Chapter 26: Mendadak

1074 Words
"Kagak tau. Setiap pergi dia gak pernah bilang apapun ke gue. Emang lo ada urusan apa? Tumben banget lo ke sini." "Bukan urusan lo. Gue pergi." Hana membalikkan badan. Tanpa sengaja rambut hitam panjangnya itu mengenai wajah Devian. Devian terpesona. Rambut Hana benar-benar harum. "Andaikan gue bisa dapetin dia." Devian tersadar saat Hana menghentakkan kakinya. Langsung saja ia buru-buru mencegah Hana. "Eh, tunggu!" "Apa?" Hana menengok tanpa membalikkan badannya. "Lo ada waktu hari ini?" "Gak ada." Hana melengos pergi begitu saja. Devian mengusap d**a, dia harus sabar karena mendapatkan seorang wanita itu butuh perjuangan. ***** "Mama berangkat kerja dulu. Kamu jaga Lova baik-baik. Mama udah masak makanan. Kamu makan aja. Jangan lupa suapin Lova." "Iya, Ma." Chesa mejabat lengan ibunya, lantas mencium punggung tangan sang ibu. "Mama gak istirahat dulu? Badan Mama udah mendingan?" "Kalau Mama terus di rumah, emang kamu bisa kerja dan hasilin uang? Enggak kan?" respons Rumaisa menohok. Kepala Chesa tertunduk, ia menggangguk pelan. Rumaisa mendengus. Ia mengambil tas slempang hitamnya kemudian berlalu meninggalkan rumah. Chesa melanjutkan kegiatan menjemur pakaiannya. Hari ini cuaca tidak begitu panas. Semoga saja tidak hujan. Jika hujan, maka seragam yang ia pakai tidak bisa kering. Suara motor berhenti membuat Chesa bergerak mengecek halaman depan rumahnya. Seketika tubuhnya menegang melihat Raka tengah berdiri di depan pintu. Chesa berjalan cepat ke halaman samping rumahnya. Tidak. Ia tak boleh ketahuan. Raka tidak boleh mengetahui bahwa rumah itu miliknya. Bisa-bisa dia dihina sebab Raka yang sekarang sudah berubah dan ia yakin Raka menganggapnya hanya sebagai teman bukan lebih. Mungkin gue harus bohong aja ya biar Raka pergi, batin Chesa. Tubuh Chesa perlahan bergerak mendatangi Raka. Chesa berdeham cukup keras membuat Raka mengalihkan pandangan. "Cari siapa?" tanya Chesa. "Lo Chesa kan? Lo pemilik rumah ini?" Chesa menggeleng. "Nggak. Salah alamat lo." "Masa? Seinget gue, gue pernah ngikutin lo dan lo masuk ke rumah ini. Apa ingatan gue salah?" Raka memegang keningnya sendiri. Lo bener Raka. "Salah. Itu tuh rumah tetangga gue." ujar Chesa. Suara tangisan membuat Chesa tersentak. Adiknya itu pasti bangun untuk meminta makan! Aduh, gimana ini batin Chesa panik sendiri. "Itu siapa yang nangis?" tanya Raka yang masih tidak tahu apa-apa. Chesa gelagapan. "I--itu anak tetangga gue. Gu--gue mau panggil tetangga gue dulu." "Tetangga lo ada di rumah?" "Ng--nggak ada. Gue... mau pergi dulu. Bye!" Chesa mengibaskan tangan. Ia berjalan asal keluar area rumahnya. Bagaimana pun juga, dia tidak akan membiarkan Raka mengetahui kalau itu rumahnya! "Chesa, saya mau jenguk Mama kamu. Katanya lagi sakit ya? Eh, kamu mau ke mana? Kok keliatan buru-buru?" Chesa mematung di tempat. Bibirnya gemetar, ia tidak bisa berkata-kata. "Ibu tetangganya dia?" Raka bertanya. Chesa semakin meremas kuat ujung roknya. "Iya. Kamu ini siapa? Oh, pasti pacarnya Chesa ya? Iya, kan, Chesa? Hayo ngaku." ibu-ibu ber make up tebal itu menatap Chesa dengan tatapan menggoda. "Saya temannya." sahut Raka. "Ibu, saya mau tanya. Ibu tau rumahnya Chesa?" Bodoh? Mungkin itu kata yang pantas untuk Raka. Tapi ia berkata itu demi mengetahui di mana rumah Chesa sebab Raka tahu Chesa tidak akan memberitahu. "Loh, kamu kok nanya? Itu tuh, rumah Chesa. Sampean iki kenapa toh?" wanita paruhbaya itu terheran-heran. Chesa tertunduk malu. Aish! Rasanya ingin ganti wajah saja! Atau tidak, ia ingin terbang ke bulan dan menginap di sana! "Tante, Mama udah berangkat kerja dari tadi. Mungkin nanti malam pulang," ujar Chesa dengan nada ramah. Ia harus angkat bicara dulu sebelum Raka berbicara supaya tetangganya itu tidak makin bingung. "Oalah. Ternyata sudah sembuh. Ya udah. Saya nitip ini buat ibu kamu ya." wanita paruhbaya itu menyerahkan bingkisan buah-buahan yang dikemas rapih. "Terimakasih, Tante." "Iyo. Saya permisi." Chesa membuang nafas lega. Kepalanya perlahan menoleh ke belakang, menatap Raka. Raka balik menatap Chesa. Tatapannya itu menyiratkan ia butuh penjelasan. **** "Maaf. Cuma ada air putih doang." Chesa menaruh gelas berisi air putih. Mata Raka mengeliling memperhatikan setiap sudut rumah Chesa. Temboknya bahkan belum di cat sama sekali, hanya batu bata yang polos. Terakhir yang Raka lihat, rumah ini masih pagar. Raka langsung meminum air itu. Sedangkan Chesa masuk ke dalam kamar untuk menggendong adiknya. Setelahnya, ia berjalan kembali ke ruang tamu. Ah, bukan, tapi ruang serbaguna. Bisa jadi ruang tamu, ruang TV bahkan bisa juga jadi tempat tidurnya. "Maaf. Maksud kedatangan lo buat apa ya?" Chesa duduk di hadapan Raka dengan Lova yang masih berada di gendongannya. "Hari ini lo gak ke mana-mana?" "Enggak. Emang kenapa?" "Mau gue ajak jalan?" Chesa tercengang. Jelas, ia menolak karena ada sang adik yang harus ia jaga. "Maaf. Gue nggak bisa ke mana-mana karena harus jagain dia." Chesa melirik Lova. "Lo bisa titip ke tetangga." "Nggak bisa." "Lo bisa tinggal dia sendirian di rumah." "Enggak." "Ya udah. Bawa dia." "Tapi, kan--" "Gue tunggu di depan." potong Raka kemudian melangkah keluar. Chesa menatap kecewa. Raka memotongnya tanpa berniat untuk mendengarkan perkataannya. Alhasil, ia pergi ke kamar untuk mengganti baju. Beberapa menit kemudian, Chesa sudah siap. Baju Lova juga sudah diganti lebih baik. "Kamu mau ikut Kaka enggak? Mau, hm?" Chesa menciumi wajah Lova bertubi-tubi. Ia sangat gemas dengan pipi chubby sang adik. Chesa berjalan keluar rumah. Tak lupa, ia mengunci pintu. Raka sudah menunggunya di luar. Cowok itu ternyata menggunakan motor. Lengan Raka terulur memberikan helm full face pada Chesa. "Mak--" "Kalian mau jalan? Ajak Lova gitu? Sini, Ches. Biar saya yang jaga Lova." wanita paruh baya yang tadi memberikan buah-buahan, kini datang kembali dan mengambil alih Lova dari gendongan Chesa. Chesa terdiam. Sejak kapan tetangganya ini begitu peduli padanya? "Nggak perlu, Tan. Chesa bisa bawa Lova kok. Lagian dia juga gak keberatan kalau Lova ikut." ujar Chesa meyakinkan. "Hus. Tidak usah menolak. Mumpung saya ada waktu luang jadi bisa menjaga Lova." kukuh wanita itu. Chesa akhirnya mengalah. Ia menyerahkan kunci rumahnya. Mereka berdua... Akhirnya pergi. Chesa tidak tahu ke mana Raka akan mengajaknya pergi. Ia hanya menurut. Mengikuti cowok itu. ***** Restoran. Raka menghentikan motor di tempat tersebut. Chesa memperhatikan sekelilingnya. Terlihat megah dan berkelas. Pasti... makanan di dalamnya mahal. "Turun." titah Raka. Chesa turun. Ia melepaskan helmnya. Keduanya jalan ke dalam. Mata seisi restoran tertuju pada Raka. Chesa terkesiap merasakan telapak tangan Raka memegang lengannya. Ia menatap cowok di sampingnya dengan tatapan terkejut. Kelakuan Raka hari ini benar-benar berbeda dan mengejutkan dirinya. "Duduk." Chesa menurut. Seorang pelayan datang. Pelayan itu memberikan beberapa kertas yang sudah digabungkan menjadi satu. Apalagi kalau isinya liat menu makanan restoran tersebut. Jantung Chesa tersentak. Eh, bukan! Tapi jantungnya terasa akan copot hari itu juga saat melihat harga-harga makanan yang menurutnya bisa untuk membeli sepatu baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD