Chapter 45: Gagal

1607 Words
Acara pertunangan beberapa menit lalu sudah selesai. Chesa sedang disibukkan mengobrol dengan para tamu. Namun lain dengan Raka, dia menjauh dari keramaian untuk mengabari seseorang, "Lo sama Hana enggak jadi ke sini? Gue cariin kalian berdua dari tadi. Tahu-tahu gak ketemu." "Hana nggak mau. Hahaha. Dia cuma mau sama Raka... Pangeran tampannya... Kenapa, sih, gue enggak bisa gantiin posisi lo!" Tercipta kerutan di dahi Raka. Devian terdengar seperti orang mabuk karena nada bicaranya berbeda. "Lo minum?" Devian malah tertawa di sebrang sana. "Gimana caranya jadi lo, sih? Gue... Udah berusaha dapetin Hana, tapi selalu lo yang ada di mata dia!" "Ngomong apa lo? Lebih baik, lo berhenti minum. Lo pikir masalah lo bakal selesai setelah lo minum? Yang ada tubuh lo rusak." "Bacot!" Devian memencet ikon merah, memutuskan panggilan secara sepihak. Ia membanting ponselnya sendiri. Devian mengacak rambutnya, frustasi. Raka terkejut menyadari telefon nya dimatikan. Ia menggeleng pelan, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya. Raka menengok. Chesa tersenyum di belakangnya. "Telefon siapa?" "Devian." "Dia suruh kamu pulang, ya?" "Enggak. Dia orangnya bodoamat." "Kamu belum makan malam, kan? Ayo ke sana. Kita makan bareng. Kamu mau enggak?" tawar Chesa. "Ayo." Keduanya duduk di salah satu sudut rumah yang ramai dan menyediakan banyak makanan di sana. Walau begitu, Chesa hanya mengambil spagheti, jus jeruk, dan buah stoberi saja. Ia tidak mau memakan yang berat-berat. Begitu juga Raka. Dia mengambil makanan yang mirip persis seperti Chesa. Ketika keduanya duduk berhadapan di bangku, Chesa mengernyit usai melihat makanan yang dibawa oleh Raka. "Kamu suka spaghetti?" "Iya. Siapa bilang aku enggak suka?" Raka kemudian memakan makanan yang barusan disebut oleh Chesa. "Ngomong-ngomong, kemeja kamu bagus." ujar Chesa kemudian. "Kemeja atau orangnya? Kamu gak perlu bohong, Ches." "Dua-duanya." "Raka, besok aku udah mulai masuk sekolah." ujar Chesa, ia tampak ragu. Raka berhenti mengunyah. "Ada aku." "Oh, iya, Devian tau kalau ingatan kamu kembali?" "Belum. Bahaya kalau dia tau. Bisa-bisa dia jauhin aku dari kamu." kata Raka. "Dari awal, kenapa Devian keliatan benci banget sama aku?" "Karena Devian suka sama Hana. Dia akan ikut ngebenci orang yang dibenci Hana." Kedua mata Chesa membulat. "Devian suka Hana?" "Baru tau kamu, ya? Maaf, aku gak pernah ngomong ini sebelumnya." ujar Raka. Chesa menggeleng. "Kamu nggak perlu minta maaf. Kalau Devian suka sama Hana, kenapa dia biarin Hana deketin kamu?" "Aku juga penasaran, Ches. Apa--" "Hey! Ternyata lo di sini, Chesa. Gue senang liat keadaan lo baik-baik aja sekarang." potong Gio yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Chesa tersentak. Ia spontan mengalihkan pandangan. "Lo di sini, Gio?" "Iya. Kaget ya? Gue nemenin ayah ke sini. Kebetulan gue liat lo jadi gue samperin aja deh." Gio mulai duduk di antara Chesa dan Raka. "Lo nemenin siapa, Sa? Ayah atau Ibu?" lanjut Gio bertanya. "Gak nemenin siapa-siapa. Ini rumah gue, Gi." "Woah, jadi lo anak mereka?" Gio tercengang. "Iya, Gi." Raka menatap jengah. Seketika seleranya untuk makan, hilang. Ia bahkan menyandar ke kepala bangku seraya melipat kedua tangannya. Chesa memakan spaghetti yang sedari tadi ia anggurkan. Tanpa sadar, sisa makanan itu menempel di ujung bibirnya. Lengan Gio bergerak untuk mengusap begitupun Raka. Keduanya kompak. Chesa tergemap melihat dua tangan terulur mendekati bibirnya. "Kalian kenapa?" Raka memberi tatapan tajam dan penuh peringatan pada Gio. Nyali Gio tidak menciut. Ia tetap bergerak mengusap sisa spaghetti yang ada di bibir Chesa. Chesa tambah terkejut atas perlakuan Gio yang tiba-tiba itu. Ia langsung memegang bekas usapan cowok tersebut. "Kalo makan itu yang bener. Jangan kaya anak kecil." Gio menunjukkan sisa spaghetti yang tadi ia ambil. Chesa terkekeh malu. "Udah ngobrolnya?" tanya Raka. Sedari tadi ia mencoba untuk bersabar dan menahan u*****n yang akan lolos dari mulutnya. "Belum. Obrolan kita masih panjang. Iya, enggak, Sa?" Gio menatap Chesa seraya menarikturunkan alisnya. "Jangan mau ngobrol sama orang macam dia." respons Raka. "Iri bilang bos!" sungut Gio. "Gue gak iri. Gue cuma khawatir kalau Chesa dekat-dekat cowok yang kerjaannya gonta-ganti cewek." ujar Raka menyindir. Ia menengguk habis jus yang ia pegang. "Bangsaaat! Ngajak ribut lo?!" Gio mencengkram kerah kemeja Raka. Chesa sedikit terperanjat dari duduknya. Ia panik melihat Gio semarah itu. Chesa gelisah memikirkan keadaan Raka jika mereka baku hantam. "Perkataan gue benar, kan? Banyak cewek yang jadi korban lo, Gi!" ujar Raka lirih, namun penuh penekanan. Sengaja, ia tidak membentak karena ia tak mau membuat acara ini ricuh. Gio terdiam. Memang, di masa lalu, ia membuat kesalahan, tetapi tidak ada salahnya ia mencoba memperbaiki dirinya sendiri. "Gio, Raka, udah." Chesa memperingatkan. Cengkraman Gio mengendur. Ia duduk di posisi semula. "Raka, kamu jangan ngungkit masa lalu. Aku yakin, Gio berubah jadi baik sekarang." ia memandang Raka. Matanya beralih pada Gio. "Gi, lo jangan mudah terpancing emosi, ya? Maafin perkataan Raka kalau buat kamu kesinggung." Gio mengangguk lemah. Ada rasa kecewa ketika Chesa berbicara lo-gue kepadanya. Sedangkan pada Raka, cewek itu menggunakan sebutan aku-kamu. Sudah jelas, kalau Chesa dan Raka dekat. "Gue pamit." Gio berdiri. Chesa melengak, ada perasaan tidak enak. Tapi ia berkata itu hanya untuk melerai Mereka berdua. Kelihatannya Gio marah. Apa perkataannya tadi ada yang salah? *** Hari begitu cerah! Chesa membuka jendela kamarnya. Ia menghirup udara segar dalam-dalam, kemudian membuangnya secara perlahan. Ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian memakai seragam putih abu-abunya. Di depan cermin, Chesa mengaplikasikan make up tipis di wajahnya. Tidak banyak, hanya bedak dan lipbalm saja. Setelah selesai, baru saja Chesa akan membuka pintu, tapi ia terkejut mendengar suara ketukan pintu seseorang dari luar sana. Dengan cepat, Chesa membukanya. "Bibi? Ada apa?" "Ada teman Non yang ke sini. Katanya mau nganterin Non berangkat sekolah." jawab Bi Wati, pembantu baru di rumah Pandu. "Oh. Iya udah, Bi. Chesa ke sana." "Baik, Non." Tidak memakan waktu satu menit, Chesa sudah sampai di halaman rumah. Rasa penasaran Chesa semakin menjadi melihat cowok ber-helm duduk di motor sport. "Lo siapa? " tanyanya dengan mata menyipit. "Naik. Sebentar lagi bel masuk.." "Jawab dulu. Lo siapa?" "Padahal udah mau dua tahun ini kita kenal. Lo masih nggak ngenalin suara gue?" Gio membuka helm full face nya. Chesa menganga. "Lo mau nganter gue?" "Bukan. Gue mau cabut rumput." ujar Gio nyeleneh. "Mau naik enggak?" tanyanya dengan nada serius. "Bukannya lo marah sama gue, ya?" Chesa bertanya. Hanya itu yang terlintas di pikirannya. "Iya, tapi kemarin malam. Sekarang enggak lagi." jawab Gio. Chesa lega. "Iya udah! Gue... mau." ia berjalan mendekat, kemudian naik di belakang Gio. "Gi, kok motornya tinggi banget?" "Lo takut?" "Iya. Nanti kalau jatuh gimana?" "Ada gue. Tenang aja. Udah siap kan? Gue jalanin sekarang nih." Gio bersiap menjalankan motornya. Chesa mengangguk. Gio yang melihatnya pun langsung mengendarai motornya. Mereka berdua melesat cepat menuju sekolah. Selang beberapa menit, Raka memasuki gerbang rumah besar itu menggunakan motor. Ia berniat akan menjemput Chesa pagi ini. Pasti gadis itu senang akan kehadirannya. Raka mengetuk pintu. Rumaisa membuka gapura berwarna cokelat itu. Tatapan sinis seketika muncul di wajah Rumaisa. "Ngapain kamu?" Raka harus lebih bersabar. Suatu saat nanti, ibu dari gadis yang ia sukai ini pasti lebih baik padanya. "Saya mau jemput Chesa, Tan." "Dia sudah pergi bersama temannya tadi." "Temannya cewek atau cowok, Tan?" Raka terheran-heran. Setahunya, Chesa tidak berteman dengan siapapun kecuali dirinya. "Cowok. Sudah, sebaiknya kamu pergi. Saya mau ke rumah sakit." Rumaisa mengibaskan tangan. "Tante sakit apa?" "Enggak. Saya mau check kandungan." Rumaisa menjawab, sebelum ia benar-benar menutup pintu rumahnya. Raka mematung. Sulit. Ini akan terasa sulit baginya untuk menggagalkan pernikahan itu. Ia sungguh terkejut usai mendengar kata 'kandungan'. **** "Oh, jadi kalian pacaran nih, setelah melewati siang yang panjang di gudang." ucap Hana dengan nada menyindir ketika Chesa dan Gio masuk bersama ke dalam kelas. "Masih pagi. Gue gak mau ribut." Gio berjalan melewati Hana begitu saja. Telapak tangan Hana mengepal kuat. "Ih!" kedua netranya beralih pada Chesa. "Semalam lo bareng sama Raka, kan?!" todongnya mendadak. Chesa terdiam. Ia bingung, haruskah jujur atau tidak. Jika jujur, maka Hana akan menyiksanya lagi. Jika bohong, ia takut Tuhan memberinya karma. Lebih baik ia jujur saja! "I--iya," Gio terperangah mendengarnya. Chesa benar-benar gadis amat jujur! Harusnya Gadis itu berbohong saja supaya selamat. Gio tak mengerti lagi atas pola pikir Chesa. "Tapi itu cuma sebentar kok." "Sebentar?" Hana mendengus. "Gara-gara lo, malam itu Raka enggak ke rumah gue!" Hana menggampar keras pipi Chesa tanpa rasa kasihan sama sekali. Suasana kelas berubah menjadi tegang sekaligus hening, senyap. Chesa memejamkan mata. Ia tidak boleh marah. Ini memang salahnya. Seharusnya ia tak mengajak Raka ke acara pertunangan kemarin malam. "Kenapa sih, lo selalu ada di antara gue sama Raka?! Kenapa lo jadi penghalang? Lo itu udah punya pacar, parasit! Lo harus fokus ke pacar lo bukan ke Raka, cowok yang gue sukai sejak lama!" Chesa berusaha mengumpulkan keberanian untuk menoleh. "Pacar? Gue nggak pernah punya pacar, Han." "Gio! Pacar lo Gio, kan?!" Chesa menggeleng. "Enggak. Kita temenan doang, Han. Iya, kan, Gio?" Gio yang duduk di pojok belakang sana menyahut, "yoi!" "Cih. Akting kalian enggak bagus." Lagi-lagi Hana tidak percaya. Chesa menghela nafas. Detik kemudian, Raka datang dengan raut kebingungan. Biasanya kelas ini begitu ramai akan ocehan murid-murid. Namun sekarang berbeda dan senyap sekali. Ia melirik meja guru, tidak ada sosok guru di sana. Hana merapatkan bibir, ia mengurungkan niat untuk mencaci maki Chesa. "Eh, Raka? Bingung karena kelas ini sepi, ya?" sapa Hana dengan nada riang. "Hey! Kalian kenapa diem aja? Ayo berisik! Bel masuk masih lama!" titah Hana berteriak pada seisi kelas. Murid-murid yang ada di sana berdeham, kecuali Gio. "Dasar muka dua." gumam Gio. "Kamu duduk di sini, Raka." Hana menunjuk kursi yang berada di sebelah kursi miliknya. Raka terpaksa duduk di sana. Sengaja, ia tidak mau membuat Hana curiga kalau ingatannya sudah kembali. Ekor mata Chesa menyaksikan mereka berdua. Sabar. Ia harus kebal melihat Raka dan Hana bersama sebab ia tak mau dikeluarkan dari sekolah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD