Dia senang karena pada akhirnya dia bisa lebih mudah membuat Anggara menderita dengan embel-embel membalas kekesalannya. Sekarang ini Anggara sendirian, sementara gerombolan kakak kelas itu berempat. Di sekolah ini, mereka dikenal sebagai komplotan laki-laki nakal yang guru pun sudah lelah mengurusnya. Kecerdasan lah yang membuat mereka masih bertahan di sekolah ini, ya, mereka adalah orang-orang pintar yang sering bersaing dalam olimpiade, Anggara berani bertaruh, Bintang pun pasti tidak akan asing dengan mereka. “Ada apa?” tanya Anggara seraya menghadapkan tubuhnya ke arah empat orang laki-laki itu. “Kalian manggil gue lewat perempuan? Kenapa enggak manggil langsung aja ke kelas gue?” Xery selaku ketua di antara keempat orang yang ada di hadapan Anggara dan merupakan orang yang bermasalah dengan Anggara itu langsung tertawa mengejek. “Kerajinan banget ke kelas lo, ah, lagi pula kenapa, ya, orang bodoh kayak lo bisa masuk ke sekolah ini? Masuk kelas unggulan pula. Lo pasti dibantu kedua teman lo, ya? Dasar manipulat—” Ucapan Xiar terhenti saat matanya menangkap sosok Bintang sedang berjalan mendekat ke arah Anggara. Di saat itu juga Anggara ikut menatap ke arah belakang—arah pandangan Xiar. Bintang langsung mengulas senyuman tipis ke arah Anggara lalu menepuk bahu sahabatnya itu. “Ayo pulang,” ucapnya begitu sudah ada di samping Anggara. “Apa untungnya, sih, temenan sama benalu kayak dia?” tanya Xiar dengan nada merendahkan. Bintang langsung menoleh ke arah laki-laki itu. Dia mengulas senyuman tipis lagi. “Untungnya?” Bintang menganggukkan kepalanya. “Untungnya dia bukan kalian.” Xiar tampak tidak terima dengan jawaban Bintang. Dia yang memang sangat temperamen itu pun langsung maju, hendak menampar wajah sok suci Bintang. Namun belum sempat niatannya terkabulkan, dia sudah tersungkur lebih dulu karena terselengkat kaki Anggara yang sudah pasti malang karena memang sengaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD