BAB 7

1112 Words
"Kena!" ucap Anggara seraya menangkap lengan Azara. "Sok-sok-an mau ke kantin sendiri, nanti sampai kantin dikarungin tukang bersih-bersih tau rasa," ucap Anggara. Azara mengerucutkan bibirnya. "Za, kenapa, sih?" tanya Bintang saat ia sudah ada di samping Azara. "Kamu yang kenapa, orang aku enggak apa-apa," jawab Azara. Dia mengatakan tidak apa-apa tapi wajahnya masam, tidak hanya itu, dia juga tidak mau menatap wajah Bintang. "Udah-udah, ayo kita ke kantin nanti keburu bel masuk," ucap Anggara, setelah mengatakan itu dia langsung melangkahkan kaki lebih dulu ke depan. "Maaf, ya, kalau aku ada salah, tapi jujur aja, aku bingung apa kesalahan aku dan apa yang harus aku perbaiki. Lebih baik, apa pun itu, kalau kamu emang enggak suka, bilang, aku bisa introspeksi kalau kamu bilang. Kalau kayak gini, kan, akunya juga bingung harus kayak gimana," ucap Bintang. Kini ia sudah melangkahkan kakinya di samping Azara. "Walaupun kamu bilang wanita lain selain aku itu invisible, tapi mereka tetap bisa melihat kamu, segala kesempurnaan yang kamu miliki, dan segalanya tentang kamu. Aku cuma ... ya enggak ada apa-apa, sih. Aku salah, aku minta maaf, tapi kamu juga salah." Bintang tertawa mendengar apa yang Azara katakan. Dia bilang kalau dia salah, dia juga sudah meminta maaf, tapi masih saja mengatakan kalau ini kesalahan Bintang. Ternyata memang benar, pasal satu itu lebih akurat dan akan terus dijadikan titik balik untuk pasal-pasal selanjutnya, yakni sampai kapan pun wanita itu memang selalu benar tanpa kecuali. "Iya aku salah, aku minta maaf," ucap Bintang. Azara menutup bibirnya dengan telapak tangan, senyumannya mereka di balik telapak tangan itu. "Kamu mah!" Kali ini Azara mendorong Bintang agar menjauh darinya. "Salah lagi kah aku ini?" Azara langsung terbahak. "Sampai kapan pun kamu emang selalu salah dan aku selalu benar," ucap Azara. Bintang menggelengkan kepalanya sambil mengulas senyum. "It's okay, apa pun itu, selagi membuatmu bahagia kenapa enggak?" Untuk kedua kalinya Azara mendorong Bintang. Kali ini Bintang sampai oleng dan hampir mengenai tong sampah. Dia yang mendorong, dia juga yang menarik, itulah Azara. Di saat Azara dan Bintang sedang tertawa sambil berjalan, Anggara memilih untuk ke kantin sendiri. Ia merasa tidak enak kalau ikut nimbrung, lagi pula menjadi nyamuk di hubungan orang itu tidak menyenangkan. Saat tiba di kantin, tiba-tiba ada yang mengangkat tangannya ke arah Anggara. Anggara mengenal orang itu. "Oi, Ang! Come here, Man." Anggara itu memang dikenal dengan sebutan ‘Ang’, hanya Azara dan Bintang saja yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ga atau Gaga’. Di saat itu juga Anggara langsung melangkahkan kakinya menuju orang itu. Dia adalah teman tongkrongan Anggara. Ia langsung saling bersalaman dengan gaya persahabatan mereka, yakni membenturkan kedua tangan yang terkepal. "Masuk sini ternyata lo, di kelas mana?" tanya Baskar—temannya yang baru saja mengangkat tangan tadi. "IPA 1," jawab Anggara. "Demi apa?" Memang tidak semua sekolah menerapkan angka sebagai patokan pintar-pintar atau tidak isi kelasnya, tapi di SMA Negeri X, siapa yang masuk ke kelas dengan predikat 1 itu tandanya orang-orang yang memiliki rata-rata tinggi atau lolos tes dengan hasil di atas sembilan puluh. Terlebih ini IPA, seorang Anggara masuk IPA? Laki-laki ini di luar dugaan. Baskar dan Anggara beda sekolah, tapi setiap malam ataupun hari-hari libur mereka sering kumpul bersama di tempat biasa mereka nongkrong. Awalnya mereka itu saling kenal karena balapan motor, mereka taruhan uang dan Anggara-lah yang menang. Laki-laki itu memiliki jiwa ambis memang, tapi tetap saja, aneh rasanya. Biasanya Anggara akan ambis dengan taruhan atau apa pun yang bisa memberikannya keuntungan berupa uang, tapi soal pelajaran, dia itu tidak peduli, bahkan beberapa kali dia pernah menyuruh teman satu tongkrongan mengerjakan tugasnya. Anggara malah terbahak melihat wajah tidak percaya Baskar. "Kalau lo enggak percaya nanti ke kelas IPA 1 aja." Baskar menepuk tangannya. "Gila, sih, bagaimana ceritanya lo sampai bisa masuk sana?" "It was a long story, intinya Azara-lah yang maksa gue buat belajar ekstra sebelum tes." Baskar langsung menganggukkan kepalanya, dia tahu siapa Azara. Anggara pun pernah mengenalkan Azara dengan teman-teman satu tongkrongan secara langsung, yang mereka tahu Anggara dan Azara memang dekat dan sedang mengalami masalah friendzone, tapi entahlah, Anggara tidak terbuka dalam permasalahan pribadinya; baik berupa percintaan ataupun kekeluargaan. "Terus bagaimana sama Azara dan satu teman dekat lo yang pintar itu? Siapa namanya? Ah ya, Bintang. Mereka juga sekolah di sini?" Anggara menganggukkan kepalanya. "Iya, mereka sekolah di sini, cuma gua lagi kepengin aja jalan-jalan ke kantin sendirian. Mereka gue tinggal tanpa izin," ucap Anggara sambil terkekeh, dia bicara seolah-olah hal itu adalah kejailan semata yang ia lakukan, padahal kenyataannya dia menjauh bukan karena hal itu. Baskar menggelengkan kepalanya. "Ya inilah Anggara." Anggara langsung tertawa setelah mendengar penuturan Baskar. Anggara itu memang pandai membadut. "Bagaimana masuk IPA 1, dengar-dengar hampir seluruh penghuninya anak-anak ambis, bahasa mereka juga katanya aku-kamu, itu benar?" Anggara menganggukkan kepalanya, tapi setelahnya dia mengedikkan bahu. "Beberapa, sih, iya, tapi enggak tau yang lainnya. Termasuk gue. Gile, ternyata di sana gue cuma jadi beban kelas." Baskar langsung terbahak. "Gue enggak yakin, sih, kalau lo bakal jadi beban kelas. Kalau dilihat-lihat justru lo ini cerah di kelas, rata-rata anak perempuan zaman sekarang, kan, banyak yang suka sama laki-laki bergaya bad boy yang wajahnya guanteng pol. Lo banget, sih, ini mah." Seketika Anggara menyisir rambutnya ke belakang. "Oh, tentu aja. Aset berharga gue nih." "Ga! Aku cariin kamu ke mana-mana, main kabur aja, aku kira kamu, lho, yang dikarungin sama tukang bersih-bersih!" Anggara langsung menoleh, wajah Azara-lah yang kini ada di hadapan ia. Tak lama setelah itu ia menoleh ke arah samping, Bintang masih setia menemani Azara. Bintang langsung mengulas senyum ke arah teman-teman Anggara, sudah dikatakan sebelumnya, Bintang itu memang ramah dengan siapa pun, tak terkecuali teman-teman Anggara yang berlabel haram, eh, maksudnya berlabel nakal. "Aku pikir kamu lupa kalau aku pernah hidup di dunia ini," ucap Anggara. Di saat itu juga Azara langsung memukul lengan Anggara, setelahnya ia tarik tangan Anggara untuk ikut bersamanya. Pokoknya, di mana pun berada Anggara dan Bintang harus bersamanya. "Bro, ngikut dulu, ya, gue," teriak Anggara yang kian menjauh karena Azara terus menariknya. Kini, Azara, Bintang, dan Anggara sedang duduk melingkar di bagian pojok kantin. Di meja terdapat tiga mangkuk bakso yang masih mengepul, selain itu ada juga es teh yang berhasil menggoda iman. Mereka bertiga baru bebas dari antrean yang panjang. "Halo, Bintang, wah kamu masuk ke sini, ya? Masih ingat aku?" sapa seorang perempuan berambut panjang dengan aura-aura yang tidak beda jauh dengan Bintang dan Liodra tadi. Dia bermata sipit, kulitnya putih bersih, selain itu cara bicara bahasa Indonesia pun agak aneh. Bintang tidak langsung menjawab, tapi senyumannya sudah lebih dulu merekah. Setelah beberapa detik mengingat-ingat, akhirnya ia angkat suara, "Kak Itsuka? Kupikir kamu pulang ke Jepang. Tentu aja ingat. Oh, ya, kenalin ini teman-temanku. Anggara dan Azara namanya." Apa katanya, teman?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD