Chapter 46: Persahabatan Yang Terancam

1130 Words
Seperti biasa, Chesa istirahat sendirian di kantin. Tidak ada yang berani dekat-dekat dengannya. Ya, siapa lagi penyebabnya kalau bukan Hana. Hana mempunyai kekuasaan terbesar di sekolah ini. Tidak ada yang berani menentang atau pun melanggar perintah gadis itu. Namun, hari ini berbeda. Seorang cowok dengan seragam sedikit dikeluarkan menghampiri Gadis yang biasa menyendiri itu. "Sendirian aja nih. Temannya mana, Neng?" tanya Gio dengan nada bicara seperti bapak-bapak. Chesa terkekeh. "Temannya masih belum keluar dari tempat persembunyian, Gi." jawab Chesa asal. Mereka berdua sama-sama tertawa kecil dan berhasil menyita perhatian di kantin. Mulut semua murid hampir menganga ketika melihat semua itu. "Kamu sebaiknya pergi, Gi. Nanti Hana ganggu kamu." ujar Chesa mulai serius. "Biarin. Gue gak takut sama makhluk yang namanya Hana itu." Gio menjawab dengan rasa amat yakin. "Dia bukan Tuhan." Chesa senyap. Gio terlihat sangat tidak takut sekali, berbeda dengan dirinya. "Gue belum pesan makanan nih. Gue minta makanan punya lo, ya." Gio mendekatkan mangkuk yang isinya belum dihabiskan oleh Chesa. Tanpa ragu, ia memakan bakso di dalam mangkuk tersebut. Padahal... sendoknya bekas mulut Chesa. Lagi-lagi Chesa dibuat senyap dan diam seribu bahasa. Tanpa disadari, sebuah pasang mata menyaksikan interaksi Mereka berdua. Ya, siapa lagi kalau bukan Raka. Cowok itu sedang didekati oleh Hana, namun bisa-bisa nya dia mengamati Chesa dari kejauhan. "Kamu kenapa, Raka? Ngeliatin apa, sih?" Hana mulai mengikuti arah pandang Raka, tapi Raka langsung meninjaunya. "Lo." bohong Raka. Hana jadi senyum-senyum sendiri bak orang gila. "Aku mau tanya. Kemarin malam, kenapa kamu gak jadi jemput aku? Kenapa malah Devian? Kamu kok tega bohongin aku." ucap Hana penuh rasa kecewa. "Gue ada urusan dan itu gak ngebolehin gue pergi ke mana pun. Lo marahin Devian kemarin malam, kan? Lo nolak ajakan dia buat nganterin lo ke acara itu, hm? Seharusnya lo minta maaf ke dia sekarang. Tadi malam, Devian minum dan caci maki gue karena gue bikin mata cewek yang dia suka, malah menempel dan suka sama gue." Hana membulatkan mata tidak percaya. "Devian suka aku?" "Iya. Lo gak sadar? Bahkan hari ini dia gak berangkat karena efek minum tadi malam." Raka emosi menjelaskannya. Ia kemudian berdiri, membuat Hana mendongak. "Raka, kamu mau ke mana? Jangan pergi. Aku belum selesai ngomong sama kamu." ujar Hana kelihatan begitu takut. Raka menepis tangan Hana. Cowok itu pergi begitu saja. Hana merengut kesal. Ini gara-gara Devian! Devian pasti sudah mencuci otak Raka supaya Raka membencinya! Ia akan memperingatkan Devian jika mereka bertemu. Raka melewati Chesa dan Gio. Ada rasa marah ketika Gio dekat-dekat dengan Chesa, tapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin, kan, ia bergabung dengan Chesa dan mengobrol. Bisa-bisa Hana cemburu. "Lo dapet beasiswa full di SMA ini? Berarti lo pintar dong. Lo bisa ajarin gue nggak?" tanya Gio. "Bisa. Tapi yang materi apa?" "Fisika. Gue masih bingung walaupun guru udah jelasin berkali-kali. Mungkin kalau dijelasin lo, gue bakal paham." Gio menjelaskan. "Hari minggu. Di rumah gue, ya." jawab Chesa ramah. "Oke. Siap. Oh, iya, habis pulang sekolah nanti, gue boleh ajak lo makan malam? Lo mau?" "Cuma kita berdua?" "Iya. Ada cewek yang mau gue putusin malam ini." "Cewek? Jadi kamu selama ini udah punya pacar?" Chesa tidak begitu terkejut. Ia sudah tahu Gio cowok tipe seperti apa. "Yap. Tapi besok status gue jomblo lagi. Jadi gimana? Lo mau, kan?" Chesa terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. *** Begitu sudah sampai ia di restoran, kedua mata Chesa mengeliling, mencari Gio. Tiba-tiba ada lambaian tangan. Chesa tersenyum lega. Ia berjalan mendatangi cowok tersebut. "Maaf. Gue sedikit telat." ujar Chesa tak enak. "Sans. Kebetulan sebentar lagi dia dateng. Jangan bicara apapun nanti, Oke? Lo cukup diam. Biar gue yang bicara." tutur Gio. Chesa mengangguk-ngangguk. Ia jadi gugup sekarang. Seperti akan presentasi saja. Selang 15 menit, akhirnya seorang cewek dengan berpakaian super ketat dari bawah sampai atas datang mendatangi Chesa dan Gio. Ia tampak melirik Chesa dengan tajam sebelum akhirnya ia duduk di hadapan mereka. Tunggu. Tunggu. Chesa sepertinya mengenal gadis yang duduk di hadapannya ini. Wajahnya tidak asing lagi. Ia berusaha keras untuk mengingatnya. Oh iya! Rumah sakit! Chesa melihat gadis itu di di rumah sakit. Gadis itu pernah mencegah Raka dan dirinya kemudian meminta nomor Raka sekaligus mengaku-ngaku sudah mengenal Raka sejak kecil. "Siapa cewek itu?!" tanya Tania ketus pada pacarnya, Gio. Padahal baru tiga hari hubungan mereka berjalan, sekarang Tania merasa Gio akan memutuskannya. Gio menarik badan Chesa supaya lebih dekat dengannya. Jarak mereka benar-benar terkikis. "Dia pacar gue. Gue minta, kita putus." "Hah? Dia pacar lo?" Tania terkejut, tapi rautnya terkesan dibuat-buat untuk meledek. "Waktu itu, gue pernah liat dia di rumah sakit bareng cowok. Cowok itu ngakuin kalau dia pacarnya." Tania menunjuk-nunjuk Chesa. "Lo w************n yang bisa diakui pacar oleh siapapun, ya? Gio bayar uang berapa ke lo?" Tania tertawa meremehkan. "Pergi lo! Gue udah putusin lo. Mau apa lo tetap di sini?" usir Gio. Tania mendengus. Ia melirik Chesa, lalu mengatakan, "siapapun lo, gue enggak bakal lupain kejadian di rumah sakit sama kejadian sekarang!" setelahnya Tania melenggang pergi. Tubuh Chesa mendadak lemas. Ada rasa kecewa sekaligus marah ketika cewek itu mengatakan dirinya murahan. Chesa tidak Terima. Perempuan mana, sih, yang telah menerima jika dirinya dikatai 'murahan'? "Sa, maaf atas perkataan mantan gue. Dia memang wataknya gitu, makanya gue mau putusin dia." "Gue permisi, Gi. Udah mau malem juga. Nanti ibu nyariiin gue," Chesa berusaha bersikap normal. Yang ia butuhkan hanyalah menyendiri dan menenangkan hatinya. Gio tidak bisa mencegah. Ia tahu betul, Gadis itu mulai sedih. "Perlu gue anter, Sa?" "Enggak, Gi. Gue udah pesan ojek online. Btw, makasih lemon tea-nya." Chesa tersenyum singkat. Ia kemudian berlalu. *** Chesa melihat kalender yang terletak di kamarnya. Sekarang sudah tanggal 5 Mei. Pernikahan ibu dan Om Pandu akan dilaksanakan 9 Mei. Itu artinya empat hari lagi. Chesa bingung. Jujur, ketakutan terbesarnya adalah ketika ia serumah dengan Hana. Saat Raka dekat-dekat dengannya, ia dituduh kalau dia merebut padahal sama sekali tidak. Ia khawatir sekaligus takut jika Hana tidak menerimanya sebagai saudara nanti. Ia berdiri, membuka pintu kamar, kemudian berjalan menuju kamar Pandu. Siapa tau, orang itu ada di sana. Tujuannya untuk menanyakan soal Hana. Chesa mengetuk pintu. "Permisi, Om." Pandu mengalihkan pandangannya dari laptop. "Kamu? Ada apa?" "Saya mau menanyakan sesuatu, Om." "Iya. Boleh." Chesa menghampiri Pandu. Ia tetap berdiri, namun jarak mereka kini lumayan dekat. "Kata Om, Om punya anak, kan? Chesa boleh tau, gak, nama anak Om." "Oh, soal itu. Kamu boleh tau kok karena sebentar lagi kan, kamu akan jadi adiknya." Pandu menjawab. "Hana, putri pertama saya dan mendiang istri saya. Kamu lahir di bulan November bukan? Sedangkan Hana, lahir di bulan Juni. Maka dari itu, saya menyuruh kamu memanggilnya Kakak. Kamu tidak keberatan, kan?" "Tidak, Om." dilihat dari respons pria paruh baya itu, sepertinya dia tidak tahu tentang kegetiran di hubungan Chesa dan Hana. Entah mengapa setelah Chesa mendengar hal itu, firasatnya mendadak tidak enak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD